09
AKU terbangun dari tidurku. Aku bermimpi dikejar-kejar Aidan di kebun jagung.
"Sudah pagi," gumamku seraya melihat jendela.
"Hai, [Name]," sapa Millie yang baru masuk. Aku mengangkat alisku.
"Hai," balasku. "Bagaimana aku bisa ada di sini? Aku juga masih memakai baju kemarin."
Benar. Bajuku masih baju kemarin. Rambutku sudah kusut.
"Oh, kau diantar Edmund."
Tunggu, apa?! Aku diantar Edmund?! Ke kamar?!
Aku baru ingat. Tadi malam, aku ketiduran di pundak Edmund. Tapi aku tak sadar telah diantar olehnya.
"Edmund?!"
"Ya. Kau tak sadar, kan?" kata Millie, mengulum senyum. "Dia perhatian ya."
"Emang iya?" jawabku. Aku merapikan tempat tidur, lalu mandi. Aku mengucir rambutku.
Back to my style.
Aku dan Millie pergi sarapan, bersama Louis, Aidan, dan Pevensie bersaudara.
Selama sarapan, aku tak henti-hentinya melihat Edmund. Diam-diam tentunya.
Entah kenapa, semenjak tadi malam, perasaan ku berubah.
Memang benar kata temanku, benci adalah awal dari cinta.
ยฐ ยฐ ยฐ
"[Name]! Kau mau ikut aku latihan panah?" Millie menghampiriku yang sedang membaca di tempat tidur.
"Hmm-boleh. Ayo," jawabku. Millie membawaku ke tempat latihan.
Banyak orang disini. Kulihat ada Lucy, Susan, Peter, Louis dan Aidan. Louis sedang latihan pedang dengan Peter. Sementara Aidan sedang berkuda. Susan sedang membaca buku di pinggir lapangan. Sementara Lucy sedang mengobrol dengan Mr Tumnus.
Dimana Edmund?
"[Name]! Kenapa kau melamun?" tanya Millie. "Ayo! Kau mau melihat atau ikut latihan?"
Tak ada salahnya aku ikut latihan.
"Aku ikut," jawabku. Millie mengangguk.
"Oke. Ini panahmu," kata Millie seraya memberikanku sebuah panah. Aku menerima panah tersebut.
Aku dan Millie latihan di tempat latihan panah. Ada tiga papan sasaran di sini. Aku berlatih di salah satu papan sasaran.
Aku tak begitu tahu tentang panah. Jadi, aku melakukan sesuai yang pernah kulihat saja.
Ku tembak anak panah itu ke sasaran warna merah. Dan...
Anak panah itu menancap ke lingkaran merah.
"Wow. Bagus, [Name]," ucap Millie. Aku tersenyum. Aku mencoba lagi. Tapi tiba-tiba ada yang memegang panahku.
"Begini," kata orang tersebut. Aku terbelalak terkejut. Kulihat orang itu.
"Ed?!" tanyaku. Orang itu tak menjawab dan membetulkan pegangan ku.
"Nah, sekarang, tembak," kata Edmund. Aku menembak anak panah itu. Wow, merah lagi.
"Bagus," kata Edmund seraya menepuk-nepuk pundakku. Aku tersenyum.
"Hmm," kudengar Millie bergumam. "Bagaimana?"
"Apaan sih," kataku bingung. Millie mengulum senyum, bergantian memandangku dan Edmund.
"Millie!" seruku. Millie tertawa pelan.
Aku latihan selama setengah jam. Aku duduk di bawah pohon saat selesai latihan.
Aku meneguk minumanku. Millie masih latihan.
Kulihat seseorang dari jauh. Wow, itu Edmund, sedang berbicara dengan Aidan dengan pedang di tangan mereka.
Aku memandangnya. Tiba-tiba, dia melihatku. Pipiku langsung merah dan aku langsung membuang muka.
"Hei!" Edmund menghampiriku. Aku menunduk, menutupi muka ku yang memerah. "Ngapain melihatku?"
"Aku hanya melihat Aidan," jawabku, berbohong. "Siapa yang melihatmu."
"Lah bohong. Kau melihat Aidan, benarkah? Suka sama sepupu sendiri?"
Aku melotot. "Heh, ya tidaklah. Aku suka sama Aidan? Tak mungkin."
"Jadi? Kau bilang kau melihat Aidan. Bohong?"
Aku diam.
"Jangan bohong," kata Edmund seraya menatapku dan tersenyum. "Jujur."
"Iya, iya! Aku melihatmu," ucapku jujur. Edmund tersenyum puas.
"Kenapa kau melihatku?" tanya Edmund.
"Kau banyak tanya," ucapku, menyembunyikan pipi merah.
"Jawab."
"Tidak apa-apa. Mataku tiba-tiba terarah ke arahmu," jawabku tak jelas.
"To the point saja," kata Edmund, tersenyum, dan merapikan rambutku.
Oh, tolong aku.
"Yah, begitu," ucapku. "Aku tak tahu cara menjelaskannya."
"Ke pantai, mau? Atau perpustakaan? Atau apa?" tanya Edmund. Aku menatapnya.
"Perpustakaan."
ยฐ ยฐ ยฐ
Aku duduk membaca buku. Ceritanya seru. Aku melihat Edmund yang sedang memilih buku.
"Kau memilih buku apa?" tanyaku.
"Ini. Aku ingin mencari informasi. Kau baca buku apa?" jawabnya, balik bertanya.
"Buku cerita. Sebenarnya, aku meminjam banyak buku." Aku menunjukkan setumpuk buku. Edmund mengernyit heran.
"Banyak sekali. Kau yakin mau baca semuanya?" tanyanya.
"Iya, mungkin. Hei, mengapa perpustakaan ini sepi sekali?" tanyaku heran.
"Oh, kadang ada yang kesini. Palingan Susan. Dia suka membaca," jawab Edmund, membuka bukunya.
"Kau? Kenapa ke sini?" tanyaku.
"Mencari informasi," jawab Edmund.
"Tentang?"
"Narnia," jawab Edmund.
"Buat apa?"
"Tidak apa-apa. Sekedar ingin tahu," jawab Edmund. "Sekarang, kau mau membaca atau terus bertanya?"
"Hmm, maaf," ucapku, kembali membaca. Sesekali aku melirik Edmund.
Baca buku saja sudah tampak tampannya.
"Hei!" Edmund melambai-lambaikan tangannya, membuyarkan lamunanku. "Kau kenapa?"
"Ouh, tidak apa-apa. Aku hanya melamun," jawabku. Edmund melihatku dan mengambil sebuah kertas.
"Main tebak kata?" tanya Edmund. Aku menatapnya dengan bingung.
"Bagaimana?" tanyaku.
"Nulisnya dengan nomor berapa hurufnya," jawab Edmund.
"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.
"Misalnya, abc jadi 123. Tapi nulisnya pakai koma setiap huruf dan spasi setiap kata," jelas Edmund. "Contohnya, aku ingin menulis Narnia. Dan aku menulisnya dengan angka. Jadi;
14, 1, 18, 14, 9, 1."
"Oohhh," gumam ku yang sudah mengerti. "Mudah."
"Baiklah. Ayo. Siapa duluan?" tanya Edmund.
"Aku," jawabku, seraya mengambil kertas itu. "Tutup matamu!"
Edmund melihatku, lalu menutup matanya dengan kedua tangannya.
Aku menulis di kertas itu.
1, 20, 20, 18, 1, 3, 20, 9, 22, 5
Attractive.
"Nah," kataku, memberikan kertas itu pada Edmund yang sudah membuka matanya. "Tebak."
Edmund mengamati angka-angka itu. Lalu dia menulis di kertas itu.
"Attractive. Siapa yang menarik?" tanya Edmund, tersenyum. Aku tersenyum.
"Pikir saja," jawabku, melipat tangan.
"Sekarang, aku," ucap Edmund. Edmund menyuruh ku menutup mata. Lalu, dia menulis di kertas itu.
"Nih." Edmund memberikan kertas itu padaku. "Tebak."
Aku mengamati angka-angka itu.
9 12, 9, 11, 5 25, 15, 21
Aku menulis di kertas.
"I...," gumamku seraya menulis huruf pertama. "... like..."
BRUK!
Pintu perpustakaan terbuka. Aku dan Edmund refleks menoleh.
"[Name]!" Ternyata Aidan. "Kau mau melihat aku melempar pisau ke papan sasaran panah?"
"Pisau?" tanyaku bingung. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Lihat saja," kata Aidan, menarik lenganku.
"Aidan! Sebentar dulu!" pekikku.
"Kau mau berlama-lama dengan Edmund, ha?" tanya Aidan. Aku melotot.
"Heh! Tidak ya," ucapku.
"Jadi?"
"Aku mau membereskan buku ku tadi."
"Tidak usah alasan. Ayo!" Aidan menatapku seraya menyeringai. Aku mengernyit heran.
ยทยทยท
Edmund pov.
Aku bingung.
Salahkah jika aku langsung bilang padanya bahwa aku menyukainya?
Aku sengaja mengajaknya bermain tebak kata, hanya untuk mengatakan itu lewat tulisan.
I like you.
Tapi masalahnya, aku tidak tahu [Name] menyimpan rasa dengan siapa.
Mungkin lebih baik, aku pendam dulu.
Aku menyusun buku-buku ku, juga buku-buku [Name].
Sepi.
Hanya aku sendiri yang ada di sini. Aku terbiasa.
Makanya aku mengajak [Name] kesini.
Aku keluar dari perpustakaan, pergi ke kamar.
Aku duduk di tempat tidur, memandang langit-langit.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka dan Peter masuk ke dalam.
"Peter?" tanyaku.
"Ya? Kau kenapa tak ikut latihan?" tanya Peter.
"Tidak apa-apa. Peter, aku ingin bertanya sesuatu," ucapku. Peter duduk di sebelahku.
"Peter, jika kita menyukai seseorang, apakah sebaiknya kita langsung katakan atau simpan sendiri?" tanyaku. Peter menatapku heran.
"Tumben kau tanya gini. Kenapa? Kau suka [Name]?" tanya Peter. Aku menggeleng cepat.
"Tidak! Aku hanya bertanya!" kataku. "Bagaimana menurutmu?"
"Katakan saja, kalau kau berani. Dekati dulu, baru katakan. Kalau tidak dekat ya... jadi canggung," jawab Peter. "Kau suka sama siapa memangnya?"
"Tidak ada. Aku hanya bertanya," jawabku.
Lalu, Peter membicarakan tentang masalah Narnia. Aku berdiskusi dengannya. Tapi pikiranku selalu tertuju pada [Name].
Ed, Ed, fokus!
ยฐ ยฐ ยฐ
Your pov.
"Aidan, aku mengantuk," ucapku pada Aidan yang terus menyuruhku berdiri di sebelahnya, melihatnya melempar pisau ke papan itu.
"Lah bohong. Bilang saja mau ketemu Edmund," kata Aidan. "Coba kau lempar ini."
"Hei! Aku tidak pandai!" ucapku, tapi Aidan tetap memberikan pisau itu.
"Untung aku baik. Kalau tidak, sudah kulempar pisau ini ke badanmu," kataku.
"Psycho," kata Aidan. "Cepetan, lempar!"
"SABAR!" seruku. Aku melempar pisau itu ke papan, tapi pisau itu malah menancap ke pohon.
"Ups, sudah kubilang," kataku. "Aku tak punya kekuatan melempar pisau langsung tepat sasaran, Aidan."
"Panah? Mau?" tanya Aidan, memberikan panah.
"Nah, kalau panah aku masih bisa," jawabku, menerima panah itu. "Lihat."
Aku membidik anak panah itu ke papan. Dan benar saja, tepat sasaran lagi ke bagian warna merah.
"Wow," ucap Aidan. "Pedang?"
"Tidak. Sampai kapanpun aku tak mau bertarung dengan pedang," kataku. "Ngeri."
Aku berjalan pergi.
"Hei! Kau mau kemana?" tanya Aidan.
"Ke kamar. Tidur," jawabku.
"Oh," gumam Aidan. Aku masuk ke dalam.
Di kamar, aku bertemu Millie.
"Millie," panggilku. "Aku ingin bertanya sesuatu."
"Tanya apa?" tanya Millie.
"Sini dulu." Aku menyuruh Millie duduk di tempat tidur. Millie pun duduk di tempat tidur.
"Ada apa?" tanya Millie.
"Millie, kau pernah menyukai seseorang?" tanyaku. Millie terbelalak dan mengangguk.
"Tentu pernah. Kenapa? Kau lagi suka sama seseorang?" jawab Millie, balas bertanya.
"Tidak!" jawabku. "Aku hanya bertanya."
"Millie, menurutmu, jika kita menyukai seseorang, lebih baik jadi sahabat atau lebih dari sahabat?"
Millie terbelalak kaget. "Sahabat? Kau mau hanya sahabat?"
"Kalau hanya aku yang suka, lebih baik sahabat," jawabku.
Aku tak tahu Edmund suka padaku atau tidak. Kalau aku, tentu aku suka padanya.
Benarkah perasaanku padanya sudah berubah?
Dan benarkah kami dari musuh menjadi sahabat?
ยท
ยท
ยท
don't forget to vote n comment , thanks !
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro