ᬵ halaman pertama
。 ∷ │ 𝐣𝐚𝐫𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐫𝐞𝐤𝐚
•••
"Wahh, apa kau dengar? Katanya, Mikey dan Draken sedang berselisih."
Para anak kelas satu berkumpul, membentuk kelompok kecil untuk membicarakan topik panas hari ini. Tangannya terangkat guna menutupi bibir, namun suaranya dengan jelas terdengar.
"Iya, aku dengar. Bisa-bisa Touman terpecah menjadi dua kubu."
Anak lain ikut berbicara.
"Apa (Surname)-senpai tidak menengahi mereka?"
Ketika seorang gadis yang sedari tadi diam kini berbicara, yang lain menatapnya aneh.
"Apa kau belum mendengarnya?"
"Dengar apa?"
Mereka saling bertatapan. Wajahnya sedikit tidak nyaman, dan sorot matanya penuh akan rasa ragu. Takut jika ketika ia berbicara, orang yang mendengar akan melaporkannya pada yang bersangkutan.
"... (Surname)-senpai sudah putus dengan Mikey."
•••
Ryuguji Ken, atau biasa dipanggil Draken. Laki-laki itu kini menatap Manjiro—Mikey dengan wajah penasaran. Dirinya agak sedikit ragu untuk bertanya. Tapi juga merasa hatinya akan ganjal jika diabaikan.
Terdiam sejenak, ia ingin menikmati momen ini. Ken bersyukur setidaknya Takemichi ada untuk kembali mendamaikan keduanya.
Sekali lagi, Ken mencuri pandang ke arah Manjiro yang merebahkan tubuhnya.
Manjiro menyadari itu.
"Apa, Kenchin?"
Tubuhnya sedikit tersentak kala Manjiro melirik lewat ekor mata.
"Tidak. Itu ... "
Ken mengalihkan pandangannya.
"Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, mengapa tidak membelikanku dorayaki saja?"
"Hah?!" Ken menoleh dengan alis terangkat. "Bukannya tadi baru saja kubelikan?"
"Habis."
"..."
Laki-laki jangkung itu menghela napas sebelum berdiri, bersiap untuk ikut bergabung dengan yang lain—bermain bola.
Manjiro mengedikkan bahunya acuh.
"Ya sudah kalau begitu. Lebih baik kita ikut gabung main saja—"
"Manji—Sano ... -san?"
Langkah kaki Manjiro terhenti. Tubuhnya sedikit membeku sebelum perlahan ia berputar. Ken pun tak kalah terkejut. Ia ikut berhenti dan menatap sosok gadis yang berdiri di bawah pohon. Jaraknya tak jauh dari mereka sekarang.
Mendengar suara gadis asing memanggil nama pertama seorang Sano Manjiro—Mikey, anak-anak lain, termasuk Takemichi menghentikan permainannya. Mereka semua menoleh. Memperhatikan gadis itu yang terdiam dan tenggelam dalam lautan rindu.
"(Name)-chin?"
Sahutan Manjiro terdengar agak pelan. Matanya sedikit terbuka, tapi wajahnya terlihat terganggu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Manjiro. Keningnya mengerut, seakan merasa iritasi dengan kehadiran gadis berpita kuning.
Kaki yang hendak melangkah mendekat membatu. Gadis itu tersentak. Ia menautkan jari jemarinya. Kemudian, ia eratkan. Terus ia lakukan hingga tidak sadar buku-buku jarinya sudah memutih.
"... aku hanya lewat."
Suara itu bergetar samar.
(Name) menggigit bibirnya sejenak, lalu berusaha sebisa mungkin mengukir senyum. Ia mendekat, mengikis jaraknya dengan Manjiro secara perlahan.
Tangan kanannya terangkat, hendak meraih Manjiro dengan bibir yang perlahan terbuka.
Ia hendak berbicara, sebelum akhirnya Manjiro mundur dua langkah.
Ken mengerutkan kening, dan yang lain memiringkan kepala.
Sementara sang pelaku kembali menarik tangannya.
Apakah itu adalah tembok yang terbangun di antara keduanya? Apakah jarak mereka sudah begitu jauh? Atau sejak awal (Name) tidak diizinkan mendekat?
"Maaf. Aku dengar kau berselisih dengan Ken. Apa sekarang—"
Mata Manjiro menyipit.
"Apa sih? Itu kan tidak ada hubungannya denganmu?"
"Oi, Mikey—"
"Diamlah sebentar, Kenchin. Ini urusanku."
Tangannya mengepal bersamaan dengan kepalanya yang menunduk. Bahunya perlahan bergetar, mengundang rasa iba para saksi yang enggan berbicara. Kemudian, sang pemilik mahkota hitam mengangkat kepalanya. Ia tidak akan membiarkan mahkotanya terjatuh.
Senyum terukir tanpa adanya sungai yang mengalir.
"Kau benar. Itu sudah bukan urusanku lagi."
"(Name)-chan—"
"Tidak masalah, Ken," potong (Name). Ia menatap Ken dengan tenang. "Yang dikatakan Sano-san benar adanya."
Kemudian, ia berbalik. Melangkah menjauh tanpa menoleh. Melangkah menjauh dengan tangan yang mengepal.
Seulas senyum miris terukir pada bibirnya.
Benar.
Hubungan mereka bermulai dari ketidaksengajaan, dan berakhir tanpa kejelasan.
Lantas, apakah salah jika ia meminta penjelasan?
Walau pun begitu, bukankah kau terlalu kejam, Sano Manjiro? Menghancurkan lawan dengan tendangan, dan menghancurkan hati seorang gadis adalah dua hal yang berbeda.
Mungkin, Saturnus dan cincinnya adalah kiasan paling cocok untuk kalian.
Sebab meskipun bulan purba sudah hancur, ia masih di sana. Pecahannya tidak pergi.
Masih di sisi saturnus, melingkarinya bagai cincin pelindung. Dia setia, walaupun hatinya terluka.
•••
Takemichi memberanikan untuk bertanya.
"Mikey-kun. Siapa gadis tadi?"
Mikey terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab tanpa ragu.
"Kenalan."
•••
❝ tidak ada yang lebih pedih daripada kehilanganmu, kau tahu? ❞
•••
3 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro