Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Rasa Yang Tertinggal

Disclaimer!
Hai, udh lama sekali ya kalian nungguin cerita ini? Maaf banget gabisa up selama itu karena satu dan lain hal yang gabisa juga gue jelasin. Sebenernya karena cerita ini udah masuk ke ranah yang lebih kompleks, gue takut kalo cerita fiksi yang gue tulis ini bisa menyakiti atau menyinggung satu dan banyak pihak. Padahal udh mau tamat 😭

Untuk itulah gue tadinya memutuskan buat ga ngelanjutin ini cerita, tapi ternyata banyak banget dari kalian yg masih ngedukung cerita ini dan ga sedikit pula yang minta lanjut. So... Ya, ini lanjutannya, semoga suka dan sekali lagi maaf banget buat keterlambatan yang gak masuk akal ini. (Gaada lagi yg gue mau bilang kecuali sejuta maaf dan happy reading!)

......

Mahes membuka matanya, mengedipkannya sesaat sebelum ia dapat mendudukan tubuhnya pelan, punggungnya entah kenapa menjadi sangat lelah setelah pesta ulang tahunnya semalam. Gadis itu meregangkan tangannya ke atas untuk menghilangkan sedikit rasa pegal yang mengganjal. Ia melihat ke arah sebuah cermin di samping kasur dan menemukan dirinya masih mengenakan gaun yang sama namun penampilannya sedikit berantakan tidak serapih kemarin.

Seulas senyum terbentuk di wajahnya, ia mengingat betapa bahagianya ia semalam, suka cita malam itu masih tergambar jelas di kepala Mahes. Hari ulang tahunnya juga adalah hari yang sangat berkesan bagi dirinya, tentu dengan kedatangan sang kekasih Pierre Tendean itu semua jauh lebih berkesan. Hidup memberinya banyak kebahagiaan dan Mahes harus bersyukur akan hal itu.

Kaki Mahes mulai bangkit dari tempat tidurnya. Dirinya melangkah perlahan berjalan keluar dari area kamarnya. Sebuah senyum kembali tercipta di wajahnya mengingat kalau Pierre menginap di rumahnya, iya, lelaki itu menginap satu malam di rumah Mahes. Entah kenapa hal itu membuat Mahes sangat senang, apalagi mengingat fakta kalau saat ini ia dan Pierre berada dalam atap yang sama.

Pikiran halu Mahes melayang membayangkan jika ia dan Pierre tinggal bersama nanti. Akan sangat menyenangkan tentunya, setiap pagi Mahes akan selalu disambut dengan wajah pria yang ia sayangi.

Mahes melamun sambil berjalan, melamunkan masa depannya dengan Pierre. Tatapan matanya tak mengarah melihat ke depan, tapi menunduk sembari senyum-senyum mencurigakan. Tanpa ia sadari di depannya terdapat Pierre yang sudah terbangun sedari tadi.

Dan yang terjadi selanjutnya ialah, tubuh Mahes yang menubruk punggung bidang Pierre. Mahes kehilangan keseimbangannya dan terjatuh di posisi terduduk dengan kepala yang linglung akibat benturan mereka barusan. Pierre menengok ke belakang, melihat sesuatu atau bahkan seseorang yang menabraknya barusan.

Mata Pierre membulat kaget melihat Mahes yang terduduk di lantai dengan tatapan bingung. Pierre tersenyum simpul, perlahan ia mulai mengulurkan tangannya untuk Mahes genggam dan membatu wanita itu bangkit berdiri seperti semula.

"Apa yang kau lamunkan memangnya, Mini? Sampai menabrakku seperti itu," tanya Pierre, suara lelaki itu tertahan seakan hampir tertawa melihat Mahes yang tengah terduduk dengan ekspresi bingung.

"Umm ... g-gak ada kok, cuma ... baru bangun aja jadi sedikit gak fokus," jawab Mahes gugup, tidak mungkin ia mengatakan pada Pierre kalau dirinya tengah halu bukan? Apalagi Mahes tengah mengkhayalkan tentang hubungan mereka, betapa memalukannya hal itu.

Pierre mengerutkan alisnya, "Pasti memikirkanku ya?" bak dapat membaca pikiran Mahes, Pierre mulai menggoda gadis itu dengan tebakannya yang tentu saja benar.

"i-iya ... gitu deh." jujur Mahes berterus terang, sungguh dirinya tak dapat berbohong akan perasaan hatinya terhadap Pierre.

Wajah Mahes memerah malu setelah mengatakan hal itu. Pierre tersenyum, melihat wanitanya yang tengah merona membuat detakan jantungnya berdegup kencang.

"Kamu pasti lapar, ayo kita sarapan! Tadi aku dan ibumu menyiapkan sempat menyiapkan sarapan pagi," ajak Pierre.

"Kenapa malah kamu yang menyiapkan makanan pagi? Kan kamu tamunya disini." Mahes sedikit malu saat ini, ia merasa tidak enak hati membuat Pierre menyiapkan sarapannya sendiri.

"Kenapa tidak? Kemarin adalah hari spesial untukmu, Mini. Dan ... aku hanya ingin membuatkanmu sarapan karena hari ini masih hari yang spesial, bukan?" tanya Pierre, "Lagipula, ibu mengizinkanku membantunya tadi pagi," lanjut pria itu.

Wajah Mahes kembali memerah mendengar Pierre memanggil ibunya dengan sebutan 'ibu', hal kecil itu rupanya sukses membuat Mahes merasa sangat senang bukan main.

Pierre menggenggam tangan Mahes erat. Ia mulai menuntun wanita itu menuju area makan. Pipi Mahes semakin memanas melihat ke arah tangan kanannya yang tengah menggenggam tangan Pierre. Dirinya memang tak terbiasa dengan sentuhan-sentuhan yang Pierre layangkan padanya, dan tentu saja semua ini membuat Mahes merasa senang sekaligus malu tapi tentu saja dia mau.

Mereka berdua telah sampai di depan ruang makan. Ruang makan yang sebenarnya jarang keluarganya gunakan, keluarganya lebih memilih lesehan di lantai dan bercengkrama satu sama lain sembari makan dibanding dengan duduk kaku di sebuah meja makan kayu ini.

Di meja makan sudah tersaji dua mangkuk putih berisi bubur dengan kuah bewarna kekuningan diatasnya terdapat bawang goreng lengka dengan suwiran ayam dan kecap manis. Aroma kaldu menyeruak masuk ke hidung Mahes, perutnya mulai sedikit meronta memaksa Mahes untuk segera memberi mereka makan.

"Wah sudah bangun tuan putri," ejek Gayatri saat melihat putrinya sudah bangun dari tempat tidurnya.

"Pasti bangun dong bu ... anak ibu ini kan rajin, selalu bangun pagi," balas Mahes mengejek ibunya.

Mereka tertawa kecil sejenak, "Ibu akan memanggil bapakmu dulu ya, Min," pamit Gayatri untuk memangil sang ayah yang tengah meminum kopi di pekarangan rumah.

Gayatri mulai meninggalkan area makan, meninggalkan Mahes dan Pierre yang tengah berdua disini. Pikiran Mahes terbang melayang memikirkan masa depannya dengan Pierre. Membayangkan kehidupan pernikahan yang mungkin akan seperti ini setiap pagi.

"Pipimu merah sekali." Pierre menunduk dan mendekatkan wajahnya pada wajah Mahes yang merona.

"Sudah pasti mereka memerah, kamu kan penyebabnya," cetus Mahes segera mencoba menutupi wajahnya dengan rambut dan tangan karena malu.

Pierre semakin mendekatkan wajah mereka, ia menatap mata hitam Mahes yang seakan berbinar, menelisik dalam dan saling berbagi pandang. Jari Pierre mulai menyentuh wajah Mahes, menyibak rambut hitam yang menutupi wajahnya dengan perlahan. Tubuh Mahes seakan membatu saat Pierre menyenyuh wajahnya lembut, pria itu menyentuhnya seakan ia adalah puntung rokok yang rapuh, memperlakukan Mahes dengan sangat hati-hati.

Pria itu tersenyum saat telah berhasil menyibakkan semua rambut dari wajah Mahes, "Cantik, kamu cantik sekali ... dan, aku senang kedua pipi indah ini memerah karena diriku."

Mahes tak dapat menjawab, ia seakan kehabisan kata-kata dan hanyut dalam tatapan mata coklat pekat milik Pierre. Pujian pria itu barusan sukses membuat jantung Mahes berdegup sangat kencang, ia bahkan hampir lupa cara bernafas karena ditatap oleh lelaki ini. Sungguh, seindah inikah rasanya jatuh cinta?

Tak lama Gayatri kembali dari depan teras, memecah keheningan syahdu antara Pierre dan Mahes. Wanita paruh baya itu mengambil sebuah mangkuk dan mengisinya dengan bubur.

"Bapak mana, Bu?" tanya Mahes bingung, bukankah sang ayah akan sarapan bersama mereka disini?

"Ah, bapakmu ingin makan di luar saja, katanya dia ndak mau ganggu kamu dan Pierre. Jadi, ibu dan bapak akan makan di luar saja," ucap Gayatri dengan enteng.

Mahes membulatkan matanya kaget, jadi sang ibu akan meninggalkannya berdua lagi? Gayatri mulai mengangkat nampan yang berisi dua mangkuk bubur, dan dengan santai kembali meninggalkan Pierre dan Mahes berdua.

"Jadi ... aku bakal sarapan bareng dia? Berdua doang? Serius?!" batin Mahes tak percaya.

Keheningan menyapa keduanya setelah kepergian Gayatri. Mahes menghela nafasnya berat, kedua orangtuanya memang sangat jahil. Dibuktikan dengan mereka yang sengaja meninggalkan Mahes dengan Pierre saat ini.

"Ayo dimakan, aku susah payah membuatnya hanya untukmu," pinta Pierre pada Mahes.

Mahes mengangguk dan segera mengambil sebuah sendok di samping kanannya. Ia mulai melahap bubur itu, ekspresi wajah Mahes berubah saat merasakan bubur ayam ini. Rasanya memang bisa dikatakan sama saja seperti bubur ayam pada umumnya, namun mengingat kalau Pierre meluangkan waktu untuk membuatkannya bubur membuat Mahes kembali merona.

"Enak bukan?" tanya Pierre.

"Iya! Enak sekali! Aku tak tau kalau kamu memiliki bakat masak, Mas," puji Mahes, ia pun mulai memakan bubur itu dengan perlahan-lahan tidak ingin menghabiskan bubur buatan tunangannya dengan cepat.

"Terimakasih atas pujianmu, bakat memasak milikku pasti akan kalah telak dengan bakatmu, Min."

"Bisa aja ah, Si Bambang," celetuk Mahes asal, kata-katanya barusan membuat Mahes seketika terdiam, kenapa dirinya terus mengatakan hal-hal yang ada di masa depan? Matilah dia.

"Bambang siapa?"

"Um ... siapa ya? Aku juga nggak tau," balas Mahes bingung bagaimana ia akan menjelaskan tentang hal ini pada Pierre. Secara, kiasan nama Bambang ia juga tak mengerti dari mana itu berasal.

"Aku tak tau kau ada teman bernama Bambang. Lain kali kenalkan dia padaku ya," ucap Pierre sedikit ketus, Mahes tahu betul kalau ada nada cemburu dengan apa yang pria itu katakan tadi.

"Cie ... cemburu, kan?" goda Mahes.

"Tidak, siapa yang cemburu?"

"Asik asik! Itu tandanya kamu tidak berbohong tentang perasaanmu, kamu sendiri yang bilang kalau cemburu tanda cinta!"

"Ah ... sudahlah, katakan padaku, siapa sebenarnya Si Bambang ini? Apakah dia jauh lebih tampan dariku? Atau perlakuannya lebih baik padamu?"

Tawa Mahes seketika pecah mendengar hal itu. Candaan tentang Bambang sangat lucu dengan Pierre yang menganggap hal itu adalah hal yang nyata dan serius, tentu saja hal itu sangat lucu. Lagi pula, memangnya ada lelaki yang lebih tampan dibanding Pierre?

"Tidak kok! Bambang itu hanya nama yang sering digunakan untuk candaan, hahaha! Sangat lucu kamu menganggap itu serius."

Pierre menyatukan kedua alisnya, merasa tidak mengerti dengan apa yang Mahes katakan.

"Lupakan saja deh," lanjut Mahes melihat ekspresi Pierre, dirinya sudah tidak mengerti dengan cara apa ia akan menjelaskan kepada Pierre kalau Bambang ini tidak nyata.

Keduanya kemudian tertawa setelah Mahes mencoba menjelaskan penggunaan nama Bambang yang tepat. Pagi itu dipenuhi dengan gelak tawa insan manusia yang tengah dimadu kasih, berbagi pikiran yang sama yaitu membayangkan jika nanti mereka menjadi sepasang suami istri dan tinggal bersama. Saling membuat memori indah diantara mereka berdua, salah satu pagi terindah dalam hidup Mahes.

.oo0oo.

"Tuh surat dari Mas Pierre-mu ada di nakas lemari itu ya," ucap Gayatri menunjuk sebuah lemari kayu di sebelah bangku.

"Okey! Terimakasih ibuku sayang."

Mahes segera berlari menuju nakas yang ibunya tadi bilang. Pierre sudah pulang tadi siang kembali ke Kota Bandung. Perpisahan mereka sedikit dibumbui rasa haru dengan Mahes yang mendadak memeluk Pierre sesaat sebelum mereka berpisah, dan akhirnya mereka berpelukan sejenak, Pierre tak sudah-sudahnya membisikkan kalau semua ini akan baik-baik saja, namun Mahes tahu kalau itu bisa menjadi pertemuan terakhir mereka.

Saat Pierre sudah pergi, sang ibu,Gayatri,  ternyata telah bekerja sama dengan Pierre. Lelaki itu menitipkan satu buah surat pada Gayatri untuk diberikan ke Mahes saat Pierre telah pergi nanti. Tentu saja ketika mendengar hal ini Mahes sangat senang dan segera memaksa ibunya untuk memberitahu dimana surat itu dia simpan.

Tangan gadis itu meraih sebuah amplop putih yang tertulis nama Rukmini di depannya dengan tulisan sambung rapih khas tulisan tangan Pierre. Mahes sudah tersenyum bahkan ketika hanya melihat amplop itu. Gadis ini mulai mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku yang terletak tepat di sebelah nakas.

Jemari lentiknya dengan perlahan mulai membuka amplop itu, terpampanhlah secarik kertas di dalamnya. Jantung Mahes berdegub kencang, ia mengeluarkan kerras itu dan mulai membacanya.

~

Teruntuk wanita cantik yang kini telah resmi menjadi tunanganku,

Aku tidak akan menanyakan kabarmu kali ini, kenapa? Karena kita pastu baru saja bertemu. Tapi jika kamu dapat membaca surat ini, itu berarti kalau aku sudah kembali ke Bandung. Ada beberapa hal yang ingin aku utarakan padamu. Pertama mungkin aku akan mengucapkanmu selamat ulang tahun lagi, untuk sekian kalinya aku mengucapimu, semoga kamu tidak bosan. Kedua, aku mendengar dari ibumu kalau kamu selalu merindukanku kala aku pergi, bukankah begitu? Aku juga sangat merindukanmu dan kalau bisa ingin bersamamu selama aku hidup, namun tentu saja aku harus bekerja untuk menafkahi keluarga kita nanti. Fakta kalau kau selalu merindukanku adalah salah satu semangatku dalam menjalani semua ini. Ketiga mungkin aku hanya akan bilang kalau diriku sangat bersyukur dapat memiliki, Rukmini. Dan aku tidak sabar serta masih tidak percaya kalau dalam 2 bulan lagi kita akan menjadi sepasang suami istri, aku tak sabar ingin segera memiliki dan menjagamu seutuhnya. Aku rasa cukup suratku untuk hari ini, maafkan aku yang selalu membuatmu rindu ya!

Dari yang terkasih,
Pierre Andries Tendean

~

Mahes tersenyum lebar setelah membaca hal itu, hatinya sungguh senang dapat mendapat surat manis dari sang kekasih. Tapi setiba saja satu tetes air mata mengalir di pelupuk mata Mahes. Ia merasa menyesal tak dapat berkata jujur pada Pierre tentang hari pembantaian itu selagi sempat. Ia tak ingin sang ibu tahu kalau ia tengah menangis, lalu disinilah dirinya, terisak dalam diam kebisuan dengan tangan yang memeluk secarik kertas itu erat, membayangkan kalau dipelukannya adalah sang kekasih.

Berlanjut...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro