Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Kunjungan Sendiri

Wajah peluh berminyak, rambut kusut yang berantakan, mulut yang masam dan berbau membuat siapa saja pasti tahu kalau Ratih Maheswari gadis berusia 16 tahun ini belum membersihkan diri sejak pagi. Ia hanya men-scroll laman aplikasi instagram dengan malas.

Mahes sangat bosan, dan ia tahu itu. Hari libur terkadang membuat Mahes kesal karena tak ada apapun yang dapat dikerjakan selain bermalas-malasan. Mahes ingin berkunjung ke suatu tempat yang menyenangkan dan dapat mengisi hari liburnya yang membosankan ini. Fakta bahwa ia memiliki beberapa tugas namun memilih untuk bermalas-malasan membuatnya semakin tidak ada niatan untuk mengerjakan tugas-tugad itu.

Mahes memutuskan untuk mengirim pesan pada temannya untuk mengajak pergi bersama dan melarikan diri dari realita sejenak.

-----

Room chat orang galow [3]

Mahes.ra
Eh jalan-jalan kuy ... bosen bat hari Minggu cuma ngedekem di kamar.

Tiaraaaa
Sori beb, gue lagi nggak di Jakarta sekarang hehe.

Najwa Shinta
Kemana lo, Ra? Jalan mulu perasaan dah.

Mahes.ra
Shintaaa ... jalan yuk sama akooh! Bosen parah-_-

Najwa Shinta
Ey akoh juga tidak bisa ... akoh mau pergi nanti sama Dika, sori hehe.

Mahes.ra
Ahelah ... bosen nih! Kemana ya yang murah tpi tempatnya bagus?

Tiaraaaa

Ke Museum Pancasila Sakti aja, Hes, yang di Lubang Buaya itu loh, masuknya cuma 10 ribu kok palingan ama ongkos Gojek kaga nyampe 30 ribu.

Najwa Shinta
Iya tuh, kebetulan hari Senin kan ada ulangan sejarah tentang PKI, ntar lo sekalian belajar biar gue bisa nyontek wkwk

Tiaraaaa
^2

Mahes.ra
Nyebelin kao bedua ... btw, thx sarannya, gua otw Lubang Buaya aja nih wkwk

-----

Mahes mulai membersihkan badannya dari keringat yang menempel di tubuhnya sejak semalam. Yap, Mahes merupakan salah satu anak yang beranggapan 'mandi itu haram pada hari libur', dengan sebuah alasan hemat air dan sayang Bumi. Entah kenapa hari ini ia memilih memakai baju berwarna putih yang tentu saja bukan warna favoritnya. Dipadukan dengan jeans hitam, sepasang sneakers, dan tas selempang kecil membuat tampilan Mahes jauh dari kata anggun atau bahkan cantik.

Ia mengikat rambut hitam panjangnya dengan asal, dengan harapan ikatannya itu akan membentuk hair style ponytail imut yang sudah pasti gagal jika Mahes yang melakukanya. Ia mengambil dompet yang hanya bersisa selembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah dan memasukkannya ke dalam tas selempang kecil milikknya.

Kaki Mahes melangkah menuju kamar kakak laki-lakinya, seperti biasa masuk tanpa aba-aba dan langsung meminta kakaknya itu untuk mengantarnya.

"Kak Rafi ... anterin Mahes yuk, Mahes mau ke Lubang Buaya nih," teriak Mahes yang jauh dari kata sopan sembari bergelayutan di pintu depan kamar kakaknya.

"Astagfirullah Mahes ... heran kakak sama kamu, kalo minta mbok yo baik-baik dikit kenapa kan bisa," keluh Rafi pada adiknya yang sangat tomboy dan aneh, terkesan jauh berbeda dari anak perempuan seumurannya.

"Ehehe ... maaf Kak, abis kalo Mahes pesen Gojek kan sayang uang sepuluh ribu terbuang hehe ... maaf ya kakak ganteng," puji Mahes sembari memakai sepatu sneakers putih miliknya yang sudah sedikit lusuh itu.

"Iya, udah cepet."

Dengan terpaksa Rafi mengantarkan adik perempuannya yang tomboy abis itu ke tempat tujuannya. Sebenarnya ia sangat malas jika disuruh mengantar kesini atau kesana oleh seseorang, tapi entah kenapa ia tak bisa menolak permintaan sang adik. Menurutnya, kebahagiaan Mahes adalah kebahagiaan dirinya juga. Walau terkadang ia sangat ingin menyeleding kepala sang adik ketika ia menyebalkan dan membuatnya naik darah. Lagi pula sebagai seorang kakak, itu adalah tanggung jawabnya untuk menjaga adiknya sendiri, seaneh apapun bentuk adiknya itu.

Suasana Jakarta yang terik tidak terlihat hari ini, matahari kini tertutup dengan kabut dan awan besar yang gelap. Langit mendung yang membuat siapapun tahu bahwa hujan akan sebentar lagi datang.

"Udah sampai nih, kamu ada uang nggak buat beli tiket?" tanya Rafi, ia tahu sang adik sangat boros jika urusan uang. Tapi, berbeda dengan anak perempuan lainnya yang menghabiskan uangnya untuk membeli pakaian, perhiasan, skincare, atau make up, Mahes lebih memilih membeli PC baru dan membeli game-game yang sedang trending untuk dimainkan.

"Ada kok, tapi kalo Kakak mau nambahin Mahes gak nolak hehe." Mahes menggaruk kepalanya yang tak gatal kemudian mengadahkan tangannya seperti sedang meminta sesuatu.

Rafi mengeryitkan dahi kesal.

"Nggak! Kakak ngga mau nambahin apa-apa!" timpal lelaki itu, tapi perkataan Rafi bertolak belakang dengan tangannya yang merogoh dompet dan memberikan Mahes selembar uang bernominal lima puluh ribu.

"Asik asik ... uangku jadi seratus rebu," batin Mahes gembira.

"Hati-hati, Dek, kamu sendirian kan?"

"Iya sih sendirian, tapi tenang aja Kak ... adekmu ini kan jago bela diri. Kakak juga hati-hatilah di jalan ... dadah!" ucap Mahes cepat dan segera turun. Ia melambaikan tangan sesaat ketika mobil sang kakak mulai menjauh dari pandangan.

Mahes berjalan mendekati loket tempat pembelian tiket masuk yang terlihat sepi tanpa ada tandanya kehidupan itu.

"Sepi banget, apa belom buka ya?" batin Mahes. Ia melirim jam tangannya yang menunjukkan pukul 14.00 WIB, tidak mungkin tempat wisata tutup pada hari libur. Lagipula ini sudah siang, tetapi kenapa loketnya belum buka?

Pemikiran Mahes dikejutkan dengan seseorang yang memegang pundaknya pelan. Mahes berbalik dan menemukan seorang lelaki yang sangat tua memakai baju hitam dengan celana hutam pula tengah memegang sebuah sapu lidi bergagang panjang di tangannya.

"Nenek moyangku seorang pelaut! Eh ... ya ampun ... Kakek ngagetin saya Kek ... Untung saya masih muda jadi jantungnya masih kuat." latah Mahes spontan menyanyikan lagu masa kecilnya sembari memegang dadanya yang berdegup kencang karena terkejut. Mahes ingin marah sebenarnya, tapi ketika melihat sesosok laki-laki tua muncul ia mengurungkan nia niatnya itu.

"Eh maaf kalau kaget, Non. Nona mau beli tiket ya?" tanya si pak tua itu semangat seakan baru saja melihat kerabatnya yang sudah meninggal.

"Iya nih, Kek, kemana ya yang jaga kok sepi banget kayak hati saya aja suasananya?" canda Mahes yang hanya ditanggali tatapan bingung sang kakek tua. Dengan cepat wajah Mahes memerah malu.

"Iya, Non, soalnya kan saya yang jaga. Nona mau masuk?"

Mahes sedikit terganggu dengan panggilan 'Nona' yang menurutnya terlalu formal dan terkesan membuatnya merasa seperti anak majikan dalam sinetron-sinetron yang mamanya sering tonton.

"Oh ya jelas dong, Kek, kalo nggak masuk mau ngapain emang saya? Ngangon kambing?" candaan receh Mahes lagi-lagi mendapat tatapan bingung dan setiba saja suara jangkrik muncul dalam telinga Mahes. Krik-krik. Garing.

"Kalo buat nona gratis aja masuknya," kata sang kakek tua dengan senyuman yang menyunggingkan kumis putihnya ke atas.

"Hah? Serius, Kek? Jaman sekarang gratis?" Mahes tampak ragu dan bimbang, atau sang kakek memiliki niat lain padanya. Tapi masa bodoh, selagi gratis Mahes tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Prinsip barang atau pemberian adalah rezeki yang tidak boleh ditolak harus tetap teguh dipertahankan.

"Iya serius, masuk saja, anggap rumah sendiri," ucap kakek tua yang langsung membuat Mahes bergidig ngeri. Bayangkan saja, tempat ini bekas pembantaian ratusan umat manusia dan si kakek ini dengan enaknya berkata untuk menganggapnya rumah sendiri? Tentu tidak mau, bahkan kasur apek miliknya jauh lebih nyaman dibanding berada disini.

"Iya, Kek ... terima kasih ya, Kek!" balas Mahes pelan dengan sedikit perasaan senang, kapan lagi masuk tempat wisata gratis?

"Kau datang kembali juga, merindukan 'dia' ya? Kau tampak lebih cantik sekarang walaupun selera humormu jatuh dan garing." batin Togar dalam hati melihat Mahes berjalan memasuki gerbang utama Museum ini.

.oo0oo.

Ini pertama kalinya Mahes datang kemari. Tapi entah kenapa dalam lubuknya terdapat secercah perasaan marah, rindu, sedih, kalut, dan terpuruk menyelimuti hatinya. Ia yakin dengan amat sangat bahwa ia tak pernah kemari sebelumnya, bahkan tanpaknya dalam mimpi pun tak pernah. Tapi perasaan asing itu merasuki jiwanya tepat ketika ia menginjakkan kaki pertama kali di tempat ini. Aneh.

Mahes berjalan dengan pelan berusaha menikmati pemandangan rerumputan hijau dan pohon-pohon rindang. Rasa aneh ini bertambah ketika ia melihat adegan penyiksaan ke-6 Jendral besar TNI-AD dan seorang perwira tinggi oleh para PKI yang diperankan dengan patung-patung dengan suara yang seakan membuat Mahes berada di sana dalam waktu yang sama pula.

Tubuh Mahes merinding tatkala dirinya berjalan menuju gedung diorama tentang detik-detik kejadian pembantaian itu terjadi. Semakin Mahes memperhatikan, semakin deras juga perasaan aneh itu melanda hatinya, perasaan tak dapat dijelaskan itu semakin menyelimuti Mahes. Dan berpuncak ketika ia mendekati sebuah sumur yang dimana pernah berisi mayat-mayat dari petinggi TNI-AD tersebut. Air mata Mahes tak dapat dibendung lagi ketika ia meneteskan air matanya.

"Ehh ... aku kenapa? Kok nangis?" bahkan Mahes pun bingung dengan dirinya yang bereaksi sendiri tanpa diperintah, sangat aneh karena dia sama sekali tak ingin menangis namun tiba-tiba air mata mengucur deras. Ia mengusap air matanya yang tak mau berhenti itu. Mahes memutuskan meninggalkan sumur itu untuk menghindari air matanya supaya tidak jatuh lebih banyak lagi.

Gerimis hujan mulai menyelimuti Kota Jakarta, awan mendung tadi kini sudah menurunkan beban miliknya. Mahes memilih berteduh di atas tangga outdoor tempat keluar sembari melihat hujan yang semakin lama semakin deras. Anehnya, Mahes tidak merasa takut ketika berjalan-jalan disini sendirian, mengingat kejadian pembantaian oleh PKI bertahun-tahun yang lalu. Kemana perginya Mahes yang penakut?

Ketika hujan mulai reda, Mahes melirik jam tangan miliknya yang sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, tak terasa sudah 2 jam ia berjalan-jalan disini. Mahes turun ke bawah untuk pulang, tetapi ia melihat sebuah rumah peninggalan jaman Belanda yang terletak tak jauh dari patung-patung diorama tersebut. Karena rasa penasarannya yang besar, Mahes memutuskan untuk memasuki rumah tersebut dan mulai menjelajah.


Gadis ini duduk di kursi bambu panjang berwarna hijau tua. Tak sengaja ia melihat sesuatu di sudut kecil antara lemari dan meja rias, ia melihat sesuatu yang tampaknya mengkilat dan bersinar. Mahes memutuskan menggeser sedikit lemari itu dan menemukan sebuah kalung dengan sebuah liontin yang indah nan antik. Tanpa butuh waktu panjang, Mahes langsung jatuh cinta pada kalung tersebut. Padahal ia bukanlah tipe perempuan yang suka bersolek.

Mahes mengenakan kalung indah itu di pergelangan lehernya, ia melihat ke arah cermin dan merasa memang ia ditakdirkan memakai kalung itu. Mungkin pikiran Mahes salah dengan mengambil benda yang bukan miliknya, namun ia merasa benda ini memang seharusnya menjadi miliknya. Setelah memutuskan untuk membawa pulang kalung tersebut Mahes memilih pulang dengan jemputan sang kakak.

.oo0oo.

Mahes merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kesayangannya. Ia masih bingung dengan perasaan aneh ketika ia berada di Museum itu. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Apa yang terjadi padanya? Ditambah kejadian kala dirinya menangis tanpa sebab juga membuat hari ini menjadi salah satu hari paling aneh dalam hidup Mahes.

Ia memutuskan untuk mandi dan melaksanakan sholat magrib dan berfikir untuk belajar dan mengerjakan PR miliknya yang entah kenapa malah semakin menggunung. Sebuah notifikasi di telepon pintarnya mengalihkan pandangan Mahes dan tergoda untuk membuka handphone miliknya.

Room chat orang galow [3]

Tiaraaaa
Gimana, Hes? Jadi pergi?

Mahes.ra
Oh ya jadi dong ... seru tau, sedih dan miris juga sih kalo dipikir-pikir.

Najwa Shinta
Udah pinter belom? Besok ulangan btw, tapi gue malah jalan sama Dika wkwk.

Mahes.ra
Ngeselin! Gimana mau bagus nilainya?

Najwa Shinta
Contek sajalah ... tak payah lah susah-susah (gaya Upin Ipin ye bacanya wkwk)

Mahes.ra
JANGAN KASI CONTEKKK

Tiaraaaa
^2

Najwa Shinta
Ih jahaaatt:"(

Mahes.ra
Wkwkwkw

Mahes semakin asyik pada handphone pintar miliknya dan niat awalnya untuk belajar. Ia chatting an bersama kedua temannya tersebut hingga tak terasa sudah menginjak pukul 9 malam. Mahes mulai menguap dan memutuskan untuk mengakhiri percakapan tidak berguna mereka malam ini.

Mahes merebahkan diri dan menatap langit-langit kamarnya. Ia mengambil kalung perak indah tersebut dan memperhatikannya dengan seksama. Entah kenapa, ia merasa bahwa kalung ini adalah miliknya, padahal sudah jelas ini bukan miliknya. Rasa bersalah mulai muncul, bagaimana jika pemilik aslinya akan mencari kalung ini? Mengingat bahwa ini bukan kalung biasa membuatnya menyesal telah mencuri benda ini. Mahes memutuskan untuk mengembalikan benda ini secepat mungkin, bagaimana bisa ia berakhir sebagai pencuri? Mahes mulai terkantuk dan memejamkan matanya dengan memeluk kalung perak itu di dadanya.

.oo0oo.

Suara seseorang yang berteriak kencang dari luar kamarnya membuat Mahes terkejut dan terbangun, ia mengerjapkan matanya malas. Ia seketika membelakkan matanya ketika melihat lampu petromaks di sudut ruangan dan sebuah lemari besar berukiran indah yang tentu saja berbeda jauh dengan kamarnya yang dihiasi poster-poster idolanya.

"Eh? Ini dimana dah? Bukan kamarku ini fix! ... serius ini dimana eh?" batin Mahes

Mahes terbangun dengan baju tidur yang sama yang ia gunakan di rumahnya, tapi suasana ini sama sekali bukanlah kamarnya

Teringat akan sesuatu, Mahes meraba lehernya dan hasilnya nihil. Ia tak menemukan kalung perak itu. Menghilang begitu saja. Semua ini membuat Mahes bingung dan kesal karena tak kunjung menemukan kalung miliknya itu.

Ia mulai berspekulasi tentang dirinya yang terlempar ke masa lalu, dan semua ini diperjelas ketika ia melihat kalender dengan tulisan besar bercetak merah yang terletak manis di meja riasnya. Dan tahun dalam kalender menunjukkan tahun 1964.

Semuanya sudah jelas, ia kini terlempar ke masa lalu. Lebih tepatnya 55 tahun yang lalu.

Berlanjut...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro