
╰ tiga : perselisihan ╮
Bau antiseptik menguar tajam. Selama [Name] dan Tomohisa melangkah, sejumlah perawat membungkuk penuh hormat. Begitu pula dokter yang berpapasan. [Name] mengernyitkan dahi. Mereka diperlakukan seperti orang-orang penting.
"Ini rumah sakit ayahku," kata Tomohisa menjawab kebingungan [Name].
[Name] mengerjap cepat. "Mi-milik ayahmu?! Tidak kusangka."
"Dia juga bekerja dalam penelitian lain. Termasuk membentuk badan meteorologi privat. Tempatku bekerja bersama Ryuuji."
Sekali lagi, [Name] merasa seperti memasuki labirin ketika mengetahui latar belakang Tomohisa. Semakin banyak yang ia ketahui, semakin banyak kejutan yang ia dapatkan. Kini mereka berdua berada di dalam elevator. Menuju lantai tujuh.
"Kitakado-san, apa ayahmu tahu tentang R2?" tanya [Name] memainkan jemarinya.
Tomohisa mengangguk mantap. "Tentu saja, setelah mengetahui alasan misi ini. Beliau mengizinkan misi itu selama anggaran biaya organisasi tetap terkendali dengan baik."
Walaupun bukan lantai puncak, jumlah ruangan di lantai tujuh sangat sedikit. [Name] yakin ia bisa menghitung jumlah ruang pasien dengan jari. Setelah memandang papan keterangan di lorong, [Name] seketika paham. Lantai ini diperuntukkan pasien VIP – Very Important Person – orang yang diprioritaskan, diutamakan, dan menerima fasilitas terbaik.
Tomohisa mendorong pelan pintu nomor 703. Berada di belakang pemuda itu, [Name] mendapati Ryuuji duduk di sebelah perempuan cantik. Begitu cantik; rambut sepunggung tergerai sepekat langit malam, bibir koral yang mungil, dan dianugerahi sepasang iris serupa dengan Ryuuji.
"Oh, Tomo?" perempuan itu berusaha bangun, tetapi Tomohisa langsung inisiatif menaruh parsel buah dan sigap menolong. Bantal tebal menjadi sandaran punggung gadis itu.
Adegan tadi sungguh indah dan menyentuh. [Name] nyaris ingin memercayai kejadian tadi seperti syuting drama romantis layar kaca. Pangeran setia dari negeri seberang yang selalu siap menolong putri cantik yang rapuh. [Name] berjalan pelan, tetapi segera menyadari Ryuuji sudah memberikan tatapan penuh selidik.
"So-sore, saya [Full Name]."
Perempuan itu memberi senyum selembut kapas, "E-eeeh, jadi ini yang sering dibincangkan Ryuuji? Lebih cantik versi nyata daripada di televisi. Aku penggemar beratmu dan selalu kutunggu setiap pagi untuk melihatmu menyiarkan berita!"
[Name] tersenyum malu, kemudian menyipitkan manik ke arah Ryuuji. "Te-terima kasih. Memangnya apa saja yang dia bincangkan tentangku?"
Pipi Ryuuji memerah. "H-hah? Cuma bilang kau adalah penyiar prakiraan berita cuaca yang dewasa di luar, tetapi aslinya sangat kekanakkan."
Tidak hanya pertemuan di restoran cepat saji, mereka selalu berdebat lagi.
"Aku yang mengajaknya, Ryuuji." Tomohisa menyela perdebatan mereka lebih lanjut.
Ryuuji mengangkat bahu, tidak tampak terkejut. "Aku tahu kau akan membawanya cepat atau lambat, tetapi tidak kusangka akan secepat ini."
"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Tomo! [Name]-san boleh memanggilku neechan! Dari dulu, aku selalu mengingini adik perempuan," tutur kakak Ryuuji telah memegang jemari [Name]. Manik magenta-nya kini berseri seperti komik cantik. Ditambah binar imajiner.
Ryuuji mendecih. "Oleh karena itu, aku sering didandani, bahkan mengenakan gaun lolita. Tapi aku memang sudah cantik dari lahir."
Tomohisa tersenyum simpul. "Ucapan yang sulit dibantah, ya?"
[Name] terkekeh pelan disertai keempat sudut siku-siku di pelipis. Ia menahan diri untuk mengabaikan kalimat narsis Ryuuji. "Ba-baiklah. Neechan!"
◀ R2: Reborn Rainbow ▶
•●- tiga : "perselisihan" -●•
Agаsнii-saи's™ Presents
※※※
"Aku berhenti dari DTV karena mereka tidak setuju mengenai siaran R2," kata [Name] membantu Tomohisa membentuk irisan apel kelinci. "Jadi neechan mulai besok tidak perlu melihatku lagi dari TV."
Tomohisa memang sudah tahu sebelumnya, tetapi [Name] merasa harus menyampaikan perihal ini kepada Ryuuji. Bukan demi meminta keadilan, tetapi kenyataan yang terjadi apa adanya. Tanpa sandiwara atau tipu muslihat demi kepentingan individu.
Kakak Ryuuji menancap pelan garpu ke apel yang sudah diiris rapi. "Demi misi R2, ya. Aku merasa sangat egois, maafkan aku!"
[Name] menggeleng cepat. "Bu-bukan salah neechan! Ini keinginanku. Toh, aku cukup jenuh menjalani profesi itu."
Alis kakak Ryuuji bertaut dalam. "Lalu, sekarang kau jadi pengangguran?"
Menohok, tetapi tepat sasaran. [Name] tersenyum kaku.
"Be-benar. Dalam setahun ke depan, aku masih bisa bertahan hidup tanpa bekerja."
Kakak Ryuuji memandang sinis Tomohisa dan Ryuuji. "Hei, aku tahu hidupku tak lama lagi. Permintaanku memang berlebihan, tapi aku tidak mau merugikan banyak pihak."
"Jangan khawatir! Aku akan segera bekerja dalam waktu singkat setelah misi ini berhasil. Sementara mungkin aku bisa membuka online shop?" [Name] berusaha meyakinkan kakak Ryuuji agar tidak larut dalam memikirkan nasibnya.
Manik kakak Ryuuji berkaca-kaca. "Neechan ingin bertanggung jawab! Tapi kedua laki-laki ini pasti tidak akan mengizinkanku. Benar, 'kan?"
Ryuuji mendengus. "Apa tanpa DTV, kau masih bisa menyiarkan berita? Kami tidak pernah memaksamu hingga berhenti dari sana."
"Bukan salah kalian sekali lagi. Aku sudah paham konsekuensinya. Aku bisa menyiarkan atas namaku sendiri, melalui jalur sosial media lain," sanggah [Name] tetap berpikir positif.
Jemari Tomohisa terulur lebar. Pisau dan sepiring apel sudah tergeletak rapi di atas nakas. "Tapi ... kapan pun [Name]-san butuh bantuan, tanganku selalu terbuka."
Mungkin [Name] akan merasa menyesal di masa depan. Apalagi mendengar ucapan itu, ia bisa saja menangis haru. Namun saat ini, kondisi finansialnya tergolong stabil. Selama ini, ia selalu bertahan tanpa mengandalkan orang lain. Terhindar dari drama. Tentu saja bohong besar jika hatinya tidak meleleh mendengar ucapan manis itu.
Dia masih perempuan biasa yang berperasaan. Baginya, sebanyak apapun uang masih bisa diraih, sedangkan waktu tidak akan kembali. Waktu yang berlalu sebagai kenangan dalam ingatan.
※※※
Usai menjenguk kakak Ryuuji, [Name] dan kedua pemuda itu keluar bersama-sama. Meskipun hujan sudah berakhir cukup lama, tetapi angin masih berembus sepoi-sepoi. Sejumlah pejalan kaki mengenakan outer berbahan tebal agar menjaga suhu tubuh tetap hangat. [Name] bersyukur blazer yang dikenakan sebagai penyiar cukup tebal.
"Tomo, menurutmu apa kita perlu membawanya ke tempat kerja?" tanya Ryuuji berjalan mendahului Tomohisa dan [Name].
Netra [Name] membola penuh. "Hah? Boleh! Aku mau!"
Ryuuji memajukan bibir bawahnya. "Ah, tidak jadi. Kau seperti bocah kesenangan yang ingin berdarmawisata saja."
[Name] berdecak kesal. "Cepat sekali kau berubah pikiran! Ma-maklumi saja karena penasaran!"
"Dia harus datang. Mengetahui kelembaban udara, proses hujan buatan, dan temperatur cuaca. Semua itu akan membantunya dalam menyiarkan R2," tukas Tomohisa mengusap dagu.
Masukan Tomohisa memang tepat, tetapi bukan berarti [Name] adalah penyiar yang sangat awam. Dia mencintai bidang astronomi. Semasa studi akademik, teman-temannya lebih senang bergunjing perceraian selebriti. [Name] memilih menyendiri. Sibuk menggali informasi penanggalan gerhana matahari terkini.
"Aku akan melakukan pekerjaanku sebaik mungkin. Tanpa DTV bukan berarti harapanku hancur. Akan kubungkam mulut mereka dengan terwujudnya misi kalian." [Name] mengepalkan kedua tangan ke atas. Semangat membara terlihat dari tatapannya.
Tomohisa terkekeh. "Syukurlah kami memilih orang yang tepat. Aku suka melihatmu bersemangat seperti ini."
Mendengar ucapan itu, [Name] langsung memegang kedua pipi. "H-hahaha! Ki-Kitakado-san bisa saja!"
Ryuuji melengos. "Itu cuma pujian, [Name]. Tomo, ucapanmu berlebihan untuk perempuan sepertinya."
"Tapi memang benar, kok." Tomohisa tersenyum lebar.
※※※
Mengunjungi badan meteorologi privat keluarga Kitakado bukan untuk bermain-main. [Name] mengobservasi dan mencatat ilmu yang dirasa penting untuk penyiaran berita. Merangkai kesimpulan. Pelangi terbentuk dari pembiasan sinar matahari yang dibelokkan berpindah tempat ke antar medium oleh tetesan air yang ada di atmosfer. Sinar matahari melewati tetesan air. Di angkasa, pelangi terbentuk sebagai busur cahaya sebanyak tujuh warna.
Ryuuji terus memegang tombol selang air ke arah angkasa selama beberapa menit. Praktik membuat pelangi buatan sederhana itu dilakukan di depan taman tempat kerja. Berada di bawah sinar mentari. Percikan air dipadukan akibat bias dari cahaya mentari perlahan memunculkan tiga hingga lima warna.
"Waaah! Itu pelanginya!" tunjuk [Name] tersenyum lebar. "Berarti selama sehabis hujan dan masih ada matahari, pelangi akan segera muncul, 'kan?"
Ryuuji menghela napas. "Betul, tetapi hujan buatan jadi masalahnya."
Tomohisa menghampiri mereka sambil membawa beberapa berkas. "Ryuuji. Aku baru mendapat kabar dari rumah sakit!"
[Name] dan Ryuuji menoleh bersamaan. Namun, Ryuuji melangkah lebih dulu. Raut Tomohisa tidak terlihat baik. Jantung [Name] berdetak tak karuan; takut mendengar kabar buruk. Semalam, ia baru saja mengenal perempuan berhati besar. Melihatnya pergi terasa menyakitkan hati.
"Kakakmu mendapat donor operasi pencangkokan sumsum tulang belakangnya," kata Tomohisa dengan napas terengah-engah.
Ryuuji mengangguk. "Dia terlalu banyak menjalani kemoterapi. Kapan dia dioperasi?"
Alis Tomohisa tertaut. "Dua minggu lagi. Hanya saja, operasi ini bersifat win-win solution. Kakakmu bisa hidup lebih lama atau kesehatannya lebih parah, tetapi dia setuju dengan operasi ini."
[Name] mengepalkan tangan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain mendukung yang terbaik. Kakak Ryuuji yang merasakan penyakit itu. Leukimia. Berjuang mempertahankan rasa sakit berat yang tidak menyenangkan.
"Berarti waktu kita semakin sempit," kata Ryuuji. "[Name], kau bisa pulang hari ini."
Senyuman kakak Ryuuji terus membayangi benak [Name]. Keceriaan yang seperti virus kebahagiaan bagi orang-orang yang melihatnya. Selain Ryuuji dan Tomohisa, [Name] sadar jika ia memang hanya orang luar. Orang yang baru sekali melihat kakak Ryuuji tanpa tahu lebih dalam.
"A-ano ... apa aku boleh menjenguknya sehari sebelum ia dioperasi?" tanya [Name] tanpa sadar sudah mengecilkan suara, menyadari permintaan itu sedikit lancang.
"Saat kau menjenguknya kemarin, ia sebenarnya pura-pura riang depanmu," ujar Ryuuji menaikkan intonasi. "Apa kau tidak lihat dia begitu kurus? Menceritakan tentangmu setiap hari sudah cukup menyakitkan, apalagi melihatmu laㅡ"
Tomohisa memegang kedua bahu Ryuuji. "Tenang, Ryuuji. Kau terlalu banyak berasumsi. [Name], beristirahatlah hari ini."
Manik [Name] terbelalak setelah mendengar penolakan dari Ryuuji. Eksistensinya saat itu tidak bermaksud untuk merendahkan kakak Ryuuji sedikit pun. Namun, ia tidak ingin berdebat lebih lanjut. Perlawanan tidak akan membuat suasana hatinya membaik. Oleh karena itu, [Name] berbalik badan dan meninggalkan kantor.
※※※
"Eh?" gumam [Name] menyadari sekarung plastik berisi kumpulan origami burung warna-warni sudah terisi penuh. Sejak kejadian hari itu, ia membeli kertas origami sebanyak seribu lembar. Dalam tiga hari, lembaran yang menganggur sudah tidak bersisa. Dalam tiga hari terakhir, Tomohisa dan Ryuuji tidak mengirimkan pesan masuk sama sekali. Dia tidak datang karena tidak disuruh, terlebih lagi sejak pertengkaran dengan Ryuuji memunculkan situasi canggung.
Menetap di apartemen seharian sama sekali sudah lama tidak dilakukan [Name]. Semenjak menjadi reporter DTV, ia sering menghabiskan waktu di apartemen hanya untuk makan, mandi, tidur, dan bersih-bersih diluangkan menjelang akhir minggu. Aktivitas sebagai pengangguran kian menjemukan bagi [Name].
Ponsel [Name] berdering oleh panggilan masuk. Manik [Name] terbelalak. Ternyata sebuah masuk dari kakak Ryuuji.
"Moshi-moshi?"
[Moshi-moshi, apa kabarmu?]
"Ba-baik," jawab [Name] canggung melihat sekitar kamar cukup berantakan setelah menghabiskan sarapan pagi dengan semangkuk mi instan. "Bagaimana dengan neechan?"
[Aku meneleponmu karena suatu hal. Kau dan Ryuuji bertengkar, ya?]
[Name] meneguk ludah. Entah dari mana informasi barusan tersebar hingga ke telinga perempuan itu? Ada satu orang yang paling memungkinkan untuk memberitahu. Pemuda berambut putih itu.
"Maaf, aku terlalu lancang sehingga Korekuni-san marah kepadaku. Aku dengar operasi neechan akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi. Aku berinisiatif ingin menjengukmu."
Ada jeda yang berlalu setelah [Name] berucap demikian. Alis [Name] segera bertaut. Ia jadi semakin ragu jika ucapannya menyinggung perasaan orang lain lagi. Mungkin keluarga Korekuni bersaudara amat perasa, pikirnya.
[Kenapa dia harus marah karena itu? Itu hakmu dan aku setuju-setuju saja.]
[Name] menahan senyum mengembang di kedua pipi. "Aku membuat seribu burung origami untukmu, neechan! Jadi, aku boleh ke rumah sakit sekarang?"
[Tentu saja! Waaah, kalau begitu bawalah ke sini. Aku menantikan kedatanganmu!]
Panggilan itu segera diakhiri [Name]. Bergegas membereskan barang yang tidak diperlukan, mandi, dan berdandan rapi.
Sebelum meninggalkan apartemen, [Name] duduk sambil mengenakan stiletto hitam.
Ucapan Ryuuji terngiang lagi.
"Apa kau tidak lihat dia begitu kurus? Menceritakan tentangmu setiap hari sudah cukup menyakitkan, apalagi melihatmu laㅡ"
[Name] meneguk ludah. Ucapan Ryuuji yang menusuk kembali terngiang, menjedakan keyakinannya sejenak. Namun, ia tak boleh seperti ini terusㅡ berdiam diriㅡ dan selalu merasa dirundung ketidakpastian.
"Aku berangkat!" tutur [Name] demi menyemangati diri sendiri, lalu menjinjing karung plastik berisi tumpukan burung origami.
※※※
Jemari [Name] hendak menekan tombol lantai yang dituju menuju ruang kakak Ryuuji, tetapi seseorang sudah menekan lebih dulu. [Name] memandang seorang pemuda berkemeja putih berdiri di sebelahnya. Mendongak ke atas, ternyata Tomohisa sedang membawa sebuket mawar putih.
"A-ah, konnichiwa!" sapa [Name] menyelipkan helaian rambut ke telinga.
Tomohisa menyapa balik.
[Name] memasang cengiran kaku. "Apa Korekuni-san juga bersamamu?"
"Dia sudah tiba lebih dulu. Maaf, aku tidak mengabarimu apapun. Kupikir kita perlu menenangkan diri satu sama lain."
[Name] menggeleng cepat karena cukup memahami situasi di antara mereka. Tomohisa sudah berbuat lebih dari cukup. Melerai perdebatan yang tidak perlu.
"Aku ... memang menyusahkan dan terlalu banyak ikut campur," kata [Name] menyembunyikan karung di balik tubuhnya. "Ini pertemuan terakhirku dengan neechan, jangan khawatir."
Manik biru Tomohisa melebar. "Ryuuji sedang emosi waktu itu, jadi ini hanya salah paham."
Pintu elevator pun terbuka. [Name] keluar lebih dulu. "Kita masuk sama-sama, 'kan?"
Ucapan Tomohisa yang terjeda tidak kembali dilanjutkan. Sepanjang mereka melangkah, mereka saling diam akan pemikiran masing-masing. Tiba menuju kamar pasien VIP yang hanya dihuni kakak Ryuuji. Jemari [Name] hendak mendorong pintu, tetapi terdengar interaksi dialog samar-samar. Tomohisa berada di belakang perempuan itu dan menetap di sana.
"Aneki setelah dipikir-pikir, projek R2 akan kami hentikan. Usaha projek itu ... tidak akan berguna. Kau bisa meminta yang lain, tapi tidak dengan memunculkan pelangi lagi ke dunia."
[Name] tertegun, tetapi seketika memegang karung itu lebih erat. Harapan mereka menjadi lebih dekat waktu itu semakin renggang oleh sejumlah pertentangan. Meredupkan impian dan harapan.
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro