10th Notes
Menggali tanah dekat air terjun?
Gagasan Wu Xie yang tak masuk akal menghantui benak Zhang Qiling sampai keesokan harinya. Dia duduk menghadapi meja kerja yang berantakan, mengerjakan beberapa pekerjaan kertas sementara pikirannya berputar di sekitar ide Wu Xie yang brilian.
Itu pun atas petunjuk hantu?
Zhang Qiling memijat pangkal alisnya sekilas sambil memejamkan mata.
Benar-benar sinting...
"Pak, petugas Han ada di saluran. Dia ingin bicara tentang kasus orang hilang bernama Wen Jun." Seorang petugas menyembulkan kepala di pintu ruangannya yang selalu terbuka, bahkan sesekali rekannya bebas keluar masuk. Jika Zhang Qiling kehilangan sebungkus rokok, itu bisa dipastikan siapa saja yang mengambilnya.
"Oke."
Zhang Qiling mengangguk lalu bicara dengan serius terkait pemuda bernama Wen Jun yang dikabarkan hilang sejak setahun lalu. Dia meminta berkas laporannya pada petugas Han, bermaksud menyelidikinya kembali.
Menjelang jam makan siang, Zhang Qiling menerima telepon dari dokter forensik bahwa dia telah menyelesaikan proses rekonstruksi wajah dari kerangka yang ditemukan, perasaannya jadi sedikit tegang. Hal semacam ini telah dilaluinya sejak beberapa tahun dan ia tidak pernah begitu penasaran seperti sekarang. Mungkin karena hari itu Wu Xie telah memberinya sketsa wajah dari pemuda asing yang dilihatnya dalam mimpi---dan Wu Xie bersikeras bahwa itu akan ada gunanya.
"Aku akan ke sana dalam sepuluh menit," Zhang Qiling berkata di telepon. Lalu dengan cepat berdiri, mencari-cari di atas mejanya sketsa wajah amatir karya agung Wu Xie. Dia meletakkannya sembarangan dan hampir tercecer bersama map-map yang tergeletak memenuhi meja. Sesaat Zhang Qiling memegangi dan menatap lembar sketsa itu, meyakinkan diri bahwa ia belum sinting karena mendengarkan lelucon tentang hantu korban pembunuhan yang mendatangi Wu Xie.
Akhirnya dia membawa serta sketsa itu dalam sebuah map plastik, membawanya keluar kantor dan melemparkannya di kursi penumpang.
"Begitu tergesa-gesa, Detektif Zhang?" Seorang petugas yang baru saja tiba di pelataran menyapanya.
Zhang Qiling menoleh sekilas, mengangguk samar tanpa senyuman.
"Aih, kupikir dia semakin tegang belakangan ini," petugas itu bergumam, menggeleng tidak paham.
Dalam waktu tiga hari kecanggihan teknologi forensik telah mampu merekonstruksi wajah kerangka yang sudah terpendam selama sepuluh tahun. Zhang Qiling berpikir ulang tentang ucapan Wu Xie, tersenyum masam karenanya. Dibandingkan dengan kemampuan Wu Xie melihat arwah orang mati, kecanggihan ini seperti kehilangan harga diri. Namun dia masih harus memastikannya.
Dokter yang menemuinya kali ini bukanlah Huo Dofu, melainkan seorang dokter perempuan yang lebih muda yang baru saja bergabung di tim selama dua tahun.
"Selamat siang, Detektif Zhang."
Dia bernama Hai Nu, ramah dan berwajah manis. Dia tampak sudah tahu benar dengan sikap serius dari detektif itu, tapi tetap menunjukkan ekspresi hangatnya.
"Di mana Dokter Huo?"
"Dia baru saja pergi satu jam lalu. Saudara perempuannya tiba dari kota dan menjemputnya untuk pergi makan siang."
"Saudara perempuan?"
"Nona Xiu Xiu."
Rahang Zhang Qiling terbuka dan mengangguk-angguk.
"Jadi aku bisa mendapatkan sketsa itu sekarang?" tanyanya langsung ke inti.
"Ya. Tentu. Di sini."
Hai Nu membawanya ke satu sudut ruangan di mana sebuah layar monitor ditempatkan di atas meja. Dokter itu menggerakkan mouse dan menunjukkan proses rekonstruksi itu di layar hingga akhirnya membentuk satu wajah yang bisa dikenali.
"Pemuda yang malang, dia cukup tampan," Hai Nu berkomentar tanpa emosi. "Aku sudah mencetak hasilnya. Nah, ini dia."
Dia mengambil selembar kertas, menyerahkannya pada Zhang Qiling.
"Detektif, Anda baik-baik saja?" Dokter muda itu cukup terkejut melihat reaksi Zhang Qiling yang tertegun kaku. Tangannya bergetar menerima hasil cetak sketsa wajah tersebut.
"Sepertinya Anda mengenal pemuda ini," Hai Nu berkomentar lagi, disambut gelengan kepala oleh Zhang Qiling.
"Sama sekali tidak. Kupikir aku pernah melihatnya sekilas."
Dia mengamati sketsa itu lagi, kemudian menyimpannya dengan hati-hati dalam map plastik.
Mereka berbicara sekitar lima menit lagi terkait beberapa detail tentang kerangka itu sebelum Zhang Qiling akhirnya kembali ke dalam mobilnya dan duduk di sana dengan ekspresi takjub. Dia punya alasan kuat untuk bereaksi demikian. Mengatur napasnya sekian detik, Zhang Qiling melirik map dan mulai memeriksa dua sketsa yang berbeda.
Karya agung Wu Xie memang tidak sejelas cetak sketsa tim forensik, tapi bukan berarti tidak bisa dikenali. Zhang Qiling membandingkan dua sketsa itu, melihat ke sana kemari, mencari perbedaan yang signifikan. Kepalanya menggeleng perlahan, tarikan napasnya menjadi berat. Dia mendapati fakta bahwa dua sketsa ini menggambarkan wajah yang sama. Mungkin ada perbedaan, tapi itu cukup kecil.
Wu Xie tidak berbohong tentang mimpi dan juga bertemu hantu, pikirnya, menggigit bibir dengan gelisah.
Logika bertahan selamanya dalam penyelidikan kepolisian. Hal-hal supranatural dan aktivitas paranormal tidak bisa dilegalkan, tapi mencari kebenaran dengan cara ini di luar prosedur terdengar seperti jalan keluar yang brilian. Mungkin Wu Xie akan berperan penting mungkin juga tidak. Yang pasti, dia harus menemuinya sekarang.
Deru mesin mobilnya yang bergerak dengan kecepatan hampir penuh menyapu ketenangan di kawasan laboratorium besar itu. Jemarinya mengetuk kemudi dengan ritme cepat. Identitas dan wajah kerangka sudah hampir jelas, jika dia sungguh Jiang Zisuan, seharusnya tetangga sebelah rumah yang disewanya bisa mengenali sketsa wajah ini juga. Dia mengamati suasana jalanan yang lumayan macet dengan ekspresi khawatir.
Akhirnya Zhang Qiling sungguh terjebak macet. Pada jam-jam sibuk, semua orang pergi ke jalan berlarian dengan kendaraan mereka untuk makan siang atau pergi ke suatu tempat. Zhang Qiling merasa perutnya mulai lapar, jadi dia menelepon Wu Xie dan memikirkan gagasan untuk bertemu di restoran.
Bunyi dering ponsel mengagetkan Wu Xie pada siang hari yang malas di rumah peristirahatannya. Dia tengah menghadapi laptopnya, nyaris terkantuk-kantuk, tapi tertahan karena lapar. Pangzi berada di halaman, mengurus lubang sial itu, menutupnya kembali saat polisi melepas garis kuningnya.
Detektif Zhang, batin Wu Xie saat melirik layar yang berkedip.
Salah satu penglihatan mengerikan di air terjun muncul lagi di benaknya. Zhang Qiling pasti menelepon untuk memberikan persetujuan atas permintaan absurd-nya menggali tanah di bawah pohon dekat air terjun.
Dia mundur dari laptop dan meraih ponselnya.
"Ya, halo, Detektif?"
"Apa kau sedang sibuk?"
"Lumayan." Tatapan Wu Xie tertuju pada halaman kosong di laptop. Entah kesibukan apa yang tengah dia bicarakan. Mengetik beberapa ratus kata dan semuanya kacau.
"Aku ingin menemuimu untuk membicarakan sesuatu." Suara Zhang Qiling terdengar mendesak, melahirkan senyuman aneh di bibir Wu Xie.
"Begitu tidak sabar?"
"Ini tentang kerangka itu."
Ugh, serius sekali. Wu Xie mengusap pelipisnya dan berdehem pelan.
"Kau bisa datang ke rumahku, bukan?" tanyanya.
"Jalanan macet. Apa kita bisa bertemu di luar? Restoran, mungkin."
Wu Xie mengalihkan pandangan pada sosok Pangzi yang tengah sibuk. Cuaca siang hangat dan cerah, tapi kata 'macet' membuat Wu Xie tidak ingin meninggalkan kemalasannya. Pantat kurusnya tiba-tiba jadi seberat tank baja.
"Sepertinya aku tidak bisa, Detektif Zhang. Aku akan menunggumu di rumah."
Di jalan raya, Zhang Qiling memiringkan kepala untuk melihat kapan mobil di depannya akan melaju. Mungkin ia bisa segera lepas dari kemacetan atau bisa saja satu dekade ke depan. Dia sudah menduga respon Wu Xie jadi ia tidak mendesak.
"Kau sudah makan siang?" tanyanya.
Perhatian kecil semacam ini sangat jarang dia tunjukkan pada orang yang baru dikenal. Seketika membuat sang detektif sebal dengan diri sendiri. Perubahan manis yang tidak cocok sama sekali.
"Belum." Wu Xie menjawab cepat lalu tanpa sungkan melanjutkan, "Jika kau mau membawakan kami makan siang. Aku akan menerima dengan senang hati."
Zhang Qiling, ".... "
Detektif Zhang yang berhati dingin dan minim ekspresi kini benar-benar bengong dan membeku. Lupa bagaimana harus berekspresi. Dia lebih tertekan lagi saat menjawab dengan enggan, "Aku tidak janji."
"Hmmm, sayang sekali. Tapi tak apa." Kekecewaan dalam suara Wu Xie sulit disamarkan, membuat Zhang Qiling jadi tidak nyaman. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, "Apa yang kau inginkan untuk makan siang?"
Di ruang tamunya, duduk bersandar dan sangat malas, Wu Xie tersenyum lebar.
Lumayan lah....
=====
Satu jam lebih lima belas menit, Zhang Qiling dan Wu Xie duduk di ruang tamu pondok asri itu, saling memandang satu sama lain sementara Pangzi menyantap makan siang penuh semangat seakan-akan dia belum makan sejak sekolah dasar.
"Ini lezat sekali. Terima kasih, Detektif. Ada angin apa hingga kau bersedia mentraktir kami?" Pangzi bertanya sambil mengunyah.
Mengambil sumpit dan mulai memilah potongan daging, detektif tampan itu hanya mengangkat bahu penuh kepasrahan.
"Sudahlah, gendut. Makan saja. Detektif Zhang sepertinya baru saja menerima bonus. Benar, kan?" sela Wu Xie.
Dia pun mulai sibuk dengan menu makan siangnya. Satu set menu makanan Jepang yang menggugah selera.
Zhang Qiling menghembuskan napas, lalu melirik map plastik di sampingnya.
"Sebenarnya Aku hanya mampir untuk membicarakan kasus kemarin. Tapi bicara dalam kondisi lapar tidak akan baik. Mari selesaikan dengan cepat."
"Oh, santai saja, Detektif. Ini bukan kamp militer." Pangzi tertawa pelan.
"Kita tidak perlu tergesa-gesa untuk mengangkat senjata dan membantai musuh."
Zhang Qiling melirik, sedikit mengernyit, tidak bicara lagi sampai makanan mereka tandas. Jika tidak, suasana akan berubah jadi perbincangan hangat di meja makan seperti dalam drama keluarga yang harmonis.
"Terima kasih, Detektif Zhang. Makan siang yang lezat," Wu Xie berkata dengan nada tulus melemparkan senyum terbaiknya pada Zhang Qiling.
Pihak lain hanya melirik sekilas, menunduk pada map di tangan sambil menahan untuk tidak tersenyum bodoh. Saat lembaran sketsa itu keluar, suasana santai seketika sirna. Karena memang untuk hal yang kurang menyenangkan inilah dia datang kemari.
"Dokter forensik menyerahkan hasil laporan ini sekitar dua jam lalu." Dia memberikan lembaran sketsa wajah pada Wu Xie yang menerima dengan raut wajah tidak yakin.
"Kuharap apa yang kulihat dalam mimpiku sesuai dengan..."
Kata-katanya terhenti saat membandingkan dua lembaran sketsa wajah korban. Bahunya merosot, wajahnya yang memang sudah pucat sejak awal seperti topeng dilapisi cat putih. Datar dan mengeras.
"Ternyata benar..." gumamnya semenit kemudian.
Tengkuknya merinding. Bukan oleh sapuan angin, melainkan oleh dinginnya pikiran dan hati.
Pangzi pada awalnya tidak tahu menahu tentang kerangka malang itu juga tak ingin terlibat di dalamnya. Namun sepertinya dia sulit untuk tidak ikut campur urusan sahabatnya yang pemberani tapi sulit dipisahkan dengan kecerobohan. Mendorong bekas makanannya, dia mulai tertarik, menunggu Wu Xie selesai memelototi sketsa wajah itu.
"Sekarang kau percaya padaku, bukan?" Wu Xie menatap Zhang Qiling, membiarkan Pangzi mengambil alih lembaran sketsa wajah.
Pria yang ditanya hanya terdiam. Begitu terlibat dengan kerumitan pikirannya sendiri sehingga terkadang sulit memercayai orang lain atau secara tidak sadar skeptis terhadap kejadian di sekitarnya.
"Jika pemuda ini sungguh Jiang Zisuan," ia mulai bicara, tidak berniat menegaskan jawaban pada Wu Xie, "ada sedikit keganjilan. Nyonya Lan mengatakan bahwa dia terakhir kali melihatnya tiga tahun lalu. Tapi Dokter Huo mengatakan usia kerangka malang itu sudah mencapai sepuluh tahun. Tidakkah ini rancu."
Pangzi mengerucutkan bibirnya, melihat ke sana kemari antara Zhang Qiling dan Wu Xie.
"Kalau begitu, ada seseorang yang berbohong," gumam Wu Xie, tidak yakin.
Dia bertukar pandang dengan Zhang Qiling untuk beberapa lama sebelum lanjut bertanya-tanya,
"Tapi di antara mereka, siapa yang berbohong?"
Hayooo siapa itu teman-teman? 👀
Duh sorry banget yaa cerita ini sempat terlupakan coz aku ngebucin Fei Du ga kelar-kelar.
Semoga bisa konsisten lanjutin cerita ini. Eh, btw masih ada yang baca ga sih sebenernya? 🤩
Please vote and comment ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro