[34]
Masi ada yang bangun jam segini?
"Kenapa lama banget updatenya?"
Aku berekspetasi tinggi dengan Ilustrasinya jadi sedikit takut mengecewakan jika dibuat terburu-buru :'(
Anyway, chapter ini mengandung konten trauma, kata-kata kasar dan sedikit kekerasan diri sendiri. Mohon maaf untuk ketidak nyamanannya.
≪•◦ ❈ ◦•≫
"Sebenarnya mereka mungkin agak sedikit bodoh, tidak hanya Todoroki atau Midoriya. Aku kaget saat Iida memutuskan balas dendam, jelas-jelas yang ia lawan bukan penjahat remeh-temeh. Balas dendam ya balas dendam, tapi seharusnya tetap memikirkan kondisi dan resiko."
Aku hanya manggut-manggut asal. Tidak berkomentar apa-apa dengan rostingan(Kritik) Bayu. Fokus menonton adegan Stain versus Todoroki.
Anehnya, yang aku perhatikan malah gedung-gedung tinggi dimana aku mungkin pernah duduk menyaksikan siaran live mereka.
"Tapi yang jelas, komikusnya hebat, character development semua tokoh benar-benar terasa. Kau harus membaca komiknya, (Name). benar-benar wah."
"Oh iyakah?"Aku menanggapi asal, "Setelah ini- mungkin."
Kami sedang menonton di halaman belakang rumah Bayu. Aku yang meminta. Pengen nonton ulang entah kenapa. Berhubung halaman belakang rumahnya rapi, terdapat gazebo, wifinya kenceng, ada tempat buat ngisi baterai. Macam rumah idaman di masa depan.
"Perkembangan karakter nya luar biasa. Mereka tak main-main dengan gelar hero class di bahu mereka. Itu yang membuat karakter-karakternya terlihat hidup. Semuanya punya kelemahan dan kelebihannya. Hero tak selalu menang. Villain bukan sekedar kelompok yang hobi mengacau."
"Jika kau masuk ke serial, kau mau quirk apa?"Aku bertanya iseng. Sedikit melirik cowok yang tengah berpikir atas pertanyaanku.
"Kabut."
"Hah? Kenapa?"
"Keren."Bayu bergumam, "Kalau bisa difungsikan seperti radar atau gelombang ultrasonik, kalau bisa dikendalikan ketebalannya, bisa dialihgunakan kandungannya, bisa digunakan untuk teleportasi seadanya. Seperti villain di Season 3, toh untuk petarung jarak dekat maupun jarak jauh, kabut pasti menjadi penghalang yang ampuh. Bayangin aja jika bertarung di daerah lembab, pasti jadi pemenang."
"Kalau mau yang overpower, sekalian saja oxygen, kan mantep tuh."
"Engga juga sih, lagian buat apa overpower? Malah bisa jadi serangan balik ke tubuh."Bayu mengangkat bahu, as always,selalu rasional. Tapi memang benar sih, lebih baik memiliki quirk serbaguna daripada overpower. "Kau sendiri?"
"Entahlah, apapun selain waterbending."
≪•◦ ❈ ◦•≫
"Teknik Sinkronisasi 50% tahap kedua : Lautan Darah Sang Kematian. Wushh..,"
"Kau lagi ngapain sih?"
"Ber chuunibyou. Keren kan?"
"Dih sarap."
Aku terkekeh pelan, membalikkan badan, kembali menonton adegan dimana Midoriya menyerahkan One For All ke Bakugo. Bayu di pojok Gazebo masih sibuk berseru-seru kesal dengan gamenya. Mungkin lagi mainin talking angela entahlah.
"Papa mu kapan pulang?"Aku menarik asal topik, sembari memakan kripik kentang.
"Seriusan lu nanyain itu? Seleranya ga ganti duda beranak satu kan?"
Aku memutar mata, "Siapa juga yang mau ibu tirimu."
"Buat apa jadi ibu tiriku kalau kau bisa jadi ibu dari anak-anakku."
"Asekk,"Sepertinya lelaki itu masih ingin melanjutkan adu gombalan kala itu, aku hanya mengangguk-angguk langsung paham.
Tolol emang.
"Aku pengen samyang, tapi lagi ada Bi Asih di rumah, bikin di rumahmu aja yuk."Bayu mengalihkan pembicaraan dengan lihai.
"Males ah, mager. Beli di Warmindo aja."
"Temenin."
"Dibilang mager."Aku menggerutu, "Lagian ini baru pulang sekolah masa' udah kemana-mana sih? Ga kasian ama bensin motor?"
"Engga sih, yang ngehabisin kan seringnya lu anjir."
"Oiya hehehehe, Yu Ganteng gabakal narik biaya bensin kan?"
"Mintain besok-besok aja kalau aku gadapat warisan."Bayu berpikir.
"Delay dulu sampai aku punya warung nasi padang."Aku mengangguk-angguk asal. Mengacak rambut yang makin kesini makin terasa panjang. Suhu di daerah sini termasuk panas, aku malas punya rambut panjang tidak seperti saat ituyang aku bisa menurunkan suhu sendiri tanpa bantuan kipas angin. "Ambil gitarmu dong, mau main."
"Emang bisa? Kayaknya dulu kunci G aja masih keliru."
"Jangan remehkan perjalanan waktu, aku sudah sekelas gitaris nasional sekarang."
"Sebentar, aku masuk dulu."Lelaki itu meloncat dari gazebo, tanpa memakai sendalnya, berlari masuk ke dalam rumah.
Aku hanya memandang punggung Bayu yang menghilang seiring pemiliknya memasuki rumah.
Jujur ada yang aneh, aku tak tau apa itu, tapi merasakan jelas keanehan Bayu. Kayak apa ya? Lebih aneh aja gitu, bawaannya riang mulu, dipalak juga gak protes seakan aku boleh nguras isi ATMnya sampe habis.
Mungkin sedang khilaf, aku mengangkat bahu.
Belum ada lima menit, Bayu keluar membawa gitar, menghampiriku yang sedang di gazebo, menaruh gitar cokelat tua itu tiang gazebo sebelum kemudian kembali berlari masuk.
"Mau kemana??"Aku sedikit berseru bertanya.
"Ada telpon! Lu pake aja gojak nya kalo laper, saldo nya masih banyak!"
"Ih sombong."Aku melirik ke arah gitarnya, handphone dengan case hijau zamrud tergeletak disebelahnya.
"Dia nelpon pake apa? Hapenya kan disini?"
"Oiya pake telpon rumah lah bego."
"Tapi siapa yang masih pake telpon rumah di era segini?"
Aku kembali merapikan rambut sebelum bermonolog ria. "Paling yang neneknya."
Belum sempat mengambil gitar, suara teriakan keras terdengar dari dalam rumah, membuatku reflek menoleh.
"HARUS IKUT GITU? GILIRAN KAYAK GINI BARU DIANGGAP KEPONAKAN SENDIRI?!"
"TANTE ITU PUNYA PONAKAN, BUKAN BENDA. KEMARIN DIKATA-KATAIN, ANAK BUANGAN SEKARANG NGEMIS MINTA BALIK, MAKSUDNYA APA COBA?!"
Aku memperbaiki posisi duduk, menghela napas pelan.
Lama sekali tidak menyaksikan ini lagi.
Untung masih ingat, aku mengangkat bahu, bergegas merogoh handphone di hape, mencari kontak penting.
Mantep, untung belum dihapu-
"EYANG TIAP BULAN NGIRIM UANG? LHO, AKU ITU CUCU ATAU KARYAWAN SIH?!"
Hentakan marah terdengar sekali lagi diiringi barang pecah belah yang jatuh. Sepertinya asisten Bi Asih sampai keluar ke belakang, tentu saja, siapa yang tidak gentar dengan orang yang sedang murka? Terlebih anak yang seharusnya friendly dan easy going macam Bayu.
"Mbak, bisa minta tolong?"Aku berseru, melambaikan tangan untuk menarik atensi cewe berumur seperempat abad itu.
"Eh? Ada (Name) ternyata,"Menghela napas lega setelah melihatku, berlari kecil menghampiri gazebo, mendekat. "Saya takut, barang di dalam lupa disingkirin tadi. Saya tidak tahu kalau yang menelepon itu tantenya Mas Yu."
"Gapapa mba, asal ga mendekat aja."Aku terkekeh, terlihat sekali muka mbaknya syok dengan barang dibanting, sepertinya asisten baru deh, makanya kaget. "Aku bisa minta tolong?"
"Boleh-boleh."Mbaknya duduk di tepi Gazebo, menenangkan diri.
"Tolong ambilkan antimo, paracetamol, kasa, betadine, sama antiseptik. Oh kalau bisa sama air putih, Mbak. Masuknya mutar aja lewat pintu depan. Kalau ketemu Bayu nanti bisa-bisa Mbaknya kena."
"Eh itu buat apa? (Name) gak takut?"
Aku menggeleng, "Semacam pengobatan aja, sudah biasa kok, tolong ya mbak."
"Aduh oke siap, saya ijin ambil dulu ya?"
Aku mengangguk sekilas. Belum sempat mengucapkan sama-sama, teriakan kembali terdengar.
"EMANG PEDULI? YU SAKIT TIPES DULU AJA TANTE GAK TAU KAN? ALAH KEBIASAAN, EMANG KITA KELUARGA!?"
"(Name)..,"
"Sans mbak, asal gak ganggu, gabakal kenapa-napa, anggap aja anak bayi lagi tantrum. Mbaknya tau lagi ada masalah apa?"
"Katanya Bi Asih, keluarga besar Papanya Mas Yu akhir pekan ada pertemuan, Mas Yu-nya diajak juga."
"Lho, kukira Om udah dicoret dari kartu keluarga?"
"Iya,Mas Yu kan pake kartu keluarga ayahnya, rencananya mau dipindah nama Mas Yu ke kartu keluarga punya tantenya. Tapi itu baru rencana, saya juga gak tau tiba-tiba Tantenya nelfon sekarang. Katanya, karna beberapa bulan lagi Mas Yu udah ulang tahun ke 17 kalau gak salah."
"Masalah KTP?"
"Iya, gara-gara Mas Yu udah siap punya KTP, terkait harta warisan juga, Buyutnya kan sudah sepuh banget."Mbaknya menghela napas, lantas kembali berbisik, "Kata Bi Asih, harusnya dulu Bu Ria narik Mas Yu aja, keluarga Pak Yudistira toxic banget, gak baik buat Mas Yu."
"Ya gimana lagi sih Mbak, di pengadilan kan Om Yudistira yang menang."Aku tersenyum tipis, "Lagian pas SMP dulu sempat ditawarin sama Bunda Winda buat ikut sama suaminya yang baru. Tapi malah gamau, emang anaknya seneng nyari penyakit hati."
"Aduh, terus ini gimana ya?"
"Gak usah diapa-apain, nanti paling moodnya balik sendiri."
Aku tau. Aku paham. Toh ini sudah lama. Setelah obrolan kami selesai, aku kembali menatap handphone.
Ah I see, sudah jarang kambuh tapi ya? Syukurlah sudah sedikit teratasi
Masih ingat caranya kan (Name)?
Mungkin bukan jarang kambuh ya Kak, tapi kalau kambuh, sayanya yang gak ada hehe
Masih-masih
Ya tuhan..
Apa perlu saya hubungi orangtuanya?
Saya ketahuan tahu aja mungkin bisa diamuk Kak, apalagi kalau orangtuanya
Gak papa, sudah ada antisipasinya kok
Kalau bisa besok aja ke klinik saya lagi saja, (Name)
Normalnya terapinya rutin sebulan sekali
Ini bahkan tidak pernah terapi sejak konsul ke saya pertama kali
Kalau mengajak, saya masih belum berani Kak
Nanti kabari lagi ya (Name)
Apalagi kalau sudah Self Harm, langsung seret ke sini saja
Siap-siap
Syukurnya Bayu belum pernah self harm yang sampai gawat Kak, masih waras dia mah
Hahaha antisipasi aja (Name), soalnya kadang anak laki-laki lebih emosional daripada anak perempuan haha
Aku menghela napas, sampai tidak sadar kalau sudah ada betadin dan kawan-kawan di dekat kakiku, sepertinya mbaknya langsung meletakkan tanpa berbicara apa-apa agar tidak menggangguku yang sibuk.
"TAU AH, URUS SAJA MASALAH TANTE SENDIRI, GAUSAH NARIK-NARIK ANAK BUANGAN INI!"
Pintu terbanting terdengar, suara barang jatuh, barang pecah. Sepertinya ada yang sedang menjadi maung.
Aku kembali mengusap dahi, rasanya tegang sendiri. Bagaikan punya dua kepribadian yang berbeda, mungkin yang ini disebut alter ego? Gak lah canda, ini ada penjelasan ilmiahnya. Masalah psikologis wajar. Bukan sakit jiwa.
Mungkin karna ini Bi Asih sering ganti-ganti asisten, kebanyakan takut. Aku lama sekali tidak melihat Bayu, tidak tahu bagaimana kabar masalahnya yang satu ini, jadi mungkin kebanyakan dari mereka tak terbiasa. Ini masih belum ada apa-apanya kalau melihat pertengkaran dia dengan ayahnya. Pernah saat SMP, Bayu meninju simpenan ayahnya yang datang ke rumah seenaknya.
Abis itu dia yang gantian kena tinju bapaknya, sampe biru anjir. Dahlah capek aku ngeliat drama Indosiar ini.
kalo diplatform menulis, Bayu udah jadi badboy yang punya masa lalu kelam, yang penguasa sekolah, klub malam sana sini, balap liar, menghabiskan duit orangtua—kalau satu ini aku yang ngehabisin sih. Tapi nyatanya dia tetap easy going seperti biasa.
Pintu belakang terbuka, muka kusut dengan rambut acak-acakan itu keluar. Masih dengan raut sungut-sungut tidak terima.
"Udah selesai?"
"Mual aku denger suara tante-tante itu. Bau busuknya kecium sampe sini. Jingan, bangsat, udah tua mending ngurusin suami buncitnya anjg, gausah ngurusin anak orang."
Aku ber-oh pelan, tak berniat mengompori sama sekali, melihat hal yang mencolok dari tangan Bayu, "Seenggaknya jangan menonjok vas lagi, tanganmu berdarah kan."
"Sorry, ga kerasa."
Bayu duduk di sebelahku, mukanya sudah benar-benar tidak terdefinisikan. Muram, mendung, kelam, apalah itu. Yang jelas hawa-hawa tidak mengenakkan menguar seperti menandakan senggol, bacok.
Lelaki itu melirik ke arah obat-obatan yang tergeletak di samping (Name).
Lu kalau udah gak peduli, yang niat aja kenapa sih. Tinggalin sekalian. Capek tau, rasanya kayak ditarik ulur. Kalau udah kayak gini kan baper lagi kampret.
Tangan berdarahnya hendak mengambil antimo sebelum kemudian (Name) menahannya.
"Dibersihin dulu lah bego, kotor nanti darahnya bercampur antimo mana enak."
"Sorry."
Aku menghela napas, menarik tangannya yang berdarah. Mengarahkannya ke depan gazebo lantas menyiramnya dengan air mineral agar bersih. Untungnya asisten tadi cukup tanggap dan membawa lengkap kotak P3Knya.
"Kalo sakit ngomong."
"Hm."
Aku melirik sekilas, sepertinya memang moodnya sedang buruk sekali. Berbanding terbalik dengan yang saat ia menggebu-gebu berbicara tentang character development karakter serial.
Tangan kiriku yang kosong mengambil kasa. Masalahnya si bego ini membuat tangannya terkena banyak goresan kaca. Lukanya jadi banyak sekali. Kasa kulipat, lantas daerah luka gores yang sudah bersih dikeringkan dengan kasa. Kalau pakai kapas nanti serat kapasnya malah nempel di luka, jadi tambah perih.
Nice, Aku bergumam pelan, sigap banget sial, bahkan disediakan kain bersih. Aku kagum dengan mbak asisten barusan. "Jangan diapa-apain dulu."Melepas tangan Bayu, lantas aku mengambil Povidone Iodine, membasahi kainnya dengan cairan tersebut sebagai langkah pembersihan luka.
"Kenapa sih, sumpah bangke banget, yakali aku mau diajak balik ke keluarga kolot macam itu."
Akhirnya bersuara juga.
"Please, makai blankon, jarit, apalah itu. Bukan keluarga utama, tinggalnya di luar keputren juga. Masih sok-sokan anjir. Sepaham kali ini gua ama papa, emang keluarga sana brengsek banget. Pantes sebangsat papa aja sampai keluar!"
"Emang selama tujuh belas tahun, pada kemana?! Pas tipes aja yang bayarin rumah sakitnya keluarganya kau! Giliran mau pembagian hak waris, langsung baik hati, Seenak palamu, seenak jidatmu, sampah-ARGH SAKIT!"
Aku memutar mata, "Makanya gausah sok-sokan nonjok kaca. Pecahannya masuk semua nih."
"Mending aku disuruh nguras lautan sama mamamu dibandingkan berangkat kesana, ARGH KESEL BANGET GILAK, PENGEN KU BETOT PALANYA!"Pasti dia berteriak karna kesakitan tapi sekalian diiringi umpatan biar barengan.
"Kalau masih mual, antimonya minum gih."
"Mesti aku alergi suara wanita uler, jadi mual kayak gini. Mana pusing lagi. Tantephobia."
"Nanti kalau udah dijeda, minum paracetamolnya."
"Menurut mu gimana? Sumpah ya, capek banget kalau udah berurusan sama keluarga kolot itu."
Banyak tipe manusia, bermacam-macam seriesnya. Termasuk tipe-tipe orang saat sedang bercerita atau curhat.
Bayu termasuk orang yang tidak suka dikasihani. Memberinya saran ditengah-tengah curhatnya hanya akan membuatnya kesal. Tipe yang hanya ingin bercerita, hanya ingin didengarkan. Tidak butuh saran suci dan lain-lain, hanya ingin melepaskan seluruh beban pikiran dengan bercerita.
Tapi kalau dia bertanya saran, baru aku akan bersuara.
Rumusnya, jika ada orang yang ingin bercerita maka aku dengarkan, jika ada orang yang ingin meminta saran maka akan aku berikan.
Bukan berarti orang ingin bercerita lantas aku malah balas menceritakan nasibku, adu nasib tolol. Dimana-mana orang bercerita untuk melepaskan seluruh lelahnya, bukan untuk menerima cerita nasib lainnya.Orang berani bercerita bukan untuk diperbandingkan.
Aku mengusap dahi. Menoleh, sebelum menyadari sesuatu, "Lu ngapain bisa ada luka di dahi sih dodol."
"Sorry, tadi kepalanya kujedug in di tembok."
"Bego."
"Sorry huhu."
Aku menghela napas, melambaikan tangan, "Aku ambil es dulu."
Untung letak lemari es dengan gazebo belakang dekat, jadi tidak usah berlama-lama, aku langsung kembali ke gazebo, membawa kompres es.
"Wait, ku bersihkan dulu."
"Hah?"
Kakiku melangkah maju, badanku membungkuk lantas mendekat, jarak muka kami bahkan kurang dari satu jengkal, aku menyipitkan mata melihat lebih jelas luka lebam di dahi Bayu.
"Kok ada serpihan kayunya sih? Kau membenturkan ke dinding kayu?"
Tak ada sahutan jadi kuanggap iya, Aku menghela napas, meniup luka lebam itu pelan. Seperti apa yang mamaku selalu lakukan jika aku atau saudaraku terluka. Meniup lukanya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Aku menjauhkan muka, berkacak pinggang, melihat entah kenapa laki-laki itu terlihat tegang sekali pasca kutiup lukanya tadi.
"Nafas nyet."
"Apaan sih!?"
Aku mengusap rambut, "Kompress pake ini, 15 menit aja."
Bayu mengusap dahinya yang luka, meraba-raba lebamnya. "Capek kalau 15 menit."
"Yaudah tinggal sambil tiduran."
"Coba duduk dulu."
"Apa hubungannya aish."Aku berdecak kesal, makin ngelunjak ini anak. Gajadi prihatin aku gara-gara kejadian yang tadi. Tapi juga akhirnya duduk sih.
"Dah kompress burua-"
Bayu meletakkan jaket sekolah yang tergeletak di ujung gazebo di pahaku. Lantas dengan cepat kepalanya jatuh, tiduran di atas jaket yang menutupi rok cokelat pramukaku. Aku berdecak kesal. Menjambak pelan rambutnya.
"Nah gini kan enak."
"Miskin bantal?"
"Males ngambil."
Aku mengusap rambut pelan, membiarkan lelaki aneh ini menjadikan pahaku sebagai bantal. Lantas aku meletakkan kompress tadi di dahinya yang lebam.
"So tadi mau ngomong apa?"Bayu mengernyit menahan perih sekaligus sensasi dingin di jidatnya.
"Oh iya."Aku bergumam.
"Intinya gini deh, aku gak berhak mengomentari kehidupan pribadimu, tapi jika kau ingin mengambil keputusan, pikirkan masa depan dan perasaanmu sendiri. Ambil yang baik untuk masa depan, dan yang sesuai dengan perasaanmu sekarang. Jangan gegabah. Pikirkan matang-matang. Lihat dari banyak sudut pandang. Apapun yang kau pilih, aku takkan protes apa-apa."
≪•◦ ❈ ◦•≫
Aku menguap pelan.
Matanya berat sekali, ditambah kejadian tadi siang.
Bayu adalah seorang pengidap PPD atau Paranoid Personality Disorder dan Pistanthrophobia atau rasa takut dengan hubungan. Ini bukan self diagnose, saat SMP tahun kedua, dia dipaksa datang ke dokter yang tadi kuhubungi- seorang psikolog di daerah ini oleh guru privatnya.
Tapi surat diagnosisnya langsung dibuang sama Bayu, bego emang. Tanpa sempat ia buka, mungkin terlampau takut dengan isinya. Bi Asih menemukannya di tempat sampah masih tersegel dan memberikannya kepadaku, karna takut ternyata itu dokumen penting mengingat ada logo rumah sakit di amplopnya. Alhasilnya aku lah yang selama ini berhubungan dengan Psikolog Bayu.
PPD atau Paranoid, menurut keterangan Kak Aria, psikolognya, terjadi karna trauma akibat kondisi keluarga. Membuatnya tak pernah bisa percaya dengan orang lain. cenderung mudah mencurigai orang, terlalu mudah merasa khawatir. Tak bisa menjalin hubungan dengan mudah. Ini memberikan alasan kenapa meski Bayu punya banyak teman, tapi tak pernah ada yang dibawa nongki di rumah. Bahkan banyak yang tak tahu kalau Bayu anak broken home. Tertutup meski terlihat easy going.
Kalau pistanthrophobia adalah phobia untuk menjalin hubungan. Meski aku yakin Bayu tak pernah pacaran jadi tak pernah sakit hati. Tapi menurut Kak Aria, itu hasil trauma hebat karna hubungan kedua orangtua nya. Membuat mentalnya terkena.
Mual, Pusing, merasa sesak napas, itu salah satu gejalanya. Termasuk anxiety disorder juga. Terlalu overthinking. Menyebabkan lelaki itu jarang sekali bisa tidur tenang di malam hari.
Harusnya di terapi rutin. Harusnya. Tapi ya bagaimana lagi, menurut Kak Aria, dibandingkan memaksanya ke psikolog yang dapat membuatnya lebih tertekan, lebih baik diawasi secara berkala.
Aku menghela napas. Merasa bodoh sekali dulu mengira Bayu baik-baik saja.
Hey, setelah dua kali perceraian, dititipkan di rumah tetangga sampai nyaris lulus sekolah dasar. Menyaksikan KDRT, belum lagi tekanan keluarga besar, justru Kak Aria kagum saat tau Bayu nyaris tak pernah melakukan self harm di saat depresinya. Kecuali tadi sih. Tapi tidak sampai sayat-sayat lengan atau apalah itu. Masih terkontrol.
Tidak usah melebih-lebihkan, penyakit mental bukan berarti autis. Ini hanya masalah psikologis. Sayangnya tak semua memandang penyakit mental dengan normal, sehingga Kak Aria minta tolong agar jangan disebarkan karna bisa berpengaruh balik ke mental Bayu. Tak banyak orang yang bisa menormalisasikan penyakit mental dan tak memandangnya sebagai gila, tidak waras, sakit jiwa.
Toh di luar itu, Bayu masih seperti biasa.
Udah ah aku capek.
≪•◦ ❈ ◦•≫
Rambutnya bagaikan lautan, melayang indah. Matanya sayu selalu digambarkan bak mata air sang khatulistiwa. Sampai prakata Langit yang menyebutnya Sejuta Keindahan Sang Pemilik Senja.
Dahi putihnya terukir lambang sang elemen. Membuktikan bahwa dirinya lah sosok yang mengelementasikan satu diantara elemen-elemen inti semesta.
Lautan adalah satu kata yang mewakilkan biru bersinar anggun berhembus sejuk. Elemen yang selalu disebut sebagai sumber ketenangan. Pemilik Mahkota biru bumi, Air.
Bagaskara bersajak bahwa tak pernah ia temukan keindahan kecuali pada rambut sang Dewi Laut.
Aku membuka mata sebelum reflek menutup mulut cepat.
Mampus. Kenapa tiba-tiba aku ada di lautan?!
"Akh-!"
Aku berdecak pelan sebelum akhirnya berputar. Memperhatikan sekeliling.
Ini laut.
Bukan
Ini surga.
Terlampau indah, tak mungkin lautan yang gelap bisa seglow ini, seperti sebuah taman indah dimana selendang adiwarna bergerak seirama meramaikan sekitar dengan warna-warnanya.
Rambutku-
Biru bukan hitam. Aku sedikit menarik rambut yang tengah terangkat akibat pengaruh dalam air.
Jika ini mimpi, maka seharusnya aku bangu-
Sepercik cahaya berkilau, bak emerald di tengah jerami sang petani. Benar-benar menarik perhatian. Menarik seluruh atensi, membuatku reflek mengayunkan tangan, berenang ke arah cahaya itu tanpa sadar. Kain putih ini bergerak seiring aku mengayunkan kaki, menyelimuti tubuh, seakan ini adalah zaman Romawi Kuno. Bak pakaian-pakaian wanita yunani.
Ringan. Satu kayuhan terasa cepat sekali, entah karna ini pengaruh mimpi tapi aku perlu penjelasan. Aku berada di taman laut ini. benar-benar cepat tanpa sadar. Seperti apa yang tengah kulakukan sekarang sudah diatur oleh jari jemari seseorang.
"Astaga."
Mataku membuka cepat. Telingaku berdenging. Suara-suara lembut masuk menerpa cepat, menggema di pikiran
"Sungguh kehormatan terbesar bisa berakhir kisah hidup ini pada tempat yang menjadi batas cakrawala kala senja menyapa."
"Adorasi terbesar dalam aroma darah sang lautan."
Kunci dari seluruh kejadian yang menghantam hidup monotonku.
Sosok didepanku, tersenyum anggun. Membungkuk memberikan penghormatan.
"D-dewi laut-."
Insting sebuah ikatan takdir tak pernah salah.
≪•◦ ❈ ◦•≫
Perjuangan melampaui skill, artnya emang wah banget, ekspetasiku terlalu tinggi huhu.
Tau ga apa detail yang bikin karakter Yuyu ini spesial? Yang bikin aku ARGH pas ngetik.
"Bayu meletakkan jaket di atas paha (Name) sebelum tiduran di atasnya."
Like, (Name) pake rok posisinya, tapi tetap aja sebelum mau tiduran, dikasih jaket dulu.
Make me soooooooooo meltinggggg AAAAAAAA
Anyway, Senin besok aku ternyata punya kewajiban mengurus persiapan recruitment OSIS baru. Jadi maaf banget aku tunda huhu
Tapi semisal udah selesai, nanti ku up kok ehe. Selama aku belum publish buku baru yang berisi event, maka deadline event juga diundur.
Oke thanks banget yang mau nunggu buku ini apdet, yang setia baca bacotan anehku tiap chapter, ilovu
Thankies
Owlyphia
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro