Chร o cรกc bแบกn! Vรฌ nhiแปu lรฝ do tแปซ nay Truyen2U chรญnh thแปฉc ฤ‘แป•i tรชn lร  Truyen247.Pro. Mong cรกc bแบกn tiแบฟp tแปฅc แปงng hแป™ truy cแบญp tรชn miแปn mแป›i nร y nhรฉ! Mรฃi yรชu... โ™ฅ

14



"ED, kau mau kemana?"

Lucy menanyai ku yang baru saja selesai makan.

"Ruangan," jawabku. Lucy bingung.

Aku meninggalkan ruang makan dan pergi ke balkon.

Udara pagi ini sejuk sekali. Aku memang selalu kesini akhir-akhir ini.

Semua orang pergi ke lapangan. Biasa, latihan.

Balkon ini sepi sekali. Hanya aku yang ada di sini. Tidak apa-apa sih. Tidak ada salahnya sendiri.

Coba bayangkan, dulu aku dipenjara oleh Jadis si wanita jahat itu. Aku menyesal telah mengkhianati saudaraku.

Aku pergi mencari Aidan. Ku datangi perpustakaan, ruang makan, dan lapangan. Tidak ada. Bahkan [Name] pun tak ada.

Aku pergi ke kamar Aidan dan Louis. Pintunya terbuka sedikit. Aku mengintip lewat celah pintu.

Terlihat Aidan dan [Name]. [Name] sedang duduk bersila di tempat tidur, berhadapan dengan Aidan. Wajahnya tampak bingung.

"Kau yakin kau benar?" tanya [Name]. Kutajamkan lagi pendengaranku. Semoga tak ada yang melihatku.

"Iya, mungkin. Dari sikapnya, sepertinya iya," jawab Aidan. Aku mengernyitkan dahi, bingung. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan.

"Aku tak seyakin itu," kata [Name], mengangkat bahunya. Aidan mendengus.

"Kau tidak peka," kata Aidan. Aku semakin bingung. Peka apanya?

"Aku juga sadar diri. Dia juga pasti menyukai-"

Kakiku mengenai pintu, sehingga pintunya bergeser sedikit. Aku langsung mundur dan sembunyi di balik dinding. Mereka menoleh.

"Siapa itu?" tanya [Name]. Aku diam. Bahkan tak bernapas.

"Abaikan saja. Kau bilang tadi dia menyukai siapa? Jangan bilang-" perkataan Aidan tersela.

"Ya, itu," kata [Name].

"Kau seyakin itu? Tau dari mana, ha?" tanya Aidan.

"Kupikir, sudah seratus kali kita membicarakan ini dari semalam," kata [Name] dengan nada malas.

"Siapa suruh kau tak mempercayaiku," kata Aidan.

"Kau bercanda," ujar [Name]. Aidan mendecih.

"Bercanda? Aku serius," kata Aidan. Dia berjalan mendekat ke arah pintu. "Aku tutup dulu pintunya."

Aku berjalan pergi, mencoba untuk tidak tampak aneh. Tetapi-

"Edmund!" panggil Aidan.

Oh, sial. Aku lambat berjalan.

"Oh, hai, Aidan. Ada apa?" tanyaku, berusaha tak tampak aneh.

"Ada yang bisa ku bantu?" tanya Aidan.

"Tidak, aku hanya lewat saja," jawabku. Tiba-tiba, [Name] keluar dari kamar.

"Siapa sih, Ai-" pertanyaannya terputus setelah melihatku. Ekspresinya langsung berubah.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya [Name], membungkuk seperti seorang putri. Aku tak dapat menyembunyikan wajah bingung ku.

"Untunglah, tidak ada. Aku hanya ingin berbicara dengan Aidan," jawabku seraya menatap Aidan. "Kau tak keberatan?"

"Tidak," jawab Aidan.

"Bicara empat mata saja. Kita bicara berdua," kataku.

"Baik. Disini?" tanya Aidan. Aku menggeleng.

"Di balkon saja. Aku bisa mengunci pintunya," jawabku.

"Oke. Bye, [Name]," ucap Aidan. [Name] tersenyum masam.

"Bye." [Name] pergi ke kamarnya. Aku memandangnya sampai dia hilang dari pandangan.

Aku membawa Aidan ke balkon.

"Ada apa?" tanya Aidan ketika aku sedang mengunci pintu balkon agar tak ada yang mendengar pembicaraan kami.

Aku menceritakan pada Aidan tentang masalah kemarin dan tentang aku dan Heather yang berbicara di pantai kemarin.

Sebenarnya, saat aku lagi pergi ke pantai, ada Heather sedang berdiri di pinggir laut. Dia menghampiriku dan mengajakku berbicara. Berbicara tentang kenapa aku selalu cepat-cepat sarapan.

Kujawab saja, tidur.

Dan tiba-tiba, kulihat [Name] di balkon, sedang memandang kami. Dia langsung berlari setelah aku melihatnya. Aku, ya, langsung mengejarnya. Dan, seperti itulah kemarin. Peter memanggilku lagi.

"Jadi, begitu? Aku tak tahu [Name] pergi ke balkon," kata Aidan. "Aku hanya menyuruhnya menemuimu."

"Ya, dia mau berbicara padaku kemarin, katanya. Dia selalu cerita padamu?" tanyaku.

"Iya, tapi dia keras kepala. Tak mau mendengarkan omonganku," kata Aidan.

"Keras kepala?"

"Yap. Kau belum melihatnya dari dekat saja," kata Aidan. "Hei, kau tahu sesuatu tentang Heather?"

"Membaca dengan poni yang berantakan," jawabku. "Aku tak tahu apa-apa soalnya."

"Kau yakin? Kalian seperti...," kata Aidan seraya menatapku, "... dekat."

"Semua orang selalu berpikir begitu. Berpikir aku menyukai Heather," kataku kesal. "Tapi mereka keliru. Aku tak suka Heather."

"Jadi?" tanya Aidan, mengulum senyum. Aku menatapnya dengan bingung.

"Tidak siapapun," jawabku. Bohong pastinya. Dikira aku mau langsung memberitahuinya?

"Yakin?" tanya Aidan. Aku tersenyum dan menunduk.

"Ya," jawabku. "Hei, jangan lupa ceritakan itu pada [Name], ya."

"Ceritakan apa?" tanya Aidan tidak mengerti.

"Yang tadi," jawabku. Aidan mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tak mau [Name] berprasangka buruk?" tanya Aidan.

"Dia akan mengira aku suka dengan Heather. Dan...," jawabku, "... dia pasti marah karena dia mengira aku berbohong padanya hari itu."

"Jujur," ucap Aidan, melihat pantai. "Aku suka dengan Heather."

Aku langsung menoleh terkejut. "Makanya kau waktu itu terjatuh dari kuda?"

"Tahu dari mana?" tanya Aidan.

"Lucy," jawabku, menahan tawa. "Kenapa kau menyukai Heather?"

"Aku tak tahu. Tiba-tiba, perasaan itu datang saja," jawab Aidan. Aku mengulum senyum. "Kalau kau, kenapa kau menyukai [Name]?"

Aku langsung melotot kaget. "[Name]? Aku suka dengannya?!"

"Ya. Itu buktinya," kata Aidan. Aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak," kataku singkat.

TOK! TOK! TOK!

"Siapa di sana?!" tanyaku dengan suara yang sangat keras.

"Lucy!" jawab orang itu yang ternyata Lucy. "Dan [Name]."

Aku langsung membuka pintu.

"Ada apa?" tanyaku dingin. "Jangan bilang, kalian mendengar pembicaraan kami."

"Sudah dengar, tentu," jawab [Name] menatapku dengan tajam. "Sike, just kidding. Lagian, buat apa sih, kami mendengar pembicaraan kalian."

Aku memutar bola mataku. "Mau ngapain?"

"Aku mau bermain dengan Aidan," jawab Lucy. "Kau mau, Aidan?"

"Tak keberatan tentunya," jawab Aidan, lalu dia melihatku. "Ed, itu saja?"

"Ya, itu saja," jawabku. Maksud Aidan adalah, pembicaraan kami tadi sampai itu saja atau masih ada lagi.

Aidan dan Lucy pergi. Tinggal aku dan [Name] disini.

Hening sebentar. Akhirnya [Name] berbicara.

"Sekarang, apa? Kau mau pergi dengan Heather?" tanya [Name], melipat tangannya di dada.

"Apaan sih. Sudah kubilang, aku tak suka padanya," jawabku, berjalan pergi, tapi aku berbalik lagi. "Kau mau sendiri di sini?"

"Ya," jawabnya dingin.

"Kau pandai main catur?"

ยฐ ยฐ ยฐ

"Kau dulu."

Aku mengajak [Name] bermain catur di ruanganku.

"Mending kau duluan," kataku.

"Tidak, kau dulu."

"Kau saja."

"Aku tidak mau. Kau duluan."

"Kau yang duluan."

"Hhh, ya sudah," kata [Name]. Dia bermain duluan.

Beberapa jam kemudian,

Aku sedang berpikir tentang bagaimana caranya aku menang. Kami sudah seri daritadi.

Kulihat [Name]. Dia menunduk pelan, lalu mendongak lagi dengan kaget.

"Ngantuk?" tanyaku dingin.

"Tidak," jawabnya, tapi dia menguap.

"Tidur saja. Di sofa itu," kataku, seraya menunjuk sofa yang ada di belakangku.

"Tidak usah. Aku ke kamar saja," kataku.

"Jauh sekali. Aku tak keberatan jika kau tidur di sofa itu," kataku. "Aku mau mempelajari catur ini."

Dia berdiri dan berbaring di situ. Aku masih diam di tempat.

Tiba-tiba, dia mengambil tanganku dan menggenggamnya. Aku kaget dan menoleh.

Matanya terpejam. Aku bingung, tetapi kubiarkan saja dia menggenggam tanganku.

Aku menatapnya. Dia sepertinya benar-benar mengantuk. Tidurnya nyenyak sekali.

Aku mengelus rambutnya dan tersenyum. Aku kembali mempelajari catur ini. Dengan tanganku masih menggenggam tangannya.

ยฐ ยฐ ยฐ

Your pov.

Kubuka mataku. Oh, ya, aku tidur nyenyak.

"Ed?" aku bangkit duduk. Kurasakan tanganku menggenggam sesuatu.

Ternyata, aku menggenggam Edmund daritadi. Aku langsung terdiam dan melepas genggamanku.

"Kau sudah bangun?" tanya Edmund.

"Belum nih. Masih di alam mimpi," jawabku. "Jam berapa sekarang?"

"Empat sore," jawab Edmund, membereskan caturnya. "Kau belum makan siang."

"Aku lupa," ucapku. "Kau sudah makan?"

"Tentu saja," jawab Edmund, "belum."

Aku berjalan ke jendela. Kulihat Aidan dan Lucy sedang duduk di pinggir pantai.

"Berapa lama aku tidur?" tanyaku.

"Sekitar dua jam," jawab Edmund.

"Apakah ada orang kesini?" tanyaku.

"Tidak," jawab Edmund. "Kau masih mau disini atau bagaimana?"

"Tentu saja aku mau keluar." Aku berjalan ke pintu. Tiba-tiba, Edmund memegang lenganku.

"Tunggu," ucapnya. "Aku ikut."

Kami bertatapan sebentar. Edmund masih memegang lenganku. Akhirnya, dia melepaskan lenganku dan merapikan mejanya, lalu kami keluar.

Aku berjalan dengan diam di sebelah Edmund.

"Aku mau ke ruang makan," ucapku. "Makan siang susulan."

"Ya, aku juga. Kau lupa aku tidak makan siang juga?" kata Edmund.

"Soal tadi itu-" Ucapan ku terputus.

"Kau tak sadar," kata Edmund.

"Iya, benar," ucapku.

"Kau sudah tak marah lagi padaku?" tanya nya.

"Masih," jawabku. "Tapi tak semarah kemarin."

"Bagus," gumam Edmund. Kami mulai diam lagi, sampai akhirnya kami tiba di ruang makan.

"[Name], kau baru makan?" tanya Louis.

"Ya, kami tadi tak melihatmu disini. Juga...," kata Millie, melihat Edmund.

"Ya, kami tadi bermain catur sebentar dan ternyata, dia tidur," ujar Edmund, melihatku. Aku memutar bola mataku.

"Ooh, baik. Sana, makan," kata Millie. "Jangan makan telat-telat, nanti sakit."

"Kau benar-benar seperti Mum," ucapku pada Millie, yang disambut dengan injakan kaki Millie.

Aku mengambil makananku dan duduk di meja makan. Edmund duduk di seberangku, yang artinya kami berhadapan.

Aku makan dengan diam tak bersuara.

"Kau tegang sekali," kata Edmund, melihatku. Memang, aku makan dengan gemetaran.

"Maaf," ucapku.

"Kau sakit, ya?" tanya nya.

"Tidak," jawabku, meneguk minumanku. Edmund menatapku dengan heran, lalu kembali makan.

Aku meletakkan gelas di meja kembali, tapi, saking bergetarnya tanganku, gelas itu jatuh dan airnya tumpah-mengenai baju Edmund.

"Maaf!" pekikku. Edmund melihat bajunya. "Aku tak sengaja."

"Ya, tidak apa-apa," ucapnya. Aku mengambil sebuah kain dan mengelap tumpahan itu. Edmund sudah selesai makan. Setelah mengelap bekas tumpahan, aku kembali makan. Dengan lebih cepat.

Sesudah makan, aku pergi ke kamar. Saat melewati koridor, aku melihat Heather dan Edmund.

Heather sedang melihat baju Edmund. Aku segera mundur dan bersembunyi di balik tembok. Aku mengintip mereka.

"Tidak usah," kata Edmund, mundur.

"Tapi, bajumu basah. Kena tumpah ya?" tanya Heather dengan wajah cemas.

"Dia tak sengaja. Aku tak apa-apa, terima kasih," kata Edmund, lalu dia pergi. Heather memandangnya dengan bingung.

Secepat mungkin, aku pergi ke kamar, mencari Aidan, dan menceritakan semuanya.

Percuma, Aidan kan lagi di pantai.

ยท
ยท
ยท

don't forget to vote n comment , thanks !

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen247.Pro