Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01 | Objek Segala Bangsa

‟. . . Bahagia itu ketika kamu saling mengasihi tanpa pernah sedikit pun memandang perbedaan yang melatarbelakangi satu sama lain

Tuhan cipta perbedaan, sebab pada hakikatnya perbedaan adalah warna dari kehidupan . . . 〞

R.B. Hanenda Hastungkara Tjokroatmodjo
also known as
Adji

[ Tercatat di Hindia-Belanda, 1943 ]

:: : :: : :: : :: : :: : :: :


・ .           .                 ✦
.                 .            .           .       .             ✦
✦       ・           .                 •      .     •          .
•    .             .               ✦
✦                 ✦
⁺       ˚

•───────• ༺༻ •───────•
𝔗𝔥𝔢 City Map
of
B A T A V I A

•───────• ༺༻ •───────•














S E R E N A D E
01 | Objek Segala Bangsa

Harsa-harsa sering benar saya rasai sewaktu saya tinggal di pemondokan — pemondokan saya berada di daerah Pejambon, Batavia, kawasan Weltevreden, milik seorang perempuan tua turunan China-Soerabaja.

Batavia.

Kota yang digadang-gadang bagai palapa kepunyaan Hindia Belanda ini, katanya mengandung segudang kemasyhuran maha besar yang menjanjikan — Ah! Tapi tentu saja hanya teruntuk kaum-kaum Borjuis. Salah satu contohnya macam Societeit Harmonie, Taman Wilhelmina, Des Indes, gedung-gedung bioskop hanya bisa dimasuki kalangan berduit!

Ada banyak sekali syair-syair yang kerap saya temui memuja-muji Batavia beserta seluruh isinya dan tidak pernah ada saya temukan penghuni Bumi Batavia ini berawai bersama sedu-sedan. Laksana balai peranginan kalau-kalau kaum semacam mereka memberi deskripsi.

Namun, harus saya akui, Batavia memang betulan indah! Keelokannya lebih mampu membikin saya tergagap-gagap dalam sekali-dua pandang, dan sejauh ini belum ada keindahan yang melebihi daripadanya — kiranya begitu menurut saya.

Saban sore hari di sekitar lingkungan pemondokan saya akan banyak menjumpai lalu-lalang kendaraan Chevrolet, Spijker 1906, Morris Saloon de Luxe berhamburan di badan jalan. Biasanya juga dibarengi dengan lalu lalang sepeda ontel di sisi jalan — walau barang hanya satu-dua, dikendarai oleh bumiputera.

Saya bersama bumiputera lain dengan kesederhaan juga mampu menikmati pancaran keelokan dari Batavia. Tentu saja kami menikmati dengan cara lain — yang belum tentu kaum Borjuis semacam mereka bisa menikmati, bahkan memaknai.

Ini sungguh benar!

Kalau telah sore hari saya bersama kawan-kawan saya seringkali memandangi lekungan langit membiaskan warna lembayung, ditemani sebatang sigaret kretek merek Tjap Doro yang diproduksikan dari Semarang — Percaya tidak percaya, tetapi kamu harus percaya, kalau sigaret tanpa filter pada masa itu sangat digandrungi kalangan bumiputera, termasuk saya sendiri — di halaman belakang pemondokan.

Mas Sitorus — biasa saya memanggilnya Mas Sitor — adalah kawan tertua saya setelah Mas Damar dan Mas Made. Berasal dari Medan —untuk identitas lengkapnya nanti akan saya bagi tahu — Bekerja sebagai sopir pribadi seorang Eropa yang bekerja di NILLMIJ, kawasan Noordwijk.

Kegemarannya saban waktu, jam, menit, bahkan detik adalah bertengkar dengan Mas Damar. Apalagi kalau sudah menyangkut soal Bedjo — Bedjo adalah nama Burung Perkutut kesayangan Mas Damar. Walau hampir dua tahun berteman, Mas Sitor tak pernah sudi memanggil burung peliharaan Mas Damar dengan namanya. Mas Sitor hanya mau menyebutkan 'Burung kau' untuk menyebut si Bedjo.

Ciri khas dari Mas Sitor, cara bicaranya tak pernah santai — terutama pada Mas Damar dan si Bedjo.

Sedang Mas Damar sendiri, dia adalah teman saya, berasal dari Sidoardjo, Jawa Timur. Logatnya kental akan Jawa sekali. Dia juga seorang pengangguran yang kerap tampil rapi nan necis.

Perlu digaris bawahi; Pengangguran ~

Selalu memakai celana bahan, kemeja katun, pantopel hitam, tak lupa sepasang kaus kaki. Layaknya orang Eropa — Mas Damar selalu dapat kiriman uang dari dua orang tuanya. Maka dari itu, dia menganggur pun tak ada masalah.

Kemudian ada pula Mas Made. Asalnya dari Bali dan lagi mengenyam pendidikan di Recht HoogeSchool, Weltevreden, Batavia. Berada di periode kedua: Doctoraal examen. Untuk latar belakangnya saya tidak tahu begitu jauh. Mas Made tertutup sekali orangnya. Tak banyak bicara, tetapi kalau dilihat dari pendidikan yang mampu ia tempuh, agaknya dia bukan sembarang orang.

Dan kalau akhir pekan Mas Made ini selalu minta ditemani oleh saya pergi ke G Kolff & Co —  salah satu toko buku legendaris yang ada di Batavia — guna membeli satu-dua buku.

Sedang saya sendiri, juga anak perantauan. Sama seperti yang lain. Dari Jogjakarta. Bekerja di penerbitan Surat Kabar Fadjar Asia, daerah Pasar Senen, Batavia.

Ada banyak sekali cerita antara saya, Mas Sitor, Mas Damar, dan Mas Made. Apalagi kalau sudah dicampuri dengan urusan si Bedjo.

Sempat saya dengar katanya si Bedjo mau dikawinkan dengan burung perkutut milik kawan Mas Made, tetapi esok harinya, si betina yang mau dikawinkan dengan Bedjo hilang! Terbang! Alias lepas dari kandang!

Tak usahlah ditanya bagaimana sedihnya Mas Damar pada waktu itu, katanya ia tak mau Bedjo menjadi bujang lapuk.

"Dji, sampeyan lho mana ngerti sakitnya jadi Bedjo,"  kata Mas Damar saat saya coba tenangkan dia. Lama-lama geram juga saya memandangi Mas Damar larut dalam kesedihan yang tidak seharusnya!

Namun, tetap saja. Dihibur dengan cara apapun Mas Damar agaknya tetap tak bisa lepas dari kesedihan.

Padahal kalau saya, Mas Sitor, dan Mas Made perhatikan, Bedjo tampak sangat biasa saja. Tak terlalu larut marut seperti Tuannya itu. Dia cuma seekor burung! Mana tahu rasanya patah hati?!

"Memang gila itu kawan kau, Dji," ini adalah ucapan Mas Sitor saat melihat Mas Damar lagi memandangi Bedjo dengan tatapan nelangsa. Sedang si Bedjo malah tampak asyik memakan makanannya.

"Tapi Mas Damar juga teman Mas Sitor juga, toh," saya menjawab, turut juga menjatuhkan tatap pada objek yang sama dengan yang sedang ditatap Mas Sitor.

"Tak punya saya kawan gila macam dia itu."

"Tak boleh begitu lah, Mas."

Mas Sitor mendengus, kemudian menggulirkan pandangnya pada Mas Made yang sedang membacai surat kabar di geladeri. Nikmat sekali tampaknya. Membacai surat kabar, ditemani segelas kopi susu dan biskuit. Aih, mantap!

"Kawan kau yang satu itu juga, Dji. Hidupnya macam tak ada masalah. Kerjaannya cuma ngopi, ngopi, ngopi, baca surat, tidur, baca buku, ngopi lagi. Tapi herannya duitnya ngalir terus. Enak betul itu hidupnya."

"Mas iri?"

"Tidak."

"Oh."

"Tidak salah lagi, Dji, maksudnya."

Saya mendelik. Masam. Ke arah Mas Sitor. Menyebalkan, tapi juga menyedihkan.

Drama kehidupan empat bujang ini tak hanya sampai disitu. Pernah ada satu kejadian yang mampu menggemparkan seisi pemondokan ini.

Satu kali waktu, pagi hari, saya dan Mas Damar terduduk di atas sitje yang ada di geladeri pemondokan. Memakan singkong rebus sambil berkonversasi membahas yang terjadi di bumi pertiwi.

Namun, belum sampai lama, suara Mas Sitor terdengar menggelegar memanggil-manggil Mas Damar.

"HEI! DAMAR! SINI KAU, MAR! CEPAT KESINI!"

"Ngopo to niku, Dji?" (Kenapa sih itu, Dji?) Mas Damar mengajukan tanya, saya hanya mengendikan bahu sebagai jawaban sebab saya betul-betul tidak tahu.

Tak lama, sekali lagi terdengar teriakan Mas Sitor dari luar sana.

"HOI! DAMAR! BURUNG KAU! ITU BURUNG KAU TERBANG!"

Aneh! Mas Damar justru terkekeh. Agaknya dia betul-betul belum menyadari apa yang terjadi. "Tingal puniku, Dji. Kanca sampeyan niku wonten-wonten mawon lampahanipun. Ck, ck, ck." (Lihat itu, Dji. Temanmu itu ada ada aja kelakuannya.)

Saya meringis, tak tahu mau bereaksi seperti apa.

"DAMAR! BURUNG KAO TERBANG ITU, HOI! TAK BISA AKU TANGKAP INI!!"

Satu detik ... dua detik ...

Belum tampak pergerakan apapun dari Mas Damar.

Tiga detik ... empat detik ... lima detik ...

Masih belum menyadari rupanya Mas Damar. Baiklah, saya juga memilih diam. Tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

Enam detik ... tujuh detik ...

"LHO?! LHO?! BURUNGKU?! BEDJO?! BURUNGKU SINTEN TO, DJI?! EALAH GEMBLUNG! BEDJOKU! WEH LAH DALAH, BEDJO!!!"

Kejadian yang betul-betul menggemparkan seisi penghuni pondok. Dua hari selepas kepergian Bedjo, Mas Damar didera demam parah alias jatuh sakit. Dia tak henti-hentinya mengigau memanggil-manggil Bedjo. Sempat Mas Sitor sarankan supaya Mas Damar dibawa ke pemuka agama, supaya dikeluarkan segala jenis jin apapun itulah yang — barangkali ada — bersemanyam di diri Mas Damar.

"Siapa tahu dia selama ini gila karena ketempelan setan, De."

"Takhayul, Bli. Gak ada setan itu."

"Kata siapa setan itu tak ada?"

"Saya, barusan," jawab Mas Made. Tenang. Sabar.

"Kalau setan tak ada, ini yang menggelepar di hadapan kau apa, De?!"

Saya dan Mas Made meringis. Mas Sitor itu sungguh kejam. Terutama pada Mas Damar. Anehnya, justru dia yang rutin merawat Mas Damar saat sakit begini. Tak tega, katanya. Hidupnya juga jadi lebih sepi.

Atas saran Mas Made — yang lebih manusiawi — kami pulangkan Mas Damar ke kampung halamannya barang sementara waktu untuk ditemui pada Bapak ibunya — barangkali ibu bapaknya bisa menangani — dan akan dikembalikan ke Batavia jika Mas Damar sudah kembali waras . . .











•───────• ༺༻ •───────•
𝔉𝔬𝔬𝔱 𝔑𝔬𝔱𝔢

01 | NILLMIJ

atau Nederlandsh Indiesche Levensverkezing en Liffrente Maatschappij van 1859 adalah perusahaan asuransi jiwa pertama di Indonesia yang berdiri tanggal 31 Desember 1859, kantor pusat di Batavia, kawasan Noordwijk (Sekarang kawasan Jl. Ir. H Juanda) dengan arsitek Pieter Adriaan Jacobus Moojen.

Gedungnya sekarang menjadi kantor Jiwasraya, di Jakarta Pusat. Lokasinya juga dekat sama Restoran Istana Harmonie yang dulunya bernama Hotel Des Galeries (Eksistensi hotel ini juga pernah aku singgung di cerita pertamaku, pada Bab 22| Lara Mewarna)

Ada satu fakta menarik, bahwa lift/elevator di Indonesia pertama kali ada di kantor cabang NILLMIJ Semarang 👀

•───────• ༺༻ •───────•

02 | Racht HoogeSchool te Batavia

Adalah perguruan tinggi hukum yang ada di Batavia, Hindia-Belanda, dibuka pada Selasa, 28 Oktober 1924.

Masa studi untuk RHS selama empat tahun, dibagi menjadi dua periode utama. Periode pertama ditutup dengan candidaats-examen, yang kedua adalah doctoraal-examen. Mereka yang berhasil lulus doctoraal-examen (D2) akan memperoleh status Meester in de Rechten.

Sekarang gedung sekolahnya menjadi Gedung Utama Kementerian Pertahanan RI (Untuk posisi lebih jelasnya, ada di peta yang aku cantumkan di atas!👀)

•───────• ༺༻ •───────•

03 | Toko Buku G Kolff & CO

Adalah toko buku pertama yang ada di Batavia yang berdiri di Buiten Nieuwpoort Straat yang kini bernama Jalan Pintu Besar Selatan. Karena kian berkembang perusahaan tsb membeli bangunan di sudut selatan Pasar Pisang (Jalan Kali Besar Timur 3) dan Kali Besar Oost (Jalan Kali Besar Timur).

Toko di kawasan niaga Kota Tua itu hidup hingga 1921. Pada Mei 1921, toko pindah lagi ke tempat yang lebih besar di Jalan Pecenongan di dekat Pasar Baru. Kolff juga membuka cabang di kawasan Noordwijk.

Agak menyedihkan, sekarang bangunan sisa peninggalan kolonial tersebut dalam kondisi tak terawat — mengenaskan bahkan. Gambar yang di sebelah kanan adalah keadaan toko buku Kolff & Co masa kini yang ada di Jalan Kali Besar Timur 3 )):








S E R E N A D E
©️2021 | artheta

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro