Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Tempat Antah Berantah

"Um ... Ibu ini siapa ya?" tanya Mahes pada seorang wanita paruh baya yang terus memanggilnya 'Rukmini'.

"Anak kurang ajar! Sama Ibunya sendiri mosok lupa? Bangun sekarang cepat! Malas-malasan terus!" bentak wanita asing yang mengaku sebagai ibunya.

"Hah?"

"Mini, Ya Gusti ... kenapa hari ini kamu susah banget disuruh bangun, biasanya juga bangun sendiri."

"Ini kan udah bangun, terus kenapa?" tanya Mahes bingung harus melakukan apa. Ia benar-benar tidak memiliki clue tentang apa yang tengah terjadi saat ini. Memangnya apa yang harus dia lakukan?

"Subuhan belum kan? Subuhan dulu sana udah jam setengah lima pagi kok belum subuhan!" Mahes melongo, ia biasa sholat subuh saja pukul setengah enam pagi, kenapa ia dibangunkan satu jam lebih awal?

"Malah bengang bengong, sana cepat nduk!"

Mahes segera berlari ke luar kamar yang masih asing itu. Belum beberapa detik ia ke luar kamar, ia kembali masuk ke dalam kamar dengan wajah cengengesan jelek.

"Bu, kamar mandinya dimana? Hehe." mendengar ucapan aneh sang anak, Gayatri hanya dapat menepuk kepalanya pelan berharap rasa pusing di kepalanya pagi itu berkurang sedikit.

.oo0oo.

"Bu, ini apa?"
"Bu, kluweknya langsung dimasukin gitu aja atau butuh ritual sebelum itu?"
"Bu, kalo misalnya gak ditumbuk gapapa kan? Pegel nih soalnya hehe."
"Bu, kalo tiup-tiup kayu bakarnya jadi apa emang? Bukannya malah mati apinya ya?"
"Bu ...." ucapan mahes tertahan karena Gayatri segera membentaknya.

"UWES TO NDUK, iya kluweknya kamu tumbuk dulu baru dimasukin, ditiup biar bara apinya menyala. Perasaan kamu udah jago kok lupa lagi?!" bentak Gayatri sembari menahan amarah pada anaknya yang entah kenapa menjadi menyebalkan sekali.

"Bu ...."

"APA?!"

"Disini gak ada micin ya? Kurang josgandos kalo nggak ada micin." lagi-lagi anaknya mengeluarkan kata aneh selain, microwave, HP, dan kata-kata yang tak pernah Gayatri dengar sebelumnya.

"Micin itu apa memang? Gak ada di sini, mungkin di kota ada," ucap wanita itu, anaknya menjadi aneh hari ini, apakah ia habis terbentur sesuatu? Atau anaknya punya kelainan?

Entah kenapa, setelah mengetahui ia terlempar ke masa lalu Mahes sama sekali tidak takut ataupun kesal. Ia justru menikmati saja dan menganggap hal ini hanya mimpi. Walau anehnya, adakaj mimpi senyata ini? Mahes dapat menyentuh sesuatu dengan alat indranya. Dan hal lainnya yang tidak masuk akal jika disebut mimpi. Tetapi Mahes tetap memberi sugesti pada otak mungilnya bahwa ini hanya mimpi dan dia akan terbangun nanti.

"Rukmini ...," panggil sebuah suara dari luar dapur.

Mahes menumbuk kluweknya dengan santai tanpa menghiraukan panggilan itu. Entah siapa yang dipanggil suara itu Mahes tak mengambil pusing akan hal tersebut.

"Rukmini ...."

"Rukmini, Ya Allah! Itu bapakmu manggil kok diem saja? Ndak sopan!" bentak Gayatri, ternyata memang benar ada yang tidak beres dengan anak ini.

"Ah, Rukmini? Aku? Namaku Mahes kok," elak Mahes, sambil melanjutkan menumbuk kluwek dengan khusyuk. Memang namanya bukan Rukmini kan? Ia hanya mengatakan sesuatu yang berupa fakta.

"Astagfirullah hal adzim, Pak! Pak ... Pak!" Gayatri seketika panik dan memanggil suaminya untuk menemaninya di dapur. Jantung Gayatri seakan jatuh, bagaimana bisa anak semata wayangnya menjadi seperti ini?

"Kenapa, Bu?" Hendro mendatangi sang istri yang berteriak histeris seperti ketakutan akan sesuatu.

"Ini lho, Pak, Mini kerasukan hantunya Mbak Mahestari yang kemarin meninggal gara-gara keguguran bayinya!"

"Astagfirullah! Rukmini nduk, sadar nduk, nyebut nyebut!" Hendro mengipaskan tangannya diwajah Mahes untuk membuatnya berkedip dan sadar.

Mahes hanya melongo bingung dengan kelakuan dua sejoli di hadapannya ini yang menganggap dirinya orang tua Mahes. Sudah jelas mereka bukan papa atau bahkan mama yang ia kenal, bahkan Mahes tak pernah melihat wajah keduanya ini.

"Tuh kan, Pak ... mulutnya ndak iso mingkem." Gayatri semakin panik melihat putri satu-satunya itu hanya melongo.

"Sek sek, aku ada ide!"

Handro mengambil segelas air dari kendi dan mulai membaca ayat kursi pada gelas tersebut. Dia kemudian memasukkan air tersebut pada mulutnya dan mulai berkumur-kumur. Tanpa menunggu lama, Hendro menyemburkan air tersebut pada wajah Mahes yang masih melongo.

Mahes terkejut bukan main, ia disembur dengan air secara tiba-tiba, dan lebih mencengangkannya lagi, air tersebut beraroma pete karena memang Pak Hendro baru selesai menyantap sambel pete dimalam sebelumnya. Wajah Mahes pun kini basah kuyup, aroma pete dan aroma lain tercampur sempurna saat ini diwajahnya.

Mahes seketika mengeluarkan isi perutnya, ia mual bukan main. Entah karena mulut beracun Pak Hendro atau karena terkejut disembur oleh air.

"Alhamdulillah, sudah keluar tuh Pak, jin ifritnya dari anak kita." ucap syukur Gayatri mengelus dadanya lega.

"Iyolah, jurus semburanku gak ada yang ngalahin," batin Pak Hendro.

"Uhuk uhuk ...."

"Keluarin semua nduk, keluarin aja ...." Gayatri menepuk-nepuk punggung anaknya pelan.

"Keluarin apaan bu? Nyawaku juga ikutan keluar ini mah," batin Mahes kesal dengan masih terbatuk.

"Rukmini?" tanya Pak Hendro padanya, memastikan kalau dirinya sudah Rukmini anaknya atau masih hantu. Dengan sekejap Mahes terdiam dan akan berusaha untuk berpura-pura menjadi sosok bernama Rukmini itu.

"I-iya Pak, kenapa?" Mahes akan berpura-pura menjadi Rukmini selama disini supaya tidak disembur lagi. Mengingat Pak Hendro masih memegang gelas yang sama dengan air yang tinggal sisa setengah.

"Wes Bu, udah keluar semua ini," kata Pak Hendro mengherakkan kumisnya senang dan bangga akan pencapaiannya mengusir hantu.

"Sudah sehat lagi kan, Mini?" tanya Gayatri pelan, memastikan anak gadisnya kini baik-baik saja.

"Um ... alhamdulillah sudah Bu." apakah Rukmini asli seperti ini? Atau berbeda? Atau dia anak yang galak? Seperti apa? Mahes dipusingkan dengan berbagai macam pilihan sifat Rukmini yang asli.

"Alhamdulillah ya," ucap Pak Hendro bersyukur dan keluar dapur dengan perasaan bangga dan lega karena ia dapat mengusir setan yang bersarang di dalam tubuh putrinya.

.oo0oo.

"Rukmini ... coba kamu ke warungnya Koh Acan dulu sebentar, beli gula ya seperempat," perintah Gayatri pada anak semata wayangnya ini.

"Ashiapp," ucap Mahes aka Rukmini dengan logat khusus pada sang ibu yang langsung memasang wajah bingung.

"Ashiap itu apa?" tanya Gayatri bingung.

"Eh? Um ... itu ... Uh she up bu, Bahasa Inggris artinya, eh dia bangun gitu," elak Mahes bingung harus mengatakan apa.

"Yaelah ... Make keceplosan lagi.. Untung punya alasan lain hahai,batin Mahes.

"Apa hubungannya sama Koh Acan?"

"Um ... gak ada sih. Udahlah Bu, biar cepet langsung aja ya ... dadah Ibu muah." Mahes menghindar supaya tidak ditanyakan lebih lanjut kemudian mengambil uang dari tangan ibunya dan langsung pergi menuju warung Koh Acan yang bahkan ia tak tahu ada dimana.

Mahes berjalan keluar rumahnya dengan semangat, ia seketika terkesima dengan pemandangan rumah-rumah yang masih jarang, tidak ada sampah berserakan, udara yang bersih, lingkungan hijau, berbeda sekali dengan keadaan kota tempatnya tinggal sekarang. Rasanya ia akan senang dan nyaman tinggal disini sedikit lebih lama.

Mahes kemudian teringat sesuatu, dimana warung Koh Acan? Ia bahkan tidak tahu siapa itu Koh Acan dan langsung memilih untuk pergi.

Mahes melihat segerombolan anak kecil yang sedang bermain kelereng, ia menghampiri anak-anak kecil tersebut dengan tujuan menanyakan jalan.

"Permisi, Dek," sapa Mahes ramah, tak lupa senyuman ia berikan supaya terlihat baik.

Anak-anak tersebut seketika terdiam dan menatap Mahes, kemudian mereka serentak berteriak, "MBAK RUKMINI!" Mahes kaget bukan main ketika anak-anak yang kurang lebih berjumlah 5 orang itu memeluknya erat secara spontan.

Mahes memeluk balik anak-anak itu dengan kasih sayang, walau dirinya tak mengerti apa yang terjadi, entah siapa kelima anak ini. Mahes malah tertawa kikuk ketika melihat salah satu dari mereka menangis.

"Eh, kamu kenapa Dek?" tanya Mahes bingung dan panik harus melakukan apa setelah membuat satu anak menangis.

"Mba Rukmini kan kemarin sakit, aku sedih tapi senang kalo Mba Rukmini sudah sembuh," kata seorang anak perempuan dengan seenggukan.

Mahes seketika tersentuh, ia tersenyum sambil menghapus air mata anak kecil itu.
"Kamu baik banget ... mba sekarang udah gapapa kok!" ucap Mahes kemudian memeluk lagi anak perempuan ini dengan kasih sayang.

"Eh anu ngomong-ngomong, mba mau nanya sama kalian," ucap Mahes ketika selesai memeluk anak itu.

"Kenapa, Mba?" tanya anak laki-laki yang paling besar dan gempal badannya.

"Um ... tokonya Koh Acan dimana?" tanya Mahes malu, anak-anak ini pasti juga akan menganggapnya aneh setelah ini.

"Lah Mba lupa toh? Itu, dari sini Mba belok ke kanan lalu lurus, dan ... sampai," kata anak yang paling legam perawakannya.

"Ah iya hehe, mba lupa, setelah sakit mba jadi lupa semua." ucapnya asal. Mahes senang karena menemukan sebuah alasan yang sedikit lebih masuk akal.

"Nama kalian siapa? Mba juga lupa maaf," kata Mahes lagi.

"Aku Bowo," ucap yang paling besar.

"Aku Laras!" kata gadis yang tadi menangis.

"Aku Teguh," ucap anak yang paling hitam

"Aku Dara," celetuk anak perempuan yang paling pemalu.

"Aku Jaka," ucap anak yang memiliki plester luka di dahinya.

"Oke, Bowo, Laras, Teguh, Dara, dan Jaka. Mba pamit dulu ya mau beli gula ... Kalian lanjut main aja," kata Mahes seakan mengabsen mereka dengan menunjuk masing-masing dari anak tersebut dan segera pamit.

.oo0oo.

"Permisi Koh," sapa Mahes sopan.

"Eh ... ada apa Lukmini?" tanya Koh Acan sambil membenarkan posisi kacamata miliknya supaya dapat melihat wajah Mahes lebih jelas.

"Ini Koh, ibu minta gula seperempat," ucap Mahes to the point.

"Lu olang kemana saja? Lama tak jumpa disini, mama lu olang bilang sakit la," tanya Koh Acan cadel.

"Iya habis sakit Koh, kenapa memangnya? Koh rindu ya?" goda Mahes pada Koh Acan. Jiwa jahil miliknya keluar saat mengatakan hal itu.

"Dali dulu hingga sekalang lu olang sukanya belcanda ya!" balas Koh Acan sembari tertawa lepas. "Itu si Togal kesini tanya lu olang la, i bilang saja lu olang sakit," lanjut Koh Acan.

"Togar? Togar siapa Koh?" tanya Mahes penasaran. Ia tak pernah mengingat ada seseorang bernama Togar sebelumnya.

"Togal anak pak kades, lu olang lupa kah? Lu olang beldua teman kecil lo," balas Koh Acan bingung.

Mahes gugup mendengar pernyataan tersebut dan memilih berbohong untuk menutupi semua yang terjadi.

"Um ... setelah sakit saya banyak lupa koh hehe, jadi si Togar itu temen masa kecilku ya? Ah ...." Mahes mengangguk-angguk paham.

"Ini gulanya ya."

"Eh iya, makasih ya koh," ucap Mahes berterima kasih dan menyerahkan uang kemudian pergi meninggalkan toko klontong Koh Acan.

Selama perjalanan pulang, Mahes bertemu banyak orang yang menyapanya. Karena sama sekali tidak mengenali mereka, Mahes hanya tersenyum manis dan sesekali mengangguk sembari menikmati pemandangan sore hari.

"Rukmini!" Mendengar namanya dipanggil, Mahes menengok kebelakang dan mendapati dua orang lelaki tengah berdiri sedikit jauh di belakangnya.

"Iya?" tanya gadis ini. Batin Mahes bertanya siapakah dua pria asing ini, karena jelas ia tidak tahu dan mengingat siapa pun pada zaman ini.

"Kamu habis dari mana saja? Sakit kok tidak keluar rumah? Tumben." sapa Togar, gadis ini melihat seseorang disamping Togar tersenyum padanya. Mahes membalas senyumanya dengan anggun. Wajah pria disamping Togar tampak familiar untuknya.

"Kalau sakit ya di rumah kan? Eh tunggu, kamu siapa?" jawab Mahes.

Seketika tawa Togar meledak mendengar pertanyaan polos Mahes, Mahes juga dapat melihat teman di sebelah togar tersenyum tampan dengan menunjukkan deretan gigi putihnya. Apakah ia melakukan hal salah? Apa pertanyaannya lucu? Mengapa keduanya tertawa mendengar ucapan polosnya barusan?

"Yakin kau lupa? Bah bisa-bisanya kau melupakan aku. Aku Togar, lelaki Batak yang tampan, serius lupa kah?" gerutu Togar pada Mahes.

"Ah! Iya Togar hahaha ...." Mahes berpura-pura tertawa garing untuk menutupi actingnya. "Semenjak sakit kemarin aku jadi susah ngenalin wajah, hehe ... Maaf ya," ucap Mahes berbohong.

"Hampir saja aku kesal, masa kawab kecilku ini melupakanku. Oh iya, ini temanku, orang Semarang juga ini," kata Togar memperkenalkan temanya. Ia melirik pria disamping Togar.

"Sore, saya Pierre," ucap Pierre canggung. Tangannya mengulur untuk saling menjabat tangan, uluran itu disambut hangat oleh Mahes.

"Wait! Pierre ... ini Pierre Tendean bukan sih? Mukanya mah mirip, eh apa beneran ya? Gak taulah," batin Mahes ragu.

"Oh iya, saya Rukmini," balas Mahes tak kalah canggung.

"Janganlah canggung-canggung kawan, hanya wanita ni," bisik Togar pada temanya Pierre.

Mahes yang entah telinganya budeg atau kenapa, ia tak mendengar bisikan Togar, padahal Togar berbisik dengan suara yang cukup lantang. Jadilah, sekarang ia hanya menatap bingung kedua lelaki yang tengah berbisik itu dengan tatapan bingung, dan sesekali tersenyum.

Pierre melihat Mahes yang sudah mengetuk-ketuk kakinya menandakan kaki Mahes pegal karena berdiri cukup lama pun peka dan memilih untuk mengakhiri percakapan mereka hari itu dengan sedikit rasa kecewa.

"Apa kamu punya waktu bertemu lain kali?" tanya Pierre spontan.

Seketika detak jantung Pierre berdegup cukup kencang menanti jawaban Mahes.

"Mungkin iya, kenapa? Ingin bertemu?" tanya Mahes polos tanpa tahu bahwa Pierre tengah berdegup menunggu jawaban gadis ini.

"Tentu saja!" seketika Pierre mengutuk bibirnya yang spontan dengan semangat berbicara begitu.

"Oh oke, baiklah ... mungkin lain hari." Mahes tersenyum manis.

Jantung Pierre sudah tak tahan melihat kecantikan dan ketulusan senyuman gadis di hadapannya sekarang.

"Kalau begitu, aku pamit dulu ya ... Togar, salam pada ayah ibumu," pamit Mahes dengan seutas senyuman kemudian pergi dari hadapan dua lelaki ini.

Dua lelaki jangkung ini terdiam, tak ada percakapan diantara mereka, hanya keheniangan hampa sembari melihat tubuh Mahes yang mulai menghilang. Tak lama kemudian Togar menepuk bahu kanan milik Pierre.

"Bagaimana kawan? Ambil?" tanya Togar jahil, wajahnya tersenyum lebar melihat sobatnya tengah dimabuk asmara.

"Ambil," balas Pierre sembari melihat punggung Mahes menghilang dari pandangan.

Berlanjut..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro