17
AKU dibangunkan oleh Millie yang telah membawa senampan sarapan untukku. Aku susah berjalan. Kakiku sakit sekali.
TOK! TOK! TOK!"
"Masuk saja!" sahut Millie. Pintu terbuka dan Louis masuk.
"Hai, Louis," sapaku. "Ada apa?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," jawab Louis. Dia melihat nampan ku, "Tapi sebaiknya kau sarapan dulu."
"Baik," kataku, mengambil nampan ku dan melahap sarapanku.
Setelah sarapan, Louis berbicara kepadaku.
"Sebenarnya, aku sudah memutuskan dari kemarin, kita akan pulang," kata Louis. Aku terkejut.
"P-pulang?!" tanyaku. Louis mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku.
"Karena kau hampir saja kehilangan kakimu. Aku tak mau salah satu dari kalian kecelakaan," ujar Louis, menatapku dengan tatapan meyakinkan.
"Tapi, aku selamat, kan?" tanyaku, menunjuk kakiku.
"Karena Lucy meneteskan cairan itu," jawab Louis.
"Bisakah kita lebih lama lagi disini?" tanyaku, memelas.
"Tidak. Setelah kau sembuh, kita akan pulang," kata Louis. Aku menunduk. Mataku berkaca-kaca.
"Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?" tanyaku, mendongak. Louis menatapku.
"Karena menurutku, lebih baik jika kau tahu hari ini," jawab Louis. Aku melihat Millie.
"Millie, aku ingin disini lebih lama lagi," kataku. Millie menatapku dengan tatapan kasihan.
"Tidak, [Name]. Aku dan Louis lebih tua dari kalian dan kami gagal menjaga kalian," kata Millie. Aku menunduk. Air mataku terjatuh.
Keputusan Louis sudah bulat. Aku tak bisa menentangnya lagi. Louis sudah mengatakannya pada Peter, Susan, Edmund, dan Lucy. Mereka tampak tidak rela kami pulang.
ยฐ ยฐ ยฐ
Edmund pov.
"Aidan!" Aku memanggil Aidan yang sedang memberi makan kuda nya.
"Apa?" sahut Aidan seraya menoleh.
"Dimana [Name]?" tanyaku. Aidan mengulum senyum.
"Di kamarnya, tentu. Kenapa?" jawab Aidan, balik bertanya.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Kakinya masih sakit, ya?"
"Iya, tentu. Dia bilang tadi malam, kakinya sudah sedikit lebih baik," jawab Aidan.
"Tadi malam?" tanyaku.
"Ya. Tadi malam kami berkumpul di kamarnya," jawab Aidan. Aku duduk di batu besar.
"Kalian mau pulang?" tanyaku. Aidan menoleh dan mengangguk pelan.
"Iya. Louis yang menentukan itu. Dia takut kehilangan salah satu dari kami," jawab Aidan, duduk di sebelahku.
"Seharusnya aku menemani kalian kemarin," ujarku, melempar sebuah batu.
"Sebenarnya, ini semua salahku. Seharusnya, aku tak mengajak Heather ke hutan. Dia tak mau sebenarnya, takut kami terluka atau tersesat. Tapi aku mendesaknya sehingga akhirnya dia ikut," jelas Aidan.
"Heather ikut pulang?" tanyaku.
"Ya, lebih cepat sepertinya. Dia pulang lusa," jawab Aidan. "Sedangkan kami pulang setelah [Name] sembuh."
"Apakah [Name] ingin pulang?" tanya ku.
"Tidak. Dia suka disini," jawab Aidan.
"Bagaimana dia jika di dunia asli?" tanyaku.
"Seperti biasa. Usil," jawab Aidan. "Sama sepertiku."
"Kalian serumah?" tanyaku. Aidan menggeleng.
"Tidak. Mereka-[Name] dan Louis- dikirim ke rumahku. Daerah mereka sedang dalam bahaya," jawab Aidan. "Perang."
"Sama," kataku. "Kami juga. Kami dikirim ke rumah Profesor Digory Kirke. Dan, ya, kami menemukan lemari ini. Bukan kami, tapi Lucy."
"Kami juga. Di rumah ku, ternyata ada sebuah lemari tua di ruang bawah tanah. Aku tak tahu dari mana asalnya lemari itu. Akan kutanya kepada Dad nanti jika kami sudah pulang," terang Aidan.
"Aku juga bingung. Lemari ini seperti perbatasan dua dunia," kataku.
"Menurutku, Narnia lebih indah. Memang sangat indah," kata Aidan. Aku mengangguk.
"Lebih indah jika kalian tidak pulang," kataku. Aidan menoleh dan tersenyum.
ยฐ ยฐ ยฐ
Your pov.
Aku berbaring di tempat tidurku dengan gelisah. Aku ingin berjalan-jalan. Ke perpustakaan, pantai, lapangan, atau balkon.
Aku benar-benar tidak mau pulang.
"Louis." Aku memanggil Louis yang sedang membaca buku di sofa.
Ya, Louis terus menemaniku. Jika keluar, hanya sebentar.
"Apa?" tanya Louis, menoleh dan menurunkan bukunya.
"Kau yakin kita akan pulang?" tanyaku. Louis berdiri dan duduk di sebelahku.
"Ya. Aku sudah mengatakannya pada Peter, Susan, Edmund, dan Lucy," jawab Louis. Aku menunduk.
"Apa mereka memperbolehkan kita pulang?" tanyaku.
"Mereka tampak terkejut dan tak rela. Terutama Lucy," jawab Louis.
"Bagaimana dengan Edmund?" tanyaku. Louis langsung menatapku.
"Kenapa?" tanya Louis, mengulum senyum.
"Ya, bagaimana dengannya?" tanyaku.
"Dia diam saja," jawab Louis. "Dia memang tak banyak bicara kan? Tapi tampaknya dia tak rela Aidan pulang."
"Dia pasti menginginkan aku pulang," kataku.
"Tidak mungkin. Kau tidak sadar? Kemarin dia tampak sangat khawatir sekali denganmu. Dan kau tahu? Dia yang mengusulkan Lucy agar menuangkan cairan penyembuh itu," kata Louis. Aku mengangguk dan menyembunyikan wajahku yang sedikit berseri-seri.
"Louis, bolehkah aku berjalan?" tanyaku.
"Jalan? Dengan kaki yang masih sakit begitu?" tanya Louis seraya mengernyit. Aku mengangguk.
"Kau masih sehari dirawat. Nanti kakimu semakin sakit," kata Louis. Aku mendengus kesal.
Tapi, aku tak mendengar perkataan Louis. Malam harinya, aku bangkit dari tempat tidurku. Millie, Louis, dan Aidan sedang makan malam.
Aku mengambil sebuah tongkat. Aku tersenyum jahil. Oh, aku bisa berdiri. Kakiku masih diperban. Aku berjalan keluar.
Aku menuju ruang makan. Sebenarnya, makan malamku ada di kamar.
Di ruang makan, aku mengintip mereka dari balik dinding.
Kursi di sebelah Aidan kosong. Itu kursiku biasanya.
Tunggu, kursi Heather juga kosong. Dia suka mengurung di kamar akhir-akhir ini. Entah kenapa.
TUK!
Tongkatku mengetuk lantai dengan keras, membuat semua orang di ruang makan menoleh. Aku langsung menyembunyikan tongkatku dan berjalan ke kamar dengan cepat.
Jika aku ketahuan, mungkin Louis akan membawaku pulang sebelum aku sembuh.
Saat aku berjalan sambil melihat belakang, aku menabrak dinding. Kenapa sih nasibku selalu tertabrak?!
"[Name]!"
Tamatlah riwayatku. Seseorang memanggilku.
"Kenapa kau keluar?" ternyata Heather. Aku menoleh dan mengelus kepalaku yang tadi terantuk dinding itu.
"Em, aku bosan di kamar terus," jawabku.
"Well, sebaliknya. Aku ingin di kamar terus," kata Heather.
Terdengar suara langkah kaki dari koridor belakang.
"Heather! Tolong jangan beritahu mereka kalau aku keluar!" kataku. Heather bingung. Dia mengernyit.
"Beritahu siapa?" tanya nya bingung. Aku bersembunyi di koridor samping.
"Heather!" Itu suara Aidan. "Kau tadi ke ruang makan?"
Heather bingung dan melihatku. "Eh-iya. Aku tadi ke ruang makan."
"Oh, kukira [Name]," kata Louis.
"Dia di kamar," kata Heather. "Tidur."
"Ooh, baguslah. Kau tidak makan malam?" tanya Louis.
"Iya, aku akan menyusul kalian nanti," jawab Heather. Aidan, Louis, dan Millie kembali ke ruang makan.
Aku segera berjalan ke kamar. Tapi sebelumnya aku berkata pada Heather.
"Thanks," ucapku. Heather mengangguk.
"No problem," balasnya.
Sesampainya di kamar, aku mengambil makan malam ku. Aku makan sambil duduk di sofa, melihat jendela.
Aku melihat pantai. Untung jendela di kamar ini mengarah ke pantai.
Ada sesosok laki-laki sedang berdiri di pinggir pantai. Aku menajamkan penglihatanku.
Edmund.
Dia melihat sekeliling. Dia memang suka pergi ke pantai pada malam hari. Tak heran, pemandangan malam Narnia sangat indah.
Aku berdiri, berjalan ke jendela, dan memandangnya. Dan tiba-tiba, dia melihat ke arah ini. Aku langsung terkejut. Dia melihatku.
Aku menatapnya dari jauh. Aku langsung berpikir. Jika aku sebentar lagi akan pulang, haruskah aku menyatakan perasaanku padanya?
Atau kupendam sendiri?
Aku tersenyum. Dia memandangku sambil tersenyum.
"I like you," bisikku. Percuma, dia tak mendengar.
Aku melambaikan tanganku. Dia tersenyum dan membalas lambaian tanganku. Aku seperti dikelilingi kupu-kupu saking senangnya.
BRUK!
Aku langsung menutup jendela dan berjalan ke tempat tidur.
"Eh, Louis? Haha," kataku, bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa.
"Kata Heather, kau sedang tidur," kata Louis.
"Aku sudah bangun," kataku. "Tapi aku mengantuk lagi sepertinya, hhoahmm..."
"Makananmu belum habis," kata Louis.
"Hhh, baiklah," kataku, duduk di sofa dan kembali melahap makananku.
ยฐ ยฐ ยฐ
Edmund pov.
Dua hari kemudian,
Aku sarapan seperti biasa. Tapi bedanya, tidak ada [Name]. Begitupun dengan temannya, Heather.
Tadi malam, aku kehilangan sikap dinginku. Agak sial, tapi tidak apa-apa. Toh, dia beberapa hari lagi akan pulang. Aku harus menyatakan perasaanku.
Eh, atau tidak? Haruskah aku mengatakannya? Aku agak ragu.
Sehabis sarapan,
Aku menyusuri koridor. Aku malas ke lapangan. Tiba-tiba,
"Edmund!" seseorang memanggilku. Aku menoleh. Ternyata Heather.
"Aku ingin berbicara denganmu."
ยท
ยท
ยท
don't forget to vote n comment , thanks !
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro