Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 : Help Me

Aku mendengar teriakan kemarahan yang keras ketika aku merayap ke bawah tempat tidur. Aku menutup telinga, tak ingin mendengar kemarahan dan kebencian yang semakin keras.

Langkah kaki ayah yang besar berhenti tepat di depan wajahku, dan tangannya yang kuat menarikku kasar.
Aku gemetar ketakutan dalam gelap saat ayah mendorong aku sekuat tenaga hingga membentur lantai.

Ayah mulai berteriak lagi, memaki-maki, dan aku telah lama belajar untuk tidak membalas.
Hanya mendengarkan, terintimidasi, dan ketakutan.

Aku teringat pesan ibu sehari sebelum dia meninggal.

"Tersenyumlah Zhehan, apapun yang terjadi. Tersenyumlah. Kau sangat manis dan tampan saat tersenyum, sehingga tak ada seorang pun yang akan tega menyakitimu."

Tamparan yang tiba-tiba di pipiku menghentikan lamunan sepi dalam hati.
Ayah mengambil sabuk di pinggangnya, melayangkan pukulan di punggungku.
Kakiku yang kecil, kepala, leher.

Aku menangis, terluka, dan trauma.
Dalam penderitaan aku meraung.

Berhentilah memukuliku!

Tolong aku!

Bawa aku pergi dari mimpi buruk ini...

~¤~¤~¤~

Zhehan berhenti bercerita, untuk sesaat ekspresinya gelap. Sampai ketika pandangan shock yang dipancarkan Simon memudar perlahan menjadi tatapan simpati yang tulus, barulah seulas senyum sangat tipis melintas di wajah Zhehan, memberi isyarat bahwa semua hal buruk sudah berlalu.

Tak perlu terlalu bersimpati atau merasa kasihan.

Tapi Simon tidak bisa menahan emosinya. Dia bergumam tercekat.

"Jadi kau mengalami penyiksaan dari ayahmu selama bertahun-tahun?"

Zhehan mengangguk, sebenarnya dia tidak nyaman membahas masalah ini. Dia tidak yakin akan bisa tidur nyenyak setelah mengungkit kisah kelam yang sekuat tenaga ia abaikan. Tetapi Simon sudah memberinya tempat tinggal dan perlindungan. Paling tidak dia berhak mengetahui alasan atas setiap sen yang dia keluarkan.

"Lalu kenapa kau diam saja?" protes Simon, jiwa pemberontak yang tertanam dalam dirinya tidak mampu memahami pola pikir Zhehan yang naif.

"Saat aku berusia sepuluh tahun, beberapa bulan setelah ibu meninggal, aku sempat berpikir akan kabur dari rumah selamanya. Tetapi dia selalu bisa menemukan aku. Mungkin karena aku belum memiliki cukup keberanian untuk menghadapi dunia luar sendirian."

"Apakah dia tidak pernah sekali pun bersikap baik padamu?"

"Terkadang dia bersikap normal sampai-sampai aku percaya bahwa dia telah berubah menjadi manusia. Tetapi dia akan kembali menjadi binatang buas ketika sudah menyentuh alkohol."

Simon meninju meja.

"Jadi selain penjahat, pengecut, ayahmu juga seorang pemabuk? Jika aku jadi kau, sudah kuhabisi dia sejak dulu."

Amarah menyergapnya, membuat sepasang mata Simon tersaput kabut merah tipis.

Pikiran Zhehan nampak melayang, tidak berada pada tempatnya, semua terlihat buram dan jauh.

"Jika aku sudah terlalu parah dan nyaris mengira aku akan mati, ayah membawaku ke dokter. Dia memasang senyuman, topeng kebaikan untuk menutupi wajah binatangnya. Saat aku siuman dan kembali pulih, dokter akan meninggalkanku. Beberapa kali aku mencoba untuk memanggilnya, memintanya kembali dengan putus asa. Aku memohon pada perawat dengan muka memelas tetapi aku terlalu takut untuk menceritakan apa yang terjadi. Ayah selalu mencengkeramku erat dan membawaku pergi kembali ke tempat aku disakiti."

Simon mengendalikan emosinya sesaat, dia mengerti bahwa beban akibat penganiayaan terlalu berat untuk ditanggung Zhehan. Terlebih lagi jika orang itu adalah ayahnya sendiri, mungkin rasa malu dan juga bingung terlalu besar sehingga membuatnya tidak bisa membicarakan hal itu atau melaporkan ke polisi.

"Bahkan tetanggamu tak ada yang tahu? Apa kau tidak punya seseorang yang dekat?" selidik Simon.

Zhehan termangu beberapa lama.

"Saat aku melarikan diri malam itu, seseorang menghentikan aku. Dia, bisa dikatakan tokoh yang dituakan di lingkunganku. Meskipun awalnya aku tidak percaya. Aku mengajukan keluhan tentang apa yang kualami, akhirnya dia membantu menutupi pelarianku dari ayah."

"Beruntung sekali masih ada yang membantumu," Simon mengepalkan tangan.

"Akhirnya kau memiliki keberanian itu."

Terpikir oleh Simon bahwa Zhehan tentu merasa sangat sendirian, dan tiba-tiba saja ia mengerti mengapa Zhehan sering bermimpi buruk pada malam hari.

Sementara dirinya mengeluh karena terganggu, tidak pernah menjadi dewasa. Tak mampu membedakan senyuman seseorang, apakah dia benar-benar gembira atau hanya pura-pura.

Simon meremas jemari pemuda yang tengah terdiam itu. Berusaha mengalirkan semangat dan juga ketenangan.

"Aku sangat prihatin mendengar kisahmu. Menanggung penderitaan sendiri, bulan demi bulan penuh kesedihan dan ketakutan. Aku merasa malu bahwa aku terlalu lemah bahkan hanya untuk menanggung beban satu peristiwa buruk," Simon berkata dengan nada pahit.

Zhehan menatapnya dengan senyuman. Menggeleng perlahan.

"Jangan kasihani aku. Kau tahu bahwa akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian dan kabur dari rumah. Bertemu denganmu telah mengubah hidupku, mungkin untuk selamanya. Kau akan tahu bagaimana kelegaan yang kurasakan jika kita membiarkan orang lain menolong dan mengobati kepedihan yang kita rasakan."

Simon membalas tatapannya dengan lebih lembut.

Pemuda ini tinggal bersamanya selama hampir satu bulan. Mereka berinteraksi setiap hari, tidur dalam satu kamar.
Dia menyimpan kepedihan dan beban kenangan buruk siang dan malam.

Bagaimana bisa aku tidak pernah tahu?

Simon mulai menyalahkan diri sendiri.

"Maafkan aku. Selama ini aku selalu berkata kasar dan seenaknya padamu," Simon mengatakan itu dengan tulus.

Zhehan kembali tersenyum dengan wajahnya yang berbinar cerah.

"Saat ini aku lebih tenang daripada yang kurasakan selama minggu-minggu terakhir. Aku tahu seorang malaikat telah datang. Aku akan baik-baik saja sekarang -- begitu pula kau."

Simon mengangguk mantap. Dia berpikir, mereka berdua telah cukup menghadapi semua kesulitan yang berkaitan dengan trauma masa lalu.

Sekarang saatnya untuk melangkah ke depan. Tidak perlu terus menoleh ke masa lalu.

Kembali ke tempat dimana mereka pernah terluka.

~¤~¤~¤~

Surat kabar itu tergeletak di meja tv. Simon melihatnya saat dia pulang kerja pada sore hari dan terheran-heran.

Dia tidak pernah berlangganan surat kabar apapun. Jika dia ingin mencari berita, ia akan mencari buletin online atau sesekali membeli tabloid tertentu. Sejujurnya dia malas membaca, apalagi tabloid gosip.

Tak ada siapapun lagi di sini selain Zhehan jadi sudah bisa dipastikan kalau dia yang membelinya. Mungkin saja pemuda itu keluar untuk membeli makan siang. Simon ingat dia menaruh sejumlah uang di atas meja sebelum berangkat tadi pagi.

Pertanyaannya adalah untuk apa Zhehan membeli surat kabar?

Pemborosan, gerutu Simon.

Tetapi tentu saja dia tidak benar-benar kesal. Setelah menganggap Zhehan sebagai kekasihnya, dia tidak lagi mempermasalahkan soal uang.

Simon tidak menyentuh surat kabar itu dan juga tidak bertanya. Dia mengabaikannya, langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Membutuhkan waktu cukup lama bagi keduanya untuk saling duduk berhadapan di ruang makan. Mereka mencoba memasak makan malam sendiri dan berakhir dengan kerusuhan.

Menaruh dua sandwich yang nyaris berantakan, Zhehan memutuskan untuk tidak membiarkan Simon masuk ke dapur dan melempar bahan-bahan yang hanya sedikit itu ke tempat sampah akibat kegagalan proses memasak.

"Lain kali tidak usah memasak, kita pesan saja," Zhehan menarik kursi, duduk menghadapi meja makan.

"Memesan?" Simon menahan suaranya agar tidak meninggi.

"Umm... Apa tidak boleh?" Zhehan bertanya dengan raut wajah terganggu.

"Bukan begitu. Tapi kau sudah membeli surat kabar hari ini, jadi kita harus lebih berhemat."

"Kau ini hemat atau pelit?" gumam Zhehan.

"Apa kebutuhan membaca gosip benar-benar sudah memenuhi kepalamu?" usik Simon, mulai memotong sandwich. Saus mustard meleleh dari sisi-sisinya.

"Gosip?" Zhehan berusaha menampilkan kesan bahwa itu bukan maksudnya.

"Aku tidak sengaja membuka-buka tabloid saat jalan-jalan ke toko buku dekat kedai pangsit. Lalu aku melihat tabloid itu. Di sana tercantum pengumuman lomba fotografi tingkat nasional. Youth Travel Photographer of the Year. Kau bisa mengikutsertakan foto lanskap dan satwa liar."

"......."

Ekspresi Simon menegang, dia memalingkan muka.

"Apa katamu? Kau ingin aku ikut lomba?"

Pikiran itu menerobos masuk ke dalam pikirannya tanpa terduga, Zhehan merasa bahwa cita-cita Simon masih tersangkut di suatu tempat dan tidak pernah terlaksanakan.

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya ragu-ragu.

"Tidak perlu!" Simon menukas cepat.

"Lagipula aku tidak memiliki karya yang bagus. Aku sudah lama meninggalkan hobbyku. Kau sudah tahu  tentang itu. Apa kau amnesia?"

Ada jeda yang canggung.

Mata Zhehan melebar, raut wajahnya menyiratkan ketidaksetujuan yang menusuk. Meski sudah lama berlalu, topik ini ternyata masih saja membuat Simon kesal.

Zhehan tidak memiliki dilema semacam itu, jadi dia tidak membuang waktu untuk menempatkan dirinya pada posisi Simon dengan segala kenangan buruk dan trauma konyolnya.

Dia membelai punggung tangan Simon dengan sabar.

"Aku tidak akan mengungkit hal ini lagi jika kau tidak senang."

Simon memvoutkan bibir, kemudian lanjut makan.

"Harusnya kau tidak seceroboh itu. Jalan-jalan keluar membeli makanan dan surat kabar sendirian. Bagaimana jika ada orang jahat yang menculikmu?" Simon memprotes.

"Kau terlalu berlebihan. Untuk apa orang menculik aku? Pada siapa mereka akan meminta tebusan?" sahut Zhehan enteng.

Simon nyaris tersedak. Tiba-tiba dia tersenyum lebar.

"Benar juga katamu."

Zhehan mendengus. Dia mengambil segelas air putih dan meminumnya.

Saat itu Simon tiba-tiba teringat sesuatu yang disampaikan atasannya siang tadi di kantor. Dia menatap Zhehan beberapa lama, kemudian berkata dengan enggan.

"Oh ya, Zhehan.. Boss menugaskanku untuk mendampinginya keluar kota."

Zhehan menembakkan pandangan penuh penentangan, kentara jelas ia tidak ingin Simon pergi. Tetapi tentu saja dia tidak memiliki hak melarangnya.

"Kemana? Untuk urusan apa?"

"Tianjin. Tentu saja urusan pekerjaan. Kau jangan berpikir aku akan berselingkuh.." Simon menjawab cepat.

Zhehan tersenyum sedikit malu.

"Pastikan kamu segera kembali. Aku tidak bisa tidur tanpamu di sisiku."

Simon tercengang sesaat, memikirkan kembali bagaimana Zhehan menggodanya tanpa ampun, ketika pertama kali mereka bercinta. Adegan lembut itu terlalu...

Ehm!

Senyuman terkembang di wajah tampan Simon. Menyaksikan pemandangan menakjubkan itu, Zhehan terpaku menatapnya.

"Aku hanya pergi selama dua hari. Kunci pintu dan jaga diri baik-baik. Boss menjanjikan bonus untuk bisnis trip kali ini, setelah aku pulang nanti, aku akan mentraktirmu makan di Cafe De Paris. Kau ingat itu?" ujar Simon.

Ekspresi manis dan lembut menghampiri wajah Zhehan ketika dia teringat sore yang romantis berjalan di bawah gerimis. Saat mereka baru bertemu dan Simon mengajaknya makan di luar. Dia sangat terpesona dengan cafe itu, tetapi Simon yang pemarah bersikeras makan di kedai bakmi pangsit.

Momen itu terasa manis sekarang, mengundang tawa geli keduanya.

"Aku akan menunggu janji traktiranmu," Zhehan menyahut bersemangat.

"Berjanjilah akan tetap di sini selama aku pergi.." Simon berkata lirih.

Zhehan menumpangkan telapaknya di atas tangan Simon, selembar air mata tipis menggenang samar di matanya yang sebening kaca.

"Aku berjanji."

To be continued

Kisah cinta mereka baru saja dimulai.

Bagaimana pendapat reader semua?

Junzhe Family

Please vote 💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro