12 : Everything About You is Always Pretty
Namun, rencana tinggal rencana. Saat Simon melihat Zhehan siuman, alih-alih bertanya tentang masalah pribadi, dia justru sibuk memaksa pemuda itu untuk makan.
Zhehan hanya menatap Simon lemah, tatapannya berkabut.
"Aku membelikanmu banyak makanan. Katakan apa yang mau kau makan lebih dulu?" Simon duduk di sampingnya dan membantu Zhehan bangun.
"Aku tidak mau makan," dia menyahut pelan. Menyandarkan punggung pada kepala tempat tidur dengan dua bantal besar sebagai alasnya.
"Jangan manja. Kau harus minum obat. Dokter bilang kau kena demam otak ringan."
"Kau memanggil dokter?" Zhehan menyela, ingin mengekspresikan rasa terkejut tetapi suaranya terlalu lemah.
Simon melirik malas.
"Iya. Merepotkan, bukan? Ayolah, kau harus makan dan minum obat. Aku tidak punya waktu merawat orang sakit."
Zhehan memvoutkan bibirnya.
"Suapi aku."
Hahh??
"Apa? Tidak? Enak saja," Simon menukas dengan wajah memerah.
"Aku terlalu lemas untuk makan sendiri," Zhehan memprotes.
Simon menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang sesaat. Mungkin dia harus melakukan sedikit pekerjaan ekstra untuk menghindari masalah selanjutnya.
"Baiklah. Tunggu sebentar. Kau mau makan apa? Aku membeli sup krim ayam jamur, sup wonton, nasi ayam kungpao, dan dimsum."
Suara Simon terus bergaung ketika ia beranjak keluar kamar, dan masih saja berteriak dari ruang makan.
"Katakan kau mau apa?"
"Apa saja," jawab Zhehan, tersenyum samar.
Simon komat-kamit selama proses menyuapi Zhehan. Seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan hal menggelikan begini. Bahkan ia tak pernah menyuapi anak kecil. Sekarang, dia harus jadi perawat dadakan, menyiapkan makanan, menyuapi pasien yang terlihat sakit tetapi makan dengan lahap sambil terus menerus memandangi dirinya.
Simon merasa jengah sampai dia tidak tahan.
"Jangan melihatku seperti itu," dia memprotes.
"Nafsu makanku semakin baik jika melihatmu," Zhehan menyahut dengan ucapan di luar dugaan.
Simon semakin mengutuk dalam hati yang mulai berdebar tak karuan.
"Sembarangan. Memangnya aku sejenis makanan juga begitu?" dia mengalihkan fokus pada mangkok berisi makanan di tangannya.
Zhehan tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab omelan Simon. Dia justru berkata hal lain.
"Terima kasih. Kau sangat baik padaku," ia menggumam.
"Sudahlah! Ini yang pertama dan terakhir. Jangan sakit lagi," Simon menukas datar, menutupi rasa panik.
"Kenapa? Kau khawatir padaku?"
"Aku tidak punya waktu dan uang yang cukup untuk sering sering merawat orang sakit," Simon menimpali.
Zhehan mengangkat sudut bibirnya, menatap skeptis pada Simon.
"Kau selalu saja memungkiri kalau kau peduli padaku," komentar Zhehan, memijat-mijat pelipisnya perlahan.
"Jangan menanggapi berlebihan, aku hanya tidak mau kau ditemukan mati terkapar di kamarku. Urusan bisa panjang."
"Benarkah? Tapi mengapa wajahmu selalu memerah jika aku menggodamu?" usik Zhehan belum puas.
Simon mendengus, makin salah tingkah.
"Terserahlah! Cepat selesaikan makannya," Simon menggerutu.
Zhehan tersenyum dengan wajah sedikit menunduk. Dia sengaja berlama-lama membuka mulutnya, hingga membuat Simon semakin pegal dan tidak sabaran.
Setelah acara makan selesai, Simon memberinya segelas air putih dan dua macam pil.
"Minum obat ini. Istirahat yang benar, besok kau harus sehat karena aku akan pergi ... "
Simon memutus ucapannya, sontak dia teringat acara piknik yang diusulkan Miles. Sebenarnya dia ragu untuk ikut dalam acara itu, kondisi Zhehan membuat hatinya berat untuk pergi.
"Kau mau pergi ke mana?" tanya Zhehan, dia selesai minum obat dan mulai membaringkan tubuhnya lagi, mencoba rileks.
"Ehm, ada acara piknik ke pantai. Salah seorang teman mengajakku. Untuk mengisi akhir pekan, mengusir kebosanan akibat rutinitas kerja. yah, kau pasti tahu, semacam itulah.."
Simon menjawab, tangannya sibuk menyimpan gelas dan obat di meja nakas.
"Kalau begitu pergi saja. Piknik bagus untuk kesehatan. Kau tidak perlu terus menerus berada di sini menjagaku sepanjang akhir pekan," Zhehan berkata lirih, berharap kehampaan dalam suaranya bisa mewakili keberatan atas rencana piknik itu.
Simon melirik singkat, keinginan untuk mengajak Zhehan piknik akhirnya buyar seketika.
Kesal karena tidak berani mengungkapkan, Simon hanya bergumam, "Tentu saja aku akan ikut. Kapan lagi bisa bersenang-senang dengan teman-temanku. Kau tidur saja, aku tidak akan mengganggumu lagi. Kuharap besok kau sudah baikan."
Simon beranjak dari samping tempat tidur, dengan langkah lebar dan menghentak, ia menuju pintu dan menghilang keluar kamar, meninggalkan Zhehan yang terpana dengan wajah muram.
Sendirian di ruangan tengah, Simon mengambil ponselnya. Dia duduk santai di sofa, bermain media sosial sebentar sebelum akhirnya menelepon Miles.
"Halo Miles, aku batal ikut ke acara piknik besok," dia berkata di telepon.
(Kenapa?)
"Aku mendadak ada urusan penting. Kau bisa mengajak kawan-kawan lain."
(Baiklah. Lain kali jika aku membuat acara lagi, kau harus ikut ya)
"Oke!"
Simon mengernyit, menutup telepon dan mencengkeram benda itu di telapaknya.
Aku benar-benar melakukan ini. Batal bersenang-senang demi merawat Zhehan.
Apa aku ini baik? Atau bodoh?
Ha! Siapa pula yang peduli!?
Dia menaruh ponsel, meraih remote dan menyalakan televisi. Matanya tertuju pada layar tetapi pikirannya melayang-layang.
Dia melirik sekilas ke pintu kamar yang sedikit terbuka, tanpa menyadari bahwa Zhehan mendengar pembicaraannya.
~¤~¤~¤~
Simon tertidur di sofa di depan televisi yang masih menyala. Matanya tiba-tiba terbuka. Dia merasa tengah bermimpi buruk, sebuah ingatan yang pernah ada dalam dasar kenangannya. Mungkin dia hanya terlalu lelah sehingga menyebabkan tidurnya menjadi gelisah.
Rasanya baru beberapa jam ia terlelap. Dia melirik jam dinding. Waktu bahkan belum sampai tengah malam.
Simon beringsut bangun, menangkupkan kepala pada kedua telapak tangan dengan posisi duduk yang lunglai. Dia merasa sedikit pening karena terbangun mendadak.
Lima menit berlalu dalam kekosongan, pemuda itu bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu kamar. Dia mengintip Zhehan yang sedang terbaring menggigil dan terengah-engah. Seakan-akan mencoba melepaskan diri dari mimpi buruk.
Simon tidak bisa menahan kakinya untuk melangkah masuk. Dia memeriksa keadaan pemuda itu, demamnya masih belum turun.
Dokter Emily itu, apa dia salah menulis resep obat? Kenapa Zhehan sama sekali belum membaik?
Simon mengernyitkan kening, dia mengambil sehelai sapu tangan dari laci lemari, mengusap butir-butir keringat yang terbentuk di kening dan leher Zhehan.
Simon menaikkan selimut hingga ke leher Zhehan, dan karena ia tidak ingin terus menerus memandangi pemuda cantik itu dalam kondisi mengenaskan, ia berniat pergi ke dapur dan membuat secangkir kopi panas.
Simon yakin dia tidak akan bisa tidur lagi malam ini.
Dia beranjak pergi, tepat sebelum langkah pertama, tangan Zhehan menahannya.
Darah Simon berdesir cepat, membuatnya merinding.
"Zhehan?" dia bertanya, mendekatkan wajahnya ke mulut Zhehan, mendeteksi deru nafas dan matanya yang terpejam. Apakah dia bangun atau hanya mengigau.
Zhehan tidak bersuara, hanya deru nafasnya yang agak kacau dan memburu. Telapak tangannya dingin dan berkeringat. Tetapi kening dan lehernya membara.
Simon balas menggenggam tangan itu.
"Kau bangun? Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Zhehan tidak menyahut.
Ah, dia tidur. Efek obat pereda nyeri biasanya menggiring seseorang pada rasa kantuk yang tidak alami.
Simon kembali berniat pergi, tetapi genggaman tangan Zhehan makin erat mencengkeram.
"Tolong..." Dia mendesah diantara nafas tidak teratur.
"Jangan pergi ..."
Simon memandang bingung.
Tangannya mulai gemetar di dalam cengkeraman tangan Zhehan.
Dia menarik nafas dalam-dalam, mengurungkan niatnya untuk pergi dan pelan-pelan membaringkan tubuhnya di samping Zhehan.
Simon menatap wajah pemuda itu untuk beberapa saat, kemudian mulai memejamkan mata.
Berharap bisa tidur kembali, secepatnya.
Keduanya berpegangan tangan sepanjang malam, saling berbagi mimpi buruk dan mimpi indah.
~¤~¤~¤~
Ketika pagi datang, langit berwarna kuning cerah kemerahan, cahayanya menembus tirai jendela. Simon terjaga lebih dahulu, ia terburu-buru turun dari tempat tidur sebelum Zhehan terbangun.
Dia tak ingin mengawali pagi dengan posisi mesra begini yang disusul saling berpandangan dengan tatapan aneh dan salah tingkah.
Sepintas terdengar menyenangkan, tapi di sisi lain, konyol dan memalukan.
Simon mandi dengan cepat. Setelah itu ia melesat ke dapur, membuat dua cangkir teh dan roti panggang.
Ponselnya berbunyi beberapa kali menandakan pesan masuk. Dia sesekali memeriksanya, ternyata Miles dan Wen Yuan mengirimkan foto mereka yang tengah bersiap menuju pantai.
"Sialan, dua bocah ini sengaja menggodaku," gumam Simon sebal.
Dia mengirimkan pesan pada Miles.
(Selamat berpiknik, jangan lupa kau pakai bikinimu)
Miles membalas sengit.
(Kau gila!)
Simon terkekeh geli.
Aroma gosong dari ban toaster menyergap hidungnya. Simon terlonjak, melempar ponsel dan menyerbu ke dapur.
Dia komat-kamit saat mengangkat selembar roti gosong dari panggangan.
"Astaga! Gosong! Sial!" dia mengumpat-umpat.
Belum sempat memasukkan lembar roti yang lain, Simon mendengar suara berdebam dari arah kamar.
Suara benda jatuh.
Darahnya seakan berhenti mengalir.
"Zhehan ..." ia mendesis.
Dia nyaris berlari menuju kamar, Zhehan tak ada di manapun. Perhatiannya tertuju pada pintu kamar mandi. Mungkinkah Zhehan berada di dalam sana? Tubuhnya pasti masih lemas karena demam semalaman, dan pemuda itu masih berlagak jagoan dengan memaksa ke kamar mandi sendiri.
Simon mendorong pintu kamar mandi tanpa pikir panjang, uap dari shower memenuhi ruangan, mengaburkan pandangannya. Simon meluncur ke tempat Zhehan berada. Pemuda itu terjatuh di sisi bath tub, bahu dan kepalanya terkulai lemas.
Simon memanggilnya lirih. Keadaan pemuda itu lebih buruk dari yang ia perkirakan. Zhehan sudah selesai mandi, dan tak ada pakaian menutupi tubuhnya selain selembar handuk kecil terlilit di pinggang.
Simon merangkul bahu telanjang Zhehan, terkejut semakin dalam ketika ia melihat seluruh punggung dan dada Zhehan yang putih dipenuhi bekas-bekas luka dan bilur-bilur yang menyisakan bercak kebiruan.
Simon terbelalak. Sesaat dia tidak mampu bergerak. Nafasnya sesak seirama dengan nafas Zhehan yang perlahan dan tidak tetap.
Simon merasa sesuatu menghantam perutnya hingga ia merasa mual.
Siapa yang melakukan ini pada Zhehan?
Bekas luka ini, jejak penganiayaan.
Tanpa sadar matanya berlinang saat Simon berjuang mengangkat tubuh Zhehan. Kemarahan, kesedihan, dan rasa canggung bergolak dalam dirinya.
Tetapi dalam pikiran kalut pun ia sempat mengeluh, selangkah lagi menuju tempat tidur.
"Sialan, tubuh Zhehan ini berat juga."
Simon membaringkan Zhehan perlahan dan sangat hati-hati. Rambutnya masih basah dan sebagian badannya juga perlu dikeringkan. Simon mengambil handuk lain dan mulai menyeka bagian-bagian tubuh Zhehan, berjuang keras menghindari bagian sensitif yang tak ingin diketahuinya.
Untungnya, Zhehan sudah mengenakan handuk.
Bagaimana kalau belum?
Simon menutup wajah dengan telapak tangan, mengintip dari sela jemarinya saat satu tangan lain bergerak menyeka tubuh lembut Zhehan yang penuh bekas luka dan lebam biru kehitaman.
"Maafkan aku Zhehan," gumam Simon, merasa malu karena terkesan mengintip Zhehan yang tengah tidak sadarkan diri.
Demamnya masih tersisa, meski tidak separah kemarin. Simon memperhatikan dada Zhehan yang naik turun seiring nafasnya mulai melambat.
Simon tidak yakin harus berbuat apa. Jadi dia memutuskan akan menelpon dokter Emily sekali lagi.
Saat dia beranjak turun dari tepi tempat tidur, tangan Zhehan menggenggamnya.
Dia nampak kesakitan berbaur dengan ekspresi sedih. Bibirnya bergerak-gerak, berusaha mengatakan sesuatu. Simon balas menggenggam tangan Zhehan, berusaha menenangkan dan mengurangi rasa sakitnya.
Tiba-tiba Zhehan membuka mata, pandangan mereka bertemu. Seketika Simon merasakan semua emosi yang pernah ada sebelumnya.
"Jangan pergi ..," gumam Zhehan.
Ini kali kedua ia mengatakan permohonan yang sama.
Kata-katanya tidak menyerap dalam benak Simon. Dengan gugup, Simon berusaha membebaskan diri dari genggaman Zhehan.
"Aku akan memanggil dokter," Simon berkilah.
Zhehan menggeleng. "Tidak perlu."
Matanya sayu, namun tetap indah. Mengunci Simon dalam kebisuan. Lengan ramping Zhehan terulur dan mencoba memeluk Simon, menariknya sangat dekat.
Gerakan itu cepat dan singkat tetapi efeknya menakutkan. Simon merasa tersengat listrik. Dia tidak bisa bergerak sama sekali. Wajahnya mulai memanas dan ia merasa kegelisahan memenuhi dirinya.
Tubuh mereka rapat bersentuhan, ia bahkan bisa merasakan denyut jantung Zhehan di bawahnya.
"Simon, peluk aku."
Astaga, apa-apaan???
Simon tiba-tiba merasa takut.
Dia takut tidak bisa mengendalikan diri.
"Jangan begini, tolong ..." Simon mendesah putus asa.
Dia ingin bangkit menjauhi tubuh Zhehan tetapi kedua lengannya terasa kaku, dan terpancang di permukaan kasur, tepat di kedua sisi bahu Zhehan.
Zhehan menatapnya, ada kesedihan berkelebat di sana. Mata bening yang selalu cemerlang itu kini sayu.
Tetapi, raut wajah yang begini di mata Simon malah jauh lebih berbahaya.
"Kenapa?" Zhehan tersenyum hambar.
"Apa karena tubuhku tercoreng bekas luka, tidak menarik di matamu."
Simon menghela nafas, merasa kepiluan perlahan merayapi hatinya.
"Tidak," dia menggeleng, sorot matanya bersungguh-sungguh.
"Semua tentangmu selalu indah ..."
Zhehan tersenyum lagi, kali ini lebih bahagia. Dia memeluk erat tubuh Simon yang gemetar seketika.
Duhh, bagaimana kalau sudah begini???
***To be continued***
Vote and comment
💖💖💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro