05
KEESOKAN harinya.
"[Name]! [Name]!" Lucy memanggilku.
"Ada apa, Lucy?" sahutku.
"Kemari! Susan ingin memberitahu sebuah pengumuman," kata Lucy seraya menarik tanganku.
Lucy membawaku ke ruangan utama. Kulihat Louis, Millie, dan Aidan sudah berada di ruangan itu, berdiri. Lucy membawaku ke samping Aidan, lalu dia pergi ke samping Susan.
Susan memegang sebuah perkamen. Dia membaca perkamen tersebut.
"Selamat pagi. Kami, dari kerajaan Narnia ingin memberitahu bahwa akan diadakannya Pesta Dansa di Cair Paravel ini, tiga hari lagi. Silahkan cari partner atau pasangan dansa kalian. Saat di pesta nanti, akan dihidangkan makanan-makanan istimewa untuk para warga Narnia di Cair Paravel ini. Sekian, terima kasih," jelas Susan. Kudengar riuh-riuh para masyarakat Narnia yang baru saja mendengar pengumuman itu.
Aku melihat Aidan dengan ngeri. Begitupun dia.
"Aku tak pernah mengikuti pesta dansa," kata Aidan dengan kesal.
"Tak mungkin aku berdansa denganmu kan," ucapku. Aidan mengangguk.
"Ehem, kepada kalian berempat," Peter menghampiri kami berempat, "Kami ingin berbicara dengan kalian sebentar di ruangan kami. Apakah kalian keberatan?"
"Tentu tidak," jawab Louis, tapi wajahnya tampak gugup. "Dengan senang hati."
"Terima kasih. Ayo," Peter membawa kami ke ruangan Ratu dan Raja.
Hanya kami berdelapan-aku, Aidan, Louis, Millie, Lucy, Susan, Peter, dan Edmund-yang ada di ruangan itu.
"Hmm, begini. Karena akan diadakannya Pesta Dansa, sudahkah kalian berpikir untuk mencari pasangan dansa?" tanya Susan.
"Belum," jawab kami serempak. Lalu kami saling pandang.
"Hmm, aku tak tau kalian keberatan atau tidak, tetapi, hanya kita berdelapan yang sama," kata Susan. "Kita sama-sama dari dunia manusia."
Kami mengangguk pelan.
"Jadi, apakah kalian keberatan jika kami mengajak kalian menjadi partner dansa kami?" kata Susan.
Kami saling pandang.
"Tidak apa-apa," jawab Millie. Aku dan Aidan masih saling lirik saking bingungnya.
"Kita berpasangan sesuai umur, siapa yang umurnya paling dekat, itulah partnernya," kata Susan.
"Hmm, seperti ini," kata Susan. "Peter dengan Millie..."
Millie tampak terkejut, tapi berusaha tetap tenang. Millie seumuran dengan Louis dan Susan.
"... aku dengan Louis..."
Louis memandang Susan dengan terkejut. Mereka seumuran.
"... Lucy dengan Aidan..."
Aidan mendelik kepadaku. Aku menginjak kakinya. Aidan lebih tua daripada Lucy. Kulihat Lucy hanya tersenyum. Dia tak punya pilihan kecuali dengan Aidan.
Lalu, Susan diam sebentar.
"Itu dia pasangan partner nya," kata Susan, menghela napas. Aku bingung, kenapa namaku belum disebut. Mungkin aku dengan Mr Tumnus. Mana ada yang mau sama ku.
"[Name]?" tanya Aidan kepada Susan. Susan menoleh dan menepuk dahinya.
"Ah, aku lupa," kata Susan. "[Name] dengan Edmund."
Deg. Ingin rasanya aku berlari keluar dari ruangan ini setelah mendengar pernyataan bahwa aku akan menjadi partner dansa Edmund.
Kulihat wajah Edmund. Dia tampak makin dingin dari biasanya, apalagi dengan pernyataan ini.
"Baiklah, itu saja. Aku dan Lucy akan menyiapkan gaun untuk Millie dan [Name] nanti," kata Susan. Kami mengangguk. Tak lama kemudian, kami kembali ke kamar.
Aku berjalan paling belakang. Pikiranku benar-benar kacau.
Keadilan macam apa ini?! Aku harus berdansa dengan Edmund?!
Lebih baik aku berdansa sendiri dari pada dengan Edmund.
"Hei!" Aidan membuyarkan lamunan ku. "Kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawabku, berusaha menutupi kekesalan ku.
"Kenapa sih kau tidak mau cerita? Lagipula, kau cocok sama Edmund," kata Aidan.
Aku mendelik saking kagetnya. Lalu aku menginjak kakinya.
"Apa-apaan sih?! Omong kosong!" kataku, lalu berjalan lebih cepat. Aidan mengerang kesakitan, dan kembali berjalan.
Oh, astaga, apa-apaan itu. Aku cocok sama Edmund?! Sampai ujung dunia pun aku tak akan menerima kenyataan itu. Kami berbeda dan tak pernah sama.
Aku orang biasa, dia raja.
ยฐ ยฐ ยฐ
Sore harinya,
Aku pergi ke pantai, masih gelisah dengan keputusan tadi. Aku ingin sekali mengatakan, "Aku keberatan," tapi tak bisa. Aku harus menghormati ratu dan raja Narnia.
Angin yang lumayan kencang menerpa rambutku. Aku berdiri di pinggir pantai, menatap keindahan laut dan matahari yang mulai terbenam. Cukup lama aku berdiri, sampai tiba-tiba dia datang.
Aku berusaha untuk pergi, menjauh darinya. Tetapi, dia mengatakan sesuatu.
"Aku sebenarnya tak mau berdansa dengan mu," ucapnya. Aku menoleh dan mengangguk.
"Ya, aku juga," balasku dengan berang.
"Langitnya indah ya," ucapnya. Aku mengangguk pelan, melihat langit. Langitnya memang sangat indah.
"Ya," ucapku.
"Akan lebih indah jika tidak ada kau," ucapnya, semakin membuatku ingin pergi.
"Iya, betul sekali," kata ku dengan pahit.
Niatku untuk pergi sangat besar, tetapi tubuhku tidak bergerak-gerak dari posisi ini. Aku terus melihat pemandangan pantai itu dengan Edmund, yang bukannya pergi.
Langitnya yang sangat indah membuatku ingin terus berada di posisi ini. Tanpa Edmund tentunya.
Suasana sangat hening. Aku memutuskan untuk memecahkan keheningan.
"Ngomong-ngomong, terima kasih telah membawa kami pulang kemarin," kataku. Dia menoleh, masih dingin.
"Ya, besok-besok hilang lagi ya," balasnya. Aku tahu dia menyindirku.
"Iya," ucapku, sudah pasrah. Aku tak melihatnya.
Tanpa kusadari, Edmund tersenyum di belakang ku.
ยฐ ยฐ ยฐ
Keesokan harinya,
Aku baru selesai sarapan. Aku pergi ke kamar Louis.
"Selamat pagiii," ucapku seraya membuka pintu kamar mereka. Louis dan Aidan menoleh.
"Tumben," kata Aidan seraya menyeringai. Dia duduk di tempat tidur.
"Aku bosan," kataku seraya duduk di tempat tidur mereka. "Apa itu?"
Aku melihat dua pedang yang terletak di kasur.
"Kami mau latihan pedang hari ini," kata Aidan, wajahnya berseri-seri. "Latihan perang."
"Perang apa?" tanyaku.
"Perang bantal," jawab Aidan.
Aku mengernyit.
"Perang asli lah. Pakai tanya lagi," Aidan memasang wajah (๐) dan mengacak rambutku sampai jadi seperti tadi pagi, kacau.
"Ya sabarlah," kataku seraya merapikan rambutku. "Latihan dimana?"
"Di tempat latihan," jawab Aidan. "Peter mengizinkan kami latihan."
"Astaga, untung Peter baik," kataku.
"Oh, ya, bagaimana perkembangan mu dengan King Edmund?" tanya Aidan seraya menyeringai lebar. Aku mendelik.
"Ya, kuyakin kau pasti sangat senang pada pesta dansa nanti," kata Louis seraya bergabung dengan kami.
"Pfft," kulihat Aidan menahan tawa, sebelum ku tampol wajahnya.
"Senang apanya. Malah, aku harap, pesta dansa itu tidak ada," kata ku.
"Ya, kau memang tak suka dansa," kata Louis seraya mengangguk-angguk.
"Tapi mungkin saja kau akan menikmati pesta dansa itu dengan Edmund," kata Aidan, sebelum ku lempar dia dengan bantal.
"Tidak mungkin!" kataku, memukul-mukulnya dengan bantal. Dia mengerang.
"Tidak ada yang tak mungkin," ucap Louis. Astaga, jauhkan aku dari mereka sekarang.
"Ih, sudah kubilang, aku tak suka Edmund," ucapku kesal, dengan wajah yang masam.
"Oooohhh," mereka ber-"oh" panjang, tetapi tampang mereka sangat mencurigakan. Mereka saling pandang satu sama lain, seperti menahan tawa.
"Hhh. Aku mau ikut kalian latihan," kataku.
"Yakin?" tanya Louis, melirik Aidan sambil mengulum senyum.
"Ada Edmund lho," kata Aidan, menahan tawa.
"Mana mungkin," ucapku tak percaya.
ยฐ ยฐ ยฐ
Nyatanya, perkataan Aidan benar. Kulihat Edmund sedang duduk di sebelah papan sasaran panah.
Aku duduk di bawah pohon seraya menggerutu tak jelas.
"Bagaimana, [Name]?" tanya Louis dari jauh, menahan tawa. Aku tahu dia menyindirku. Aku tak menjawabnya dan melanjutkan gerutuan ku.
Tak lama kemudian, mereka beristirahat. Aku bangkit dan berjalan ke tempat kuda.
Ada beberapa kuda yang sedang berkumpul di sana. Aku menghampiri salah satunya.
"Hai," gumam ku, bermaksud menyapa.
"Namaku Philip," kata kuda itu. Aku mundur selangkah, kaget.
"Hai Philip," ucapku. Aku ingin menaiki kuda. Paman Alan tak pernah mengizinkan ku menaiki kuda.
"Emm... bolehkah aku menaiki mu?" tanyaku.
"Aku tinggi," kata kuda itu. Memang, kuda ini sangat tinggi dan aku sangat pendek.
"Emm... tidak apa-apa," ucapku. Aku berusaha menaiki kuda itu. Tetapi tak bisa. Tubuhku sangat pendek.
Tiba-tiba, ada yang memegang pinggangku dan menaikkanku ke kuda itu.
"Hei!!!" pekikku saking kagetnya. Aku menoleh dan mendengus. Hhh, dia lagi, dia lagi. Siapa lagi kalau bukan Edmund.
"Kau ini! Bikin orang kaget saja!" kataku marah-marah. Edmund hanya diam dengan wajah seperti biasa, dingin.
"Hei, bisakah kau mengucapkan terima kasih?" katanya sewot. Aku memutar bola mataku, agak gengsi.
"Hhh, baiklah. Terima kasih ya, Raja Edmund yang baik hati," ucapku dengan lagak seperti putri, tersenyum terpaksa.
"Yang tulus!" katanya lagi, belum puas.
"Hhh, terima kasih. Puas?!" ucapku marah-marah.
"Puas," katanya. Aku berusaha mengendarai kuda itu. Tapi, kuda itu malah meloncat kaget, membuatku hampir terjatuh.
"Eeh!!" pekikku kaget. Saking terkejutnya, aku menggenggam tangan Edmund.
"Maaf," ucapku pada Edmund, melepaskan genggamanku. Edmund masih melihat tangannya dengan tampang dingin seperti biasa. Aku tak tau cara menghangatkan orang ini. Sikap nya dingin sekali, seperti pendiam, padahal bukan.
"Kau tidak pandai kan," kata Edmund. Aku mengalihkan pandangan, tetapi mengangguk pelan.
Tanpa aku sadari, Edmund naik ke kuda itu, duduk di depanku.
"Eh, kenapa kau juga naik?" tanyaku kaget.
"Kau kan tidak pandai," katanya dengan nada meremehkan, tapi dia benar sih.
"Ck, aku belum pernah belajar naik kuda," kataku dengan berang.
"Makanya aku naik. Sok-sok an mau naik sendiri, nanti jatuh baru tau," kata Edmund seperti bapak-bapak.
"Yaa," kataku.
Kuda itu meloncat sebentar, seperti tadi. Lagi-lagi aku kaget dan dengan refleks, aku memeluk pinggang Edmund.
Edmund hanya diam. Dia tau aku takut mungkin.
"Maaf tak sengaja. Aku takut jatuh," kataku seraya melepas pelukanku.
"Ya," ucapnya. Lalu, kudanya berjalan.
Karena tidak pernah naik kuda, aku jadi sangat takut akan 'jatuh terhempas ke tanah', jadi aku memeluk Edmund daritadi. Hhh, kalau tidak naik kuda, aku tak akan memeluk nya.
"Kau takut sekali sepertinya," kata Edmund, menahan tawa.
"Bilang saja kau mau tertawa. Memang iya aku takut," kataku jujur dan marah-marah. "Eh, kita mau kemana?"
Aku baru menyadari kami sudah jauh dari lapangan tadi.
"Jalan-jalan saja. Kau bilang mau naik kuda," katanya.
"Iya, tapi tidak bersamamu," kataku.
"Nanti, kalau kau sendiri, kau bisa kesasar dan jatuh. Setelah itu, kau tak pernah pulang lagi dan tinggal di hutan. Keras kepala sekali kau ini," katanya.
"Daripada kau, dingin," balasku kesal.
"Dingin? Maksud mu apa?" tanya nya.
"Ya, dingin. Dingin seperti es," kataku.
"Cuek?"
"Tidak."
"Sombong?"
"Bukan!"
"Susah bicara?"
"Ya. Tapi kau hanya bersikap dingin padaku, kenapa sih?" tanyaku.
"Emang iya?" katanya tak sadar.
"Iyain saja sampai kau sadar," ucapku.
Beberapa saat kemudian, kami kembali ke lapangan. Edmund langsung turun dan pergi. Tetapi, dia berbalik lagi.
"Kau tidak turun?" tanya nya bingung.
Aku yang sedang melamun, terkejut. "Iya, aku turun."
Aku berusaha turun dari kuda. Tapi kudanya tinggi sekali. Aku melihat ke bawah. Astaga, aku takut ketinggian.
Aku menutup mataku. Aku berusaha untuk tetap turun.
"Jangan lihat kebawah, jangan lihat kebawah," gumam ku seraya menutup mata. Tetapi tiba-tiba, ada yang menurunkan ku.
"Kau takut ketinggian?" tanya orang itu, menahan tawa. Aku membuka mataku.
"Ya," jawabku dengan muka masam. "Terima kasih."
"Ya," balas Edmund.
Aku berjalan ke tempat Louis dan Aidan. Kulihat disitu ada Millie, Lucy, dan Susan. Aku melihat ke arah Edmund. Dia sedang berbicara dengan Peter.
Andai saja Aidan dan Louis tak melihat kami tadi. Tapi ternyata salah.
"Ehem," deham Aidan, seperti menahan diri agar tak tertawa.
Aku menginjak kakinya.
"Ah!" pekiknya kesakitan.
"Makanya, diam!" ucapku kesal.
"Hai, [Name]!" sapa Lucy menghampiri ku.
"Hai, Lucy!" balasku seraya tersenyum.
"Apa kau tak sabar untuk pesta dansa nanti?" tanya Lucy.
Ekspresi ku berubah, senyum ku pudar. Lalu, dengan terpaksa, aku tersenyum lagi.
"Iya, tentu," jawabku, lalu melihat ke arah Edmund. Dia sedang duduk di bawah pohon.
"Percayalah, [Name]. Edmund adalah partner dansa yang baik," kata Lucy.
"Hmm, iya... mungkin."
.
.
.
hii.
so, aku mau deskripsiin kamu selama di narnia gimana.
baju kamu selama di Narnia modelnya sama kayak punya Susan sama Lucy.
about Millie, Louis, dan Aidan udah tau yaa.
tinggi kamu (disini) ga tinggi" bgt, lebih pendek daripada Edmund.
soal sifat di cerita ini , kamu usil , tapi pinter. usilnya itu nular dari Aidan.
hobi kamu ngusilin orang , ckckck. tapi kamu baik bgt sebenernya.
oh, ya ini aku ngambil alur cerita yang setelah film pertama, "The Chronicles of Narnia (The Lion, The Witch, and The Wardrobe)"
tapi kamu datangnya setahun kemudian setelah mereka udah jadi ratu sama raja, and Edmund udah kayak yg di film Prince Caspian.
dah segitu aja.
thank you buat yg udah baca, jangan lupa vote+comment, gw lost idea bgt maaf :(
by the way sorry kalo ada yg typo.
ni cerita berdasarkan imajinasi author ya + author ga pande bikin kata-kata. Terima kasih atas pengertiannya (baku bgt ๐ญ)
byee
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro