ii. Het Begin van Allen
S E R E N A DE
[ a classical romance in the colonialism Era ]
:: : :: : :: : :: : :: : :: : :: : ::
Sebelumnya, saya tak pernah suka catat-mencatat mengenai kehidupan macam begini. Saya tak terbiasa mencatat apa yang saya alami atau apa yang saya rasakan mengenai hari yang saya jalani. Biar berjalan sebagaimana mesti, dan itu sudah lebih dari cukup.
Dulu saya kerap bertanya-tanya: Barangkah perlu benar mencatat tentang kehidupan?
Dan salah satu teman saya menjawab: Catat-mencatat itu memang bukan hal yang perlu benar untuk dilakoni, tetapi mencatat adalah bentuk relaksasi diri. Dia bukan sekadar tempat menampung memori belaka, tetapi juga merupakan obat dari segala keluh kesah bilamana tak ada yang mau dengarkan, dan barangkali pula kamu bisa beroleh nama mutakbar dari sana ....
Pada awalnya saya abai pada hal macam begitu—tak peduli. Namun, agaknya kali ini jadi berbeda. Saya tak punya kegiatan lain dalam bui bau ini. Maka dari itu saya putuskan untuk mencatat apa yang saya alami.
Penjara ini sungguh bau! Pengap! Hanya ada satu lampu teplok di sudut ruang yang saya huni dan saya akan berselimut kegelapan kalau-kalau lampu teploknya sudah kehabisan minyak!
Saya juga tak tahu telah berapa lama berada disini—saya tak pernah menghitung-hitung. Percuma, toh? Saya menghitung sudah berapa lama disini pun tak 'kan mampu bawa saya pada kebebasan.
Selama itu pula saya tak pernah jumpai dan merasai bagaimana hangatnya rawi atau sucinya sinar indurasmi membinari bumi kala malam hari. Yang saya kecap cuma aram-temaram! Mau siang atau malam, bagi saya rasanya selalu sama!
Dan saya cuma mampu mengetahui jika pagi telah tiba melalui salah seorang opsir yang kerap mengantarkan makanan — biasanya berupa roti atau sup berisi printilan jagung, kol, dan kuah yang hambar beserta segelas air — Kalau sudah begitu, saya akan bertanya padanya: Ini pagi, siang, atau malam, Tuan?
Maka dia akan menjawab: Pagi — Ntah dia membual atau tidak, saya tidak tahu. Mudah-mudahan apa yang dikatakannya adalah kebenaran, sebab dia selalu menjawab 'pagi' setiap saya bertanya.
Walau begitu beruntung si opsir mau beri saya lima sampai sepuluh lembar kertas beserta pena saban harinya. Guna mengusir bosan, kata saya pada waktu itu, pada saat meminta. Bagus sekali dia mau menuruti meski pada awalnya saya sempat dihadiahi tatapan tak begitu mengenakan dari mata kecilnya. Namun, yasudah. Saya tak peduli.
Ada kiranya sebelum memulai lebih jauh, saya akan catat sebab apa saya bisa berada disini — Takut-takut nanti malah saya lupa ceritai, nanti jadi bingung sendiri.
Saya harus katakan terlebih dulu, bahwa saya tak suka tunduk-menunduk, jongkok-berjongkok menghormati hal berbau penindasan. Saya antifasisme! Cukup terang saya katakan! Saya diam-diam banyak mengikuti diskusi-diskusi politik bersama pemuda-pemuda yang dipimpin Sjahrir. Kemudian dari sanalah saya banyak terpengaruh pada pandangannya yang humanistis demokratis.
Saya benci sistem kolonialis, kini ditambah lagi kehadiran kubu fasis!
Ditambah pula sampai dimana ada satu insiden. Saya menemui seorang ayah, yang ... ah! Dia memohon pada orang-orang biadab itu untuk tak membawa anak gadisnya pergi — dipergunakan untuk apa anak gadisnya, agaknya saya tak perlu jelaskan mendetail. Saya tak enak hati.
Sudah kepalang benci, disuguhkan pula pemandangan macam begitu. Saya hampiri dan jiwa bodoh ini malah memaki-maki mereka. Apa yang dilakukan mereka sangat tidak memanusiakan manusia. Dengan apa yang saya perbuat, pada akhirnya saya yang ditangkap.
Sebetulnya ada dispensasi untuk saya jika saya mau dibebaskan. Mereka meminta saya untuk menunduk hormat pada bendera mereka dan tentu, saya tidak mau. Kemudian berakhirlah saya di tempat sekarang ini.
Mendekam di penjara — barangkali bisa jadi sampai busuk saya disini!
Ah! Jiwa waras ini kadangnya sering merindu panorama duniawi yang tampak hidup. Hasil perkawinan alami antara manusia dengan jagad menyuguhkan segala sesuatu—yang seharusnya masyhur. Walau-walau sebenarnya keangkaraan masih melingkari, setidak-tidaknya masih ada satu-dua orang memiliki rasa welas asih.
Saya kerap rindui bunda, bapak, kawan-kawan, dan seseorang yang pernah mengisi hari-hari — lebih-lebih saat dina hari rindu kepalang merajam ini seringkali mendatangi. Membikin saya rasanya mau mati berdiri!
Ada satu melodi yang kerap berdengung dalam pikiran. Dan seseorang itu juga yang memperkenalkannya pada saya. Dia kerap dengarkan melodi tersebut kala sore hari. Memandangi sang rawi tenggelam menuju peraduannya adalah kegiatan pelipuran yang sangat ia suka.
Sayang ....
Saya dan dia tidak bisa meneruskan. Saya dan dia sama-sama saling mematahkan, mengecewakan. Dia pergi menuruti apa kata dari keluarganya, namun dia tetap meminta saya untuk berdiri, menunggui dia kembali.
Terang saja, saya tidak mau. Saya sadar diri akan batas yang tidak bisa saya dan dia tembusi, sekalipun dengan adorasi.
Lama-lama agaknya dia menyerah, sempat dia bergumam untuk yang terakhir kali, sebelum dia pergi:
Saya seharusnya hargai dan terima keputusanmu, sayangnya saya tidak bisa. Terlalu berat rasanya melepas tali harapan yang telah saya gantungkan kepadamu ....
Namun, satu hal yang harus kamu tahu, bahwa tetap ada satu harapan saya untuk bisa melebur takzim dalam jiwa dan ragamu. Itu pun kalau kamu masih sudi bukakan pintu untuk saya seorang nanti. Moga kamu tetap berkhidmat pada saya, moga Tuhan mau dengarkan, dan ... moga-moga dimakbulkan.
Sungguh mengibakan. Dari matanya pula ada tampak seakan dia mengharap kemurahan hati dan pengasihanan dari saya, tetapi tentu apa yang dia harap tak akan kunjung tiba. Saya menahan. Setelahnya, kekecewaan adalah suara tertahan yang mampu saya tangkap dari sorot kedua matanya.
Dan kelak ... saya menyesali.
Ah! Mampus saya kini menanggung selaksa rindu tak bertepi!
Adji, 1943
Kaligua
🕊 ˊˎ
•. . . . . ╰──╮
Catatan :
Soetan Sjahrir (Sutan Syahrir) adalah seorang tokoh politik Indonesia yang pandangan politiknya ditempa dalam masyarakat sosialis ketika mengenyam pendidikan di Negeri Belanda. Kemudian, pandangan politiknya juga banyak memakai humanistis demokrat. Pada masa pendudukan Jepang ia sangat menolak bekerja sama dengan Jepang (berbeda dengan Soekarno-Hatta) dan menjadi pemimpin gerakan bawah tanah.
Gerakan bawah tanah yang dimaksud ia secara diam-diam mendengarkan siaran radio sekitu. Ia berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendengarkan radio demi mencari informasi-informasi terbaru tentang Jepang dan dunia internasional — Pada masa pendudukan Jepang tindakan yang mereka lakukan salah satunya menyegel pesawat radio. Informasi dari luar negeri diputus sehingga orang Indonesia berada dalam kegelapan informasi.
Kemudian, gerakan bawah tanah Syahrir lainnya yakni memimpin suatu gerakan di bawah tanah. Ia mengadakan diskusi-diskusi politik dengan generasi muda.
Sumber :
Buku Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Tirto.id
A/N :
Dari sekian banyak ceritaku ((yang ada di draft wkwk)) cerita ini adalah cerita pertama aku yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Semoga feel-nya sampe/dapet karena aku lagi mencoba menulis di luar zona nyamanku ('༎ຶٹ༎ຶ')
Cerita ini ceritanya adalah catatan harian dari si tokoh selama dia ngedekam di penjara. Next part kita akan ke masa lalunya dia, jadi cerita ini alurnya mundur.
Sampai disini, ada yang udah bisa menebak apa yang terjadi dengan tokoh? ...
S E R E N A D E
©️2021 | artheta
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro