ᬵ halaman keempat
。 ∷ │ 𝐒𝐢𝐬𝐢 𝐬𝐚𝐭𝐮𝐫𝐧𝐮𝐬
•••
Jika sebelumnya kebetulan, lalu bagaimana dengan takdir?
Hari ini, malam ketika (Name) berniat untuk menyendiri di tangga kuil, mengapa Sano Manjiro—orang yang ingin ia hindari—malah menjadi orang yang ia temui?
"Ah ... Sano-san."
Manjiro yang tengah bersenandung santai seketika berhenti kala gadis bersurai hitam berdiri di hadapannya.
Keduanya sekali lagi bertemu secara tidak sengaja. Kali ini, bulan dan bintang yang menjadi saksi.
Berbicara.
Angin malam ini seakan berbisik lewat semilir yang menyentuh kulit. Seakan ikut menyemangati, gemerisik daun terdengar bersamaan dengan dia yang tak terkalahkan bicara.
"(Name)-chin—ah. Hei, (Name)."
Ini sungguh terasa asing.
Apakah waktu bisa diputar kembali? Jika ya, mungkin keduanya ingin kembali ke masa lalu.
Bukan untuk menikmati waktu, tapi untuk tidak bertemu.
Karena jika sudah menaruh rasa, akan sulit menghilangkannya. Itu adalah perasaan yang terdengar sederhana, namun sangat rumit.
Membuat orang menjadi gila karenanya.
Membuat orang senang karenanya.
Membuat orang bodoh karenanya.
Dan membuat orang terluka karenanya.
Lalu, cinta membuat kedua ini menjadi bagaimana?
Mungkin semuanya.
•••
Keduanya duduk di tangga sana. Dari ujung ke ujung, mereka berusaha menjaga jarak sebisa mungkin.
Keheningan ini membuat mereka gila. Seakan gelapnya malam akan menelan penglihatan mereka, dan kesunyian akan melahap hati mereka.
Ini gila.
Jantungnya yang menggila.
Manjiro menyentuh dadanya dengan wajah sebal. Apakah tidak ada alat untuk mengatur detak jantung?
Laki-laki itu berdecih.
"Sano-san, aku tidak akan bertanya mengapa kau ingin berpisah denganku."
Manjiro tidak merespon. Ia masih sibuk mengatur detak jantung yang seolah memiliki kehidupan sendiri.
"Sano-san, apa kau baik-baik saja?"
Manjiro sebal.
"Sano-san—"
"Sano-san, Sano-san, Sano-san! Mau berapa kali kau memanggilku itu?" Manjiro menoleh dengan kening berkerut. Raut kalut yang belum pernah terlihat, kini tampak dengan jelas. Kemudian dia bergumam, "seolah kita menjadi orang asing."
Sekarang kalian memang orang asing.
"Aku membencimu."
Tidak.
"Seperti yang kau katakan, kau bukan matahariku, jadi bisakah kau pergi saja? Mengganggu. Kau membuat hidupku jadi—arrgh!"
Membohongi diri sendiri tidak baik.
Manjiro mengacak rambutnya sendiri seraya mengeram kesal. Ia mendengus lalu menoleh ke arah gadis yang tengah tertawa kecil.
"Apa yang kau tertawakan?"
Usai meredakan tawanya, (Name) menggelengkan kepala dan menatap Manjiro. Ia tersenyum lebar dengan mata yang menyipit. Pipinya bersemu merah kala mata bertemu pandang.
"Habisnya, mana mungkin pecahan ini meninggalkan saturnus?"
Sial.
Sialan kau, (Name).
Manjiro memalingkan wajah dengan jantung yang berdisko ria.
•••
Entah sudah berapa lama mereka duduk di sana, tubuh (Name) mulai menggigil kedinginan.
"Sano— Mikey-san, apa kau masih mau berada di sini?"
Manjiro memperhatikan gadis yang terlihat kedinginan setengah mati itu.
"Hahh!"
Helaan napas terdengar. Manjiro berdiri lalu mengedikkan bahunya. Ia kemudian mengeluh dengan suara kencang.
"Mau bagaimana lagi, sudah malam begini. Pulang ah!"
Gadis itu diam-diam tertawa kecil.
Tapi tawa itu menghilang dalam sekejap ketika gerombolan laki-laki datang menyergap.
"Oi Mikey! Jangan terlalu sombong kau, dasar bocah brengsek!"
Umpatan demi umpatan keluar ketika orang-orang itu mendekat. Tampaknya itu adalah laki-laki dari SMA sekitar sini. Mungkin dendam pribadi dengan Manjiro.
Manjiro menggaruk belakang kepalanya lalu tanpa aba-aba menendang perut salah satu gerombolan itu.
Laki-laki berambut ikal yang baru saja ditendang terjatuh dengan kencang ke tanah. Membuat suara gedebuk yang begitu kencang. Yang lain terdiam sejenak. Nyali mereka menciut, tapi tidak berniat mundur.
"Kalau mau serang ya serang saja, gak usah banyak bacot. Dasar pengecut."
Sano Manjiro, dasar bajingan kurang ajar. Bisa-bisanya dia masih sesantai itu padahal (Name) masih duduk tepat di belakangnya.
Tapi sepertinya julukan 'Tak Terkalahkan' itu bukan isapan jempol semata. Karena pada akhirnya, mereka semua ditumbangkan dengan mudah oleh Manjiro. (Name) mengelus dadanya dan tersenyum lega mendapati Manjiro tak terluka satu pun.
Walau pun tadi ia berniat membantu, ia sadar bahwa ia hanya akan menjadi beban saja.
"Mikey-san, apa kau tidak apa apa?"
Manjiro menoleh dengan seringaian khasnya.
"Hah? Tentu saja!"
"Syukurlah—"
Tapi pada kenyataannya, sang penguasa tidak sebaik yang kalian kira.
"Manjiro!"
Dan teriakkan itu adalah satu-satunya suara yang bergema.
Kejadiannya terjadi dalam sekejap mata. Tepat sebelum seseorang jatuh ke tanah dengan cairan berbau amis yang tercium.
"... Manjiro-san?"
•••
•••
5 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro