Eighteenth Trouble
Let The Words Remain Unsaid
Mereka meninggalkan stand peramal itu, memutuskan tidak memikirkannya. Tetapi sesuai dengan instruksi madam Zoya yang tak masuk akal, mereka membeli sebuah papan tipis kecil berwarna merah, sang peramal menyodorkan tinta hitam tahan air dan menyuruh Zhang Qiling dan Wu Xie menulis nama masing-masing.
"Ada sebuah pohon sakura yang lebih rendah di banding yang lainnya. Bunganya berwarna pink. Beberapa pasangan suka menulis nama mereka di papan kecil seperti ini dan mengikatnya di dahan pohon. Kau akan melihag banyak nama tergantung di sana."
"Apa gunanya?" Wu Xie memutar bola mata.
Madam Zoya menggeleng, "Tidak ada. Sebenarnya ini hanyalah masalah keyakinan."
"Jadi dengan mengikat nama di pohon kita akan menjadi pasangan?"
Madam Zoya mengangguk.
"Sungguh lelucon," desis Wu Xie.
Tapi akhirnya, mereka melakukan hal itu juga. Menggantung papan di dahan pohon, bersama nama-nama pasangan putus asa lainnya.
Sementara malam semakin pekat, bahkan cahaya lampu berpendar samar tidak bisa menyinari jalan di sepanjang tepian danau. Mereka berhasil melewati sepetak jalan tipis berlapis bebatuan yang relatif sempit.
Kelopak sakura putih beterbangan sebagian, menciptakan nuansa indah dan misterius. Sama menakjubkannya dengan semua ini, mereka lega menemukan sebuah bangku panjang disekitar danau. Keduanya memasang ekspresi wajah setenang mungkin dan berjalan menuju bangku itu.
"Ayo lempar dadu lagi, kali ini aku yakin aku akan mendapatkan hadiahnya," Zhang Qiling mulai mengoceh.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin? Meskipun kau melakukannya apa yang membuatmu begitu percaya diri kalau aku mau."
"Hei, kita akan menikah. Kau dengar peramal itu?"
"Peramal menyedihkan. Dia sama sepertiku, suka menipu," Wu Xie terkekeh tanpa merasa bersalah. Dia memegang lengan Zhang Qiling dan kembali berkata, "Dengar, tidak ada ikatan, tidak ada beban. Oke?"
Zhang Qiling mengerutkan bibirnya, "Sebaiknya kau tetap di jalur itu sehingga tak ada orang lain yang akan menikah denganmu. Jadi kau tak punya pilihan."
Mereka memutuskan duduk sepanjang sisa malam di kursi kayu panjang sekitar dua puluh meter jauhnya dari tepi danau itu. Duduk santai dan bersandar, menikmati kerlip samar permukaan air dan guguran beberapa kelopak sakura yang melayang tertiup angin. Temperatur cukup sejuk menjelang dini hari.
"Kurasa tak ada lagi yang bisa kita lakukan pada jam begini," Wu Xie merapatkan blazernya. Menyilangkan tangan di depan dada mengusir angin dingin.
"Kau lelah?" Zhang Qiling beringsut merapatkan duduknya, lengannya yang panjang diletakkan di sandaran kursi, melindungi bagian belakang leher Wu Xie dari sapuan angin.
"Sedikit."
"Baiklah. Kita mengobrol saja di sini sampai matahari terbit," Zhang Qiling diam-diam kecewa tetapi tidak menunjukkannya kali ini. Memandang langit malam bertabur bintang dalam suasana romantis mungkin akan lebih manis untuk dikenang di masa depan daripada adegan percintaan yang terburu-buru.
"Aku yakin kau sering jatuh cinta," helaan nafas Wu Xie terdengar lebih berat. Dia merasa yakin bahwa tuan tampan memiliki segudang pengalaman cinta jika ia berniat mempercayai ucapan Liu Sang. Lagipula tuan tampan memiliki segalanya. Selalu ada alasan untuk jatuh cinta padanya, dan siapa yang tahu kalau dia sendiri seorang playboy yang bergulat dengan kejenuhan pekerjaan.
Zhang Qiling masih menatap langit saat menjawab datar, "Tidak sekali pun. Sebelum aku berjumpa denganmu."
"Oh, ayolah Xiao ge. Kau bisa jujur padaku. Aku tidak apa-apa. Jika kau bohong pun, tidak akan berpengaruh bagiku. Bukan berarti kita terus bertemu lagi dan menikah."
Senyuman manis terkembang di bibir Zhang Qiling, mewujudkan paras tampan yang mulai memucat karena efek kurang tidur. Cahaya puluhan lampion dari county fair tidak banyak membantu, hanya mengandalkan lampu di tiang yang jaraknya lumayan jauh. Tapi dalam keremangan, mereka masih bisa menatap wajah masing-masing. Jika diinginkan.
Dan itulah yang dilakukan Zhang Qiling, dia menoleh pada Wu Xie, menatap wajahnya dari arah samping.
"Karena itulah aku mengatakan segalanya."
Wu Xie mengangguk-angguk samar. Memutuskan untuk sedikit percaya. Namun seketika bayangan wajah Liu Sang melintas di balik matanya dan ia merasa lututnya lemas. Dia menggerak-gerakkan kaki gelisah.
"Hmm, belum pernah ya. Mungkin kau jatuh cinta namun tidak pernah menyadarinya."
Apa yang diucapkan Wu Xie seakan dimaksudkan untuk dirinya sendiri. Zhang Qiling melirik sekali lagi, kemudian menjawab setengah merenung.
"Mungkin kau juga mengalami itu."
Wu Xie mengangkat bahu, "Aku sudah bilang, semua hanya cinta sesaat. Itu tidak masuk hitungan."
Zhang Qiling tersenyum tipis, "Ketika hatimu menangis untuk seseorang, maka kau akan tahu itulah cinta."
Kebisuan merayap perlahan, Wu Xie mulai memikirkan banyak hal. Matanya sendu memandang ke tengah danau, dia tidak menyadari bahwa Zhang Qiling terus mencuri pandang dan mengamatinya setiap kali.
"Tapi kau akan senang mengetahui kalau aku tak pernah meneteskan air mata untuk siapapun," Zhang Qiling meneruskan dengan suara pelan.
"Tidak sampai hari itu aku menangis di bawah hujan. Kupikir, aku tidak siap dengan kisah cinta dan juga akibat yang mungkin harus kutanggung."
Wu Xie berdehem serak, merasa tersudut dan teringat kembali momen konyol bersama Rachel.
"Woww, jadi aku yang salah?"
"Tidak juga."
Jemari Zhang Qiling terulur menyentuh pipi Wu Xie, menyusurinya sedikit demi sedikit, merasakan kehalusannya di ujung jemari.
"Bagaimana denganmu? Apakah kau pernah benar-benar jatuh cinta dengan semua hubungan dua bulanmu?"
Mata Wu Xie berkedip-kedip ganas, ia memaksakan sebuah seringai.
"Aku? Ah--" ia menelan liur seraya terkekeh tanpa emosi.
"Aku tidak tahu," akhirnya ia menggeleng pasti.
"Kau bisa jujur. Itu bukan berarti kita akan terus bertemu atau pun menikah," itu pengulangan yang mengejek. Wu Xie tersenyum mendengarnya, tapi rasa sepi itu berkelebat di sana. Di dalam matanya.
"Diantara semua yang pernah dekat denganku, aku pernah merasakan sesuatu pada Alen, si pelayan sialan. Tetapi sayangnya, itu bukan cinta. Melainkan kebencian."
"Wah, mengapa bisa begitu?" tatapan Zhang Qiling jatuh ke rerumputan.
"Dia tipe pacar berbisa. Aku membencinya di akhir pertemuan."
"Dia menggigit?" Zhang Qiling bertanya penuh kecurigaan.
"Tutup mulutmu," tangan Wu Xie melayang meninju lengan Zhang Qiling. Tentunya itu hanya main-main.
"Apa yang terjadi?"
"Semua yang terjadi pada akhir hubungan," Wu Xie mengigit bibir bawahnya dan meneruskan,
"Kau tahu semua hubungan menyebabkan kehancuran."
"Uppss..." Zhang Qiling menyipitkan mata dramatis.
"Dan itu menyedihkan," gumam Wu Xie, matanya masih tidak teralihkan dari danau.
"Sebelum dia pergi, dia bilang bahwa aku tak akan bisa bahagia dengan siapapun. Nasibku akan berakhir dengan kesedihan dan kesepian. Awalnya, itu sangat menyakitkan. Tapi sekarang, aku merasakan mungkin si brengsek itu benar."
"Dan kau menangisinya?"
"Sama sekali tidak," Wu Xie melirik sinis.
"Baguslah. Aku tahu kau cerdas."
Tidak ada tanggapan lagi dari Wu Xie, keduanya merasa, entah mengapa, di bawah langit dini hari, mereka mulai bisa bicara dari hati ke hati.
"Apakah rasa sakit itu artinya kau percaya dengan ucapannya?" tanya Zhang Qiling, mempelajari ekspresi datar Wu Xie. Tetapi ia tidak menemukan apapun.
"Aku tidak mau membahas itu," Wu Xie memutuskan. Kemudian ia menoleh pada si tuan tampan dan bertanya lebih santai.
"Lalu kau, apakah benar-benar menangis di bawah hujan? Itu artinya kau menangisi seseorang."
Terkekeh perlahan, Zhang Qiling mengangkat bahu. Dia sendiri merasakan ada sesuatu yang rumit dalam hatinya.
"Itu kedua kali aku menangis. Dan ya, aku pernah menangis sebelumnya. Aku menangis saat selalu sendirian dan orang tuaku bepergian sepanjang waktu, meninggalkan tanggung jawab berat padaku. Tapi mereka beruntung. Paling tidak mereka akan tetap bahagia karena tidak melihat air mataku."
Wu Xie memandang wajah muram Zhang Qiling, sama sepertinya, gelombang melankolis mulai menyergap dan ia berkata dengan cepat.
"Kau bisa ganti topik ini. Aku tidak ingin terlalu banyak kejujuran, itu--itu terdengar pahit."
Keduanya bertatapan beberapa lama dalam keheningan.
"Baiklah. Jadi katakan padaku, mengapa kau berbohong?" usik Zhang Qiling.
"Aku berbohong padamu?"
"Ya!"
"Tidak!"
"Ayolah!"
"Kau bilang sudah memaafkanku," Wu Xie merengut.
"Kau pengecut," Zhang Qiling menekan telunjuk ke pipi Wu Xie.
"Apa??" Wu Xie mendengus jengkel.
"Sampai pagi aku berkeliaran denganmu dan kau memanggilku pengecut. Yang benar saja!"
Zhang Qiling tersenyum geli. Semakin berlalunya waktu, semakin ia menyukai pemuda ini. Dia sangat unik, menarik, lucu, sekaligus oportunis. Tapi ada sesuatu yang lain yang menarik dirinya pada Wu Xie. Sesuatu yang sama yang ia rasakan, tapi entah apa itu. Selain cinta yang menurut Wu Xie hanya sesaat. Mungkinkah ada yang lain?
"Aku tidak membicarakan orang lain. Kau pengecut, kau takut pada dirimu sendiri," kali ini ia memainkan rambut Wu Xie di sela jemari dan pemuda itu tidak bereaksi.
"Setiap kali membahas hal serius. Kau tak ingin membicarakan hal itu."
Wu Xie kembali mengigit bibir, rasa sesak merayap naik ke tenggorokan sehingga suaranya sedikit tercekat.
"Kesepian, perpisahan, sendirian. Aku takut semua itu. Kuharap aku tidak membuat keputusan yang salah dalam hidup dan pada akhirnya, semua orang pergi dan aku -- aku ditinggalkan."
"Kau bukan satu-satunya yang takut dengan ini, Wu Xie. Kita semua takut."
Untuk kesekian kali, pandangan mereka terkunci. Kebisuan dalam diri Wu Xie, dan apa yang diungkapkan Zhang Qiling. Itu bukanlah sekedar cinta dan kebersamaan yang membawa mereka lebih dekat.
Melainkan, kesepian.
Semilir angin semakin dingin. Wu Xie melirik ke bahu Zhang Qiling dan berbisik, "Bolehkah aku tidur sebentar?"
Tanpa banyak kata, Zhang Qiling menarik bahu Wu Xie, membiarkan pemuda itu bersandar dan memejamkan mata. Dia juga merasa lelah, tapi tidak bisa tidur. Terdampar pada pagi dini hari di tepi danau bersama Wu Xie, kapan lagi hal ini bisa terjadi. Jadi dia memutuskan untuk menikmati setiap detik dan menitnya.
Dia merasakan wajah Wu Xie di pundaknya, dan ia membelai pipi yang dingin itu tanpa sadar. Sungguh menyenangkan bisa memperhatikan wajah damainya selagi tidur, ia melihat kemurnian di wajah pucat Wu Xie, kekonyolan dan senyuman penuh siasatnya hanya sebuah perisai untuk hatinya yang rapuh. Memikirkan tentang itu, Zhang Qiling memutuskan untuk memberi Wu Xie sedikit waktu.
06.00
Sinar lembut merah keemasan mulai tercermin di permukaan danau. Wu Xie masih belum bergerak, dengan nyaman meringkuk dalam pelukannya. Satu tangan Zhang Qiling mengambil dadu cinta dari saku dan memutar-mutarnya. Dia berhenti di kata 'Sex', lantas tersenyum sendiri. Saat itu Wu Xie terjaga, menggerakkan wajah sedikit dan menatap dadu itu.
"Apa yang kau lakukan?" suaranya berbisik serak.
"Aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika ini muncul pada dadu."
Wu Xie bangun, menegakkan duduknya, kembali pada kesadaran. Dia melirik malas dan menyahut, "Kita akan terjebak di hotel sampai siang."
Mereka beradu pandang dan tersenyum bersamaan.
"Sungguh?"
Wu Xie mengangguk.
"Setelah itu apalagi?" Zhang Qiling memandang penuh kelembutan.
"Tenanglah, jangan terlalu bersemangat," Wu Xie mendorong tangan Zhang Qiling yang memegang dadu.
"Haruskah aku lempar lagi sekarang?" tanya Zhang Qiling ragu-ragu.
"Ayo lempar dan kita akan lihat!"
Sang tuan tampan komat kamit sebentar sebelum melempar dadu, kemudian dia menangkapnya, berpura-pura tegang, mulai membuka telapak tangan perlahan.
"Ini lemparan terakhir.." ia bergumam.
Wu Xie menggosok-gosokkan mata dan melihat baik-baik apa yang akan muncul di dadu cinta.
'Coffee'.
"Ah, kopi! Kebetulan sekali!"
Zhang Qiling tersenyum, kali ini penuh pengertian. Dia menggerakkan dagu, mengisyaratkan untuk segera beranjak dari tempat itu.
"Kalau begitu ayo!"
Keduanya berjalan perlahan berdampingan, berpegangan tangan di bawah cuaca pagi yang masih dingin.
"Aku harus cuci muka," ujar Wu Xie.
"Tidak perlu. Kau masih tampan."
"Ah, yang benar saja," Wu Xie tertawa enggan.
Zhang Qiling memutar pandang, Cherry Blossom Park sangat indah pada pagi hari, terlebih danaunya. Semua kedamaian seakan terkumpul di sini. Tidak penting lagi apakah Wu Xie benar-benar mencintainya atau tidak. Tidak penting lagi apa yang akan ditunjukkan dadu cinta. Jika memang harus ada hubungan diantara mereka, maka biarlah takdir menunjukkan jalannya.
Cafe Monmarte
07.00
Aroma kopi yang menggiurkan memenuhi ruangan dalam kafe bergaya chic di tepi jalan raya. Seorang barista bergerak luwes dan lincah dalam pekerjaannya, bunyi kopi mengalir ke dalam cangkir samar terdengar diantara alunan instrumental piano yang diputar perlahan. Ini adalah sejenis coffeeshop bergaya anak muda yang buka selama 24 jam.
Seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka. Dua cangkir moccacinno dan roti panggang berlapis keju dan daging asap.
"Malam yang menakjubkan tapi juga melelahkan," ujar Zhang Qiling, menyesap kopinya.
"Jam berapa kau akan berangkat ke kantor?" Wu Xie mengalihkan perhatian dari makanan ke wajah tuan tampan.
"Ini hari minggu, sayang.." ia mendengus tertekan.
"Ah ya, aku lupa. Aku melupakan hari semenjak menganggur," Wu Xie terkekeh.
"Sebaiknya aku pulang sendiri, Xiao ge," ia berkata lagi, mengurut pelipisnya.
"Kenapa?"
"Itu bukan kebiasaan baikku," ia tersenyum pahit.
"Aku benci melihat orang pergi. Khususnya dirimu. Kau bilang kita tidak akan bertemu lagi, dan akan tetap menjadi teman. Aku benci mengucapkan selamat tinggal. Jadi, aku harus pergi lebih dulu."
Zhang Qiling menyangga wajah dengan telapak tangan dan mengawasi ekspresi Wu Xie. Pemuda itu berpura-pura sibuk dengan kopinya, tidak berani balas memandang.
"Tidak. Aku akan mengantarmu pulang," suara Zhang Qiling lembut namun tegas.
"Jangan beralasan karena kau benci perpisahan. Kau bisa datang dan pergi sesuka hati."
Wu Xie mengetuk-ngetuk tepi cangkir, ia mengangguk pada akhirnya, setelah mempertimbangkan tentang ongkos taksi yang harus ia hamburkan.
Satu jam kemudian keduanya berjalan keluar kafe, disambut dengan siraman hangat cahaya matahari. Tidak banyak yang bisa dibicarakan lagi. Terkadang tidak tersampaikan dan ikatan yang tak terlihat bisa mengikat dua orang bersama-sama.
Wu Xie terus berkata pada dirinya, tak akan ada ikatan emosional. Demikian pula Zhang Qiling.
Lalu kenapa mereka merasakan malam itu adalah malam yang paling menyenangkan dalam kehidupan mereka yang membosankan?
Semua akan Sex pada waktunya, Wkwkwk.. Betul kan Xiao ge?
To be continued
Vote and comment really appreciate
❤💛❤💛❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro