Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 : White Bird

Aku selalu ingin berhasil melebihi kesuksesanmu. Aku juga meninggalkan semua yang menjadi cita-cita dan kesenangan. Aku sudah bekerja keras selama jauh dari rumah, karena aku takut mengecewakanmu.

Ayah ...

terkadang rasanya sangat sulit sehingga aku ingin menyerah saja.

Tetapi aku punya seseorang yang menyemangatiku.

Dia yang selalu berkata tidak masalah apa aku bisa sukses atau tidak.

Namun tetap saja, aku terus ingin sukses dan memiliki kebanggaan.

Tapi kini seseorang itu telah pergi.

Kesendirian ini membuatku takut.

Sepertinya aku benar-benar mencintainya.

Hari ini aku kembali ke sisimu, untuk memenuhi kewajibanku.

Untuk mencoba melupakan dia yang selalu mengisi hatiku. Menyamarkan bayangan wajahnya diantara keindahan ladang bunga matahari.

Meski aku tahu itu sulit.

Bahkan ... tidak mungkin.

~°~°~°~

Angin semilir menyertai hangat sinar matahari menjadikan musim semi di Wuxi begitu indah dan berwarna.

Simon berhenti bekerja. Dia telah menyelesaikan semua urusan di kantor dan pulang ke kota kelahirannya yang telah lama ia tinggalkan. Beberapa kawan melepasnya di stasiun kereta cepat dengan linangan air mata. Sebagian mungkin air mata buaya.

"Jangan lupa untuk selalu menelepon," Miles memeluknya erat penuh ketulusan.

"Jika kau menikah kau harus mengundangku," Wen Yuan lebih dramatis lagi, menangis terisak di bahunya seperti anak kecil yang segera dibalas tepukan hangat.

Tetapi Simon tak peduli.

"Berhenti menangis. Kau membuatku merinding," desis Simon, berjuang menahan kesedihannya sendiri. Untuk tidak terhanyut arus melankolis yang menyesakkan.

Kota kelahirannya tak berubah semenjak terakhir kali dia pergi, memulai langkah pertama petualangannya.

Memutuskan untuk meneruskan jejak keluarga, mengelola tanah pertanian dan ladang bunga matahari yang berombak dan membentang luas. Semangatnya tumbuh kala dihadapkan pada fakta bahwa ayahnya terbaring tak berdaya akibat terkena serangan stroke.

Dirinya adalah satu-satunya harapan keluarga.

Memang butuh waktu lama bagi Simon untuk menyesuaikan diri. Dia juga harus lebih banyak belajar, membaca banyak buku dan majalah tentang bisnia pertanian juga mengunjungi rekan dan kawan-kawan ayahnya.

Selama menjalani pengalaman baru mengelola bisnis keluarga, diam-diam Simon mendalami hobbynya lagi di bidang photography. Dari uang tabungannya dia membeli sebuah kamera photography terbaru yang bisa menangkap objek dan pencahayaan terbaik.

Objek pemandangan di kota kecil kelahirannya masih sangat kaya akan keindahan.

Sungai-sungai mengalir berkelok-kelok, airnya bening gemerlap.

Bangau-bangau putih berenang di pagi dan sore hari menghadapkan wajah mereka ke arah matahari.

Bunga-bunga liar merah cerah mengatasi suram semak belukar.

Savana dengan kawanan rusa di bawah barisan flamboyan.

Pegununungan ungu kebiruan nan megah di kejauhan.

Ladang bunga matahari seindah mimpi.

Simon melewati hari-hari yang sempurna. Tetapi ia merasakan ada satu tempat yang tak terisi di satu sudut dalam hatinya.

Seperti karya seni yang belum terselesaikan, Simon merasa canggung, tidak yakin, separuh matang.

Mungkin, dia harus bersabar
Mungkin dia sedang dalam perjalanan menuju sesuatu yang membahagiakan...

~¤~¤~¤~

Matahari baru saja mengalirkan cahaya keemasan samar dari balik awan kala Simon berdiri di halaman rumah yang sepi. Mengenakan jaket panjang dan syal, tangannya memegang kamera photography terbaru, dia menghadapkan wajah ke atas, menatap langit.

Sentimentalitas pagi hari sebelum matahari terbit sempurna selalu menimbulkan rasa ketertarikan yang aneh dan melekat pada dirinya. Seolah dalam kesunyian yang dalam dan udara pagi yang murni, ia bisa menemukan rahasia terjauh dalam setiap hal, bisikan serangga atau burung, tetes bening embun, dan juga kata hatinya sendiri

Melangkahkan kaki perlahan, Simon keluar dari halaman. Sesekali berhenti untuk memotret pucuk bunga liar, atau selaput awan kemerahan berbaur warna emas. Angin semilir musim semi membelai wajahnya. Ketampanan menyatu dengan keindahan alam, sebenarnya Simon mungkin tak perlu terlalu jauh mencari.

Sekian lama berjalan dia tiba di tempat yang selalu menjadi favoritnya. Anak sungai yang dibingkai bebatuan, airnya mengalir deras dan bening, bangau-bangau putih berenang dan bercengkerama di tepian.

Inilah tempat yang terakhir kali ia kunjungi empat tahun lalu kala ia memutuskan pergi dari kampung halaman. Tempat yang masih meninggalkan kesan dalam benaknya kala semua kenangan kian memudar.

Perlahan Simon mengangkat kamera ke depan wajah, mengambil potret keindahan di hadapannya.

Semenit berikutnya, tangannya terkulai dalam gemetar. Angin dingin semakin kencang di saat bersamaan bangau-bangau putih sebagian terkesiap dan berlompatan menimbulkan kecipak riuh air sungai.

Ada sesuatu mengagetkan kawanan burung itu.

Ada seseorang di sana.

Pemuda itu berdiri di antara bangau-bangau putih yang hinggap di bebatuan. Kala ia memalingkan wajahnya, Simon berpikir wajah pemuda itu seperti memancarkan cahaya. Sulit untuk digambarkan, tetapi satu kata yang pasti, wajah itu sangat luar biasa.

Familiar, seolah mereka pernah berjumpa di waktu yang lama.

Dan memang pernah.

Pemuda itu ... Zhang Zhehan.

Kehidupannya kini terlihat sangat baik. Simon terus terpaku memandanginya, berpikir bahwa ia ingin memiliki sedikit dari cahaya yang terpancar itu. Ingin berbinar sedikit saja.

"Zhehan..."

Pemuda yang bercahaya itu menghambur ke arahnya kala Simon merentangkan lengan. Syal yang melingkar di lehernya melambai-lambai bagaikan sayap burung putih melayang di udara.

"Bagaimana kau bisa sampai kemari?" Simon membenamkan wajah di bahu Zhehan, tak kuasa mencegah aliran air mata.

"Seorang tuan yang baik hati mengasihani dan mengangkatku sebagai putranya. Aku hidup dengan baik. Saat aku memiliki kesempatan datang ke apartemenmu, kudengar kau sudah pulang ke kampung halaman. Tapi pemilik apartemen tidak memberiku alamat rumahmu."

"Lalu aku teringat photo yang tergantung di kamarmu dulu. Kampung halamanmu banyak bangau putih yang bermain di sungai, dengan petunjuk itu aku mencarimu kemana-mana, mengunjungi setiap sudut kota Wu Xi."

Zhehan bicara terbata-bata. Dia menarik diri dari pelukan Simon, meraih ujung syalnya dan membersitkan hidung dengan keras.

Sroott! Sroott!

Eehhh??! Syalku??!!

Simon menangis semakin kencang.

~¤~¤~¤~

Mereka duduk berdampingan di atas bebatuan di tepi sungai. Lengan saling melingkar di bahu, memberikan kehangatan pada tubuh satu sama lain di saat angin pagi yang masih dingin menyapu tubuh dan wajah mereka.

"Hari itu, aku pergi keluar untuk membeli beberapa barang di minimarket. Kupikir tak akan ada yang terjadi sampai seseorang yang menakutkan tiba-tiba muncul di hadapanku. Ayahku. Dia menatapku kejam seperti biasanya dan bersiap untuk mendebat dan menyalahkan aku atas segala keburukan yang menimpa. Lalu aku mulai berlarian diantara orang-orang. Ketika aku melintasi trotoar, lantas menyebrang jalan, sebuah mobil melaju kencang menyambar ke arah kami. Saat itu aku tahu waktuku sudah tiba. Kepalaku terus berputar-putar, pandanganku mengabur kala aku tergeletak di tepi jalan. Rasa sakit menghujam ke seluruh tubuhku, sementara sirene terdengar samar-samar, bergegas menolongku. Aku tak pernah terpikir akan sejauh ini. Saat aku kembali membuka mataku yang letih, bukan wajahmu yang kulihat. Hatiku dipenuhi ketakutan."

Dalam emosi lebih rumit dari Zhehan sendiri, Simon berjuang menangkap penjelasan pemuda itu. Tetapi semuanya terasa begitu mendadak dan kadangkala Simon merasa tidak akan pernah memaafkan Zhehan, kadangkala ia merasa sangat marah padanya. Tetapi jauh dalam hatinya, dia tidak pernah menyalahkan Zhehan, Simon hanya terlalu sedih kenapa Zhehan datang dan pergi sesuka hati.

Dalam linangan air mata, dengan genggaman yang semakin kuat, Zhehan berkata, "Percayalah. Aku benar-benar berharap aku mati dalam kecelakaan itu. Aku berharap tidak menyulitkanmu lagi. Tapi nyatanya, aku menyakitimu dengan pergi. Maafkan aku..."

Permohonan itu begitu penuh ketulusan yang menyentuh hati. Simon menarik pemuda cantik itu dalam pelukannya. Dia tahu dia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, dan Zhehan juga tidak bisa.

Jadi, pada akhirnya mereka harus melepaskan hal-hal yang membuat sedih atau marah, dan memulai menjalani hidup setiap harinya dengan perasaan syukur dan bahagia.

Keduanya bagaikan terlepas dari mimpi buruk yang paling menakutkan, yang terus menemani siang dan malam. Ketika akhirnya mereka terjaga, mereka bukanlah orang yang sama sebelum perpisahan itu terjadi. Kini keduanya tahu bahwa hidup itu lebih berharga dan bukan hanya lelucon atau permainan.

Sungai dan padang rumput terbentang indah membingkai reuni sepasang kekasih yang romantis. Semua terjadi begitu cepat. Keduanya saling mendaratkan ciuman manis tanpa sempat menolak.

Tenggelam dalam suasana menghanyutkan, ciuman itu berlangsung lama hingga aliran udara dalam nafas mereka mulai tersendat-sendat.

Keduanya melepaskan diri, saling berpandangan dan kembali berciuman. Burung-burung putih terbang melayang berlintasan di atas kepala mereka, menyentuh pucuk tertinggi pepohonan.

Pekikan merdu melengkapi pagi yang penuh haru.

Baik Simon mau pun Zhehan sama sama tahu betapa cepat sebuah momen bisa berakhir. Yang perlu dilakukan hanyalah menyimpan kenangan yang hangat di dalam hati.

"Jangan pergi lagi, Zhehan. Tetaplah bersamaku..."

Zhehan tersenyum manis, berbisik dengan satu kalimat familiar, yang pernah diucapkan pada hari pertama mereka berjumpa.

"Aku mohon kau mengizinkanku menginap beberapa hari lagi di sini."

Mendengar itu Simon tertawa di sela air mata.

"Dengan senang hati."

Bagaimana dengan chapter kali ini Junzhe Lovers?
Bahagia rasanya nulis momen mereka ketemu lagi.

Hope their love story will always be eternally.

See you next chapter 😉

Please vote💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro