06
INI hari kedua sebelum pesta dansa. Aku mondar-mandir gelisah di depan Millie.
"[Name], tolong hentikan itu. Jangan mondar-mandir di depanku, atau kubawa kau ke gudang," kata Millie dengan kesal.
"Millie, aku gelisah dengan pesta dansa nanti. Aku tak mau berdansa dengan Edmund!" kataku.
"Ya sudah, kau tidak usah ikut pestanya," kata Millie.
"Ide bagus."
"Just kidding!" ucap Millie. "Kau harus ikut pesta dansa itu!"
"Oh, ayolah. Aku tak mau berdansa. Aku tak pernah berdansa sama sekali dan aku tak mau berdansa dengan Edmund. Kau tahu, aku tak bisa bersikap layaknya seorang putri yang lembut," jelasku. Millie mengernyit.
"Tak pernah berdansa? Seingatku dulu kau pernah berdansa dengan Aidan saat acara keluarga," kata Millie. Aku ternganga.
"Kau lupa?! Waktu itu aku menumpahkan sirup ke baju Aidan. Sengaja, biar aku tak berdansa," kataku. Millie terkejut.
"Lupakan. Aku sudah meminta maaf padanya," lanjutku, nyengir.
"Kau tak pernah ikut pesta dansa sekolah?" tanya Millie.
"Pernah. Hanya mendaftarkan nama dan makan makanannya yang lezat-lezat. Sisanya, aku tidur di kelas sendirian. Kau tahu, AC kelas ku sejuk sekali, membuatku mengantuk," kata ku, membayangkan kelasku.
"Siapa yang mengajakmu berdansa?" tanya Millie.
"Oh, pertanyaan itu... tak bisa kujawab," kataku. Millie mengernyit.
"Alias, tak ada yang mengajakku, haha." Aku memaksa diri untuk tertawa. "Semua orang tahu aku tak suka pesta."
"Ya, jika disuruh memilih ke restoran pizza dengan Edmund atau mengikuti pesta dansa sekolah, kau pasti lebih memilih ke restoran pizza dengan Edmund," kata Millie. Aku mengernyit.
"Kenapa harus ada 'dengan Edmund' nya, sih?" tanyaku kesal.
"Kau sama Edmund adalah partner yang baik," ucap Millie.
"Ya, partner yang sangat baik dan panas." Aku berpura-pura mengipas wajahku. "Panas sekali."
"Bangun, [Name]. Edmund itu tampan, tinggi, bijak lagi, nyaris sempurna. Dan kau... kenapa tidak suka dengannya?" tanya Millie.
"Karena... dia hanya bersikap seperti itu pada kalian. Kau tahu? Dia sangat dingin padaku, seolah aku adalah kucing yang bersiap untuk mencakar nya," kataku.
"Hmm, terserah. Awas menyesal, tak suka dari sekarang," kata Millie, tersenyum, dan keluar dari kamar.
Aku masih berdiri, tercengang.
"Aku harap tak pernah!!" kataku.
"Awas suka!!!" kata Millie.
"Millie!!!!" seruku. Kudengar Millie terkekeh.
Astaga, kemarin Louis, Aidan. Sekarang, Millie. Mereka sama saja.
Edmund tampan? Oh, aku belum melihatnya. Mataku dibutakan oleh kedinginannya.
ยฐ ยฐ ยฐ
"[Name]!" Lucy memanggilku. "Kemari! Ikut aku!"
Aku mengikuti Lucy dengan tatapan bingung. Lucy membawaku ke ruangan raja dan ratu.
Kulihat ada Millie dan Susan disitu, sedang mengobrol girang.
"Ada apa, Lucy?" tanyaku.
"Kau harus melihat gaun pesta dansa mu," kata Lucy.
"Gaun pesta dansa??" tanyaku.
"Ya. Tentu, kau harus memakai gaun. Aku, Susan, dan Millie telah memilih gaun kami dan sudah mencobanya. Tinggal kau yang belum," kata Lucy. "Sekarang, ayo pilih gaun mu!"
Lucy menunjuk sofa yang penuh dengan gaun. Aku melotot, terkejut melihat tumpukan-tumpukan gaun itu.
Astaga, jujur saja, aku jarang memakai gaun.
Aku memilih gaun yang menurutku cocok dengan ku, sesuai warna favorit ku. Pilihannya banyak sekali sampai aku susah memilih.
Akhirnya, aku memilih satu gaun yang paling ku sukai.
Ya, biru. Yang penting ada birunya.
"Ini?" tanya Susan ketika aku menunjuk gaun itu. "Cocok juga denganmu."
"Terima kasih," ucapku. Aku mencoba gaun itu. Wow, aku tampak lebih kalem dari biasanya. Millie tertawa-tawa melihatku yang sok berlagak seperti seorang putri.
ยฐ ยฐ ยฐ
"[Name], kau yakin akan ke pesta dansa dengan rambut dikucir seperti biasa?" tanya Millie seraya mengernyit.
"Ya," jawabku seraya menoleh.
"Tidak. Aku akan menata rambutmu nanti," kata Millie.
"Terserah," kataku. Millie menggeleng-gelengkan kepala, lalu membaca buku nya lagi. Aku pergi keluar, ke kamar Louis dan Aidan.
Aku membuka pintu kamar mereka. Kosong. Tak ada orang.
"Halo? Ada orang?" tanyaku saat masuk ke kamar mereka.
"Tumben kosong," gumam ku. Aku melihat sebuah kertas di atas kasur. Aku mengambil kertas itu dan melihat seluruh isi kertas itu.
Sebuah peta. Peta yang digambar sendiri. Seperti gambar Louis. Aku sangat mengenal gambaran Louis. Dia lumayan pandai menggambar. Masuk ke Narnia, gambarnya semakin bagus.
Aku membawa kertas itu keluar. Aku melihat peta itu. Wow, lengkap. Eh, salah. Ada yang belum selesai.
BRUK!
"Aduh! Siapa sih?!" pekikku setelah tertabrak orang.
"Jalan itu lihat-lihat!" kata orang itu. Aku mendongak.
"Bisa tidak, sih, sehari aku tidak usah bertemu denganmu?!" tanyaku, mendengus pelan.
"Kau yang selalu muncul," katanya seraya berdiri. Dia mengulurkan tangannya.
Aku melihat tangannya dan menerima uluran tangannya.
"Apa itu?" tanya Edmund, melihat kertas Louis yang tergeletak di lantai. Dia membungkuk untuk mengambil kertas itu.
"Hei! Jangan!" pekikku, mengambil kertas itu duluan.
"Aku cuman mau lihat!" kata Edmund. Aku menggeleng.
"Maaf, tapi nanti rusak," kataku.
"Sebentar saja," desak Edmund.
"Tidak boleh!" kataku. Edmund mengulurkan tangannya, mau mengambil kertas itu. Tapi, aku menahan kertas itu. Kami pun jadi berebut kertas itu.
KREK!
Kertas itu sobek, terbagi menjadi dua. Aku mendengus pada Edmund dan melihatnya dengan marah.
"Tuh, kan. Kau lihat sekarang?! KERTASNYA ROBEK!" seruku marah.
"Siapa suruh kau tak memberikan kertas itu dari awal," kata Edmund. Aku menatapnya tajam, mulutku ternganga.
"Eh, eh, kenapa kau menyalahkan aku?! Kau yang maksa!" kataku.
"Makanya jangan pelit!" kata Edmund.
"Itu punya Louis!" kataku. Seperti magnet, kudengar suara langkah kaki mendekati kami. Kami menoleh terkejut. Sedari tadi hanya kami berdua yang ada di sini.
"Apa??" tanya orang itu. Gawat, itu Louis. Aku kembali melihat Edmund, terbelalak.
Aku menarik tangan Edmund, mengajaknya berlari.
"Eh-hei?!" pekik Edmund kaget. "Kenapa kau menarikku berlari?!"
"Kau mau aku dimarahi Louis. Itu kan kertasnya! Sudah lelah dia membuatnya, eh kau robek," kataku, berlari sekuat tenaga.
"Kau yang mengambil dari kamarnya," kata Edmund.
"Ya, benar. Sekarang, akan sangat ku hormati jika kau ikut bersembunyi denganku. Nah, disini saja," kata ku, bersembunyi di balik sebuah tiang istana. Aku bersender ke tiang itu,
"Aku tidak apa-apa jika kau dimarahi," kata Edmund. Aku mendelik dan menginjak kakinya.
"Sakit!" pekik Edmund. Aku menutup mulutnya.
"Diam!" kataku, lalu menurunkan tanganku kembali.
"Halo? Siapa yang memanggil-" kudengar ucapan Louis yang tersela.
"Halo?! Siapa yang merobek kertas ini?!" tanya Louis. Sunyi senyap. Kami diam, mengintip Louis yang sedang mengutip kertas nya yang robek menjadi dua.
Aku berhadapan dengan Edmund. Jarak kami sangat dekat. Aku mengintip Louis, perlahan. Tak lucu jika aku ketahuan dan disuruh pulang.
Saat aku berbalik, karena Louis melihat ke depan, aku langsung bertatapan dengan Edmund.
Jantungku berdegup kencang. Astaga, ini dekat sekali. Aku tak bergerak sama sekali. Cukup lama kami bertatapan, sampai akhirnya aku mendengar langkah Louis yang menjauh.
"Huh," aku menghembuskan napas lega. "Itu tadi..."
"Jujur, aku tak bernapas," kata Edmund, tersengal. "Eh, kau tadi gugup sekali ya? Jantung mu berdetak kencang sekali. Kau takut sekali, ya, dimarahin kakakmu."
Bagaimana bisa dia mendengar detak jantungku tadi yang kencang sekali.
"Louis kalau marah seperti volcano, mengerikan," ucapku seraya mengernyit.
Aku melihat rambut Edmund yang sedikit berantakan. Aku mengulurkan tanganku dan merapikan rambutnya. Dia kaget dan menatapku. Aku jadi terkejut karena dia menatapku.
"Rambutmu berantakan," ucapku. Dia mengangguk dingin.
"Tak ada orang kan?" tanyaku, melihat sekeliling.
"Tidak ada," jawab Edmund. Aku pergi ke kamar.
"Hei, dari mana saja?" tanya Millie saat aku membuka pintu.
"Emm-balkon," jawabku berbohong. Pipiku merah.
"Pipi merah, ngomong terbata-bata, ada yang aneh," kata Millie sok detektif. "Kenapa pipimu merah?"
"Emang iya?" aku berpura-pura melihat cermin. "Aku baru tahu."
Aku berbaring di tempat tidur, berusaha tak melihat Millie. Tapi, Millie terus melirikku. Akhirnya memutuskan untuk tidur.
Hei, hei, hei, bagaimana bisa tidur? Pikiranku selalu tertuju pada kejadian tadi. Bagaimana bisa?
Bisa-bisanya aku menatapnya dalam jarak yang dekat. Aku berusaha tak memikirkan itu, tapi tak bisa. Pikiran itu selalu muncul dalam benakku.
Kenapa pipiku merah? Jantung ku berdegup kencang? Dan aku jadi gugup?
Masa, sih, aku suka sama dia?
ยฐ ยฐ ยฐ
KREK!
"Millie!" Louis membuka pintu kamar tiba-tiba. Aku yang sedang berbaring, terlonjak.
"Hei! Kau seharusnya mengetuk pintu terlebih dahulu!" kata Millie yang terkejut ketika sedang membaca buku.
"Maaf. Kau tahu siapa yang merobek peta yang telah ku buat?" tanya Louis. Aku langsung berbaring ke arah lain, berusaha tak dilihat Louis.
"Peta? Aku tidak tahu. Kenapa memangnya?" tanya Millie. Louis menunjukkan kertas yang telah robek itu.
"Ini. Sudah lelah aku membuatnya, malah dirobek. Kau yakin tak tahu siapa yang merobeknya?" tanya Louis lagi. Millie menggeleng.
"Tidak. Aku tidak tahu," jawab Millie. Aidan masuk ke dalam.
"Ada apa?" tanya Aidan. Louis menjelaskan tentang peta nya yang telah robek.
"Aku tidak tahu," jawab Aidan.
"Yakin? Aku curiga pada mu dan [Name]," kata Louis. Aku terkejut.
"Kalian kan suka bersekongkol dan suka membuat masalah," kata Louis. Aidan terkejut.
"Membuat masalah?! Kami tak seperti itu!" kata Aidan membela diri. "Iya, kan, [Name]?"
"Ya," jawabku singkat, masih berbaring ke arah lain. Jangan sampai aku ketahuan.
"Aku tadi di pantai," kata Aidan.
"Lalu, siapa?" tanya Louis.
Kami diam.
"Kenapa diam semua? Hei!" kata Louis.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengakui.
"Aku yang salah," ucapku, bangkit dari tempat tidur. Mereka memandangku.
"A-Apa?!" tanya Louis.
"Aku yang salah," ulangku.
"Kau yang merobek ini?" tanya Louis. Aku mengangguk pelan.
"Jelaskan semuanya. Apakah kau bersama orang lain?" tanya Louis dengan tajam. Dia sebenarnya tampan, garis bawahi tampan. Tapi jika dia marah, rasanya seperti ingin pergi ke Kutub Utara dan menyelam di air es.
"Ya," jawabku.
"Siapa?" tanya Louis. Aku berusaha tak menatap matanya. Aku terdiam.
"Kau dengan siapa?" tanya Louis lagi, lebih lambat.
Akhirnya aku menjawab.
"Edmund."
ยฐ ยฐ ยฐ
Tak ada yang lebih buruk dari pada ini. Louis terus mengoceh, memarahiku.
"Dan kenapa kau bersembunyi-"
"Kenapa kau hanya memarahiku?!" Aku menyela ucapannya. "Edmund yang ingin merebut peta itu dari ku!"
"Kau ingin aku memarahi raja?!" tanya Louis menatapku. Aku terdiam.
"Kita... akan... pulang," ucap Louis membuatku langsung marah.
"Louis! 'Kita akan pulang'?! Tidak! Aku tidak mau pulang!" kataku.
"Paman dan bibi pasti sudah mencari kita!" kata Louis.
"Tidak, Louis! Lucy bilang, selama apapun kita di Narnia, itu hanya sedetik di dunia asli!" kataku.
"Lebih baik kita pulang daripada kau membuat masalah lagi disini," kata Louis. Aku menatapnya dengan marah, lalu pergi keluar.
Di koridor, aku bertemu Edmund.
"Kau! Sini!" Saking marahnya aku sampai tak sadar siapa yang ku marahi.
"Ap-Hei?!" tanya Edmund bingung. Aku mendorong nya.
"Kenapa kau ingin merebut peta itu tadi?!" kataku marah-marah.
"Apa sih maksudmu?" tanya Edmund tak mengerti. Aku menunduk. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat kacau hari ini. Louis terus memarahiku, dan dia bilang KAMI AKAN PULANG?!
"Maaf, aku memarahimu tadi," ucapku, mengusap air mataku-yang sialnya sudah terjatuh. "Aku terlalu... marah."
"Kenapa sih?" tanya Edmund. "Kasih tahu saja semua."
"[Name]!" Louis, Aidan, dan Millie menghampiriku. "Oh, hai Edmund."
"Ayo, Edmund." Aku menarik tangan Edmund, pergi ke balkon.
"Hei?! Mau ke mana?" tanya Edmund kaget.
"Akan kujelaskan padamu," kataku. Edmund hanya pasrah dan mengikuti ajakanku.
Dari belakangku...
"Sudah kubilang, dia ada sesuatu dengan Edmund," kata Aidan.
"Tadi pipinya merah," kata Millie seraya tersenyum.
Aidan menahan tawa.
"Tuh, kan, benar," kata Aidan, terkekeh.
ยฐ ยฐ ยฐ
"Ada apa sih?" pertanyaan itu yang langsung meluncur dari mulut Edmund ketika kami sampai di balkon.
Aku menceritakan semuanya.
"Oh," kata Edmund. Aku ternganga.
"Cuman 'Oh'?!" tanyaku dengan getir.
"Ya. Maksudku, kenapa Louis tidak memarahi ku?" tanya Edmund.
"Kau raja!" jawabku. "Dan aku, adiknya."
"Lebih baik, kau buat lagi petanya. Peta baru," kata Edmund. Aku menatapnya dengan tajam.
"Aku tak tau seluruh isi Cair Paravel ini. Dan kau tak sadar, kau juga ikut merobek itu," kata ku. Edmund menatapku.
"Tidak mau juga tak apa. Kau raja dan... sering sibuk," lanjutku.
"Aku ikut," kata nya. Aku menatapnya. "Aku ikut membantu mu. Hanya untuk bertanggung jawab."
"Yakin?" tanyaku.
"Ya," jawabnya.
"Buat sekarang? Aku tak mau Louis meledak lagi," kata ku.
"Sekarang juga tak apa," jawab Edmund dingin. "Di ruangan raja saja."
ยฐ ยฐ ยฐ
Alhasil, setelah itu, kami ke ruangan Edmund. Ya, disitu ada meja. Aku menggambar peta, dibantu oleh Edmund yang mengetahui seisi Narnia. Tapi sepertinya tak mungkin. Narnia sangat besar.
"Gambarku tak bagus," kataku, melihat gambar yang kugambar.
"Lumayan," jawab Edmund singkat. Edmund menatapku dari tadi. Aku hanya menunduk, pura-pura menggambar lebih banyak. Kenapa sih dia hari ini?
Malam harinya, petanya selesai. Aku dan Edmund memberinya pada Louis. Aku juga meminta maaf pada Louis.
"Berhasil," bisikku pada Edmund.
"Sudah kubilang," kata Edmund.
"Ehem." Ada yang berdeham di belakangku. Aku menoleh. Astaga, aku lupa ada dia-Aidan.
Aku mengangkat alisku dengan tajam.
"Selamat malam," ucap Edmund kepada kami.
"Bye," bisiknya padaku.
"Bye," balasku. Edmund pergi. Aidan sepertinya siap melontarkan kata-katanya, seperti biasa, mengira aku suka pada Edmund.
ยท
ยท
ยท
hi, thanks udah baca. vote+comment yaa.
byeee, sorry kalo ada typo.
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro