8th Notes
Someone Pov
Aku melihatnya lagi. Dari dekat, lebih dekat, semakin dekat. Begitu muda dan bercahaya. Membunuhnya adalah keharusan, karena alam mencintai masa muda yang abadi.
Pasti menyenangkan, unik dan penuh semangat, untuk melihat aliran nafas kehidupan terhenti dan kemudian di hadapanku hanya ada seonggok tubuh lemas, dingin, dan hampa.
Sebelumnya ... di malam hari, aku telah melukis tubuh dan wajahnya dengan garis-garis cerah dan percikan merah, oranye, dan hitam. Gambaran mencolok tentang kedalaman mata dan rambutnya yang hitam legam. Dalam coretan-coretan kasar di atas kanvas, aku mencoba melukis wajahnya, sebuah mahakarya yang indah. Setiap hari kusempatkan diri menatap wajah dalam lukisan kasar itu, dan kurasakan bibirku menyeringai.
✨✨✨
Dalam kesunyian Wu Xie menyantap makan malamnya seraya tak henti berpikir tentang pria dalam mobil yang dia lihat beberapa waktu yang lalu.
Siapa pria itu? Apakah dia hanya tetangga yang belum sempat dikenalnya? Apakah seorang reporter? Polisi? Atau penguntit?
Wu Xie memikirkan untuk mengirim pesan pada Zhang Qiling terkait kecemasan yang dia rasakan saat ini. Namun, saat ia memikirkannya sekali lagi, tiba-tiba Wu Xie merasa ragu.
Mungkin aku hanya paranoid, batinnya, menatap ponsel dengan muram.
Mungkin pria dalam mobil itu hanya orang yang kebetulan melintasi jalan ini.
Akhirnya Wu Xie mengurungkan niatnya dan kembali fokus pada makanan hingga ia menuntaskannya.
Dua jam berlalu dan suasana kian sunyi mencekam. Wu Xie mengintip melalui kaca depan, menarik napas lega saat mendapati mobil dan pria misterius di dalamnya sudah pergi.
Kini pikirannya teringat lagi sosok bayangan hantu yang pernah menunjukkan diri. Sontak ia mengamati lubang galian di bawah pohon Magnolia. Cahaya bulan jatuh di rerumputan, tapi tak seorang pun berdiri di halaman.
"Siapa sebenarnya dirimu?" bisiknya pada kekosongan, seakan hantu itu bisa mendengarnya, "apa yang kau inginkan? Mengapa kau di sini?"
Kesunyian dalam ruangan terasa menyesakkan, dan Wu Xie mendapati dirinya mondar-mandir dalam lingkaran yang rapat, jari-jari kakinya bergesekan di lantai. Lelah karena mengharapkan bayangan hantu itu hadir, dia merangkak ke tempat tidur dan meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, merasakan kesepian yang aneh.
Malam menua perlahan-lahan, melahirkan kesunyian yang kian mencekik. Semua insan sudah terlelap, demikian pula Wu Xie. Dalam mimpinya dia melihat jaring laba-laba yang begitu halus dan tipis, hingga ia berpikir napasnya dapat membuat jaring itu berputar menuju kegelapan. Di balik jaring itu ia melihat wajah pucat seseorang dengan cukup jelas, ekspresinya tertegun bingung, mengulurkan tangan untuk menggapainya. Namun dia terasa jauh, hanya geliat jemarinya tertinggal di benak Wu Xie, memanjang, menjangkau, pucat pasi. Kemudian satu lantunan nada sendu mengalir di udara kamarnya, dan Wu Xie pun terjaga.
Piano! Batinnya seketika.
Dia mendengar lantunan nada piano. Namun sayangnya hanya dalam mimpi karena saat ia terjaga, hanya ada keheningan yang mengerikan.
Pemuda misterius itu tidak berniat muncul lagi di hadapannya, demikian Wu Xie berpikir sambil duduk linglung di tempat tidur. Tapi ia menyelinap dalam mimpinya. Setidaknya, wajah dalam mimpi itu tidak rusak. Wu Xie memejamkan mata dan mengingatnya. Mencetak wajah itu dalam ingatannya, mungkin saja ia akan melihat wajah itu lagi di suatu tempat. Walaupun tidak sepenuhnya yakin, Wu Xie memiliki dugaan bahwa pemuda yang muncul dalam mimpinya adalah orang yang sama dengan sosok hantu yang menampakkan diri.
✨✨✨
Cuaca pagi ini hangat dan nyaman. Kelembaban rendah. Di kawasan yang dekat dengan air terjun dan perbukitan, angin sejuk membelai wajah setiap insan yang berjalan di pagi hari menikmati udara segar. Embusan yang lebih kuat sesekali mengacak-acak rambut mereka. Di atas atap dan pepohonan, burung-burung menyanyikan lagu balada yang gembira. Seharusnya Wu Xie bangun dan menyambut hari yang baru dengan gembira seperti seharusnya. Dia memiliki kesempatan untuk tinggal di lingkungan yang tenteram, indahnya alam di sekitarnya. Namun alih-alih bersemangat, dia terbangun dengan kepala migren akibat tidur yang tidak berkualitas. Setelah mimpi aneh semalam, dia kesulitan untuk terlelap lagi. Alhasil, pagi ini dia menumpukan siku pada jendela kamar yang sengaja ia buka, menatap kosong pada halaman rumput dan jalanan dengan wajah pucat dan rambut acak-acakan.
"Yang benar saja," gumamnya sambil menguap sesekali. Kopi panas sama sekali tidak membantunya pagi ini.
"Cuaca begitu indah tapi aku tak bisa menikmati apa pun. Astaga, kepalaku ... " ia terus menggerutu, menyipitkan mata pada sepasang burung yang meluncur dari pucuk pohon Magnolia.
Ada banyak hal yang dia pikirkan. Hantu itu tidak menunjukkan diri malam ini, dan kecil kemungkinan akan muncul di kemudian hari. Wu Xie berpikir bahwa arwah pemuda itu mungkin sudah lebih tenang sekarang hingga tidak perlu lagi menghantui rumah ini. Namun rasa penasarannya tidak mudah sirna begitu saja. Dia harus mengetahui mengapa dan bagaimana pemuda itu bisa tewas mengenaskan di halaman rumah ini. Sepertinya ia harus bicara lagi pada Zhang Qiling. Tapi ia ragu apakah detektif berwajah dingin itu akan percaya padanya. Menjelaskan bahwa ia melihat wajah pemuda misterius di dalam mimpi hanya akan membuat detektif itu semakin menganggap dirinya aneh. Bukan tidak mungkin ia akan mentertawakannya. Satu-satunya cara, ia harus menggambar wajah dalam mimpinya semalam. Setelah yakin, Wu Xie mengusap wajahnya kasar, lantas mundur dari jendela untuk mencari kertas dan pensil.
✨✨✨
Little Talk Coffee
"Katakan padaku kenapa kita harus bertemu di sini."
Wu Xie menatap pria tampan yang duduk di seberangnya. Sinar matahari masuk melalui jendela kedai kopi, menyinari Zhang Qiling seolah-olah dia adalah sosok supernatural dan bukannya seorang detektif. Suasana sepi di ruangan itu semakin menguatkan aura tegang. Wu Xie bahkan tidak bisa menikmati lantunan piano instrumental dan nyanyian sekelompok burung di sudut halaman.
Siang ini dia mengirim pesan pada Zhang Qiling. Meminta sang detektif untuk meluangkan waktu sejenak setelah makan siang. Zhang Qiling mengatakan bahwa ia akan pergi ke laboratorium forensik untuk bicara dengan Dokter Huo Dofu terkait rekonstruksi wajah korban. Nyatanya, dia memilih untuk menemui Wu Xie terlebih dulu alih-alih Dokter Huo.
Wu Xie balas menatap Zhang Qiling dengan tatapan tak bersalah yang menjadi pembawaannya sejak lahir.
Dia tidak berbasa-basi lagi, dan segera mengeluarkan sebuah buku sketsa dari dalam tasnya. Jemarinya yang pucat membuka lembar demi lembar di bawah tatapan Zhang Qiling yang mematikan. Migrennya sudah mereda, tapi tidak lama setelah berjumpa pria dingin ini, kepala Wu Xie mulai berdenyut lagi. Dia berdehem dua kali sebelum menyerahkan buku dalam kondisi terbuka tepat ke hadapan Zhang Qiling.
"Apa ini?" Sang detektif melirik gambar wajah di salah satu halaman tanpa minat.
"Sketsa wajah."
"Aku tahu." Ekspresi Zhang Qiling terheran-heran, bahkan sedikit kesal. Tapi saat ia beradu pandang dengan sepasang mata Wu Xie yang bercahaya, dia tidak melanjutkan kekesalannya.
"Wajah siapa ini?" tanyanya setelah menghela napas.
"Aku juga tidak tahu," jawab Wu Xie datar, tidak peduli kalau jawaban itu bisa saja memantik kejengkelan pihak lain.
Sepasang mata Zhang Qiling melebar. Ditatapnya wajah Wu Xie dan gambar sketsa secara bergantian. Wajah dalam sketsa digambarkan dengan sedikit kasar, jelas dibuat tergesa-gesa. Hasilnya pun jauh dari sempurna meskipun setidaknya itu melukiskan satu wajah seorang pemuda.
"Dengar, aku sibuk dan tidak memiliki banyak waktu untuk lelucon semacam ini," ujar Zhang Qiling, berusaha setenang mungkin.
"Ini bukan lelucon." Ekspresi Wu Xie sedikit cemberut.
"Aku tidak yakin kau akan percaya padaku atau tidak. Tapi aku yakin kalau wajah ini adalah wajah yang ingin kau lihat."
Zhang Qiling memijat pangkal alisnya.
"Maksudmu?"
"Kerangka yang ditanam di halaman rumah pamanku."
"Kau ... " Zhang Qiling kehilangan kata-kata, "Tunggu, apa kau atau pamanmu memiliki fotonya?"
Gelengan kepala Wu Xie membuat Zhang Qiling semakin tercengang.
"Lantas dari mana kau mendapatkan sketsa wajah ini?"
Wu Xie menyapu rambutnya ke belakang. Tidak siap mengatakan bagian yang paling absurd. Dia merasakan ketegangan yang membebani bahunya sepanjang hari kian meningkat. Suasana menjadi tegang antara dia dan Zhang Qiling. Sketsa wajah itu tiba-tiba tampak seperti gangguan yang menjengkelkan sekaligus menyenangkan.
"Aku melihatnya dalam mimpi," akhirnya Wu Xie mengungkapkan kebenarannya.
"A-apa??"
"Aku mengatakan yang sebenarnya, detektif."
"Dengar, kau tahu betapa seriusnya satu kasus pembunuhan, terlebih itu akan menjadi kasus dingin. Jadi, kuharap kau tidak bercanda lagi."
Zhang Qiling mencondongkan wajahnya, menatap lurus pada mata Wu Xie.
"Aku juga serius," tukas Wu Xie.
Astaga ..., gerutu Zhang Qiling dalam hati. Apa yang harus dia lakukan dengan semua omong kosong ini?
Setelah mengendalikan diri selama beberapa menit. Zhang Qiling menyerahkan kembali buku sketsa itu pada Wu Xie.
"Aku minta maaf, tapi bagiku hasil dari dokter forensik lebih akurat dan terpercaya. Penjelasanmu sangat ngawur, dan sejujurnya tidak banyak berguna."
"Aku sudah menduga reaksimu. Sebenarnya aku pun menunggu hasil dari forensik. Begini saja, kau bawa sketsa ini dan saat hasilnya keluar, kau bisa membandingkannya. Saat itu kita berdua bisa yakin apakah mimpiku benar atau tidak."
Lagi-lagi, Zhang Qiling menghembuskan napas keras, tertawa singkat dan kering.
"Mengapa aku harus mendengarkan delusimu?" gumamnya.
Wu Xie mengangkat bahu. Tidak berniat meyakinkan Zhang Qiling lebih jauh lagi. Dia tahu bahwa semua orang akan sulit menerima fakta yang berkaitan dengan aktivitas paranormal yang dia alami. "Terserah. Toh, kau sudah di sini dan mentraktir aku kopi."
Dia bersiap jika detektif itu akan menegurnya atas tanggapan yang sepertinya kurang ajar, tetapi Zhang Qiling malah mengangguk-angguk. Sepertinya dia mulai ikut-ikutan linglung, batin Wu Xie, sedikit geli. Tapi dia sungguh yakin akan hal ini. Tidak ada salahnya membandingkan sketsa wajah dan hasil forensik demi memastikan bahwa kerangka misterius itu adalah hantu yang menampakkan diri padanya.
"Baiklah, tapi coba dengarkan aku," suara Zhang Qiling lebih lunak dan pasrah. Dia tahu tak ada gunanya mengomeli pemuda berwajah naif dan pucat dengan jejak insomnia yang cukup jelas.
"Dokter mengatakan bahwa kerangka itu berusia setidaknya sepuluh tahun. Sementara penyewa yang terakhir kali menghuni rumah itu terlihat oleh Nyonya Lan sekitar tiga tahun lalu. Jadi, sebenarnya sosok mana yang kau lihat dalam mimpi?" Bertanya hal itu saja sudah cukup membuat Zhang Qiling merasa tolol.
"Itu yang ingin kupastikan. Polisi harus segera memecahkan kasus ini. Apa kau tidak mendengar desas-desus? Bahkan pelayan restoran yang mengantarkan makanan padaku mengatakan bahwa di lingkungan ini tengah berkeliaran seorang pembunuh. Aish, dia membuatku takut." Wu Xie menyesap kopinya, menikmati rasa lezat sehingga ketegangannya sedikit mengendur.
Zhang Qiling menelan liur. Pembunuh? Itu terlalu berani. Dia bahkan masih berusaha memproses laporan orang hilang. Bayangan kasus Wen Jun seketika melintas di benaknya hingga ia memutuskan untuk segera meninggalkan kedai kopi ini. Ada banyak hal yang harus dia kerjakan.
"Omong kosong. Mereka menebarkan narasi yang menakutkan. Ini hanya kasus orang hilang," timpalnya. Kemudian ia menyobek lembaran sketsa wajah yang diperlihatkan Wu Xie dari bukunya dan melipatnya dengan hati-hati.
"Aku akan membawa hasil karyamu. Tapi jangan berpikir terlalu jauh," ia menatap Wu Xie, mengamatinya lebih lama. Meskipun terlihat lelah, ia tidak bisa memungkiri bahwa pemuda ini sangat tampan, garis wajah lembut dan cantik.
"Kuharap kau beristirahat dengan benar," katanya pada Wu Xie.
"Tentu. Selama tidak ada pihak yang menggangguku, aku akan tidur dan berhibernasi. Sayangnya, beberapa hal jadi terlihat menakutkan bagiku."
"Itu hanya gejala ringan paranoid. Sebaiknya kau lebih santai atau pergi ke suatu tempat."
"Hmmmm, boleh juga." Wu Xie memiringkan wajah, mencuri pandang pada Zhang Qiling. Kemudian ia bertanya seserius mungkin, "Detektif, apa semalam kau memantau rumahku?"
Dia benar-benar mengigau karena kurang tidur, Zhang Qiling membatin bingung.
"Tidak. Apa ada masalah?"
Wu Xie lagi-lagi mengangkat bahu.
"Tidak. Entahlah. Aku melihat seorang pria dalam sedan hitam yang terus mengawasiku. Kupikir itu kau, tapi sepertinya bukan. Aku juga menduga kalau itu memang dirimu, kau akan melakukannya terang-terangan."
"Menurutmu dia seorang penguntit?"
Wu Xie menggeleng. "Aku tidak tahu. Hanya saja, jika boleh kukatakan, sejak awal aku tiba di rumah itu, aku merasa seseorang tengah mengawasiku dari suatu tempat."
Zhang Qiling memakukan tatapan serius pada Wu Xie, hingga pemuda itu merasa canggung.
"Tapi seperti katamu, mungkin itu hanya perasaanku saja. Kuharap tidak akan terjadi apa-apa."
"Bisa ya bisa tidak. Hubungi aku jika kau merasa tidak aman. Mungkin saja seperti dugaan orang-orang, ada seorang pembunuh berkeliaran di dekat kita."
Zhang Qiling meraih cangkir kopinya, meneguknya dengan cepat, menyembunyikan kecemasannya. Diam-diam ia mengkhawatirkan pemuda berwajah naif ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro