16
KEESOKAN harinya.
Aidan tampak bersemangat sekali. Sedangkan Heather, hanya tersenyum-senyum tipis.
"[Name], awasi Aidan. Jangan sampai dia sakit jantung," kata Millie. Aku menahan tawa.
"Aku tak ikut dengan mereka, Millie," kataku. "Aidan keras kepala."
"Memang," kata Millie. "Aku baru tau kalau dia menyukai Heather. Sedangkan Heather-"
"Suka dengan Edmund," sambungku. "Bagaimana kau tahu?"
"Waktu itu aku mendengar pembicaraan kalian," jawab Millie. "Kau cemburu, ya?"
"Tidak, tentunya," jawabku. "Cemburu? Hahaha, apa itu cemburu?"
"Tidak usah berpura-pura, [Name]," Millie mengacak-acak rambutku yang hari ini kugerai. "Omong-omong, tumben kau gerai rambutmu hari ini."
"Yaa, kepalaku agak sakit jika kucir terus. Pusing," jawabku.
"Oohh. Rambutmu bagus jika digerai seperti ini," ucap Millie. Melihat Millie, membuatku insecure.
Millie berambut cokelat. Rambutnya lurus. Kadang ikal juga.
Mata Millie berwarna cokelat. Dia lebih tinggi dari ku. Millie baik. Dia juga humble dan bijak. Teman adu mulutnya adalah Louis.
ยฐ ยฐ ยฐ
"Aidan!"
Aku memanggil Aidan yang sudah menyiapkan kudanya.
"Apa?" sahut Aidan.
"Kau yakin hanya pergi berdua dengan Heather? Nanti kalian tersesat," ujarku.
"Tidak akan," kata Aidan. Dia menoleh pada Heather. "Ayo, naik."
Heather naik ke salah satu batu dan naik ke atas kuda. Aidan juga ikut naik.
"Bye, [Name]," ucap Heather dan Aidan serempak. Lalu mereka saling pandang kaget.
"Bye," balas ku. Kuda mereka berjalan. Tak lama kemudian, mereka menghilang dari pandanganku.
"Kemana mereka pergi?" tanya Lucy yang sedang melahap buah apelnya.
"Hutan," jawabku. Aku pergi ke lapangan tempat latihan. Kulihat Millie sedang berbincang-bincang dengan Louis.
Edmund sedang duduk di bawah pohon. Dia melamun sendiri. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Aku duduk di sebelahnya.
"Udaranya segar ya," kataku, sok basa-basi.
"Ya. Sepertinya mau hujan," kata Edmund, sok menerawang.
"Bagaimana kau tahu ini mau hujan?" tanyaku.
"Langitnya lumayan mendung," jawab Edmund.
"Ya, kau benar. Sayang sekali, pagi seperti ini sudah mendung," kataku.
Dan benar saja. Rintik-rintik hujan mulai turun. Aku segera masuk ke dalam kastil. Tetapi Edmund?
Dia tak masuk ke dalam kastil.
"Edmund!" panggilku. Dia masih melamun. Aku berlari menghampirinya. Hujan sudah deras dan bajuku basah.
"Eh? Maaf," ucap Edmund. Aku menarik tangan Edmund, membawanya masuk ke dalam.
"Nanti kau kehujanan," kataku seraya menatapnya. Dia juga menatapku. Lagi lagi,
Eye contact.
"[Name]!" Louis memanggilku. "Aku khawatir dengan Aidan dan Heather. Kau mau ikut aku mencari mereka? Aku sudah hafal jalannya."
"Hmm, aku mau ikut," ujarku.
"Millie juga ikut kok," kata Louis.
"Baik," ucapku.
ยฐ ยฐ ยฐ
Aku menaiki Steve. Masih ingat, kan?
Aku, Louis, dan Millie membawa senjata masing-masing. Kuda mulai berjalan ke hutan.
"Mereka pasti kehujanan. Aku takut dia sakit. Dad dan Mum akan memarahiku," keluh Millie.
"Tidak akan, Millie. Berapa hari ataupun tahun di Narnia, itu hanya satu detik di dunia," kata Louis. "[Name] yang bilang padaku."
"Aku tahu dari Lucy," kataku. Kami mencari-cari Aidan dan Heather. Bajuku basah, walaupun aku sudah memakai mantel.
"Dimana sih mereka?" tanyaku. "Aku takut hujannya berpetir. Baru kali ini aku tahu ada hujan di Narnia."
Beberapa saat kemudian,
Kudengar suara orang berbicara. Aku menyuruh Louis dan Millie untuk berhenti dan mendengar suara itu.
"Kalian dengar?" tanyaku. Louis dan Millie menajamkan pendengaran mereka.
"Kita harus berteduh dulu," kata salah satu orang.
"Kau yakin kau hafal jalannya?" tanya seorang lagi.
Aku mengedipkan mata ke Louis dan Millie. Kami berjalan ke sumber suara itu. Dan ternyata benar saja, Aidan dan Heather sedang berdiri di bawah pohon.
"Jika ada petir, aku takut kalian tidak akan pulang," ucapku. Aidan dan Heather menoleh.
"[Name]? Millie? Louis? Kalian ngapain kesini?" tanya Aidan. Aku menendang kakinya.
"Tentu untuk menolong kalian. Hujan begini, kalian di dalam hutan," kataku.
"[Name] benar, Aidan. Aku tidak mau berteduh di sini, di bawah pohon," Heather bergidik ngeri.
"Ayo, pulang," kata Louis. "Aku takut ada makhluk mengerikan disini."
Tiba-tiba, kudengar suara pintu terbuka. Maksudnya seperti suara kayu yang terbuka. Entahlah.
"Siapa kalian?!" Seseorang berteriak. Kami langsung menoleh, terkejut. Dan orang itu adalah makhluk kecil yang kutemui dengan Aidan waktu itu.
"Siapa kau?!" tanyaku.
"Apa yang ingin kalian lakukan disini?!" tanya kurcaci tersebut.
"K-kami hanya berjalan-jalan menjemput saudara kami!" jawab Millie.
"Tidak, kalian pasti akan membawa bahaya," kata makhluk itu.
"Tidak! Sama sekali tidak!" kata Louis seraya mengacungkan pedangnya. "Kami tidak ingin mencelakai siapapun."
Dan tiba-tiba, sebuah anak panah mengenai kakiku. Aku langsung mengerang kesakitan dan terhuyung jatuh. Sedetik kemudian, aku tak sadarkan diri.
ยฐ ยฐ ยฐ
Edmund pov.
"Lucy, bisakah kau meneteskan cairan itu kepada [Name]?" tanyaku pada Lucy. Aku tak berhenti mendesaknya semenjak Louis, Millie, Aidan, dan Heather kembali, dengan membawa [Name] yang tak sadarkan diri. Kakinya berdarah-darah. Kata Aidan, ada yang membidik anak panah ke kakinya. Seorang kurcaci.
Aidan juga bilang, kalau ada dua kurcaci di hutan itu. Entah ada lebih banyak lagi atau apalah. Kami tidak pernah tahu.
"[Name] sedang di obati, Edmund. Tenang," kata Lucy.
"Tidak, dia nyaris kehilangan kakinya," kataku. "Aku seharusnya menemani mereka tadi."
"Apa kau benar-benar khawatir pada [Name]?" tanya Lucy. "Kau sangat mengkhawatirkannya?"
Aku terdiam dan menatap Lucy. "Aku hanya..., ya, takut lukanya semakin parah."
"Baik. Aku akan meneteskan cairan ini kepadanya," kata Lucy.
Kami masuk ke kamar [Name], tempat dia diobati. Kulihat Louis sedang mondar-mandir gelisah. Millie sedang menyusun mantel-mantel, dengan raut wajah panik. Aidan sedang duduk di lantai, melihat [Name], menunggunya untuk siuman. Sedangkan Heather, dia sedang duduk di sofa sambil menunduk gelisah.
[Name] berbaring di tempat tidur. Dia pasti tak sadar kami disini berkumpul. Lucy berjalan ke tempat tidur. Dia melihat kami semua. Aku menatapnya dengan tatapan meyakinkan.
Lucy membuka tutup botol cairan itu dan meneteskannya ke mulut [Name]. Kami menunggu [Name] bangun.
Benar saja. Mata [Name] terbuka. Dia masih lemas dan melihat sekeliling.
"Louis?" tanya nya. Louis menghampiri [Name] dengan wajah yang berseri-seri.
"Syukurlah kau sadar," ucap Louis sambil tersenyum dan memeluk [Name]. [Name] tersenyum, walaupun masih lemas.
"Kakimu sudah di perban," kata Millie. "Agar tak semakin parah."
"Kau bisa saja mati jika kami tak membawamu segera dan Lucy tak menuangkan cairan itu ke mulutmu," kata Aidan. [Name] melihat Lucy sambil tersenyum.
"Thank you, Lucy," ucap nya. Lucy tersenyum.
"No problem. Ide ini dari Edmund," ujar Lucy, melirikku. Aku terkejut dan melihat [Name].
[Name] melihatku dengan kaget, lalu dia tersenyum. "Thanks, Edmund."
"It's okay," balasku. Melihat dia siuman saja aku sudah senang.
ยฐ ยฐ ยฐ
Your pov.
"Aku mau pulang," ucap Heather. Aku, Millie, Aidan, dan Louis yang sedang berkumpul di kamarku terkejut dan langsung menoleh.
"Pulang?" tanya Aidan. "Pulang kemana?"
"Dunia asal kita," kata Heather.
"Tapi, kenapa?" tanya Millie.
"Kaki [Name] yang terluka, itu salahku. Karena aku pergi ke hutan dan hampir tersesat, kita bertemu dengan kurcaci itu dan salah satu dari kurcaci itu membidik anak panah ke kaki [Name]. Aku... tak mau membuat masalah disini. Jadi, lebih baik, aku pulang," jelas Heather.
"Kita bisa pulang bersama-sama suatu saat nanti. Tidak sekarang," kata Aidan.
"Tidak, kalian saja. Ini bukan tempat ku. Aku seharusnya tidak... berada di sini," kata Heather.
Aidan memegang pundak Heather. "Itu semua salahku. Aku yang mengajakmu ke hutan."
"Tidak. Aku akan pulang, tiga hari lagi. Terima kasih," kata Heather, tersenyum tipis. "Selamat malam."
Heather tersenyum dan berdiri. Dia pergi keluar, ke kamarnya.
Louis duduk di sofa dengan Millie. Dia seperti nya banyak pikiran. Aku duduk dengan pelan. Kakiku masih sakit, tapi tak sesakit sebelum Lucy memberikan cairan penyembuh itu.
"Masih sakit?" tanya Aidan, menghampiriku.
Aku menggeleng. "Sudah lebih baik."
"Sudah malam. Kau sudah makan malam, kan?" tanya Aidan. Aku mengangguk.
"Sekarang, kau harus tidur," katanya, duduk di sebelahku.
"Aku tak bisa tidur," kataku.
"Kalau begitu, bayangkan saja Edmund tersenyum padamu," kata Aidan. Aku memukul tangannya.
Aku bersender di pundak Aidan. "Aku tak tahu kau punya sikap bijak di dalam dirimu. Kau sudah jujur kepada Heather dan mencoba menghiburnya."
Aidan menatapku dan tersenyum. "Ya, itu hanya muncul pada saat aku merasa diriku ini salah dan kacau. Sekarang, tidur."
Aku memejamkan mataku. Tak lama kemudian, aku tertidur.
ยฐ ยฐ ยฐ
Author pov.
"Aku sudah memutuskan," kata Louis.
"Memutuskan apa?" tanya Aidan yang mengelus rambut [Name]. [Name] masih bersandar di pundaknya.
"Kita akan pulang setelah [Name] sembuh," jawab Louis. Aidan terkejut.
"Kau pasti bercanda," kata Aidan tak percaya.
"Tidak, aku serius. [Name] hampir saja mati di sini. Aku gagal menjadi seorang kakak. Aku tak tahu bagaimana nasibku jika kehilangannya. Kalian mengerti?" terang Louis.
Millie mengangguk pelan. Dia menunduk.
"T-tapi, dia tak akan mau pulang," kata Aidan. "Aku juga."
"Tapi kita harus pulang, Aidan. Kau juga bisa saja celaka di sini. Aku tak mau kami pulang hanya berdua atau bertiga dengan salah satu dari kalian," kata Millie.
"Kenapa kalian baru memberitahu sekarang?" tanya Aidan kecewa. "Kenapa kalian tak memberitahu ku dari tadi?"
"Aku baru memikirkannya setelah Heather pergi. Dan aku tak bisa memberitahumu karena kau sedang membujuk [Name] untuk tidur," ujar Louis.
"Dan kau tak mau memberitahu nya?" tanya Aidan, melirik [Name].
"Besok," jawab Louis. "Aku akan memberitahunya besok."
ยท
ยท
ยท
don't forget to vote n comment , thanks !
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro