
╰ white envelope: we love again╮
Bel berdenting di sebuah toko bunga menandakan seorang pelanggan muncul di sana. Semilir aroma floral menyelimuti seisi ruangan. Karangan bunga pancarona memanjakan pemandangan.
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?"
Pemuda berambut putih itu tersenyum lembut. "Saya ingin bunga itu dibungkus."
"Mawar putih? Berapa tangkai?" tanya penjaga toko.
"Lima puluh."
Dua tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi pemuda bernama Kitakado Tomohisa tak pernah absen mengunjungi krematorium wanita itu. Cinta pertamanya. Kenangan indah yang takkan pernah tergantikan seumur hidupnya.
"Siapapun yang akan menerima buket ini sangat beruntung! Semoga harimu menyenangkan!" tukas penjaga toko memberikan uang kembalian.
"Meskipun sudah berpulang, tapi dia harus merasa demikian di sana. Terima kasih sudah membungkus dengan rapi."
Tomohisa keluar dari toko bunga itu, lalu segera masuk ke dalam mobil. Dua tahun lalu, pelangi muncul karena usaha yang dilakukan bersama rekan seperjuangannya. Korekuni Ryuuji, sang adik dari cinta pertamanya. Dan seorang lagi. Perempuan yang diam-diam menyelinap ke hatinya, [Full Name].
Sejak kepergian Kakak Ryuuji, [Name] tak lagi pernah kelihatan berada di dekatnya. Seakan dia tak pernah muncul dalam hidup Tomohisa. Tomohisa mulai menyalakan mesin. Sebuah kenangan melintasi benaknya. Kejadian beberapa hari setelah Tomohisa mendapatkan surat penerimaan donor cangkok sumsum tulang belakang.
"Tomo, kau tahu? Sudah setengah jam kita membicarakan [Name]-chan."
"Dia selalu berjuang dengan tameng mikrofon di balik tubuhnya yang rapuh. Aku ingin berada di sisinya. Menjaganya agar dia selalu baik-baik saja."
"Jackpot. Aku dapat sebuah kesimpulan. Kau menyukainya."
"Benar. Perasaan suka yang menandakan kekaguman terhadap reporter."
"Tidak. Perasaan itu berbeda. Perasaan romantis antara laki-laki dan perempuan."
"Tapi kau cinta pertamaku. Dan selalu begitu."
Perempuan itu tersenyum setelah tertawa terbahak-bahak. "Tomo, kurasa kau sudah mencuri hati banyak perempuan. Tapi tidak untukku. Aku sudah mengenalmu cukup lama."
"Berarti seharusnya aku sudah dijebloskan ke penjara, begitu?" tutur Tomohisa polos.
"Benar. Tapi kau tidak akan pernah tertangkap karena polisi tidak akan menindaklanjuti kasus pencurian hati wanita. Kejam, ya."
Seperti kaset, memori itu terhenti saat Tomohisa membuka mata. Menyadari jalanan mulai tercemar oleh dedaunan momiji. Saat daun berwarna hijau beralih kemerahan. Musim berganti. Dan pejalan kaki mulai mencari kehangatan dengan menggenakan pakaian tebal.
Sedan abu metalik itu akhirnya melaju.
Meskipun dua tahun telah berlalu, ia masih tetap hidup dalam penyesalan.
Penyesalan tiada ujung.
Seperti untaian benang merah yang kusut hingga terlalu sulit untuk diuraikan.
◀ R2: Reborn Rainbow ▶
•●- White Envelope : Kitakado Tomohisa route -●•
Agаsнii-saи's™ Presents
"Mbak! Cepat!"
Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu berlari dengan napas terengah-engah. Sebuah panci baja digenggam erat agar tidak mencecerkan isinya. Peluh membasahi pelipis, tak peduli sekencang apapun angin berembus siang itu.
"Maaf atas keterlambatan saya." [Name] membungkukkan badan. Pekerjaan yang sedang diembannya ini lebih melelahkan daripada reporter. Bayaran juga tak seberapa. Dua tahun berlalu sejak Daikoku Television mengajaknya bekerja kembali, tetapi [Name] menolak ajakan itu. [Name] memutuskan jalan hidup yang baru. Dan, menjadi relawan adalah pekerjaan kesekian yang kini ingin dijalaninya.
Berada di titik pergeseran lempeng bumi menyebabkan negeri sakura rawan terguncang oleh bencana gempa. Penduduk mulai memahami pengalaman dan menjadikan pelajaran agar mengurangi jumlah korban jiwa. Namun, sejumlah kerusakan tetap terjadi. Oleh karena itu, untuk sementara masyarakat harus mengungsi sementara hingga perumahan kembali dibentuk.
Seorang anak kecil duduk di sebelah [Name] saat menyudahi sesi pembagian jatah makan siang. Bocah perempuan itu memiliki poni rata kehitaman yang mengkilap dan sederetan gigi putih yang rapi. Walaupun keluarganya baru terkena musibah, tetapi ia terus menyemangati korban di dekatnya.
"Kakak pasti capek."
"Tidak apa-apa. Sudah makan?"
"Sudah. Kalau dilihat-lihat, kakak ini seperti pernah kulihat ...."
Sebagai mantan publik figur, banyak yang tidak percaya karena [Name] menerjunkan diri sebagai relawan. Banyak yang awalnya memandang negatif, bahkan mengira hanya demi pencitraan. Akan tetapi perlahan orang mulai menghargai kebaikannya.
"Di televisi. Dulu aku pernah menjadi reporter prakiraan cuaca."
Netra bocah itu melebar. "Ah, iya! Kakak pelangi!"
Tanpa sadar, [Name] sudah memandang angkasa. Langit kembali kelabu. Seperti pertanda akan turun hujan. Sejak misi R2 berhasil, pelangi tetap tidak datang lagi untuk kesekian. Keajaiban yang seperti mimpi itu kini tersimpan dalam memorinya. Banyak wartawan lain berlomba-lomba untuk mewawancarainya, tetapi karena [Name] sering hidup nomaden demi mendatangi lokasi musibah bencana, penyelidikan R2 mulai surut diperbincangkan.
"Ternyata masih ada yang ingat," ujar [Name] memeluk lutut.
"Apa kakak bahagia saat menyiarkan hal itu?"
[Name] tertegun mendapat pertanyaan barusan, lalu berdeham. "Banyak perasaan yang kualami saat itu. Aku merasa sedih dan senang."
[Name] merogoh ponsel, lalu memandangi waktu dan tanggal. "Gawat! Bagaimana bisa aku melupakan hari sepenting ini! Kapan-kapan akan kuceritakan lagi, ya!"
"Heeee? Janji ya!"
Tidak disanggah dengan ucapan langsung, [Name] berusaha berjanji dalam hati. Ada hal yang lebih penting untuk dilakukannya saat ini. Terutama saat pekerjaannya sudah selesai dilakukan.
"Antarkan aku ke alamat ini," ujar [Name] setelah duduk di jok belakang taksi yang bersedia berhenti untuknya.
Sudah dua tahun berlalu, tetapi [Name] tidak pernah absen sedikitpun untuk mengunjungi krematorium wanita itu. Wanita yang memberinya inspirasi dan keteguhan. Wanita yang selalu mengulum senyum setiap kali ia bertemu. Wanita yang selalu membuatnya dirundung rasa bersalah. Karena tak menepati janji untuk menjaga kedua pemuda di masa lalu.
Sejak kepergian Kakak Ryuuji, baik [Name] dan Tomohisa tak pernah lagi bertemu karena jarak dan kesibukan masing-masing. [Name] mengepalkan tangan di tengah dada. Dentuman perasaan menggebu yang masih ada karena memikirkan pemuda berambut putih itu. Namun sekuat apapun hatinya bertahan, [Name] merasa takkan pantas berada di sisi pemuda itu. Tomohisa.
Janji mereka di bawah payung saat hujan menitik.
Senyuman tulus di saat kehidupan tersulit.
Aroma menenangkan dari jaket besar Tomohisa.
[Name] menyukai semua itu.
Akan tetapi, hati pemuda itu tidak untuknya.
※※※
Lemari kaca berisi pot porselen itu dipenuhi pigura foto dan karangan bunga. Tomohisa selalu mengganti bunga layu dengan bunga segar. Kaca yang sedikit bertabur debu juga segera diseka bersih dengan kain sutra. Dan Ryuuji selalu menemaninya melakukan hal itu bersama-sama.
"Apa dia akan datang?" tanya Ryuuji memeras kain yang tercelup sebagian ke dalam ember.
Tomohisa menatap nanar pigura foto. "Aku tidak tahu."
"Dia tak pernah membalas pesanku, apalagi pesanmu setelah mendengar jawabanmu tadi. Cih, kenapa dia harus menghilang seperti itu, sih?" Ryuuji mengerucutkan bibir.
"Pesanku," gumam Tomohisa mengingat pernah mengirimkan pesan kepada Ashuu Yuuta, sang tukang pos. [Name] memang datang ke rumah duka. Terlibat dalam upacara penghormatan terakhir. Melihat proses penaburan abu kremasi ke laut. Saat Tomohisa ingin menemuinya pasca acara, perempuan itu seperti lenyap ditelan bumi. Tak meninggalkan jejak apapun.
Di balik dinding ruang krematorium, [Name] menekap setengah wajah dengan kedua tangan. Selama ini, ia diam-diam berkunjung dan memastikan kedua pemuda itu tak menemuinya. Ia selalu datang saat malam hari. Meyakini bahwa seperti tahun sebelumnya, mereka tak lagi berada di sana. Namun, kini sasarannya meleset.
[Name] duduk bersandar di dinding. Kedua pemuda itu akan segera pulang, pikirnya. Ia berusaha agar tak membuat suara. Sesekali meringis karena luka lecet di kaki belakang. Memutuskan pergi ke konbini sejenak untuk membuang waktu, ternyata pemikiran itu tak sesuai harapan.
Dering ponsel [Name] berbunyi nyaring. Ternyata dari ibunya.
[Moshi-moshi, [Name]-chan?]
"Ibu, aku akan telepon balik, oke?" bisik[Name] telah berkeringat dingin.
[Kamu bicara apa sih, nggak kedengaㅡ]
Segera mengakhiri panggilan dan berdiri, [Name] berusaha berlari dengan langkah terseok-seok. Tomohisa dan Ryuuji sontak melirik ke arah suara. [Name] menepuk dahi. Ia sudah lama tidak mengubah nada dering yang pernah diledek Ryuuji di masa lampau.
"Tomo, kejar dia!" ujar Ryuuji menyipitkan kedua iris magentanya. "Aku yakin itu [Name]."
"Akan kukejar!"
"Cepat! Biar sisanya aku yang urus."
Sadar sudah dikejar Tomohisa, [Name] berusaha berlari menuruni anak tangga. Akan tetapi rasa nyeri melambatkan langkahnya. Mencecerkan sebuket mawar putih yang awalnya tergenggam erat.
"Tunggu!" seru Tomohisa meraih pergelangan tangan [Name]. "Kita harus bicara."
[Name] berusaha melepaskan genggaman itu. "Ti-tidak ada yang perlu kita bicarakan."
"Banyak. Sangat banyak," ucap Tomohisa terdengar lirih. "Kumohon jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."
Tatapan iris biru Tomohisa selalu memiliki pembawaan yang sama. Sekali saja [Name] melihatnya, ia pun jatuh sejadi-jadinya. Alhasil, [Name] terduduk di atas anak tangga terbawah.
"Aku berusaha agar tak terlihat olehmu dan Ryuuji, tapi ternyata tetap tidak berhasil, ya?" ujar [Name] menundukkan kepala. "Aku tidak akan pergi, jadi lepaskan genggamanmu."
Tomohisa menggeleng. "Tidak akan kulepaskan. Karena kau akan tetap pergi."
[Name] menggigit bibir bawahnya. "Serius. Aku juga kesulitan berlari dengan kaki seperti ini."
[Name] memang berkata apa adanya. Ia telanjang kaki; terlihat jejak kemerahan akibat luka lecet. Tomohisa menurut, lalu berjalan selangkah di lantai dasar. Ia berjongkok dan mengulurkan tangan ke belakang.
"Naiklah," kata Tomohisa menoleh sedikit.
Pipi [Name] merona sembari mengelak, "Ti-tidak usah!"
"Hanya sampai ke apotek seberang untuk membeli obat pertolongan pertama."
"Hanya sampai apotek seberang," tutur [Name] sekali lagi mengklarifikasi, lalu mengalungkan kedua tangan di sekitar tengkuk Tomohisa.
Sekuat apapun hatinya berjuang melupakan, [Name] selalu jatuh terhadap perasaan yang sama.
Mencintai pemuda itu.
※※※
"Selesai."
Luka lecet [Name] telah tertutupi dengan plester putih. Tomohisa dan [Name] duduk di sebuah bangku panjang yang disediakan apotek. Suasana hening menyeruak di antara mereka.
"Apa kabar?" Tomohisa memulai topik.
[Name] menyahut kaku, "Terima kasih. Kakiku sudah jauh lebih baik. Aku baik-baik saja. Kau?"
"Tidak juga. Apalagi karena kita sudah lama tidak bertemu."
"Aku tidak bermaksud untuk mengganggu kalian tadi, sungguh," kata [Name] memainkan jari-jarinya. "Maaf."
"[Name] tidak mengganggu sama sekali. Dua tahun sudah berlalu, jadi ini saat yang tepat," ujar Tomohisa merapikan perkakas pertolongan pertama. "Dia mempertemukan kita lagi."
"Kitakado-san pasti merindukannya. Aku paham," sambung [Name] saat mereka mulai berjalan lagi menuju krematorium.
"Dulu, aku mencintainya nyaris seumur hidupku," ujar Tomohisa meluapkan kejujuran dari hati.
Kedua sudut bibir [Name] terangkat. Mendengar itu tidak sepenuhnya menyakitkan. [Name] tahu sejak awal. Perlakuan Tomohisa yang didasari kasih sayang tulus.
"Aneh jika sampai membencinya, 'kan?" sahut [Name] memandang langit bertabur bintang.
"Tapi dia benar. Aku yang salah."
Alis [Name] bertaut. Menantikan lanjutan ucapan Tomohisa. Menyadari [Name] tampak penasaran, Tomohisa menepuk pelan pucuk kepala perempuan itu.
"Aku menyukaimu. Bahkan setelah waktu yang berlalu selama ini."
Netra [Name] membola penuh. Sepersekian detik yang berlalu, perempuan itu mencubit kedua pipi hingga mengaduh kesakitan. Embusan angin sejuk musim gugur menyentuh kulitnya.
"Bohong. Tapi pipiku sakit."
Tomohisa sengaja mempercepat langkahnya, lalu mengusap pipi [Name] yang semakin merah karena dua sebab yang berbeda. Manik perempuan itu berkaca-kaca.
"Sungguh."
"Bagaimana bisa?" tanya [Name] menunduk, membiarkan pipinya basah oleh linangan air mata.
"Aku selalu merasa menyesal selama dua tahun ini. Kenapa aku lambat menyadari dan tidak mengejarmu lebih segera?" Tomohisa menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Memberi kecupan singkat di dahi [Name]. "Jadi, apa aku boleh mencintaimu sekali lagi?"
Semilir aroma lembut dan menenangkan itu kembali merayapi indera penciuman [Name]. Aroma musk dari perpaduan bergamot dan cedarwood yang selalu disukainya. [Name] mendengar jantung yang berdegup kencang. Bukan miliknya. Saat ia memeluk pemuda itu kembali.
Ucapan Kakak Ryuuji terngiang di dalam benak [Name].
"Jaga Ryuuji dan Tomo, ya. [Name]-chan pasti bisa. Karena mereka menyayangimu."
Saat itu, air mata [Name] berhenti menitik.
"Tentu. Mulai saat ini akan kuturuti permintaan neechan. Selamanya."
Tomohisa mengernyitkan dahi. "Permintaan?"
"Menjaga kalian," kata [Name] melepas dekapan lebih dulu. "Itu permintaan pertama dan terakhir darinya."
Tampak paham, Tomohisa berucap, "Kalau begitu, kita harus segera ke krematorium."
[Name] mengangguk setelah membentuk senyuman lebar.
Dan hari itu, mereka mengakhiri jarak dengan jemari yang saling terkait.
※※※
Omake
※※※
"Aku harus mendengar kabar baik," ujar Ryuuji melipat kedua tangan, tampak menantikan kehadiran kedua sejoli itu sejak lama. "Jelaskan sedetail-detailnya. Panjang kali lebar kali tinggi."
Tomohisa tersenyum simpul. "Nanti. Setelah [Name] menyampaikan penghormatan kepada kakakmu."
Ryuuji mengerucutkan bibir. "Cih. Kutunggu."
[Name] memasang cengiran ngeri. Ia meraih lagi buket mawar putih yang tergeletak di balik dinding ruang krematorium. Tidak lupa di dalam tas, ia meraih beberapa burung bangau origami yang dilipatnya sebelum datang ke sini. Menata jejak ruang pot yang tersisa.
"Hari ini, tepat dua tahun berlalu. Ternyata aku tidak bisa menemuimu sendirian lagi. Dan aku tidak bisa berbuat hal yang sama di tahun ini."
Pigura foto itu terpasang rapi; seakan Kakak Ryuuji tersenyum kepadanya.
"Maaf karena aku baru menuruti permintaan itu sekarang. Menjaga mereka. Mungkin neechan marah, tapi aku menyukai Kitakado-san. Pemuda yang menganggapmu cinta pertamanya. Aku akan berada di sisinya mulai saat ini, jadiㅡ"
"Aku ingin kau mengulanginya sekali lagi." Tomohisa tersenyum simpul. "Pernyataan tadi."
"Waaaah, kau curhat lebih dulu kepada kakakku. Jangan harap bisa pulang hari ini," kata Ryuuji terkekeh penuh selidik.
Belum selesai [Name] berkata-kata, Tomohisa dan Ryuuji tertawa saat berada di sebelahnya. Pipi [Name] merona merah sepekat buah tomat. Padahal kedua pemuda itu sudah ditegurnya untuk membiarkan waktu sendiri untuk berkata-kata kepada Kakak Ryuuji.
"Dan kami akan selalu bersamanya bahkan jika ia bosan sekalipun. Jadi berbahagialah selalu di sana," kata Ryuuji tersenyum lebar memandang pigura foto kakaknya.
"Kami akan memulai permulaan baru saat ini, jadi kami butuh dukunganmu," ujar Tomohisa. "Mungkin menciptakan pelangi buatan kedua?"
[Name] menganga lebar. "Heeeeh? Tapi aku sudah bukan reporter lagi. Aku sudah menjadi relawan."
Ryuuji meneguk ludah, tampak ngeri. "Aduh! Aku nggak mau dengar [Name] teriak lagi di helikopteeer."
"Terlepas dari reporter, kau tetap [Full Name]," tukas Tomohisa menyiapkan notes dan sebuah bolpoin. "Menjadi relawan tidak akan menyurutkan impian kami untuk tetap bersama-sama denganmu mulai sekarang. Jadi ... kita harus buat rencana dulu. Plan A."
"Cerita kejadian kalian yang tadi!" rengek Ryuuji tak terima karena topik mereka sudah berubah.
Seputih lembaran kertas yang dipenuhi catatan-catatan perjuangan dari nol, [Name] tahu hidupnya takkan seindah pelangi. Hujan datang. Mentari datang. Musim berganti. Namun, tidak dengan hatinya. Mencintai sekali lagi dengan penuh keyakinan.
※※※
end
[31.07.2018]
※※※
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro