Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eighth Trouble

Stalker

Selama satu jam berikutnya, Liu Sang hanya berdiri di sana, menyilangkan lengan di dada, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan. Dia merasa agak konyol, berdiri di tempat asing seperti penguntit tersesat.

Tentu saja dia bisa mengikuti Zhang Qiling dan masuk ke dalam kedai kopi, tapi dia saat ini sedang asyik bicara dengan seseorang yang terasa familiar baginya. Meskipun ia sangat penasaran apa tujuan Zhang Qiling mengendap-ngendap dari kantor, lantas menemui pemuda asing, Liu Sang memilih waktu yang tepat untuk bertanya. Kecurigaan serta rasa cemburu menyeruak dalam dada namun dia lebih suka tidak menghadapi kemarahan Zhang Qiling.

Sabar...  Sabar... Mungkin sebentar lagi dia selesai.

Bersandar di tembok penuh tanaman menjalar, Liu Sang nyaris terkantuk-kantuk saat Zhang Qiling akhirnya keluar dan berjalan menuju ke arahnya.

"Xiao ge!  Hei,  Xiao ge!"

Zhang Qiling lewat dan mengangkat bahu dengan canggung. Apa lagi yang harus ia katakan pada supir penguntit ini?

"Kau mengawasiku," kata Zhang Qiling dengan nada rendah, melambaikan jari ke hidung Lou Sang yang berjalan di sampingnya.

"Aku mengkhawatirkanmu," ia mencari alasan.

"Kau pikir aku anak kecil?"

"Tapi pemuda itu baru saja kau kenal bukan? Aku melihatnya sekilas dan tidak salah lagi, itu pemuda buta yang dulu menyebrang jalan."

"Tidak usah terlalu takut. Kami hanya berteman. Lagipula dia pemuda yang baik."

""Hanya Tuhan yang tahu apa yang dia pikirkan dan apa yang akan ia lakukan." Liu Sang bersikeras memperingatkan.

Mereka tiba di tepi Lianyu Road, Liu Sang menunjuk ke satu tempat di mana ia memarkir Lexus hitam.

"Kenapa kau terlihat sangat curiga?"

"Kau pergi diam-diam dengan menumpang taksi, hanya untuk bertemu dia. Itu di luar yang sewajarnya. Kau tidak takut dia akan memanfaatkanmu seperti gadis-gadis yang selama ini mendekatimu?"

Liu Sang membukakan pintu mobil untuk majikannya. Masih memasang wajah merengut, tuan muda itu masuk dan duduk termenung di dalam mobil dengan melipat kedua lengan.

"Tidak mungkin! Kau tahu dia buta," Zhang Qiling melontarkan pembelaan.

Walaupun masih jengkel dan cemburu, Liu Sang mempertimbangkan fakta itu dan berhenti mengomel. Dia menyalakan mesin dan mulai mengemudi ke arah jalan pulang.

Keduanya tetap diam hampir sepanjang perjalanan. Beberapa kali Liu Sang melirik dari spion tengah, mengamati ekspresi wajah Zhang Qiling yang diterjemahkan. Mata hitam sang majikan menelusuri  pemandangan lalu lintas malam kota Wuhan, kedua lengannya masih terlipat kencang menunjukkan sikap defensif, demikian pula bibir yang terkatup dan rahangnya terkunci sama kencangnya.

Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal? apakah dia tidak menyukai kenyataan bahwa aku membuntutinya hingga ke kedai kopi di Huanyu Road?

"Sudah hampir pukul sepuluh," kata Liu Sang, menunjuk ke jam tangannya.
"Kita akan langsung pulang kan?"

 "Tentu saja, kau pikir akan kemana lagi aku pergi?" sahut Zhang Qiling acuh tak acuh.

Liu Sang mengangkat alis, menyeringai sekilas.

"Mungkin saja kau juga akan mengajakku minum kopi di suatu tempat."

Zhang Qiling menembakkan pandangan seakan menganggap Liu sang adalah orang gila kriminal.

"Tidak mungkin," ia mendengus.

Liu Sang menatapnya dengan ekspresi kosong, menghela nafas pasrah, lantas tersenyum masam.

"Xiao ge, tentang tadi..." dia mulai pada satu hal yang menurutnya penting, menarik napas dalam-dalam. "Maaf. Aku tidak bermaksud menguntitmu."

Zhang Qiling mendengus lagi.
"Ya, terserah! Aku pergi mengunjungi seorang teman. Hal itu sama sekali tidak aneh. Kau tidak perlu bereaksi berlebihan."

"Xiao ge ! Aku mencoba - "

Kata-katanya gagal ketika Zhang Qiling mengibaskan tangan dengan kedua alis bertaut dalam.

Dalam keadaan normal, Liu Sang akan mencoba melontarkan candaan, dengan beberapa cara, mencoba mengembalikan suasana akrab.  Tetapi dia tidak bisa melakukannya saat itu.

Saat mengingat kembali Zhang Qiling mengadakan pertemuan sembunyi-sembunyi dengan seorang pemuda, saat itu juga jantungnya berdebar tak menentu dan ia merasa akan pingsan di tempat.

Huftt! Xiao ge benar-benar tega..

Dia selalu mengagumi dan menyukai Zhang Qiling, sudah lebih dari itu. Sudah sampai tahap mencintai, dan Zhang Qiling tahu itu. Tapi tetap saja--

"Liu Sang, kenapa kau menatapku seperti itu? Perhatikan jalan. Kita harus pulang," Zhang Qiling berkata malas.

Nah, bukankah ini sikap yang fantastis pada seorang penggemar yang sudah membaktikan seluruh waktunya buat sang idola?

Fuhh! Nasibku sungguh buruk.

Memvoutkan bibir sebagai tanda kesal, Liu Sang menginjak gas dalam-dalam.

❤💛❤💛❤

Dua kotak hadiah itu tergeletak di atas meja ruangan tengah tempat favorit Wu Xie menonton televisi dan main game di laptop. Mata Pang Zhi bersinar-sinar begitu Wu Xie memperlihatkan hadiah pemberian dari Zhang Qiling.

Jam tangan Chopard Limited Edition berwarna hitam silver yang pernah Wu Xie lihat sekilas di salah satu gerai resmi di Mall. Harganya nyaris sembilan ribu dollar. Saat itu dia tidak peduli dan berhenti memikirkan kemewahan yang tidak mampu ia beli. Jika mempunyai sembilan ribu dollar, dia akan pergi piknik dan bersantai di rumah tepi danau. Minum kopi favorit dan main game.

Ponselnya juga mahal. IPhone keluaran terbaru.

Sudahlah-- Wu Xie kewalahan untuk memuji keberuntungan sendiri dan hanya tersenyum lebar.

"Xiao ge bilang kalau dia sudah memberikan nomor ponselnya padamu. Setelah ponsel baruku aktif,  aku bisa menghubunginya," Wu Xie memutar-mutar ponsel diantara jemarinya.

Pang Zhi  terkekeh seraya mengangguk.  Dia mengotak-atik jam tangan baru itu, melirik tangan kurus pucat milik Wu Xie dan berkata,
"Arloji ini terlalu bagus untuk tanganmu."

Wu Xie terbahak singkat.

"Kau iri."

"Apa dia mengungkapkan cinta padamu?" Pang Zhi menyentuhkan bahu lebarnya ke bahu kurus Wu Xie.

"Untuk apa?" Wu Xie mengambil remote, menyalakan televisi dan mulai menghindari topik itu.

"Hadiah ini bagus dan mahal, seolah itu lambang kegembiraan sejati yang tumbuh dalam hatinya."

"Isshh...  Melodramatis sekali," Wu Xie memandangi ponsel barunya, layar ponsel itu bening gemerlap.

"Kau pikir untuk apa dia memberi hadiah yang tidak cocok untuk pemuda buta. Aku yakin ada maksud tertentu di baliknya. Mungkin saja ungkapan cinta secara tidak langsung," Pang Zhi kasak kusuk lagi.

"Jangan berpikir terlalu jauh," diiringi decakan lidah, Wu Xie memberi isyarat untuk berhenti membahas hal itu. Mereka berpandangan beberapa saat dan saling mencibir.

"Ya sudah, terserahlah!" Pang Zhi memfokuskan mata ke layar televisi yang tengah menayangkan sebuah film action.

Wu Xie pun menatap layar televisi, tetapi benaknya kembali mengingat pertemuan dengan Zhang Qiling, merasakan kembali kehangatan sikapnya dan kegembiraan dalam senyumannya.

Malam itu Wu Xie terbaring di tempat tidur dan melamun. Ponsel barunya ia genggam erat, sudah siap digunakan. Dia ingin menghubungi si tuan tampan tetapi ini sudah larut malam. Ia takut hanya akan mengganggu, lebih dari itu ia tidak mau terlihat memikirkan atau membutuhkan pemuda kaya itu.

Sudah lewat tengah malam dan Wu Xie masih tidak bisa tidur. Dia mencoba mengosongkan pikiran agar kantuk datang, tetapi alih-alih merasa tenang,  dia bahkan bisa mendengar kembali gemerisik tawa merdu Zhang Qiling dalam ingatannya.

Dia memejamkan mata, berkata pada diri sendiri bahwa dirinya hanya gugup karena tidak siap menerima kejutan romantis yang tak terduga. Saat itu ponselnya berdenting menandakan ada pesan masuk.

Dari Zhang Qiling.

Sabtu malam besok aku ingin mengajakmu makan malam romantis.
Aku harap kau setuju dan kita bisa merangkai momen menyenangkan.

Selamat malam, Wu Xie.

Nafasnya seakan terhenti.

Wu Xie meringkuk, memeluk dan melindungi dadanya dengan bantal, mengurangi degupan jantungnya yang kencang, menahannya agar tidak melompat keluar.

Astaga, apakah dia mengajakku berkencan?

Jemarinya terlalu lemas untuk mengetik pesan teks yang panjang. Dia hanya sanggup membalas dengan satu kata.

Oke!

❤💛❤💛❤

Sky Line Lounge & Restaurant

Untuk catatan, Xiao ge dan aku tidak berkencan. Sejujurnya, aku bahkan tidak yakin apa yang terjadi di antara kami. Aku pikir kami berdua mendapat kesan bahwa tidak ada nama pada hubungan ini. Aku bukan pacarnya dan dia bukan pacarku. Kami baru saja mulai....

Sesuai dengan spekulasi Wu Xie sebelumnya, pada saat dia dan Zhang Qiling tiba di restoran rooftop untuk makan malam, semua mata tertuju padanya saat dia berjalan ke barisan meja kursi dengan langkah perlahan dan hati-hati layaknya orang buta.

Ada beberapa orang yang bergumam di belakang tangan mereka saat Wu Xie dan Zhang Qiling lewat, yang menurutnya benar-benar klise. Mungkin mereka heran bagaimana Zhang Qiling yang sosoknya menjulang anggun bagai dewa bisa menggamit lengan seorang pemuda kurus, pucat, dan buta.

Tubuh Wu Xie gemetar menahan tawa, dengan mengeraskan rahang, ia berhasil menjaga ekspresinya tetap datar seolah memang ia tidak bisa melihat apapun.

Tetapi bagian terbaik dari ini adalah bahwa Wu Xie mendapati sikap Zhang Qiling tidak peduli sama sekali pada tatapan atau bisikan orang-orang. Dia hanya menatap dan menatap pada Wu Xie. Satu-satunya orang yang dia pedulikan.

Keduanya duduk berhadapan pada satu meja yang sudah dipesan Zhang Qiling sejak sore tadi. Dari balik kacamata hitam, Wu Xie mengamati sebatang lilin besar beraroma vanilla di tengah meja. Satu vas kristal berisi dua kuntum mawar jingga, dan dua buah goblet. Sampanyenya pasti akan menyusul, Wu Xie berpikir dalam senyuman misterius.

Pemandangan dari ketinggian luar biasa menakjubkan. Hamparan berkilau sungai Yangtze di kejauhan,  dan lautan cahaya berombak dibawah sana. Tempat ini tak ubahnya taman surga bagi Wu Xie yang jarang mengunjungi restoran ekslusif seperti ini.

Kekagumannya hanya bisa ia pendam dalam-dalam di dasar hatinya yang paling samar. Dia harus berlagak tidak bisa melihat keindahan itu.

Matanya beralih pada wajah di depannya. Zhang Qiling benar-benar mempesona malam ini, dengan setelan mahal yang elegan dan high class. Menatapnya lebih dari dua menit membuat Wu Xie nyaris sesak nafas. Dia menatap langit sesaat, menghirup udara malam selama mungkin, sebelum beralih kembali pada wajah menawan itu.

Mata hitam kecoklatan Wu Xie melirik ke arah Zhang Qiling dan tersenyum miring. "Apa kau menyesal sudah mengajakku makan malam?"

Zhang Qiling berdehem, memutar matanya. "Tidak."

Wu Xie mengangkat alis, tidak terlihat yakin sama sekali.
"Aku yakin orang-orang memperhatikan kita."

"Aku sudah lama tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain."

"Benarkah? Sejak kapan?"

Zhang Qiling menatap Wu Xie lekat-lekat.
"Sejak aku mengenalmu."

"Oh..  Astaga," Wu Xie tertawa kecil.

Dia mulai merayu, makan malam ini bagaikan de javu..

Kadang-kadang Wu Xie memang merindukan makan malam romantis.
Seperti yang akan dihadapinya kali ini.  Dia pernah beberapa kali makan malam romantis dengan orang lain dan setiap akhir makan malam akan membawa kesan dan janji tersendiri. Makan malam, musik, obrolan, saling pandang, segalanya penuh dengan kemungkinan.

Dan tentu saja kemungkinan bahwa mungkinkah makan malam romantis ini adalah awal dari satu hubungan serius?

Wu Xie teringat seperti apa awalnya. Biasanya meja diterangi oleh cahaya lembut dari lilin  beraroma wangi dan iringan nada piano. Duduk berseberangan dan saling memandang, melihat ke mata pasangan. Percakapan yang intens, kemudian muncul saat ketika melakukan kontak. Jari-jari tidak sengaja bersentuhan, atau sepatu yang beradu di bawah meja. Lalu akan ada percikan dalam hati.
Bisa hangat, atau panas.

Ha! Pasti seperti itu.

Nostalgia yang penuh keklisean.

"Kita pesan makanannya," ucapan Zhang Qiling memutus aliran de javu dalam pikiran Wu Xie.

"Ah ya, aku tidak tahu harus pesan apa. Kau saja yang tentukan."

"Hmm--baiklah."

Zhang Qiling memilih beberapa menu lezat yang disediakan restoran. Dia memesan Rosemary chicken steak, roasted potato, sapo tahu, dan memesan french toast, almond frangipane dan pavlova sebagai makanan penutup. Dia juga memesan sebotol anggur.

"Jika kau kesulitan menyantap makanan,  aku akan menyuapimu," Zhang Qiling berkata tanpa ragu.

Mengatupkan bibir rapat, Wu Xie menahan nafas dan serta merta menggeleng.

"Ehm--tidak perlu."

"Tidak usah malu."

"Eh ya, akan sangat merepotkan," Wu Xie terlihat serba salah.

Zhang Qiling hanya tersenyum. Dia tahu bahwa momen seperti ini mungkin tidak akan terlalu sering berulang. Dia memutuskan untuk menghindari percakapan basa basi dan langsung bicara tentang hal yang ingin diketahuinya. Tentunya secara halus, dia sadar bahwa pendekatannya pada Wu Xie sudah seperti kecepatan kereta api express. Dia tidak ingin menambah kecepatan lagi. Setelah meneguk minuman di gelas dengan table manner yang anggun, Zhang Qiling mulai bertanya.

"Jadi,  bagaimana awalnya hingga kau bisa mengalami kebutaan?" suaranya sehalus dan sesopan mungkin, khawatir Wu Xie tersinggung.

Di luar dugaan, pemuda itu terkekeh.

"Aku hanya sedang sial," ia menjawab sambil menarik kertas tisu dan menyeka bibirnya.

"Hah??" melihat reaksi enteng dari Wu Xie, tak urung Zhang Qiling agak bingung.

"Kejadiannya hampir tiga minggu yang lalu. Aku baru pulang dari rumah paman, kuakui aku agak sembrono membawa motorku, jadi yah, sebuah taksi menyerempet motorku dan aku jatuh ke aspal."

"Kau tidak memakai helm?"

"Tentu saja aku memakainya, kalau tidak, mungkin aku sudah mati atau paling untungnya gegar otak. Benturannya cukup keras. Setelah itu penglihatanku meredup dan gelap."

Wu Xie mendesah halus, ia masih bisa merasakan sensasi menegangkan dari kecelakaan itu. Dalam hal ini ia tidak berakting. Dia memang sempat kehilangan penglihatannya sementara.

"Apa yang dikatakan dokter?" tanya Zhang Qiling, semakin serius.

"Saraf penglihatanku terdampak. Dia menerangkan banyak hal tapi aku tidak paham. Yang pasti, aku jadi orang buta semenjak itu."

Dia menarik nafas berat, ekspresinya muram.
"Motor Benelli kesayanganku akhirnya harus pensiun. Ah, kurasa Pang Zhi belum membawanya dari bengkel."

"Sebenarnya dengan tindakanmu itu, kau tidak seharusnya mengendarai motor. Itu cukup beresiko."

Kekehan samar lolos dari mulut Wu Xie, dia mengangkat bahu dengan putus asa. "Mau bagaimana lagi? Sekarang aku naik bis setiap kali harus bepergian. Pang Zhi tidak selalu bisa mengantar dan menemaniku."

"Apa dia punya mobil?" Zhang Qiling ingin tahu. Kelihatannya Pang Zhi tidak kekurangan, mungkin dia bisa saja lebih membantu Wu Xie.

"Ya. Tapi sudah lama dia tidak memperbaikinya. Mobil warisan dan keluaran tahun lama. Kau tahu, resiko mogok sangat besar terjadi. Kami lebih nyaman naik bis atau kereta cepat."

Zhang Qiling mengangguk-angguk.

Wu Xie memasang wajah bingung dan sekilas rasa terkejut ketika satu dugaan muncul di belakang kepalanya.

"Jangan katakan kau berniat memberiku mobil baru Tn. Zhang," Wu Xie tersenyum samar.

Dalam hati dia menunggu dengan tegang bagaimana reaksi si tuan tampan atas candaannya yang tidak tahu malu itu. Zhang Qiling mengetuk-ngetukkan kuku ke gelas minuman. Pandangannya melekat pada Wu Xie untuk beberapa lama, membuat pemuda buta itu salah tingkah.

"Kau menyukai mobil jenis apa?"

"Hah? Apa--?" Wu Xie menelengkan kepala, khawatir salah dengar.

"Aku -- maksudku, ada empat unit mobil di rumahku. Jika kau benar-benar perlu, aku bisa memberikannya satu padamu. Itu pun jika kau mau memakai kendaraan bekas pakai. Kalau kau tidak bersedia, aku bisa mencarikan yang baru."

Rasa panik, kaget sekaligus geli berkumpul dalam diri Wu Xie menjadikan perutnya melilit menahan tawa. Di sisi lain, jantungnya berdegup kencang.

Apa tuan tampan harus seserius ini??

"Ah, tidak perlu repot-repot..." dia tertawa parau.

Bagaimana kalau ada harga di balik semua kebaikan ini?

"Jadi kau tidak mau?" Zhang Qiling melirik sambil tersenyum.
"Itu sangat membantu aktivitasmu dan juga Pang Zhi. Mungkin kau bisa menyuruh seseorang jadi supirmu."

Duh, bagaimana yaa?

Wu Xie menggigit bibirnya cemas.

Terima jangan terima jangan?

Wu Xie nakal minta diuyel-uyel 😍

To Be Continued

Please vote and comment ❤💛

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro