
03. Benarkah Ini Dia?
Mahes melirik jam dinding di ruang tamu keluarganya, jarum pendek sudah menunjukan pukul 21.30 WIB, ini sudah memasuki jam tidur Mahes. Ia kemudian berpamitan pada bapak dan ibu yang tengah mengobrol di teras untuk tidur mendahului mereka.
Baru satu hari ia merasakan menjadi Rukmini, sekarang Mahes berharap ia akan kembali ke Jakarta tahun 2019 setelah ia bangun dari mimpi ini. Semoga saja besok pagi ia sudah kembali ke kehidupan lamanya. Semoga saja.
Mahes duduk di meja riasnya untuk memandang wajahnya. Kalau dilihat-lihat, wajah Rukmini memang mirip dengan wajahnya, kecuali Rukmini memiliki kulit yang lebih putih dibanding Mahes.
Mahes membuka kepangan rambut ikalnya yang sudah seharian terkekang. Ia terpana dan takjub ketika melihat rambutnya disini hanya sepanjang lengan atas. Padahal rambut asli Mahes dapat pencapai siku panjangnya.
Gadis ini merebahkan tubuhnya yang mulai terbawa lelah ke kasur kapuk milik Rukmini. Ia membayangkan kehidupan apa yang akan Rukmini lakukan. Sedikit aneh kalau ingin dijelaskan, mengingat ia tak tahu siapa itu Rukmini sosok yang sebenarnya. Mahes tak dapat membohongi dirinya sendiri kalau ia rindu ponsel pintar miliknya, ia rindu Kak Rafi, Ibu, Ayah, teman-temanya, serta barang-barang yang ia tak dapatkan disini. Ia hanya berharap semoga ia dapat kembali ke kehidupan lamanya di abad 21.
Mahes menutup matanya dan segera terlelap.
.oo0oo.
Mahes bangun perlahan dengan merenggangkan otot-otot tubuhnya yang sedikit kaku pasca tidur malam. Ia mengusap dan sesekali mengererjapkan matanya. Seketika ia terkejut.
Ia tak kembali ke abad 21.
Mahes menghembuskan nafas pasrah, ketika melihat lampu petromaks disudut kamar tidurnya yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak kembali ke kehidupan lamanya.
Kapan ini berakhir? Batin Mahes berharap ia akan segera kembali. Dan bagaimana caranya kembali jika bukan tidur seoerti saat ia datang kesini? Apakah kalung perak itu memiliki hubungan? Atau, malah kalung perak itu yang membawanya kemari? Jika kalung itu hilang, bagaimana Mahes akan pulang?
Mahes memutuskan untuk mendinginkan kepalanya dengan mandi subuh mengingat ini baru jam 4 pagi. Setelah melaksanakan sholat subuh, ia pergi ke dapur untuk membantu ibunya memasak.
"Pagi Ibuku tercintah," sapa Mahes dengan wajah datar.
"Buatkan kopi nduk untuk bapakmu." hari Mahes diawali dengan perintah sang ibu.
"Nggeh juragan," ucapnya jahil pada sang ibu.
Mahes membuatkan kopi untuk bapaknya dan segera membawa kopi panas tersebut ke ruang tamu tempat bapaknya duduk.
Mahes melihat bapaknya masih menggunakan sarung dan peci yang menandakan ia baru saja pulang dari masjid. Mahes meletakkan kopi hitam tersebut di meja samping kursi yang kini tengah bapaknya duduki.
"Sini sebentar nduk, bapak mau bicara," kata Hendro menahan anak perempuannya yang hendak kembali ke kamar.
"Iya Pak? Ada apakah gerangan?" semenjak menetap disini, Mahes lebih sering menggunakan bahasa baku, walau ia terdengar sedikit aneh.
Mahes duduk di kursi sebelah sang ayah.
"Kan bapak sudah tua, kamu juga sudah 16 tahun, sebentar lagi 17. Bapak ingin kamu segera mencari jodoh nduk," ucap sang ayah. Menyeruput kopi hitam tersebut.
Mahes menelan air liurnya perlahan. Ini pembicaraan berat. Bagaimana Rukmini asli akan menentukan pilihannya? Ia kan bukan Rukmini.
"Iya Pak." hanya itu yang dapat keluar dari mulut mungil Mahes.
"Bapak berniat menjodohkanmu dengan salah satu anak teman bapak, namanya Jaya,l." keringat meleleh deras di dahi Mahes, ia menelan air liurnya perlahan. Siapa pula itu Jaya?
"Um ... Rukmini tahu maksud Bapak baik, tapi Rukmini merasa belum sanggup mengemban tugas sebagai seorang istri pak." nice, Mahes menemukan cara untuk menolak secara halus.
"Tapi nduk, kalau bukan sekarang kapan lagi?"
"Rukmini belum siap lahir maupun batin Pak, tolong kasih Mini waktu untuk mendewasakan diri dahulu," ucap gadis ini pelan. "Rukmini izin ke dapur lagi Pak, permisi."
Mahes menghembuskan nafas lega. Akhirnya ia dapat menolak ajakan bapaknya untuk menikah dengan si Jaya Jaya itu. Dan dengan sukses melarikan diri menuju dapur.
"Adakah yang dapat saya bantu wahai Ibunda tercinta?" tanya Mahes melebih-lebihkan ucapannya pada sang ibu.
"Sapu halaman saja sana! Kemarin hancur masakan ibu karena kamu!" perintah Gayatri lagi. Belajar dari pengalaman, ia tak ingin menggunakan Mahes untuk membantu memasak mengingat masakannya yang kemarin berujung makanan yang tak layak makan. Mubazir sangat.
"Wokedokey." lagi-lagi sang anak mengucapkan kata-kata aneh.
Mahes langsung menyerbu halaman dan mengambil sapu untuk segera menyapu sampah dedaunan kering serta buah-buah busuk yang berjatuhan mengotori halaman rumahnya.
Ia mulai menyapu sembari menikmati pemandangan pagi dimana matahari baru menampakan suryanya pada dunia. Pagi yang indah dengan cicitan beberapa burung menambah pemandangan menakjubkan pagi ini.
Mahes melihat seorang pria yang baru dikenalnya kemarin itu datang melewati rumahnya dengan nafas yang terengah-engah.
"Lari pagi Mas?" sapa Mahes dengan senyuman manis.
"Iya, mau gabung?" canda Pierre pada gadis itu.
"Mboten (enggak) Mas."
Keringat yang mengucur di dahi Pieree membuat wajah tampannya menjadi semakin tampan. Mahes sempat tergoda untuk mengusap keringat yang bertengger sexy di dahi pria itu.
"Duluan ya Dek," pamit Pierre
Gadis ini hanya menjawabnya dengan senyuman karena jujur, ia canggung dengan suasana dan hubungan awkward mereka, dan ya ... Mahes tak perlu menjelaskan lagi kalau ia tertarik dengan lelaki yang berwajah campuran itu. Hanya tertarik, belum mencapai tahap yang lebih lanjut.
.oo0oo.
"Ibu, kita ada dimana sih?" tanya Mahes pada ibunya. Jujur, hingga saat ini dia belum tahu di bagian Indonesia manakah mereka tinggal.
"Di rumah." jawab Gayatri seadanya yang membuat emosi Mahes tersulut sempurna. Ia berusaha menahan amarahnya tersebut.
"Ih, maksudnya di bagian Indonesia mana gitu loh."
"Dulu waktu kamu kecil kita tinggal di Yogyakarta, terus bapakmu pindah kerja, jadilah kita sekarang di Medan," jelas Gayatri panjang pada putrinya.
"Oke ... jadi sekarang kita di Medan to." Mahes mengangguk-angguk paham.
"Oh Gusti, ibu baru keinget, sebentar." Gayatri segera masuk ke kamarya dan keluar dengan membawa map coklat.
"Tolong kasih ini ke rumahnya Togar nduk, bilang suruh kasih bapaknya gitu, dari ibu." Gayatri memberikan map coklat berisi berkas-berkas milik wanita itu.
Ia mengambil berkas tersebut dan keluar rumahnya. Tapi belum beberapa lama ia kembali dengan wajah cengengesan jelek.
"Rumah pak kades dimana bu?" belajar dari pengalaman, ia tak ingin tersasar atau bertanya pada orang seakan ia adalah orang asing padahal memang iya.
"Itu lho ... tokonya Koh Acan lurus lewatin perkebunan pala trus belok kiri. Kok bisa lupa gitu ini anak satu."
"Sip makashoy mommy," Mahes mengucapkan kata yang menurut ibunya aneh. Lagi.
Berjalan-jalan disini merupakan salah satu hal favorit gadis berusia 16 tahun ini. Tanpa smartphone miliknya ia sedikit bosan berada disini. Jadilah ia berjalan-jalan untuk mengusir rasa bosannya. Walau ia bahkan tak tahu jalan.
"Toko Koh Acan lurus terus belok kiri." Ia berusaha mengingat jalan yang sempat dijelaskan ibunya.
Melihat pepohonan pala yang berjejer rapih membuat Mahes sangat ingin berswafoto untuk diunggah di media sosialnya. Tapi dia disini sama sekali tidak memiliki ponsel kesayangannya.
Setelah berbelok kiri ia terdiam, dari sekian banyak rumah, dimana yang merupakan rumah Togar? Aduh Gusti, lagi-lagi ia bingung dan tak dapat melakukan apapun selain bertanya kepada seseorang. Beruntungnya, ia bertemu sosok anak kecil yang ia kenal tengah berjalan pelan menggendong sebuah tas.
"Halo Dara ...," panggil Mahes cepat dan berlari ke arah gadis kecil yang sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Eh, Mba Rukmini ...." melihat Mahes yang mendekatinya, Dara segera memeluk Mahes aka Rukmini.
Mahes memeluk balik gadis kecil tersebut.
"Baru balik sekolah kah, Dek?" basa busuk Mahes sebelum bertanya tempat.
"Iya Mba, sekarang aku sudah bisa perkalian Mba ... hebat kan?" pamer Dara pada gadis desa panutannya tersebut.
"Wah ... pintarnya adikku ini, eh mba mau nanya, rumahnya pak kades dimana ya?" tanya Mahes hati-hati.
Dara tersenyum memperlihatkan deretan gigi susunya ketika mendengar mahes memuji kepintarannya.
"Itu lho mba, yang warnanya biru." tunjuk Dara pada satu rumah bergaya Belanda.
"Oke deh, makasih ya Dek." ia tersenyum simpul dan segera meninggalkan anak kecil tersebut.
Rumah berwarna biru dengan gaya bangunan ala peninggalan Belanda tersebut dapat memikat hati Mahes seketika, ia jatuh cinta dengan rumah retro itu.
"Permisi ...." salam Mahes pada siapapun yang ada di dalam rumah.
"Rukmini? Apa kabar, Nak? Lama kamu nggak main kemari," ucap sebuah suara yang berasal dari wanita paruh baya yang Mahes tebak adalah ibu dari Togar.
Ibu Maria namanya, ia sempat bertanya tentang silsilah keluarga Togar pada ibunya. Ibu Maria memiliki kulit putih, wajahnya cantik walau tertutup dengan sedikit kerutan di wajahnya. Tapi pancaran aura cantik tidak terpengaruh oleh kerutan-kerutan penuaan tersebut. Ia tersenyum sebentar.
"Iya Bu, baru saja pulih dari meriang kemarin," kata Mahes melirik ke halaman rumah Togar, seorang pria tampan yang tengah membersihkan motor hitam miliknya itu telah menarik perhatian Mahes walau sesaat.
"Sini duduk dahulu, Nak." ucap Maria mempersilahkan tamunya masuk.
Ia melirik lelaki itu sekali lagi, namun sialnya tatapan mereka berdua bertemu dan akhirnya Mahes hanya dapat tersenyum kikuk karena sudah kepergok mencuri pandang.
Mahes duduk dengan anggun dan memperhatikan keadaan dalam rumah Togar yang ternyata sangat menarik perhatian dengan beberapa lukisan, vas bunga, dan taplak meja yang terlihat antik dan bersih.
"Ada perlu apa, Nak?"
"Anu ... Ini ibu menitipkanku berkas yang sepertinya penting," kata Mahes dengan sopan memberikan map coklelat terdebut pada Maria.
"Oh, berkas kependudukan ya? Tapi bapaknya lagi nggak ada di rumah." Maria mengambil map coklelat tersebut dari tangan Mahes. "Astaga, ibu lupa bikin minum buat kamu, sebentar ya!"
"Nggak perlu Bu, ini juga aku mau pulang,"
"Ish kok cepat kali? Sini dulu minum teh buatan ibu sambil cakap-cakap sama Togar ya?" pinta Maria yang tak mungkin dia tolak.
Mahes mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dengan seulas senyum manisnya. Tak berapa lama Togar masuk ke ruang tamunya dengan seorang teman yang ia sapa tadi pagi.
"Tumben datang, rindu aku ya?" goda Togar dengan alis yang dinaikkan keatas.
Mahes hanya menghendikkan bahunya pelan dengan senyum mengejek.
"Atau temanku?" lanjut Togar yang langsung membuat Mahes terkejut dan pipinya memerah.
"Apasih? Jangan bilang aku naksir? Ish gamau suka ama orang yang ada disini." dilema Mahes dalam hatinya.
Mahes melirik Pierre yang kini tersenyum simpul padanya. Terciduk.
"Ish jangan ngelawak deh, ngga lucu tau," jawabnya mengelak. Dengan menggembungkan pipinya.
"Ah tapi wajahmu menunjukkan hal yang lain tuh," goda Togar melihat temannya salah tingkah.
Mahes hanya dapat tersenyum kecil dan menahan amarah untuk menendang wajah Togar dengan jurus karate yang pernah ia pelajari.
Maria mencairkan suasana awkward itu dengan datang membawa nampan dan tiga gelas teh hangat yang masih mengepul. Ia meletakkan gelas teh itu dan tersenyum pada tiga muda-mudi yang berbeda umur tersebut. Setelah meletakkan teh hangat tersebut maria kemudian kembali ke dapur dan tidak memiliki niatan untuk menganggu percakapan mereka.
"Ku dengar kau sedang liburan ya?" Mahes mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Iya seperti itu lah ...," jawab Togar sembari menyeruput teh hangat miliknya.
"Bagaimana kegiatan di kampus?" tanya Mahes kembali melirik Pierre yang tengah kalem meminum teh hangat itu.
"Menyusahkan namun menyenangkan, ya ... lika-liku anak rantau lah. Kadang kalau akhir bulan aku tak makan apa-apa, pas ditanya bilang saja lagi puasa."
Tak ada yang lucu dari kata-kata Togar, namun hal itu membuat Mahes tertawa anggun dengan pipinya yang memerah bahagia.
Pierre yang melihat hal itu tertegun dan terpana melihat gadis di depannya. Sudah banyak ia bertemu dengan wanita cantik, tetapi hatinya telah memilih gadis desa yang tengah tertawa lepas di hadapannya. Gadis cantik menawan dan ramah itu telah merenggut hatinya sejak pertama kali ia melihatnya ketika ia menenangkan anak kecil yang menangis di lapangan merah kemarin. Gadis yang telah mengusik istirahatnya semalam.
"Duh kok lucu sih?" tanya Mahes dengan wajah yang masih memerah bahagia. Memang dasar ini anak golongan manusia receh.
"Apanya? Menertawakan kesusahan anak rantau itu dosa tau," kata Togar.
Pierre melirik Mahes.
"Ih ngga bisa gitu dong, kasian nasibmu Togar, makanya ... lain kali itu hemat!"
Mehes melirik Pierre.
"Iya tapi nggak hemat suara juga kan kawan? Lirik-lirikan saja terus sampai aku disini menghilang," sindir Togar untuk Pierre yang tiba-tiba salah tingkah.
Mahes hanya menundukkan kepala malu. Togar menyebalkan ternyata ya, orang lagi PDKT terus digoda olehnya.
Mereka berbincang-bincang hingga tak terasa adzan magrib sudah berkumandang di desa kecil tersebut. Mahes yang mendengar hal itu pun sadar ia sudah terlalu lama berada disini.
"Rukmini mau pulang? Togar, tolong antar Mini pulang dulu sana Nak, sudah malam takut kenapa-kenapa." Maria meminta tolong pada anak semata wayangnya itu.
"Aduh Bu, aku sakit perut ini, mau ke kamar kecil. Minta tolong Pierre aja ya?" tolak Togar, itu hanya alasan supaya Pierre dapat berlama-lama dengan sahabatnya yang telah ditaksir.
"Tolong ya Nak Pierre, kasihan sudah malam."
"Duh gusti, dianter cogan nih cogan ... dag dig dug nih ... lagian si Togar ngapa teberak-berak sekarang sih ... kan jadi enak akunya." dilema hati Mahes.
"Iya Bu." ucap Pierre kalem menyetujui perintah Maria. "Ayo Mini." ada desiran aneh dari hatinya yang membuat Mahes meleleh ketika Pierre memanggil nama panggilannya.
"Umm ... i-iya."
Pemandangan langit malam yang gelap dan pekat itu indah namun menyeramkan dalam waktu yang sama. Suara jangkrik malam membuat suasana yang tadinya sudah canggung menjadi semakin canggung alias krik.
"Jadi nama kamu Pierre? Nama panjangnya siapa?" tanya Mahes memecah keheningan diantara mereka.
"Pierre Andries Tendean, panggil saja Pierre."
Kata-kata Pierre barusan membuat Mahes membeku seketika. Awalnya ia sedikit ragu kalau Pierre yang ini adalah Pierre yang sama dengan orang yang meninggal karena kebiadapan PKI. Dan dengan kata-katanya barusan membuat semua tampak jelas.
Mahes menatap mata coklelat milik Pierre dan mencari kebohongan disana, tapi nihil ia tak menemukan dusta dalam matanya. Kini ia benar-benar terpaku dan terdiam mematung. Ia benar-benar tengah berhadapan dengan salah satu pahlawan revolusi, Letnan Satu Pierre Tendean.
Berlanjut...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro