
05. Pertikaian Hati
Hey kawand! Cuma mau ngingetin, jangan nyari ini di google atau sejarah-sejarah lainnya karena ini semua cuma fiksi sejarah, bukan sejarah aslinya yoo.. Jadi tolong bijak dalam menyikapinya ;)
Bolehlah vote nya dulu wkwk
..........
Tak terasa, dua minggu Mahes menetap disini, dan kau tahu apa yang menakjubkan? Dua minggu tanpa ponsel! Ya! Seorang Maheswari, ia dapat bertahan dua minggu tanpa ponsel pintar miliknya. Sungguh keajaiban. Bukanlah hal sulit melupakan ponsel, kenyataan bahwa kegiatan seorang Rukmini Chaimin yang selalu sibuk membuatnya tidak ada waktu untuk memikirkan ponsel.
"Mini, kamu nanti ngajar anak-anak nggak nduk?" tanya Gayatri saat mengajari anak gadisnya untuk memasak sayur asem.
"Iya Bu, sore palingan lah, panas kalo siang-siang. Lagipula mereka masih di rumah palingan jam seginian mah lagi ngadem abis pulang sekolah."
"Eh, kamu tahu nggak, Min?"
"Tahu apaan, Bu? Tahu tempe lalapan?" kumpulan nama makanan meluncur bebas pada kepala Mahes.
"Kamu kenapa sih? Serius ibu! Kemarin ibu lihat temannya Togar si Pire Pire itu jalan berdampingan sama perempuan, katanya sih anak kampung sebelah," ucap Gayatri semangat.
Mahes melihat sang ibu dengan tatapan terkejut. "Hah? Oh, Pierre kali! Hmm ... iya iya terus kenapa?"
"Kamu ndak cemburu gitu? Marah?" tanya Gayatri memanas-manaskan suasana.
Mahes mengembuskan nafas pelan,
"Yaelah Bu, kalo beginian mah Mini dah biasa, suka sama orang eh orangnya suka sama yang laen, ini mah dah cemilan sehari-harinya aku."
"Kan kamunya belum usaha! Gimana mau dilirik coba?"
"Usaha gimana? Aku gak pengalaman soal cinta-cintaan begini."
"Bilang saja suka sama dia, lagipula ibu juga nanti seneng punya menantu ganteng kayak dia!" paksa Gayatri, ia memang tidak berbohong pada anaknya ketika ia melihat Pierre berjalan bersama seorang wanita selepas pulang dari toko Koh Acan pagi tadi, dan ia kecewa melihat reaksi sang anak yang hanya terkejut dan sedikit sedih. Padahal ia mengharapkan Mahes akan kesal atau bahkan marah.
"Ih gamau! Masa langsung ngegas begitu? Ya auto ditolak lah bu, cogan sejarahnya sama cecan, bukan sama aku yang kayak debu ledik!"
Gayatri memberikan tatapan bingung.
"Lupain deh hehe, maap Mini suka ngelantur." Mahes mengutuk bibirnya yang spontan berbicara bahasa modern dan bahasa formal sekaligus secara bersamaan yang tentu saja membuat Gayatri bingung
"Pokoknya bilang dulu saja sana!"
"Ih gamau ... malu Bu!" Mahes mengerucutkan bibirnya.
"Terlambat bilang malunya, tadi pagi ibu udah izin ke Bu Maria buat bilangin anak-anak kampung biar belajar di rumahnya dia."
Mahes berfikir, jika ia harus mengajar sore ini di kediaman kepala desa, otomatis ia akan bertemu si tampan Pierre lagi bukan?
"Hah? Ibu kok jahatt? Huaa ... pengen sih ketemu, tapi setelah percakapan kita sekarang Mini mungkin bakalan malu liat dia."
Gayatri tersenyum puas, ia menyelesaikan kegiatan memasak hari ini dan melirik sang anak yang tengah kesal padanya.
"Pak! Makan siang sudah jadi!" teriak Gayatri dengan senyuman lebar dan tatapan kesal dari Mahes.
.oo0oo.
Mahes menelan air liurnya perlahan, ia menatap rumah Togar dari jauh. Ia harus mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Dari sini ia dapat melihat beberapa anak sudah berkumpul dan bercanda ria sembari menunggu kedatangannya.
Bagaimana jika ia kabur saja? Pemikiran itu langsung ia tepis dan memutuskan terus maju, ia membayangkan perasaan kecewa anak-anak jikalau ia tidak datang hari ini, dan itu pasti tidak baik.
"Permisi ...."
"Yey! Mbak Mini sudah datang!"
Kericuhan penyambutan Mahes aka Rukmini seketika terdengar memenuhi ruang tamu Pak Edo.
"Rukmini, masuk-masuk sini Nak," sambut Maria pada anak sahabatnya itu. Mahes tersenyum untuk membalas penyambutan Maria.
Entah kenapa anak-anak disini sangat bahagia melihat dirinya, apakah Rukmini memang sangat ramah sehingga hampir semua anak satu kampung menyukainya? Well, itu bisa saja terjadi.
"Silahkan langsung saja dimulai, ibu buatkan kamu teh dulu ya."
Mahes hanya tersenyum kikuk melihat kelakuan Bu Maria yang menanggapnya seperti anak sendiri. Bahkan mungkin lebih dari anaknya sendiri.
Gadis ini bisa dikatakan gadis yang cerdas, kenyataan bahwa ia adalah salah satu orang yang menerima peringkat paralel atau peringkat yang hanya diterima oleh anak-anak cerdas di sekolahnya membuat ia merasa mudah mengerjakan beberapa soal SD.
Mahes pikir, ia akan kesulitan mengajari begitu banyak anak dalam satu pertemuan, tetapi pikiran itu dibantah dengan anak-anak yang justru tekun dan menurut oleh perkataannnya yang sudah pasti membuat beban Mahes menjadi sedikit ringan.
Tak terasa waktu sudah terlewat dua jam lamanya, mengajar anak-anak di kampungnya tidaklah sesusah yang ia banyangkan dan ia malah sangat menyukai pertemuan ini, pertemuan dimana ia akan berbagi ilmu-ilmu miliknya bersama anak-anak desa yang beberapa diantaranya tidak bersekolah. Hal ini tentu membuat Mahes bersedih, seharusnya anak kecil mendapatkan hal mereka untuk menimba ilmu, bukan membantu orangtuanya bekerja bukan?
Satu per satu anak-anak ini mulai berpamitan setelah selesai belajar bersama, ia tersenyum puas melihat betapa semangatnya mereka untuk hanya sekedar belajar walau waktu mereka yang juga terbatas. Mahes merapihkan peralatan tulis serta buku-buku yang ia bawa dari rumah.
Mahes hendak berpamitan dan segera pulang
"Bu, Mini pulang dulu ya, terima kasih udah diizinkan menumpang belajar disini tadi."
"Ya ampun, tidak usah terima kasih, kamu itu ibu anggap anak sendiri, nggak usah ngerasa direpotin." Ibu Maria mengelus lengan Mahes dengan kasih sayang.
"Yaudah kalo begitu, Mini pamit ya Bu,"
"Eh jangan sendirian, pulang sama Pierre aja ya? Togar nya lagi main ke rumah teman. Kamu nggak apa kan sama Pierre?"
"Ya jelas gapapa lah ... sama cogan siapa si yang mau nolak ... berkah anak solehah nih hehe." batin Mahes senang dalam hati.
"Eh iya bu ndak apa," ucap Mahes kalem.
Ibu Maria memasuki kamar tamu dan segera kembali dengan Pierre yang sudah berada di belakangnya. Mahes dan Pierre seketika tersenyum ketika mata mereka bertemu.
Setelah berpamitan untuk kedua kalinya, Mahes akhirnya dapat kembali untuk pulang ke kediaman orangtuanya bersama si tampan Pierre.
"Apa kabar?" Pertanyaan unfaedah terlepas begitu saja dari bibir Mahes.
"Baik kok, kamu apa kabar?"
"Umm ... iya baik."
Keheningan menyapa keduanya setelah Mahes selesai berbicara. Mereka berdua kini tengah sibuk mencari topik yang tepat untuk bercakap selama perjalanan yang entah mengapa menjadi semakin panjang.
"Kamu sibuk apa sekarang?" tanya Pierre pada Mahes.
"Ndak sibuk apa-apa sih, cuma bantuin ibu di rumah sama palingan ngajar sebentar-sebentar," jawab Mahes merapihkan anak rambutnya.
"Ooo ... kamu ngajar setiap hari atau setiap minggu berapa kali begitu?"
"Seminggu dua kali sih biasanya, tetapi kalau aku sibuk sekali ya ... kadang bahkan ndak ngajar."
"Sepertinya kamu suka sekali sama anak kecil ya? Tadi aku dengar dari kamar, kamu sering sekali buat anak-anak tertawa."
Mahes tersenyum senang. "Suka banget! Mereka itu lucu, lugu, dan polos. Senang aja melihat mereka tertawa bersama kayak tadi!" Mahes tertawa kecil mengingat joke receh yang sempat ia katakan dan membuat gelak tawa anak-anak menggelegar di seluruh ruangan.
Pierre tertegun, ketika melihat wanita di hadapannya ini tertawa kecil, detak jantungnya berdetak meakin cepat, desiran-desiran aneh mulai merayapi dadanya yang seketika membuat pasokan udara di rongga paru-paru miliknya kian menipis. Kini ia yakin seratus persen, ia jatuh cinta. Jatuh ke dalam bisikan dewa cupid.
"Kamu sendiri, lagi sibuk apa?" tanya Mahes malu yang membuyarkan lamunan Pierre.
"Kemarin sempat ada tugas disini, jadi aku menetaplah di rumah Togar sementara, tetapi sekarang tugas itu sudah selesai, sementara aku masih punya waktu sekitar 5 hari untuk menetap disini hitung-hitung liburan," jelas Pierre panjang.
Mahes hanya menangguk pelan dan tak dapat menjawab, ia seketika terbesit rasa penasaran dan ingin melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal pikiran dan hatinya.
"Wanita yang ibuku lihat tadi siang itu siapa?"
Sayang seribu sayang, pertanyaan itu tidak dapat Mahes utarakan, ia terlalu malu, takut, dan gugup untuk mengetahui jawaban Pierre.
"Kamu cukup pendiam ya?"
Perkataan Pierre tersebut membuat tawa Mahes ingin meledak jika saja ia tidak menahannya.
Pendiam? Itu sama sekali bukan dirinya, ia bahkan dijuluki 'Sang toa mesjid' oleh teman-temannya karena Mahes yang memiliki suara kencang dan cerewet membuat teman-temannya tega memberikan julukan yang sangat buruk itu.
Hanya satu alasan mengapa ia menjadi pendiam. Malu. Malu jika berhadapan dengan orang yang ia suka. Yap, hanya malu yang dapat membuat seorang Mahes terdiam seribu bahasa dan mematung layaknya batu Kali Ciliwung.
"Tidak juga sih, hanya terkadang suka diam dan berpikir sendiri saja," elak Mahes, ia ingin sekali tertawa saat ini, untunglah ia masih dapat menahannya, jika tidak ditahan bisa saja Pierre akan menganggap Mahes perempuan yang sudah aneh menjadi semakin aneh.
"Berfikir tentang apa?" tanya Pierre lagi
"Kamuu sama cewekmuu itu siapaa?!" Teriak Mahes dalam hati.
"Umm ... banyak sih, tapi kadang ngga penting. Malah lebih sering mikir yang nggak penting."
"Hah? Mikir apa memang?"
"Kayak gini, kenapa aku jadi manusia? Coba aja aku jadi kecoak, hidupnya kan enak adrenalin mulu ama manusia alias kejar-kejaran tiap hari, terbang sana sini, buat heboh sekampung. Ya ... hal-hal gak penting banget lah."
Mendengar ucapan lawak Mahes, Pierre pun tertawa menunjukan deretan gigi putihnya dan tak lupa senyum yang menawan di akhir tawanya.
"Kenapa? Nyesel kan denger hal gak guna begitu?" tanya Mahes
"Hahaha ... kenapa menyesal? Maaf aku tertawa, habisnya kamu lucu, aku nggak tahu kamu itu humoris."
Pieree tersenyum manis pada Mahes.
"E-h ... k-kamunya juga receh!" ucap Mahes putus-putus, karena malu.
"Receh?"
"Lupain deh ... hehe." Mahes berkata asal lagi dan lagi.
"Aku nggak paham, kenapa kamu nggak jelaskan aja? Biar kita makin dekat, aku ingin kita saling mengerti."
Pierre menatap mata hitam pekat Mahes dalam.
"Kode? Ini kode bukan seh? Ampun ... malu banget ... mukaku pasti ungu kayak sempak sepidermennya Mang Ujank saking malunyaaa," batin Mahes girang.
"E-eh? Umm ... receh ya? Anu ... itu ... itu kayak humor kamu itu terlalu rendah, jadi hal yang gak lucu aja kamu ketawa gitu loh." Mahes gugup, siapa sih yang tidak gugup jika ditatap oleh lelaki yang kau suka?
Pierre tersenyum, menatap wajah Mahes yang sudah memerah dan menunduk malu. Sebahagia ini ia dapat membuat gadis yang ia suka menunduk malu dan pasrah, bukankah ini berarti bahwa Mahes menyukainya juga?
Keadaan hening, hanya ada Mahes yang menunduk malu dan menenggelamkan wajahnya, dan Pierre yang tersenyum puas melihat gadis di sebelahnya.
"Umm ... anterinnya sampe sini aja, aku bisa pulang sendiri dari sini," ucap Mahes, ia sengaja memilih tempat yang sedikit lebih jauh dari rumahnya untuk menghindari fitnah dan cemohan tetangga serta kedua orangtuanya.
"Oh, baiklah hati-hati," balas Pierre kalem.
Mahes mulai berjalan menjauhi tempat mereka semula. Ia melirik ke belakang dan menemukan Pierre masih berdiri disana dengan senyuman manisnya.
"Selamat malam, bunga mawarku," kata Pierre pelan melihat Mahes yang sudah berada jauh dari pandangannya.
Berlanjut...
.oo0oo.
Finally update!! Thx udh baca.. Aku lagi USBN ni btw, jadi minta doa nya ya kawan ehe.. Bakalan sangat slowwww update jadi maap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro