02 | Ugahari Sore
:: : :: : :: : :: : :: : :: : ::
Tafadal saja bawa saya segera pada jurang mafsadah!
Saya juga coba regas neraka yang tak pernah mafhum pada bagaimana ahwal saya sekarang . . .
dan bahkan mungkin di waktu esok
Bajingan!
Sepenggal catatan umpatan Adji
di Kaligua, 1943
S E R E N A D E
02 | Ugahari Sore
Ada kalanya mereka yang menjunjung adat mutakadim, berusaha menegakkan aturan juga kebiasaan hukum bahari, kadangnya bisa tertinggal pada kemajuan suatu ilmu yang digadang-gadang akan memakrufkan bani Adam-Hawa kelak di masa mendatang.
Saya setujui pernyataan itu--meski tak sepenuhnya.
Peradaban manusia semakin hari semakin berkembang pesat. Tak terelakan dan tak dapat pula dihindari. Posisi kerbau dan sapi yang dulunya digunakan untuk menganggung-anggungkan barang serta manusia, kini telah digantikan dengan suatu alat hasil ciptaan dari kombinasi antara ilmu dan pengetahuan para manusia. Barang tentu berlebih pula kecepatan dan efektifitas yang ada padanya.
Benar-benar kehebatan kaum Eropa itu! Saya hampir dibuat tidak habis pikir karenanya!
Ilmu beserta pengetahuannya tak bisa dipandang sebelah mata. Guru besar saya--sewaktu saya masih mengenyami pendidikan di Pondok Pesantren Tebu Ireng--pernah berkata, bahwa: Mereka itu selalu berproses memberadabkan ilmu yang telah didapat dimana pun mereka mempijaki tempat. Seharusnya kami bisa meniru. Meniru bagaimana usaha mereka memperoleh dan menerapkan sang ilmu dengan ahsan. Sebab guru besar saya juga berkata, masih banyak ilmu di luar sana yang tidak bisa didapat hanya dari maktab.
Omong-omong soal bangsa Eropa, saya jadi teringat perihal ramalan Raja Jayabaya akan kedatangan bangsa kulit putih ke bumi Nusantara ini. Diramalkan pula kedatangan bangsa itu membawa senjata yang mampu membunuh dari jarak jauh, lantas akan mendiami negeri ini dalam waktu yang cukup lama.
Lalu, tertulis juga jika katanya orang-orang berkulit putih itu akan dikalahkan oleh orang-orang berkulit kuning, bermata sipit yang datang dari arah Utara.
Kebenaran akan soal sang kulit putih terbukti benar sekarang. Di depan mata saya. Sungguhan terjadi. Namun, tak tahu jika dengan si kulit kuning. Saya belum lagi membuktikan. Dan sejauh ini tidak tampak tanda-tanda apapun--sejujurnya saya bukan orang yang begitu percaya ramalan. Tapi goresan yang pernah ditorehkan Sang Maharaja itu banyak benar terjadi. Membikin saya di ambang percaya dan tidak percaya.
Namun, belum lagi usai saya bertafakur pada semua itu, terdengar suara Mas Made memanggil saya.
"Dji!" serunya, datang membawa serta dua buah piring yang sudah dapat saya tebak, pasti berisi nasi goreng--Mas Made memang gemar memasak dan berbelanja kebutuhan dapur. Sudah terbiasa sedari kecil, katanya. Dan makanan yang seringkali Mas Made buat adalah nasi goreng--Mas Made itu betul-betul layaknya bagai ibu rumah tangga bagi kami.
Di belakang Mas Made turut serta Mas Damar dan Mas Sitor mengekori dengan membawa piring berisi nasi goreng di tangan masing-masing. Mereka jadi lebih tampak seperti anak ayam mengekori induknya. Lucu sekali!
"Makan dulu, Dji."
Lalu Mas Made meletakan salah satu piring di atas meja, di hadapan saya.
"Ya, makasih, Mas."
Seusai mereka terduduk, lantas kami memanjatkan doa sebelum makan sebelum menyantap sesuai dengan kepercayaan milik kami masing-masing. Harmonisasi yang mencuat rasanya begitu mendamaikan dan sungguh akan terkenang betul oleh saya.
Langsung saja sesudahnya kami memakan. Tak ada yang mengeluarkan suara, kecuali Mas Damar. Mas Damar banyak bercerita akan kenangan yang pernah dilaluinya bersama Bedjo (sekadar informasi, Mas Damar kembali lagi ke Batavia setelah hampir sebulan menyembuhkan diri di kampung halaman. Tapi bukannya semakin sehat, justru Mas Damar jadi semakin gila -- Ini kata Mas Sitor. Bukan saya yang berucap, saya hanya menuliskannya kembali)
Kata Mas Damar, jiwanya itu hanya tinggal separuh, separuhnya lagi telah dibawa Bedjo pergi menuju tempat peraduannya yang abadi. Saya yakin sekali siapapun yang mendengar pernyataan Mas Damar ini, pasti akan menganggap Mas Damar sebagai orang tak waras!
"Burung kau itu minta pelet darimana, Mar? Kuat kali sampai bisa buat kau jadi begini." Dan tidak perlu ditanya siapa yang berdecak frustasi seperti ini . . .
Selain Mas Sitor . . .
Sementara Mas Made tampak tak terganggu sama sekali oleh ocehan Mas Damar. Agaknya dia tak begitu mendengarkan, jadi tak begitu memusingkan. Kalau saya berkeluh-kesah pada Mas Made mengenai Mas Damar, Mas Made akan menjawab, "biarkan saja, Dji. Anggap saja radio rusak."
Dan semakin menambah keprihatinan saya pada Mas Damar . . .
Hampir selesai kegiatan menyantap makanan yang kami lakukan, tiba-tiba muncul sebuah suara yang . . .
Empshhhhhhhhh
Halus ... Lembut ... hangat ...
tapi terkesan bekat ...
dan ... lama-kelamaan ....
Tercium aroma seperti ....
aroma busuk ....
Saya terdiam dalam waktu yang cukup lama. Ini ada yang tidak benar, begitu pikir saya. Lantas saya menengok ke arah Mas Made yang sama terkejutnya sama seperti saya. Tetapi, Mas Made lebih parah. Agaknya dia lebih dari sekadar terkejut. Matanya melotot, nyaris keluar! Sesekali tampak hidungnya mencoba kembali mengendus-ngendus aroma busuk ini. Barangkali memastikan bahwa aroma ini sungguhan nyata. Bukan semu.
Lalu saya menengok ke arah Mas Sitor yang lebih tampak kepada terkejut sekaligus geram. Mulutnya komat-kamit seolah merapal sumpah serapah. Tak luput tangannya mengepal erat-erat.
Kemudian, menengoklah saya ke arah Mas Damar. Disuguhkannya saya oleh cengirannya yang --sok-- tak berdosa.
"Ngapuro ... Angine bablas e."
satu detik, dua detik, tiga detik suasana diselimuti hening ...
"HOOIII!!"
"KURANG AJAR KAU YA! BAU UDAH MACEM BAU BANGKE BEGINI. SINI KAU! SINI KAU!! EII!! BENAR-BENAR INGIN AKU PUKULI ANAK INI!!"
"Ampun, Mas! Ampun! Aw! Duh Gusti! Aw! Sakit, Mas! Aw!"
"Ampun, Mas! Aku lho, gak sengaja. Aw! Sakit Mas!"
"ALAH KENTUT!! MEMANG TAK BISA KAU RASAKAN GAS BELERANG ITU SEWAKTU MAU KELUAR, HAH?!"
Dan cerita ditutup dengan Mas Sitor memukul-mukuli Mas Damar (menggunakan buku Mas Made pula -- yang ntah ia dapat dari mana) Sementara Mas Damar menghindari serangan membabi buta itu dengan tengkurap, terlentang, kayang, berguling-guling, jungkir balik, salto, bahkan sampai mengeluarkan jurus andalannya -- jurus Bedjo kesetanan.
Bagaimana gerakan jurus Bedjo kesetanan? Tak perlu kalian tahu. Itu cuma gerakan aneh yang Mas Damar ciptakan, dan diberi nama yang sama aneh pula olehnya.
Namun, lain cerita dengan Mas Made dan saya. Saya justru menemani Mas Made memuntahkan semua makanan yang terkandung dalam perutnya ke bilik mandi.
"Baunya sangit betul, Dji. Gaenak kali. Heran saya sama kawan kamu satu itu," keluhnya di sela-sela ia bermuntah. Dan--Ah! Sial! Saya jadi jijik juga kalau begini ceritanya. Tak lama setelah Mas Made selesai bermuntah-muntah, giliran saya yang memuntahkan hampir seluruh makanan yang ada di dalam perut saya . . .
Ini semua hanya karena . . . Kentut . . .
Gas beracun yang dikeluarkan Mas Damar . . .
***
Perlu saya usaikan catatan saya sampai disini dahulu. Rasa kantuk tiba-tiba menyambangi saya, dan badan saya juga terasa linu sekali hari ini. Di sudut ruang sedang ada tikus kecil. Dia tak menganggu saya. Dia hanya memakan sisa makanan saya beberapa jam yang lalu yang memang saya sengaja sisakan untuknya.
Saya tidak tahu di luar sedang gelap atau terang. Tapi perasaan saya mengatakan bahwa sekarang sudah masuk waktu malam. Disini sunyi senyap. Kepalang sunyi sampai deru napas saya pun dapat saya dengari sendiri.
Saya rindui bunyi-bunyian jangkrik yang biasa menyemarak malam atau bagaimana alkamar memunculkan jati dirinya secara separuh atau menyeluruh. Gundah Gulita macam begini lebih mampu memuarakan saya sebagai pendosa--sebab saya akan terus banyak mengumpat!
Saya tersenyum sadur. Sepintas teringat kenangan tentang Bunda dan Romo. Biasanya mereka akan dongengi saya kala Alkamar sedang purnama dengan cerita para aulia dan mutaki yang pernah mendiami bumi Nusantara ini.
Ah! Saya ingin temui Bunda, ingin peluk bunda erat-erat. Ingin rasanya saya berbagi resah padanya. Tapi agaknya, keinginan itu akan tetap jadi keinginan. Rasanya mustahil terjadi. Sebelum benar-benar tertidur, saya sempatkan menorehkan pena membikin sketsa wajah bunda pada lembar kosong yang tersisa, berbekal potretnya yang ada di ingatan saya.
Belum lagi jejak tarum alkamar kerap kali hantui saya dalam gelagak penyesalan yang maha sialan!
𝑨𝒅𝒋𝒊𝒆, 𝟏𝟗𝟒𝟑
𝖳𝖾𝗋𝖼𝖺𝗍𝖺𝗍 𝖽𝗂 𝖪𝖺𝗅𝗂𝗀𝗎𝖺
𝖧𝗂𝗇𝖽𝗂𝖺-𝖡𝖾𝗅𝖺𝗇𝖽𝖺
Note :
Haii!
Apa kabar kalian setelah udah cukup lumayan lama aku gak update?
Aku harap kalian baik-baik saja.
Sebelumnya, maaf kalo cerita ini mengandung kata kasar. Aku menaruh harap pada kebijakan kalian untuk membaca cerita si Adji si raja sad boy yang hobi mengumpat dalam tulisan 🙂
Omong-omong narasi di paragraf kelima itu adalah kutipan dari Emha Ainun Najib. Menurutku apa yang beliau katakan sangat sesuai untuk yang ingin kutuliskan pada part ini. Kutipan beliau aku ambil dan aku kombinasikan dengan kata-kataku sendiri. Maka dari itu aku cantumkan darimana sumber narasi itu terbentuk ((agaknya gak elok kalo aku menggunakan kutipannya dan gak menyebutkan darimana sumber yang aku dapat))
Terima kasih sudah menyambangi cerita ini. Aku harap gak mengecewakan kalian! ):
Karena singkatnya, aku lagi ngerasa enggak pede dengan SERENADE ini
Yasudah kalau begitu
Selamat Malam Minggu! 🔮✨
•───────• ༺༻ •───────•
S E R E N A DE
©️2021 | artheta
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro