01
"[NAME]."
"Iya, Mum?"
"Baik-baik di rumah paman, ya. Percayalah pada Mum, perang ini akan segera berakhir. Mum sayang kamu. Jangan bertengkar sama abang mu ya. Jangan nakal! Mum akan mengirim surat ke sana untuk memberi kabar."
Mum memberiku banyak pesan. Aku terus mengucurkan air mata. Mendengar deru mesin kereta api yang beberapa saat lagi akan meninggalkan kota ini.
London sekarang dalam bahaya. Terjadi perang yang disebabkan oleh serangan udara. Semua anak-anak harus berpisah dari orangtua nya, demi keselamatan masing-masing. Louis, abangku, merangkul pundakku. Aku mengusap air mata ku. Ini baru pertama kalinya aku harus berpisah dengan Mum. Dad ikut berperang. Aku sangat rindu padanya.
"[Name], ayo, naik ke kereta nya," ajak Louis. Aku hanya mengikutinya. Louis memberikan tiket kami kepada petugas. Kami naik ke kereta api, dan mencari tempat duduk.
"Ayo, sini," kata Louis yang menggandeng tanganku, agar aku tak hilang. Dia membuka pintu kompartemen yang masih kosong. Dia mengambil koperku dan meletakkan nya di tempat koper.
Kereta akan berangkat. Aku dan Louis melambaikan tangan pada Mum.
"Bye, Mum!" ucapku. Mum melambaikan tangannya pada kami. Air mata tercucur di wajahnya. Tak lama kemudian, stasiun semakin jauh, digantikan dengan pemandangan hutan.
"Louis, apakah kita akan baik-baik saja di rumah Paman?" tanyaku.
"Tentu," jawabnya singkat. Bagaimanapun, dia juga sedih berpisah dengan Mum.
ยฐ ยฐ ยฐ
Aku menginjakkan kakiku di tanah. Kami sudah sampai di desa Paman. Paman Alan adalah adik Mum.
"Louis, aku lupa di mana rumah Paman." Aku melihat sekeliling dengan bingung.
"Ayo, kita tanya sama orang sekitar sini," ajak Louis, menggenggam tanganku.
Kami berjalan. Sampai akhirnya, kami diberitahu oleh seorang peternak kuda.
Kami berjalan mengikuti arah yang di tunjuk olehnya. Akhirnya, kami melihat sebuah rumah yang lumayan besar. Rumah Paman Alan.
Louis mengetuk pintu rumah tersebut.
TOK! TOK! TOK!
Tak lama kemudian, seorang wanita yang lebih muda dari Mum membuka pintu.
"Louis? [Name]?" tanya wanita tersebut, Bibi Michelle. Ia memeluk kami dan menyuruh kami masuk.
"Paman Alan sedang di peternakannya. Kalian makan siang dulu, ya. Oh, iya. Millie! Aidan! Louis dan [Name] sudah sampai!" kata Bibi Michelle.
Seorang anak perempuan berambut panjang yang seumuran dengan Louis dan seorang anak laki-laki yang seumuran ku, datang menghampiri kami.
"Louis! [Name]!" kata Millie, kakak Aidan, seraya memeluk kami.
"Millie!" seruku seraya membalas pelukan Millie. Aku juga memeluk Aidan.
"Nah, Louis, kamu tidur di kamar Aidan ya, sedangkan [Name] tidur di kamar Millie," kata Bibi Michelle. "Sekarang, ayo, makan siang."
Aku meletakkan tas ku di kamar Millie. Setelah itu, aku pergi ke meja makan. Mereka sudah berkumpul di situ. Kami melahap makanan kami bersama.
"Louis semakin tampan ya," kata Bibi Michelle. Louis menyengir. Aku tersedak saking kagetnya. Millie sampai menyemburkan minumannya.
"Pfft." Millie menahan tawa. Louis mendelik tajam ke arah Millie. Aku menutup mulutku, berusaha tak tertawa. Tapi Bibi Michelle tidak bohong sih. Hampir semua temanku menyukai Louis.
Bagaimana tidak? Dia famous. Tapi dia tak punya pacar, katanya. Baguslah, aku belum mau dia sibuk sama pacarnya. Nanti, aku tidak bisa mengganggunya lagi.
"[Name] juga, makin cantik," kata Bibi Michelle. Aidan, yang duduk di depanku, menyemburkan airnya sampai kena baju ku. Dia tertawa terbahak. Aku melihat bajuku yang basah kena sembur.
"AIDAN!!!!!" teriakku. Dia berlari, masih terbahak. Aku mengejarnya dengan kesal.
"Aidan!!! [Name]!!! Astaga, kenapa kalian meninggalkan makanan kalian. KEMBALI KE SINI!!!" teriak Bibi Michelle. Aku masih mengejar Aidan. Dia berlari sampai ke ruang bawah tanah.
BUK!
"Ah!"
Aidan menabrak sebuah lemari tua.
"Karma," kataku. Aku melihat lemari itu. "Aidan, lemari apa ini?"
"Aku tak tahu. Aku saja baru tau ada lemari di sini," jawabnya seraya mengelus dahinya yang sakit. Terlihat ekspresi bingung di wajahnya.
"AIDAN! [NAME]!"
Terdengar teriakan Bibi Michelle yang menggelegar. Kami saling pandang lalu berlari ke ruang makan. Aidan pun dimarahi oleh Bibi Michelle. Aku kembali makan, dan tak bisa berhenti memikirkan lemari itu.
ยฐ ยฐ ยฐ
Keesokan harinya,
Dari pagi tadi, kami membantu Paman Alan di peternakan. Aidan tak henti-hentinya melemparku dengan jerami, membuatku marah dan mendorongnya ke kolam. Louis sedari tadi menggerutu menunggu ayam yang sangat lama bertelur. Sedangkan Millie sibuk mendesak Paman Alan agar mengizinkan dia menaiki kuda.
"Tidak! Nanti kau kembali ke rumah dengan kaki yang terluka!" tegas Paman Alan. Millie mendengus dan malah meminta tolong kepadaku untuk mendesak Paman Alan.
"Kalian masih kecil!" kata Paman Alan kepadaku dan Millie. Dan akhirnya, ia mengizinkan Millie naik kuda. Betapa gembiranya Millie sampai topi Louis yang terjatuh terinjak olehnya.
Aidan, yang baru kembali dari rumah untuk berganti baju, membawakan makanan. Kami semua makan.
"Aidan." Aku memanggil Aidan yang duduk di sebelahku. Aidan mengangkat kedua alisnya.
"Ayo, kita pergi ke lemari itu," kataku.
"Besok saja. Kita beritahu mereka dulu," katanya. Aku menoyor kepalanya.
"Ngapain?!" Aku melotot, masih berbisik.
Aidan mengelus kepalanya. "Tidak lucu kalau mereka tidak tahu," katanya. Akhirnya, aku mengangguk setuju.
ยฐ ยฐ ยฐ
Malam harinya,
Louis dan Aidan pergi ke kamar kami. Aku menatap mereka dengan bingung.
"Ngapain?" tanyaku.
"Aidan mengajakku ke sini," jawab Louis.
"Tak heran," kata Millie yang sedang merebahkan dirinya di kasur.
"Kenapa?" tanyaku pada Aidan. Aidan tersenyum mengangguk-angguk.
Lalu dia menepuk kepalaku dengan koran.
"KAN SUDAH KUBILANG DARI TADI!" serunya. Aku mengelus-elus kepalaku sembari mendengus.
Kami duduk di bawah.
"Ada apa?" tanya Millie seraya melihat kukunya. Aku dan Aidan saling pandang bingung seraya menyenggol lengan satu sama lain, sama-sama tak mau menjelaskan. Louis memandang kami dengan tajam.
"Mau ngapain sih? Jangan sampai kulempar kalian keluar jendela," katanya tajam. Aku memutar bola mataku.
"Jadi, aku dan Aidan, kemarin, saat kami kejar-kejaran, kami masuk ke ruang bawah tanah, dan menemukan sebuah lemari tua," kataku akhirnya. Aidan mengangguk-angguk.
"Lemari? Kenapa memangnya?" tanya Louis mengernyit heran.
"Millie! Kita tidak pernah tahu ada lemari di ruang bawah tanah, kan?" tanya Aidan pada Millie yang sedari tadi hanya melihat kukunya.
"Ha? I-iya," katanya. Aidan menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi, kami ingin memeriksa lemari itu. Kalian mau ikut?" tanya Aidan.
"Ikut? Memeriksa lemari? Sama saja seperti menunggu ayam bertelur. Membosankan," kata Louis berdiri dan beranjak keluar dari kamar.
"Louis!" kata ku menariknya. "Sini dulu!"
Dia mendengus.
"Oke. Apa maksud kalian memeriksa lemari itu?" tanyanya seraya duduk kembali. Aku dan Aidan saling berpandangan.
"Hmm, begini. Lemari itu mungkin saja baru dipindahkan Paman Alan. Jadi, ayo kita lihat lemari itu," kataku.
"Malam-malam begini? Kau waras?" tanya Louis. Aku melemparnya dengan bantal.
"Ya, besok lah! Kau pikir aku mau pergi ke ruang bawah tanah itu malam-malam begini?" kataku.
Akhirnya, mereka semua mau-Louis dan Millie terpaksa mengikuti ajakan kami. Ya, memeriksa lemari.
.
.
.
thank you. vote+comment <3
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro