
╰ empat : sekali lagi ╮
Ucapan Ryuuji tidak dijawab sama sekali, seakan-akan ucapan itu seperti monolog.
"Aku ingin kau lebih fokus dengan kesehatanmu. Soal anak-anak, aku yakin masih ada solusi lain," kata Ryuuji lagi menambahkan sejumlah alasan.
Berdiam di depan pintu ruang pasien, [Name] terus memandang interaksi barusan dari celah kaca mungil. Tomohisa tidak tampak terkejut, apalagi berusaha mengelak dari ucapan Ryuuji yang terdengar di luar. Walaupun tidak bisa melihat ekspresi kakak Ryuuji karena membelakangi mereka, kabar buruk itu tentu saja tidak bisa ditanggapi dengan senyuman biasa.
"Kalian sudah merencanakan ini sejak perdebatan itu, ya?" tanya [Name] tanpa melirik ke arah Tomohisa sedikitpun.
Tomohisa tertunduk. "Kami pikir membatalkan R2 adalah keputusan terbaik. Soal pekerjaanmu, kami punya banyak jalur untuk mengembalikanmu kepada DTV."
[Name] menggigit bibir bawahnya. "Kalian kira aku shuttlecock? Mengira semudah itu dilambungkan sesuka hati? Setelah aku percaya begitu dalam, kalian tega mengakhiri tanpa usaha?"
Kantong plastik berisi burung origami itu sengaja dibiarkan terjatuh di depan ruang pasien. [Name] berlari meninggalkan pemuda itu. Bahkan hingga memasuki elevator, tidak ada jejak-jejak yang akan mengejarnya. Bagi [Name], memang lebih baik demikian. Ia tidak ingin mereka melihat air matanya yang sudah melinangi kedua pipi.
Kaki [Name] tergerak menuju taman rumah sakit. Seorang tukang kebun sedang memotong rumput agar sama rata. Tak jauh dari posisi tukang kebun itu terdapat selang sepanjang tiga meter yang tersambung dengan keran. [Name] meraih selang itu dengan tatapan hampa. Ia teringat Ryuuji mengajarinya proses terjadi pelangi. Pembiasan antara cahaya mentari dan air.
"Mbaaak! Selangnya jangan ditekan begitu!" seru tukang kebun itu langsung berdiri sambil memegang pemotong rumput.
[Name] seolah tuli, tetap mengarahkan selang itu ke atas. Sesuai arah gravitasi, percikan air menetes ke bawah. "Jangan dekati saya. Nanti basah."
Tukang kebun itu mengernyitkan dahi. "M-mbak tenangkan diri dulu, ya. Main air bukan di sini, tapi di pantai."
"Jangan mendekat! Nanti kusirami kalau berani melawan," kata [Name] setengah menggertak. Ia ingin memunculkan pelangi versi miliknya sendiri.
Beberapa pasien yang lewat di lorong penasaran dan melihat kejadian itu. Ponsel mereka tak segan digunakan untuk mengabadikan kejadian itu dengan video dan meliput ke sosial media.
"Dia ... reporter yang biasa muncul di TV, 'kan?"
"Aneh. Apa yang sedang ia perbuat?"
"Apa dia gila? Cepat panggil petugas keamanan untuk mengusirnya dari sini."
[Name] tidak peduli sinar mentari yang terus menerpa kulitnya. Dari titik-titik air yang jatuh membasahi tanah, samar-samar muncul busur tiga hingga empat warna. Kedua pinggir bibir [Name] tertarik lebar.
"Hei! Kalian melihat pelanginya?" tanya [Name] mengacungkan jari telunjuk ke arah selang. "Walaupun bukan yang asli. Kelihatan, 'kan?"
Tidak ada satu pun pasien yang menjawab. Namun, netra mereka tetap mengawasi. Senyuman [Name] seketika memudar. Situasi sudah berubah banyak. Kini, tidak ada yang memuji eksistensinya semasa masih bekerja di layar kaca. [Name] menjatuhkan selang itu. Otomatis, air yang mengalir pun berhenti.
"Mbak! Cepat keluar dari sini!" usir tukang kebun itu segera merebut selang setelah khawatir diancam. "Sebelum petugas keamanan datang mengusir."
[Name] tersenyum getir. "Saya akan segera keluar. Tidak perlu disuruh-suruh."
Seakan belum beres dengan gunjingan pasien, [Name] merasakan sesuatu yang basah di kepala. Cairan berwarna kuning ditambah pecahan kulit cangkang telur ayam. Entah siapa pelakunya, tetapi [Name] menatap arah sekitar lorong.
Tawa hinaan itu terdengar jelas di telinga [Name].
"Mungkin dia calon pasien baru di sini. Kategori pasien tidak waras."
[Name] sadar perlakuan ini karena kesalahan sendiri. Mengacaukan situasi lorong yang damai sudah pasti merusak suasana. Memantapkan hati agar tidak menjatuhkan setetes air mata pun di hadapan orang banyak. Baik pengunjung dan pasien yang berada di lorong segera menepikan diri. [Name] lewat di sana dan menjadi pusat perhatian.
Sebuah jaket berwarna hitam-putih vertikal menutupi puncak kepala [Name]. Semilir aroma maskulin yang familier, mengingatkannya terhadap kejadian manis di bawah hujan. Membuat pertahanan itu perlahan runtuh.
"[Name] memang bukan shuttlecock," dalih Tomohisa memegang pergelangan tangan [Name].
"Jangan pegang tanganku. Pasti lengket karena telur busuk," ucap [Name] semakin menurunkan posisi jaket hingga wajahnya tak terlihat.
Tomohisa menggandeng sela-sela jemari [Name]. "Tapi [Name] adalah reporter prakiraan cuaca yang hebat, berhati besar, dan berani."
[Name] terisak kecil. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Tomohisa tersenyum tipis. Menepuk pelan puncak kepala [Name] yang ditutupi jaket miliknya. [Name] sadar kejadian terjadi karena alasan. Termasuk penolakan dan pertentangan misi R2.
◀ R2: Reborn Rainbow ▶
•●- empat : "sekali lagi" -●•
Agаsнii-saи's™ Presents
※※※
Bunyi pengering rambut memenuhi seisi ruangan VIP. Kakak Ryuuji memegang hairdryer dan membiarkan [Name] duduk di pangkuannya. [Name] diam seribu bahasa, tetapi matanya terus memandangi seribu burung origami yang sudah digantung bersamaan dengan tirai jendela ruang pasien.
"[Name]-chan berbuat lebih dari cukup. Melipat burung sebanyak itu pasti melelahkan, ya?" tanya kakak Ryuuji merapikan letak rambut [Name].
[Name] menggeleng pelan. "Aku menikmati proses melipat itu selama bertengkar dengan Ryuuji. Aku memikirkan neechan."
Kedua sudut bibir kakak Ryuuji tertarik lebar. "Kalian sampai seperti ini karena keegoisanku."
Ryuuji mendengar seluruh dialog barusan di sofa seberang. Mulutnya sibuk mengulum chupa chul. Tomohisa sedang tak berada di sana dan memutuskan pergi sejenak. [Name] memandang jaket milik Tomohisa yang menggantung di atas kursi. Jaket itu jadi kotor karena menutupi dirinya.
"Bukan, kok. Ini semua kemauanku. Bertemu dengan neechan, Kitakado-san, dan Korekuni-san. Karena jenuh dengan pekerjaanku."
"Menurutku, pertemuan kita seperti takdir. Walaupun ada banyak momen buruk, pasti akan ada momen indah dalam kehidupan ini."
[Name] memandang Ryuuji yang kini sibuk memandang tablet. "Hei, Korekuni-san."
"Hm?" jawab Ryuuji seadanya.
"Apa kita tidak akan bisa mewujudkan R2?" tanya [Name] memainkan jari-jarinya. "Halangan apa? Mungkin ada yang bisa kubantu?"
"Daripada merisaukan soal itu, pikirkan dirimu sendiri. Video memalukanmu tadi sempat tersebar di internet, bahkan memungkinkan jadi viral," semprot Ryuuji menyipitkan iris magenta-nya.
"Tidak apa-apa," tukas [Name] santai. "Mereka tidak tahu kebenaran kejadian tadi. Mereka hanya mau menyebarkan apa yang ingin mereka lihat. Toh, aku sudah bukan reporter DTV."
Ryuuji membuang tangkai chupa chul seraya berkata, "Sudah kuhapus semua video itu. Tomo juga sudah memberitahu seluruh saksi agar tutup mulut insiden tadi setelah menutupimu dengan jaket tadi."
Saat [Name] tersenyum kecil, sebuah dekapan hangat dari belakang menyambutnya. Bunyi pengering rambut pun tak lagi terdengar. Bahu [Name] menjadi sandaran kepala perempuan periang itu. [Name] mengelus pelan kepala Kakak Ryuuji yang ditutupi kupluk biru muda.
"Tadi itu pertunjukan yang luar biasa." Kakak Ryuuji menyatukan seluruh jemari dengan tatapan berseri. "Padahal aku ingin segera menyusulmu, tapi Ryuuji melarangku."
"Benar. Jadi, Tomo langsung menyusulmu," kata Ryuuji menaruh tablet di atas meja. "Misi R2 akan dibuat petisinya."
"Begitu," jawab [Name] datar, kemudian berubah sepersekian detik kemudian. "Petisi? Berarti R2 benar-benar diwujudkan lagi! Yatta!"
Ryuuji memalingkan muka. "Karena kau dan kakakku sangat menginginkannya."
"Dasar tidak manis, tapi syukurlah!" kata Kakak Ryuuji mengangkat kedua tangan dalam posisi terkepal dengan semangat. "Akhirnya aku bisa tidur nyenyak malam ini."
Sekujur tubuh [Name] merinding. Tidur nyenyak dalam artian baik; harapan utama bagi semua saksi yang mendengarkan. Ia segera tersadar karena duduk di atas tempat tidur Kakak Ryuuji cukup lama.
"Maaf sudah menyita tempat tidur neechan! Segera beristirahatlah!" [Name] langsung beranjak dari kasur.
Alis Kakak Ryuuji langsung tertaut dalam. "Loh? Bukan bermaksud mengusirmu lho, [Name]-chan!"
[Name] menggeleng cepat. "Aku tahu. Tenang, besok aku akan datang lagi. Jaga kakakmu baik-baik ya, Korekuni-san."
"Aku akan sangat merindukanmu, [Name]-chaaan," tutur Kakak Ryuuji dengan mata berkaca-kaca.
Ryuuji menopang dagu. "Maaf."
"E-eh? Tadi Korekuni-san bilang ...."
Netra Ryuuji mendelik tajam ke arah [Name]. "Iya, aku minta maaf karena sering menyulut masalah denganmu. Dengar?"
[Name] tertawa kecil. "Heee? Apa ini karena teguran dari Kitakado-san?"
Ryuuji menggembungkan kedua pipi. "Jangan banyak tanya."
Menahan diri untuk tidak mencibir, [Name] tersenyum hingga kedua matanya membentuk setengah bulan sabit. "Baiklah karena Korekuni-san yang meminta. Saya pamit dulu."
Entah mengapa, perasaan [Name] terasa lebih ringan. Persetan dengan tatapan perawat dan pasien yang mengenali rupanya barusan. [Name] siap melangkah penuh percaya diri.
※※※
Petisi untuk menjalankan misi R2 semakin mendapat banyak suara. Tiga hari berlalu dan [Name] tidak pernah absen mendatangi kantor untuk melihat pengamatan yang dilakukan tim R2. Proses terjadi pelangi membutuhkan lebih banyak tambahan curah hujan. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan hujan buatan. Pagi itu, sebuah helikopter terparkir rapi di depan lapangan khusus yang terletak di belakang kantor badan meteorologi.
"O-ohayou," sapa [Name] siap membawa notes dan bolpoin. Berbeda dengan perencanaan dan observasi biasa, kali ini ia disuruh datang lebih pagi. Saat tiba di sana, arloji [Name] menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit.
Tomohisa menyapa balik seraya berucap, "Kami akan melakukan penaburan kandungan kimia dari ketinggian empat sampai tujuh ribu kaki. Zat glasiogenik yang dapat membentuk awan yakni perak iodida ditambah zat higroskopis yaitu natrium klorida, kalsium klorida. Sisa kandungan berupa urea akan menyusul saat pukul dua belas."
[Name] menganga takjub walaupun tidak yakin akan mengingat nama-nama zat kimia yang disebut Tomohisa. "Su-sugoi! Kalau dari sini pasti tidak terlihat, ya?"
"Tentu saja," sambung Ryuuji sudah berada di sampingnya, "jadi sebagai penyiar khusus liputan R2, kau harus ikut. Tepatnya ini kewajiban penting."
"Aku? Bersama helikopter itu?" kejut [Name] menunjuk diri dan helikopter bergantian.
"Pukul tujuh adalah waktu yang tepat. [Name] jangan cemas. Kita pasti akan mendarat dengan selamat," ucap Tomohisa menenangkan [Name] yang mulai gelisah.
[Name] menganga ngeri karena takut ketinggian. Meskipun sudah pernah bepergian beberapa kali menggunakan pesawat kelas bisnis, tetapi helikopter memiliki ruang yang lebih sempit. Demi seluruh tabungan yang ia simpan selama menjadi reporter DTV, sudah lama jantung miliknya berdebar kencang karena gugup.
"Jangan marah kalau aku teriak nanti. Aku tidak bisa membayangkan diriku berlama-lama berada di atas ketinggian ribuan kaki," gerutu [Name] mempertemukan kedua jari setelah memasukkan bolpoin dan notes mini ke dalam tas.
"Ada baiknya kita membawa penyumbat telinga," saran Ryuuji melirik Tomohisa. "Bunyi baling-baling helikopter pasti kalah berisik darinya."
[Name] menggembungkan kedua pipi karena ledekan Ryuuji. "Korekuni-saaaan! Lihat saja kalau aku ternyata tidak jadi berteriak!"
"Setelah urea ditaburkan pukul dua belas nanti, diperkirakan pukul tiga akan segera hujan. Masalah pelangi akan muncul hari ini kurasa masih ditentukan oleh Tuhan," tutur Tomohisa memandang angkasa cerah ditemani gumpalan awan kecil.
[Name] berada di tengah-tengah mereka. Tanpa keraguan, ia menggandeng kedua tangan pemuda itu. Setidaknya, ia ingin memberikan sedikit kekuatan dan harapan atas perjuangan R2. Tanpa penolakan, mereka bersama-sama ikut memandang arah yang samaㅡ langit musim panas.
Sebelum penaburan zat kimia dimulai, dua kurir membawa dua kantong besar berisi bekal sarapan. Seluruh staf yang berada di sana mendapatkan seporsi bento. Ekspresi riang menghiasi wajah staf saat menerima pembagian makanan gratis. [Name] mengernyit bingung.
"Jangan sungkan mengantre," ajak Tomohisa mengarahkan tangan ke arah staf yang sudah menunggu dengan tertib. "Sarapan diperlukan agar tetap bersemangat menjalani hari."
[Name] menatap iris biru Tomohisa lekat-lekat. Kejadian ini sangat familier, bagai déjàvu. "Apa hari itu kau mengirimkan bekal makan siang untuk seluruh staf DTV?"
Tanpa merasa terintimidasi, Tomohisa mengangguk mantap. "Pihak DTV sudah tahu misi kami sejak bulan lalu, tetapi tidak pernah menyampaikan tentang itu kepadamu. Jadi, aku bertekad mengirimi paket makanan dan Ryuuji mengirimi surat beramplop hitam dengan motif sebagai penggemar."
"Kalian ... benar-benar orang kaya bebㅡ," tukas [Name] belum selesai berbicara karena mulutnya disumpal tempura garing sempurnaㅡ berwarna cokelat keemasan.
"Kalau sampai kehabisan salah sendiri," kata Ryuuji, sang pelaku yang santai menyumpit potongan tamagoyaki. [Name] menyudahi kunyahan tempura karena kesulitan berkata-kata, memandang antrean staf semakin pendek ditambah lagi kantong bekal katering yang semakin mengempis. Perempuan itu langsung sergap mengantre; menanti dengan cemas. Namun, Tomohisa mengusap pelan puncak kepalanya.
"Pasti dapat. Tidak perlu terburu-buru."
Menyadari perut yang berbunyi, [Name] memberi cengiran lebir. "Terima kasih!"
Ia perlu bernegosiasi dengan helikopter, tetapi menikmati sarapan adalah prioritas utama.
※※※
"Kenapa tidak dibalas, ya?" gumam [Name] memandang ponsel yang terus terhubung ke pesan suara. Sepuluh menit lagi, helikopter siap mengudara. [Name] menatap nanar kontak kakak Ryuuji yang tidak membalas pesan singkatnya sejak dua hari lalu. Ia ingin saja bertanya kepada Ryuuji, tetapi pemuda itu sudah sibuk dengan segala masukan antar staf.
"Harap tinggalkan ponsel di dalam tas. Perlengkapan kalian selama proses penaburan zat glasiogenik dan higroskopis berlangsung akan tetap aman."
Untuk merekam proses tersebut, ia dipinjamkan handycam yang bisa menerima gambar lebih jernih. [Name] memilih menurut dan menyerahkan tas kepada staf penjaga lapangan. Bunyi baling-baling mulai terdengar nyaring. Angin berembus kencang akibat terpaan transportasi udara mini itu.
"Cepat ke sini!" perintah Ryuuji melambaikan tangan, berada tiga meter jarak dari posisi [Name] berpijak. Tomohisa sudah masuk lebih dulu.
[Name] bergegas menuju helikopter. "Ya! Aku segera tiba!"
Helikopter pun mengudara dengan sukses.
Beberapa menit berikut, muncul sebuah pesan singkat.
Tanpa mendapat jawaban segera.
Tanpa sepengetahuan tiga orang yang mulai menjalankan misi kebangkitan pelangi itu.
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro