05 | Ada, sosoknya
[Please, stop plagiarism. Be original]
:: : :: : :: : :: : :: : :: : :: : ::
S E R E N A D E
05 | Ada, sosoknya
"West-Ostlicher Divan. Judul dari bait itu."
Sial! Kemunculan suara itu sungguhan mengagetkan saya!
Spontan saja saya menengok ke arah Mas Made. Menghela napas lega sebentar. Beruntung, Mas Made yang menemukan saya. Bukan pemilik kediaman ini. Bisa-bisa habis saya dilibas oleh mereka kalau menemukan — dan mengira — saya berbuat yang sedemikian lancang begini.
"Mengapa bisa sampai disini, Dji? Tahu kamu? Bisa-bisa kamu akan diperkarakan kalau masuk ruang seperti ini tanpa meminta perizinan." Ada terdengar nada geram dalam tuturan Mas Made. Memang sudah sepatutnya ia bersikap demikian. Saya memang salah. Saya akui.
"Maaf, Mas. Cuma sebab ditimpakan bosan berlebih saya tiba di sini," saya bercicit. Menyesal.
Mas Made pandangi saya sebentar, kemudian jatuh pandangnya pada lukisan yang sempat saya amati. Dia diam. Barangkali juga sama, mengamati. Lukisan perempuan bergaun era Victoria yang bertabur durat itu memang seolah mampu membuatnya bergelanggang di mata banyak orang.
Tak lama Mas Made kembali menghadap saya.
"West-Ostlicher Divan," sekali lagi ia mengulang ucapan sebelumnya. "Judul dari bait itu. Kalau kamu penasaran akan judulnya."
Sesuatu yang tidak terduga! Mas Made mengatakannya dengan lugas. Aneh! Apa dia tahu benar perihal lukisan dan sajak ini?
"Kalau saya boleh tahu, siapa dia, Mas?"
Dalam-dalam bisa saya rasai tatap yang Mas Made tunjukan, dia tampak terheran-heran, tetapi segera ia sirnakan tatap itu tidak lama kemudian. "Kenapa?"
"Kenapa?"
Dan tampak oleh mata saya sebelum menjawab, Mas Made sempat menghela napasnya kasar, lalu menoleh pada sembarang arah. "Kalau kamu ingin tahu, perempuan itu dulunya temanku semasa HBS, Dji."
Oh! Jadi, perempuan itu sungguhan ada! Hidup. Ada ruh yang mendiami raganya. Ada daging yang menyelimuti tubuhnya. Ada rena menghiasi pipinya. Dia ada! Nyata! Pantas saja Mas Made tahu benar akan si sajak yang ada di sana. Ternyata yang terlukiskan di sana adalah salah satu kawannya sendiri.
Lantas seusai mengatakan, Mas Made melangkah keluar ruangan. Disusul oleh saya yang berada di sampingnya.
"Kenapa bisa ada di sana, Mas? Lukisannya maksudku."
"Dji, kalau aku tak beri tahu, apa kamu tidak masalah? Itu pribadi, Dji. Kisah hidup orang. Tak bisa aku beri tahu pada sembarang orang meski bukan soal besar."
Saya mengangguk, mufaham. Saya hargai keputusan Mas Made tersebut dan oleh sebab itu saya tidak kembali mengajukan tanya yang mengandung sifat pribadi kepadanya. Walau begitu, rasa penasaran masih membelenggu. Rasa yang terlalu menganggu.
Saya dan Mas Made menuju nakas. Mengambil limun dingin di antara kumpulan gelas berisi sama pula dan berceritalah Mas Made bahwa ia telah berkawan dengan kawannya ini sejak masih menjadi pelajar HBS, bersama perempuan itu. Hanya menceritakan bagaimana mereka bertemu dan sampai bisa mereka berkawan. Tidak sampai membagi tahu hal yang pribadi—seperti mengapa lukisan perempuan itu ada di sini misalnya.
"Sedari tadi saya tidak jumpa dia, Mas. Perempuan itu. Apa tidak hadir disini?"
"Dia memang tidak hadir."
"Apa tidak diundang dia, Mas? Kalau perempuan itu mudun, seharusnya dia hadir untuk menghormati undangan."
Kalau diperhatikan lagi, pertanyaan yang saya ajukan terkesan saya yang penasaran! Ah, andai waktu bisa diputar, tidaklah akan saya ajukan pertanyaan yang demikian.
"Tak tahu. Tak aku tanyai sampai sana. Barangkali memang sengaja tidak diundang."
Hening sebentar. Saya hibuk memandangi lalu lalang banyak orang. Rata-rata—para jejakanya—memiliki gaya rambut pendek. Semacam gaya rambut bintang film Gary Cooper—yang poster filmnya pernah saya lihat di depan bioskop. Berbeda sekali dengan potongan rambut Mas Made. Panjang sebahu. Lurus. Diikat seperti cepol kecil di belakang. Sebetulnya—kalau diperkenankan untuk jujur—Mas Made lebih tampak seperti seniman dibanding mahasiswa hukum. (Soal Mas Made berani memanjangkan rambutnya sebab ia sedang menjalani masa liburan).
Tempat yang saya dan Mas Made singgahi sekarang ini semacam lorong—lorong ini tidaklah kecil—yang menghubungkan ke ruang dansa. Ramai betul orang berlalu-lalang. Biarpun lorong, kemewahannya juga merupakan bentuk kecil dari manifestasi kesuksesan mereka menjarah negeri orang.
Ya. Biarpun peradaban mereka membikin saya menyeru pada kekaguman, tetapi kekuasan mereka di Hindia Belanda menghantarkan kesusahan-kesusahan yang menimpa penghuninya ... dan saya membenci itu.
Namun, sejauh mana otak terlempar pada hal lain, tetap saja kembalinya pada bayang-bayang lukisan tadi—yang belum sepenuhnya andam karam.
Dan kemudian:
"Tapi tadi baitnya indah, Mas. Agaknya kawan Mas Made itu pandai membikin sajak."
"Bukan asli bikinan dia itu, Dji. Itu karya penyair asal Jerman, Johann Wolfgang von Goethe. Pernah dengar namanya?"
Saya jawab dengan gelengan.
"Aku pun juga baru dengar. Dari kawanku itu." Jeda sebentar. Mas Made menyesap minumannya. "Dan memang betul indah sajaknya. Setelah aku banyak baca-baca mengenai sajak itu, sajak itu bermakna kekaguman pada kaum sufisme, tapi ntah mengapa kawanku justru peruntukan untuk mewakili perasaannya pada perempuan itu."
Oh! Agaknya Mas Made sedikit kecolongan. Untuk mewakili perasaan pada perempuan itu, katanya? "Pernah Mas tanyakan?"
"Tidak. Biarlah dia sendiri memaknai maksudnya. Biar bait itu tetap tinggi nilainya dengan silang selimpat arti. Kawan aku itu ... lebih menaruh perhatian pada sajak yang mengandung ketaksaan."
"Tapi seharusnya sajak tadi tidak mengandung ketaksaan, Mas. Kalau sudah mufaham."
"Seharusnya begitu, tapi kawan aku ini memandangnya lain. Oh! Ralat. Harusnya aku katakan: kawan aku itu lebih menaruh perhatian pada sajak yang baginya mengandung ketaksaan. Sudah jelas, Dji?"
Mas Made tertawa. Lalu menyeruput minumannya kembali. Bisa saya lihat beberapa perempuan banyak yang mencuri pandang padanya. Ada yang sembunyi-sembunyi, ada pula yang terang-terangan.
Saya tertawa saat ada yang secara berani menghampiri Mas Made—membuat saya langsung menyingkir—mengajaknya bicara dengan nada-nada mengundang. Perempuan itu sampai berani menyentuh-nyentuh Mas Made. Ntah perempuan itu sungguhan tertarik atau karena telah dipengaruhi alkohol. Mas Made meringis. Dia sampai melempar tatap permohonan pada saya, supaya dibantu untuk dibebaskan dari belenggu perempuan itu.
Namun, maaf, Mas, pada waktu itu Mas cuma saya tertawakan. Benar-benar tak terbesit niat untuk menolong . . .
***
Belenggu perempuan itu akhirnya terlepas, saat ada seseorang yang berteriak-teriak memanggil Mas Made dan berkata bahwa ada seseorang yang diyakini sebagai teman Mas Made, teronggok tidak berdaya di bilik mandi.
Bersamaan, saya dan Mas Made saling melirik.
"Bodoh! Damar, Dji! Damar! Aku lupa tadi tinggalkan Damar saat mencari kamu!"
Spontan, saya dan Mas Made berlari secepat kilat ke arah bilik mandi yang ditunjukan. Benar saja. Di sana ada Mas Damar. Terduduk. Tampak lemas tak berdaya. Mulutnya megap-megap —seperti ikan berada di darat—, hidungnya kembang-kempis, matanya setengah terbuka. Kondisinya mengkhawatirkan. Perkiraan saya dan Mas Made agaknya Mas Damar habis muntah.
Saya yakin Mas Made pasti malu sekali pada teman-temannya, tetapi apa boleh buat. Sebelum hal yang semakin tidak diinginkan terjadi, Mas Made meminta izin kembali lebih cepat. Kami kembali dengan menaiki dokar. Beruntung Mas Damar masih dapat kami tuntun berjalan meski sempoyongan. Dia setengah sadar, setengah tidak.
"Terlalu banyak minum alkohol dia, Dji." Mas Made tampak frustasi.
"Dam, kita ini orang desa. Orang kampung. Tak terbiasa minum minuman seperti itu, tapi kenapa kamu malah meminumnya banyak-banyak?!"
Yang diajak berbicara hanya bergumam tidak jelas. Mas Made kembali frustasi. Sampai-sampai dia melepas ikatan rambutnya, mengasak-ngasak rambutnya pula— ini adalah salah satu ciri Mas Made kalau lagi dilanda frustasi. Tak sanggup saya membayangkan malu yang harus dipikul Mas Made saat bertemu dengan teman-temannya nanti.
Sungguh kasihan . . .
Dan agaknya Mas Damar wajib mengucapkan rasa syukur banyak-banyak sebab Mas Sitor tidak jadi ikut. Kalau iya, bisa mampus Mas Damar dibuangnya di tengah jalan.
***
Keindahan zulmat telah membikin saya—sesampainya di pemondokan dari acara pesta— memilih mendudukan diri di bale-bale, di bawah pohon kersen yang ada di belakang pemdondokan. Menikmati sigaret barang sejenak, ditemani angin malam yang tak pernah mudarat menghantarkan saya pada kedamaian. Damainya cukup memabukkan. Lebih-lebih kalau seorangan diri.
Telah sampai surat yang Bunda kirimi. Sudah teragak sangat katanya beliau dengan saya. Teragak yang tidak bisa terregas walau saya sudah jarang saya temui—sudah mana jarang pula saya mengirimi surat untuknya. Ah, pada waktu itu saya berharap barang bunda bisa mafhum.
Saya belum tertarik pada dunia tulis-menulis pada waktu itu sebab saya tidak pernah mendawamkan—yang mana akhirnya berimbas saya tidak pernah mengabarkan bagaimana ahwal saya pada bunda.
Bunda tulis di sana:
Gus, janganlah segan untuk menulis. Apapun yang kamu dengar, kamu rasa, kamu lihat, tulis segera. Kamu memiliki hak penuh atas apa yang kamu torehkan. Dalam tulisan kamu bisa menyuara apa yang tidak dapat kamu katakan.
Wajar bunda berkata demikian. Sejak dini bunda sudah menaruh banyak perhatian pada dunia tulis-menulis. Kata bunda juga: Catatan tak akan pernah mengecewakan untuk kamu bertumpah segala di sana. Dia tidak akan mengkhianatimu dan tidak akan pula meruntuhkanmu. Tidak seperti ketika kamu tumpahkan pada manusia.
Itu opini bunda. Saya hargai meski tidak sepenuhnya saya setujui. Lain waktu akan saya balas surat dari bunda, tetapi tidak untuk sekarang.
"Tidak tidur, Dji?"
Lagi dan lagi suara Mas Made berhasil mengejutkan. Lantas ia menghampiri dan terduduk di samping saya. Mengambil—lebih tepatnya mencuri—sigaret milik saya yang masih dalam pembungkus.
"Belum mengantuk, Mas."
Dan setelahnya tak ada lagi suara yang menguar. Saya kembali bertafakur pada keheningan malam. Ada satu hal yang mengganjal dan bodohnya perasaan itu berhasil meloloskan sebuah pertanyaan, "Mas kalau saya diperkenankan untuk tahu, siapa nama perempuan dalam lukisan itu?"
Mas Made heran. Tentu dia akan bersikap demikian.
Sial! Sial! Rasa penasaran saya menghantarkan saya pada kelancangan yang sebelumnya tidak pernah saya pedomani.
•───────• ༺༻ •───────•
𝔅𝔞𝔱𝔞𝔳𝔦𝔞 𝗂𝗅𝗎𝗌𝗍𝗋𝖺𝗍𝗂𝗈𝗇 𝗮𝘁 𝗇𝗂𝗀𝗁𝗍
•───────• ༺༻ •───────•
- The potrait of the woman -
📸 :: Source of all images are from Pinterest
•───────• ༺༻ •───────•
Too Much Information:
Sajak kemarin adalah penggalan dari kumpulan sajak yang berjudul West-Ostlicher Divan (WOD) yang artinya Diwan Barat Timur, dibuat pada tahun 1814-1819 dan terdiri dari 12 buku.
Sajak tersebut diciptakan oleh Johan Wolfgang von Goethe yang berasal dari Jerman, pada era Neoklasisme dan Romantisisme, yakni pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Ia juga merupakan sastrawan yang sangat dekat dengan Islam, bahkan tidak mengelak ketika banyak orang menganggapnya sebagai seorang muslim. Awal Goethe memiliki ketertarikan pada Islam ketika ia melintasi tanah Arab dan Persia yang membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur.
Goethe memperkenalkan Islam bukan agama yang kaku oleh dogma, tetapi Goethe memperkenalkan Islam yang lebih dalam lagi, yakni Islam yang sufistik. Sejak mudanya Goethe sudah akrab dengan puisi-puisi seorang penyair sufi, Jalaluddin Rumi dan juga menaruh kekaguman yang besar pada penyair sufi asal Persia yang bernama Hafiz.
Menurut Berthold Damshäuser (Seorang Indonesianis dan pakar sastra yang berasal dari Jerman) kekaguman Goethe pada Sang Hafiz tertuang dalam penggalan sajak yang aku cantumkan pada bab sebelumnya.
Sumber: untirta.ac.id, bantennews.co.id, www.jurnalperempuan.org
•───────• ༺༻ •───────•
Glosarium:
1 | Barang
Dalam bahasa Indonesia klasik, barang mempunyai tiga arti, yaitu:
• Kira-kira
• Sekadar
• Mudah-mudahan
2 | Teragak
Berasal dari bahasa Minang yang artinya rindu.
•───────• ༺༻ •───────•
S E R E N A D E
©️2021 | artheta
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro