Chร o cรกc bแบกn! Vรฌ nhiแปu lรฝ do tแปซ nay Truyen2U chรญnh thแปฉc ฤ‘แป•i tรชn lร  Truyen247.Pro. Mong cรกc bแบกn tiแบฟp tแปฅc แปงng hแป™ truy cแบญp tรชn miแปn mแป›i nร y nhรฉ! Mรฃi yรชu... โ™ฅ

04

KEESOKAN harinya.

"[Name]! [Name]!" Millie membangunkan ku seraya menggoyang-goyangkan kaki ku. Inilah satu-satunya cara untuk membangunkan ku.

"Iya, iya, aku bangun," ucapku seraya duduk dengan lemas.

"Mandi," kata Millie. Aku mengangguk-angguk.

Millie melihat wajahku dengan saksama. Aku mengernyit.

"Eh, kenapa?" tanyaku.

"Kau kenapa?" tanya Millie. Aku mengernyit heran.

"Ha? Aku tidak apa-apa. Kenapa emangnya?" jawabku, kembali bertanya.

"Wajahmu murung sekali," jawabnya. "Tadi malam kau kemana?"

"Kemana? Tidak kemana-mana," jawabku bohong.

"Jangan bohong. Aku tadi malam melihat mu. Kau kemana tadi malam?" tanya Millie seraya menatapku. Aku terdiam.

"Tadi malam aku hanya ke dapur," jawabku. Tentu saja, aku bohong.

"Sama?"

"Aidan," jawabku. Aku tadi malam bertemu dengannya kan?

"Oh," gumam Millie. Astaga, gawat kalau aku menjawab "Edmund."

Ck. Lupakan Edmund dengan sikap dinginnya.

***

Saat sarapan.

Aku makan dengan hati-hati, berusaha cepat selesai. Aku tidak mau melihat Edmund. Kejadian tadi malam akan muncul lagi di pikiranku. Aidan melihat ku yang tampak aneh dari biasanya.

"Kau kenapa?" tanya Aidan. Aku mendelik dan menjawab.

"Tidak apa-apa," jawabku singkat seraya mengangkat bahu. Aidan mengernyit.

Setelah sarapan.

"Millie, apa rencana mu hari ini?" tanyaku pada Millie, saat kami sedang melihat pemandangan dari jendela.

"Emm-seperti biasa mungkin. Baca buku," jawab Millie nyengir. Aku mengangguk-angguk. Aku pergi ke kamar Aidan dan Louis.

Aku membuka pintu kamar mereka.

"Aidan!" panggilku. Aidan yang sedang berbaring di tempat tidur seraya menghitung-hitung lewat jarinya-entah untuk apa-menoleh.

"[Name]?" tanya nya. Aku menghampirinya.

"Ke hutan yuk," ajakku.

Ide buruk. Aku yakin Aidan pasti akan menolak dan bingung atas ajakan ku.

Tetapi ternyata...

"Ide bagus!" seru Aidan. "Brilian! Ayo!"

Aidan langsung berdiri dan mengambil satu pedang.

"Kalian mau kemana?" tanya Louis. Oh astaga, aku lupa ada dia.

"Ke... pantai," jawabku.

"Kenapa kau bawa pedang?" tanya Louis pada Aidan.

"Melawan pasir," jawab Aidan. Aku mengangguk.

Louis mengernyit heran. Benar sih, anak TK pun tidak akan mengerti jawaban Aidan.

"Baiklah," kata Louis, walaupun masih mengernyit. Aku dan Aidan pergi keluar.

"Kau memang sepupu terbaikku," kataku seraya merangkul Aidan. Aidan tersenyum seraya melihatku. Aku juga ikut tersenyum.

Kami berjalan keluar dari Cair Paravel. Kami berjalan ke arah hutan.

Aku membawa secarik kertas besar, untuk membuat peta agar kami tidak tersesat. Kami berkeliling hutan, entah mau menuju kemana.

"Sepi sekali ya hutan ini," kata Aidan. Aku mengangguk.

"Sepertinya hutan Narnia luas," kataku.

"Iyalah. Narnia nya saja luas," kata Aidan.

Kami berkeliling sampai jauh sekali dari Cair Paravel. Tak lama kemudian,

BRUK!

Aidan menabrak sebuah pohon.

"Aidan!" pekikku. Aku membantu Aidan. Dia mendengus.

"Kepalaku sakit sekali," katanya.

"Siapa suruh kau melamun," kataku galak. Dia menyengir. Pohon yang ditabraknya besar sekali.

Tiba-tiba, sesuatu muncul dari dalam pohon. Eh, pohon ini ada pintunya!

Muncul sesosok makhluk kecil, seperti kurcaci, dengan jenggot yang panjang. Ada dua makhluk. Aku membelalak dan tak bergerak.

"A-Aidan...," panggilku. Aidan menoleh.

"Ada ap-" Aidan melihat makhluk itu. "Siapa kau?!"

Makhluk itu tak menjawab. Aidan mengacungkan pedangnya.

"Aidan!" seru ku seraya menarik tangannya dan membawanya berlari.

"[Name]!" pekiknya terkejut. "Aku baru saja mau melawan makhluk itu!"

"Itu makhluk Narnia, Aidan. Pasti semua warga Narnia pernah berperang. Sedangkan kita? Kita orang baru yang masuk lewat lemari tua!" kata ku masih berlari.

"Tapi kenapa mereka tinggal di sini?" tanya Aidan.

"Mana ku tahu," jawabku. Aku berhenti dengan napas yang tersengal-sengal.

"Hhh, kita dimana sekarang?" tanya ku ngos-ngosan.

"Mana ku tahu," jawab Aidan, mengikuti ucapanku. Aku mendengus dan menatapnya dengan kesal. Aku duduk di bawah pohon. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Aidan, tadi kita berlari lewat mana?" tanyaku.

"Kanan," jawab Aidan seraya menusuk-nusuk tanah dengan pedang.

"Tolong hentikan itu. Tadi kita ke hutan lewat kanan kan?" tanyaku lagi.

"Ya," jawabnya, masih menusuk tanah.

"Kau ini tak bisa dibilangin," kataku seraya mengambil pedangnya dengan marah. "Seharusnya kita lewat kiri."

"Ya. Terus?" tanya Aidan masih belum mengerti.

"KITA TERSESAT, KAU TAHU!" seru ku marah.

"Siapa suruh kau berlari ke lewat kanan," katanya seperti tak berdosa.

"Kau tadi kebanyakan berbicara," kataku. "Ayo, kembali ke tempat tadi."

"Hhh." Aidan merengut kesal. Kami berjalan ke tempat si kurcaci tadi lagi. Tetapi, aku lupa mana jalannya saking cepatnya berlari tadi.

"Aidan, kau ingat jalan tadi?" tanyaku takut.

"Tidak," jawab Aidan.

"Astaga, aku lupa," ucapku mengaku. Aidan menatapku.

"Oh, ya? Aku tak peduli. Ini urusanmu. Siapa suruh kau mengajakku berlari," katanya. Aku menatapnya dengan marah.

"Aku melindungi mu!" kataku.

"Melindungi?! Apanya melindungi?! Aku bisa melawan makhluk itu!" katanya. Aku tertawa hambar.

"Melawan?! Kau orang baru!" kataku seraya melipat tangan di dada.

"Jadi sekarang kita kemana?" tanya Aidan.

"Entahlah," jawabku. Aku kembali ke pohon tadi.

Aku duduk di bawah pohon selama lima menit. Aidan melamun melihat pepohonan.

Tak lama kemudian, aku merasa lapar. Aku bangkit dan mencari pohon yang ada buahnya. Akhirnya aku menemukan satu pohon apel. Aku memetik apel itu. Tiba-tiba, aku melihat seseorang dari celah pohon. Seseorang yang tak asing lagi.

"Edmund?" tanyaku terkejut. Dia menatapku dengan dingin seperti biasa. Aku segera membuang muka.

"Ayo, kembali ke Cair Paravel. Peter menyuruhku untuk mencari kalian-kau dan Aidan," katanya dingin. Aku mendengus.

"Kenapa harus kau?" tanyaku menatapnya.

"Aku apanya?" katanya mengernyit.

"Kenapa kau selalu muncul sih?!" tanyaku keras.

"Syukur-syukur di tolongin, hhh," katanya. "Ayo, ngapain kau di hutan ini."

"Jauh darimu," jawabku kesal. Aku memanggil Aidan, dan pergi bersama mereka. Aku berjalan paling belakang.

Aku menggerutu kesal. Edmund sedari tadi hanya diam tak bersuara. Mana mau dia berbicara denganku. Begitupun aku. Aidan mengernyit heran melihat kami.

"Kalian kenapa sih?" tanya nya.

"Tidak apa-apa," jawabku dan Edmund serempak.

"Ngikut," kata Edmund.

"Diam," kataku membuang muka.

"[Name], kalian kenapa sih?" bisik Aidan padaku.

"Tak apa-apa. Ayo, jalan," jawabku berbisik. Aidan mengernyit.

Aidan pindah ke barisan paling belakang. Aku mendengus dan menggerutu kesal.

"Aidan!" pekikku pelan ketika Aidan mendorong-dorongku agar cepat berjalan. "Berhenti mendorongku!"

Tetapi seorang Aidan tak akan mendengar ucapan sepupunya ini. Mana mau dia mendengarkanku.

Aidan terus mendorongku. Edmund tak sekali pun memandang ke belakang. Sampai akhirnya-

BRUK!

Aku terjatuh dan menimpa Edmund yang ikut terjatuh karena ditimpa olehku.

Pipiku merah saking malunya. Kulihat wajah Aidan yang tampak puas. Aku mendengus dan menarik kakinya sehingga dia terjatuh.

"AIDAN! AWAS KAU!" teriakku seraya bangkit. Edmund ikut bangkit, tak mengatakan apa-apa.

"Maaf," ucapku.

"Ya," balasnya singkat. "Ayo, jalan lagi."

Aidan bangkit, menahan tawa. Aku melihatnya yang menahan tawa, dan memukul kepalanya dengan kertas.

"Kau! Kenapa kau dorong aku?!" bisikku dengan sangat marah.

"Kau tak menceritakan kenapa kalian tampak membenci satu sama lain padaku," bisik Aidan. Aku memutar bola mataku.

"Rumit," kataku. Aidan mendengus. "Kenapa kau mendorongku sih?"

"Rumit," jawabnya. Aku menatapnya dengan tatapan kesal.

Tak lama kemudian, kami sampai di Cair Paravel.

"Aidan! [Name]! Kalian kemana saja sih?!" Louis menghampiri kami dengan tatapan curiga.

Louis melihatku dengan tatapan cemas dan marah. "Tak bisa dipercaya pergi ke pantai lama sekali. Baju kalian juga tidak basah."

Lalu, Louis melihat Aidan. "Tak bisa dipercaya juga ada orang yang berperang dengan pasir."

"Kemana mereka, Edmund?" tanya Louis pada Edmund.

Edmund menoleh dan melihat kami, termasuk aku. Firasatku tidak enak. Dia pasti akan mengadukan kami.

"Hutan," jawabnya. Aku menghela napas dan menunduk. Louis membelalak mendengar jawaban Edmund.

"Hutan?!" Louis melihat kami. "Kalian berbohong padaku."

"Ya," ucapku, diam-diam melirik Edmund dengan tajam.

"Dan... kenapa lama sekali?!" tanya Louis, bersiap menyemburkan amarahnya.

"Kami tersesat," jawab Aidan.

"Tidak heran," kata Louis seraya melipat tangannya di dada. "Kenapa?"

Kami menceritakan semua yang terjadi.

"Aku ingin melawan makhluk itu, tetapi [Name] mengajakku berlari dan dia berlari ke jalan yang salah," kata Aidan.

"Aku melindungi mu!" kataku seraya menatapnya.

"Aku ingin melawan makhluk itu!" kata Aidan.

"Kau orang baru!" kataku.

"Tapi aku bisa!"

"Bohong!"

"Kau yang salah!"

"Kenapa kau menyalahkanku?!"

"Kau lupa jalannya!"

"Kau juga tak ingat jalannya kan?!"

"Setidaknya aku tak mengajak orang berlari dari makhluk asing."

"Sudah kubilang, aku melindungimu!"

"DIAM!" seru Louis marah. "Kalian berdua sama-sama salah!"

"Dia!" ucap kami serempak, saling menunjuk satu sama lain.

"Kalian berdua tak boleh keluar selama tiga hari!" kata Louis.

"Louis!" kataku kecewa.

"Ini demi keselamatanmu, [Name]. Mum memberiku pesan agar aku menjagamu," kata Louis, menatapku dengan tatapan meyakinkan. Aku menunduk.

"Kau tak perlu menjagaku, kan?" tanya Aidan, berharap jawaban Louis adalah "ya."

"Tidak. Kau juga. Kalian masih seumuran. Millie tak mungkin menjagamu, jadi akulah penggantinya," jawab Louis. Aku melirik Aidan dengan pandangan puas.

"Tetapi aku juga seumuran dengan Edmund!" kata Aidan. Aku menoleh.

"Edmund adalah Raja," kata Louis. "Dia sudah berpengalaman."

"Tuh," kataku pada Aidan. Dia memutar bola matanya.

"Sekarang, sana. Balik ke kamar!" perintah Louis. Aku pergi ke kamar dengan getir. Millie juga menanyaiku dan aku menceritakan semua nya padanya, dengan syarat dia tak boleh marah.

ยฐ ยฐ ยฐ

Di ruangan Peter, Susan, Edmund, dan Lucy.

"Susan, apakah menurutmu kita seharusnya mengadakan sesuatu di Cair Paravel ini? Sesuatu yang menarik dan menyenangkan," kata Lucy pada kakaknya, Susan, yang sedang membaca buku.

"Sesuatu yang menarik dan menyenangkan? Makan malam luar biasa?" tanya Susan.

"Sudah biasa," kata Lucy. "Sesuatu yang berbeda dari biasanya. Yang jarang diadakan di sini."

"Apa, ya? Betul juga saran mu. Kita harus adakan sesuatu yang luar biasa menyenangkan, apalagi dengan datangnya tamu kita," kata Susan.

"Pesta?" tanya Peter yang tiba-tiba ikut berdiskusi.

"Ya, pesta," kata Lucy.

"Pesta apa?" tanya Susan. "Banyak macam pesta di dunia ini."

"Hmm, pesta yang menyenangkan pokoknya," kata Lucy.

"Semua pesta menyenangkan," kata Peter.

"Tidak semua," kata Susan. "Mana Edmund?"

"Tadi aku menugaskan dia untuk menjemput [Name] dan Aidan," jawab Peter. "Sebentar lagi juga datang."

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di pikiran Lucy.

"Bagaimana jika pesta dansa?" tanya Lucy. Susan dan Peter saling pandang dan mengulum senyum.

"Ide bagus!" kata Peter. Lucy tersenyum.

"Masalahnya, siapa partner kita?" tanya Susan.

"Tentu saja tamu kita. Jika mereka tak keberatan," kata Peter seraya mengangkat bahu.

"Akan kuberitahu mereka nanti. Jika iya, siapa partnermu?" tanya Susan.

"Hmm, tak mungkin aku denganmu," kata Peter. Susan menatapnya dengan tatapan "ya iyalah." Lucy berpikir sebentar.

"Tidak ada yang sebaya denganku. Mungkin aku dengan Aidan," kata Lucy.

"Aku dengan Millie mungkin," kata Peter. "Umurnya dekat denganku."

"Aku dengan Louis?" tanya Susan. "Kami seumuran."

Tiba-tiba, Edmund masuk ke dalam ruangan. Lucy, Susan, dan Peter menoleh ke arahnya. Edmund yang ditatap oleh ketiga saudaranya merasa bingung.

"Dan Edmund, kau dengan [Name]."

.
.
.

haii, maaf gw lost idea bgt โ•ฅ๏นโ•ฅ.

thank you buat yg udah baca. don't forget to vote+comment.

byee, xixi.

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen247.Pro