Chร o cรกc bแบกn! Vรฌ nhiแปu lรฝ do tแปซ nay Truyen2U chรญnh thแปฉc ฤ‘แป•i tรชn lร  Truyen247.Pro. Mong cรกc bแบกn tiแบฟp tแปฅc แปงng hแป™ truy cแบญp tรชn miแปn mแป›i nร y nhรฉ! Mรฃi yรชu... โ™ฅ

10

KEESOKAN harinya.

"Millie!" aku tersentak bangun. Aku melihat jendela.

Sudah pagi.

Terang.

Tidak ada orang di kamar ini.

"Millie???" Aku mencari-cari Millie. Aku merapikan rambutku yang sudah kusut.

Setelah mandi dan berganti baju, aku pergi keluar.

"Millie?" Aku memanggil-manggil Millie. Tiba-tiba-

BRUK!

"EH!" pekikku. Ada yang menabrakku. "Jalan lihat-lihat!"

"Maaf," ucap orang itu, ternyata Aidan.

"Aidan!" seruku marah.

"Maaf, aku tadi berlari karena dikejar Millie," ucap Aidan seraya mengulurkan tangannya untuk membantuku. Aku menerima uluran tangannya.

"Siku kau lecet," ucap Aidan. "Mau ke kamar dulu?"

Aku mengernyit heran.

"Tidak. Aku lapar. Biarkan saja, tak sakit," jawabku.

"Lapar? Tapi-oh," kata Aidan. "Ya, Millie bilang kau tidur larut malam. Kau pasti tak melihat wajah Edmund yang dingin sekali."

"Dingin? Kenapa dia?" tanyaku.

"Entahlah. Tumben," jawabnya. "Jadi kau mau sarapan? Di ruang makan?"

"Yeah, sendiri mungkin," jawabku. Aidan mengangguk lalu pergi. Aku pergi ke ruang makan.

Sendiri.

Di ruang makan, tak ada orang selain aku. Ku ambil sepiring makanan. Untung makanannya masih tersedia.

Aku duduk di salah satu kursi, yang paling ujung.

Oh, cepatlah. Aku malu berada di sini sendiri. Kok bisa aku telat bangun?!

Tiba-tiba, ada yang datang dan duduk di sebelahku. Aku menunduk. Oh, ya, pasti orang ini ingin mengata-ngatai ku.

"Telat bangun, ya?" tanya orang itu. Aku mengangguk. Dari suaranya saja, aku sudah kenal.

"Siapa suruh tidur larut malam," kata orang itu. Aku masih menunduk.

Edmund mengangkat kepalaku agar tak menunduk lagi. "Kenapa sih kau menunduk terus? Takut ku kata-katai? Pfft."

"Oh, ya, sudah tahu, kan? Sekarang, aku mau makan," ucapku, kembali melahap makananku.

Tapi, Edmund memegang tanganku dan merebut garpu ku secepat mungkin.

"Ed! Kembalikan!" kataku, berusaha menggapai tangannya. Edmund menaikkan tangannya, berusaha menjauhkan garpu itu dariku.

"Edmund!" aku berdiri. Dia juga ikut berdiri. Dia lebih tinggi dariku, makin susah menggapai tangannya.

Bagaimana pun aku berusaha menggapai tangannya, tetap saja hal ini tak terlepas dari eye contact.

Kami bertatapan.

Again.

Jantungku berdetak cepat. Pipiku mulai memerah.

"Duduk dulu," kata Edmund. Aku mendengus.

"Tak usah banyak peraturan. Kembalikan saja!" kataku.

"Kalau aku bilang duduk, ya duduk," kata Edmund. Aku mendengus dan akhirnya duduk.

Edmund memotong roti isi ku dengan pisau. Lalu, dia mengambil potongan roti itu dengan garpu.

Edmund menatapku, membuka mulutnya. "Buka mulutmu."

"Ngapain?"

"Buka saja," kata Edmund. Bagaimana pun, dia raja. Aku menurut dan membuka mulutku.

Ternyata, dia menyuapkan roti itu. Aku terkejut, jantungku berdetak kencang.

"Enak?" tanya Edmund, menatapku seperti biasa. Aku mengangguk.

Dan seterusnya, aku kembali makan sendiri. Tapi, Edmund tak pergi-pergi. Dia masih duduk di sebelahku.

"[Name]!"

Aku menoleh. Aidan berjalan menghampiri kami, lalu dia membelalak.

"Wow," gumamnya. "Maaf, aku mengganggu."

"Ada apa?" tanya Edmund pada Aidan.

"Aku ingin mengambil minuman. Aku kira [Name] sudah pergi," jawab Aidan. "Bagaimana lukamu, [Name]?"

Aku melotot. Edmund menoleh melihatku. Aidan mengulum senyum.

"Sudah kubilang, tidak sakit," kataku.

Bolehkah aku membungkusnya dan melemparnya ke samudra?

"Ohhh," kata Aidan, lalu pergi mengambil minuman. Tak lama kemudian, dia pergi kembali ke kamar.

"Luka? Luka apa?" tanya Edmund.

"Tidak apa-apa. Tidak ada luka sekalipun," jawabku.

Edmund menatapku dengan curiga. "Jujur, dimana lukanya?"

"Tidak ada," jawabku.

"Jujur."

"Hhh, baiklah. Di siku," jawabku seraya memutar bola mata.

Edmund melihat siku ku yang terluka.

"Berdarah begitu? Tak sakit?"

"Tidak."

"Sebentar," kata Edmund, berjalan pergi. Aku menunduk dan mendengus.

Tak lama kemudian, Edmund datang kembali sembari membawa beberapa alat-alat pengobatan.

"Mana sikumu?" tanya Edmund. Aku bingung.

Aku mengangkat sikuku. Edmund melihat siku ku, lalu dia mengobati siku ku dengan alat itu. Aku hanya bisa diam tak bersuara.

"Edmund, ini tidak sakit," ucapku dengan suara keras.

"Tidak sakit atau sakit pun, ini bisa semakin parah," katanya.

"Ini luka kecil!"

"Luka kecil? Sebesar ini kok. Nah sekarang, lebih baik kau tegak," katanya ketika aku mulai membungkuk. Dia memperban siku ku.

"Udah lumayan?" tanya Edmund seraya menatapku.

"Ya," jawabku. Edmund menyusun peralatannya dan pergi lagi untuk mengembalikan peralatannya ke tempat semula.

Setelah sarapan, aku pergi ke kamar.

Di kamar sangat sepi. Pasti Millie latihan panah. Itu kebiasaan barunya.

Aku keluar lagi, entah mau ke mana. Aku berjalan ke kamar Louis.

Sepi juga. Pasti mereka juga latihan.

Aku pergi ke balkon.

Di balkon, aku melihat pemandangan Narnia. Disini sejuk sekali. Tiba-tiba, ada yang memegang pundakku.

"[Name]!" panggil orang itu. Aku terlonjak kaget seraya menoleh.

"Lucy?" tanyaku. Ya, dia Lucy.

"Kau mau ikut kami ke hutan?" tanya Lucy.

"Kami?"

"Ya, aku, Aidan, dan Edmund," jawab Lucy.

"Edmund?"

"Ya, kata Peter, dia harus menjagaku."

"Aidan?"

"Aku mengajaknya. Kita naik kuda."

"Kuda? Aku tak berani."

"Tak apa. Kau mau satu kuda dengan Edmund atau Aidan?"

Aku berpikir sebentar.

"Aidan."

ยฐ ยฐ ยฐ

Aku dibawa Lucy ke halaman.

"Kau naik kuda mana?" tanya Aidan.

"Kuda mu, kujawab begitu tadi," jawabku. Aidan menyengir, tapi tetap menyuruhku naik. Aku berdiri di salah satu batu yang besar, lalu naik.

"Kita mau ngapain ke-" Belum sempat aku menyelesaikan pertanyaan ku, kuda ini sudah melompat dan berjalan.

"AIDAN!" pekikku kaget.

"Kau bagaimana sih? Kita ke hutan untuk jalan-jalan, ya, kan?" tanya Aidan pada Lucy.

"Iya," jawab Lucy. "Kau takut naik kuda?"

"Iya," jawabku. Kulihat Edmund tersenyum tanpa melihatku. Bilang saja mau tertawa.

"Bagaimana jika kita tersesat?" tanyaku.

"Tidak akan. Kami tahu jalannya," jawab Lucy. Aku hanya mengangguk.

"Aidan, sejak kapan kau pandai naik kuda?" tanyaku.

"Kau lupa? Dad kan punya kuda," jawab Aidan.

"Owh, aku lupa," kataku.

Beberapa saat kemudian,

"Edmund! Aku mau istirahat disini," ucap Lucy. Mereka berhenti. Kami juga.

Kami berhenti di pinggir sebuah sungai yang sangat jernih. Airnya bersih sekali. Banyak bunga bermekaran. Ada juga pohon apel di pinggir sungai.

Kulihat Aidan membungkuk, memegang air sungai.

"Dingin," katanya. Aku menghampirinya, ikut memegang air tersebut.

"Iya, dingin," ucapku.

Aku memasukkan kaki ku ke dalam air. Wow, segar sekali.

"Segar sekali," kataku. Seperti dua orang kembar, Aidan juga memasukkan kakinya ke dalam air.

"Jujur saja, kalian seperti sepasang kembar," kata Lucy, menghampiri kami sambil tertawa. Aku menatap Aidan.

"Kita tidak mirip," ucap kami serempak.

"Tuh kan," kata Lucy. Dia duduk di antara ku dan Aidan, ikut memasukkan kaki ke air.

"Wow, dingin sekali," ucap Lucy, tersenyum. Aku dan Aidan mengangguk.

Tiba-tiba, kulihat Edmund duduk di sebelahku. Aku diam tak berbicara.

"Apel?" tanyanya. Aku menoleh dan melihatnya yang memegang sebuah apel.

"Ada racun?" tanyaku ngawur.

"Ada, racun mematikan. Kau kira aku mau meracuni mu," kata Edmund sewot. Aku nyengir dan menerima apel itu.

Edmund ikut memasukkan kakinya ke dalam air. Dia tersenyum. Pasti karena airnya segar.

"Segar?" tanyaku, menatapnya. Dia mengangguk.

"Ya."

Aku menggigit apel ku seraya melihat sekeliling. Hutannya indah sekali. Tidak ada orang selain kami berempat. Tapi aku bingung, siapa makhluk kurcaci yang kami lihat waktu itu.

Kulihat Aidan dan Lucy bermain air. Edmund masih duduk di sebelahku.

Aku menghabiskan apelku secepat mungkin, lalu ikut bermain air bersama mereka. Edmund masih duduk.

"Edmund!" panggil Lucy. "Ayo!"

"Aku tak-"

Lucy memercikkan air kepada Edmund. Edmund terkejut dan berdiri. Dia memercikkan air pada Lucy. Lucy menghindar ke belakang Aidan. Edmund memercikkan air ke Aidan. Aidan terkejut dan malah memercikkan air padaku.

"Aidan!" pekikku. Aku memercikkan air ke bajunya.

Sampai seterusnya, kami bermain air. Aku juga berperang dengan Edmund.

ยฐ ยฐ ยฐ

Pulangnya, kami basah kuyup. Louis memarahiku dan Aidan, yang kami balas dengan menahan tawa.

Kami sudah bermain selama beberapa jam. Sebenarnya, tadi kami sampai tercebur ke sungai. Seru sebenarnya.

Sekarang sudah sore. Aku selesai mandi, dan makan. Makan sore, karena aku tadi tak makan siang.

Aku, Lucy, Aidan, dan Edmund makan berempat. Kami tak henti-hentinya menahan tawa. Kulihat Edmund berusaha untuk tampak tegas dan rapi, tapi wajahnya tak luput dari tersenyum.

Aku menyenggol lengan Aidan. Aidan menoleh. Aku menganggukkan kepala ke arah Edmund. Aidan menahan tawa. Tiba-tiba, Edmund melihat kami. Kami langsung berpura-pura makan dengan rapi dan teratur. Lucy hanya tersenyum, menahan tawa.

ยท
ยท
ยท

don't forget to vote n comment , thanks !

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen247.Pro