10 : Dreamcatcher
Suara alarm menyeret Simon dari alam mimpi. Pemuda itu terperanjat, menggeram pelan. Tangannya menggapai-gapai ke meja nakas di samping tempat tidur di mana dia menyimpan jam weker. Dia mematikan alarm, menaruh kembali jam itu dengan hentakan keras.
"Jadi begini caramu membangunkan orang?!" ia menggeram frustasi.
Entah kenapa pagi ini ia sangat malas, tetapi dia harus memaksakan diri bangun dan pergi bekerja. Baginya, saat-saat seperti ini benar-benar mimpi buruk.
Simon melirik ke samping. Di sana kosong. Zhehan tampaknya sudah bangun lebih dulu karena pemuda itu tidak terlihat berada di dalam kamar.
Mungkin dia tengah menyiapkan sarapan untukku, sungguh berbakti, pikirnya licik.
Terhuyung-huyung, Simon berjalan menuju kamar mandi. Tatapannya masih sedikit kabur, dia mendorong pintu sekuat tenaga, dan pintu itu tidak terkunci.
Simon melangkah masuk.
"Ahhh!!"
Seseorang berseru.
Hehh!!
Simon terlonjak kaget. Dia menatap nyalang.
"Kenapa kau tidak mengunci pintunya?!" sembur Simon jengkel.
Zhehan, untungnya sudah selesai berpakaian, dia berdiri depan wastafel, mengawasi wajah pucatya dalam cermin, dan melirik Simon singkat.
"Kupikir kau masih tidur, kau mendengkur seperti singa jantan."
"Ehh! Sembarangan ..." Simon menggosok matanya.
"Tapi, aku memang jantan sih," lanjut Simon, ekspresinya kacau.
Zhehan memaksakan sebuah tawa kecil menggumam.
"Kalau kau sudah selesai, cepat keluar. Jangan bersolek disini," ujar Simon. Kali ini matanya lebih jelas.
Zhehan menoleh dengan merengut.
"Sepagi ini sudah marah-marah. Kau bisa sakit jiwa." Dia berjalan melewati Simon, keluar dari kamar mandi.
Setelah Zhehan keluar dari kamar mandi. Simon mulai mengawali ritual mandinya. Dia tidak berendam di pagi hari karena takut terlambat kerja. Dia memilih menyiram dirinya dengan shower. Pikirannya melayang-layang saat ribuan air berbentuk jarum menghujani kepala dan tubuhnya.
Tadi, saat ia melangkah masuk ke kamar mandi, dia melihat Zhehan tengah mengenakan t-shirt. Tubuh pemuda itu kurus. Kulitnya putih dan nampak halus seperti giok. Tetapi, ketergesaan Zhehan membuatnya menangkap sesuatu yang tidak wajar.
Dalam sekilas pandang, meski ia masih mengantuk, dilihatnya beberapa garis kebiruan di atas pinggang Zhehan yang bisa ditangkap sebelum t-shirt itu jatuh menutupinya. Seperti sebuah bekas luka dengan memar di sekelilingnya.
Apakah aku tidak salah lihat? Apa itu semacam tanda lahir, atau memang bekas luka?
Jika benar, kenapa dia bisa memiliki luka itu di tubuhnya?
Zhehan, apa yang kau sembunyikan?
Pancaran air dari shower membawa Simon pada rasa nyaman dan pencerahan. Dia mulai mengumpulkan semangatnya pagi ini dan memulai hari. Untuk pertama kalinya sepanjang dia menajalani rutinitas yang membosankan. Dia merasa hari-harinya ke depan tidak akan lagi datar dan sederhana. Entah apa yang akan dia temukan nanti. Mungkin masalah, atau hal yang indah. Romansa?
Astaga, apa yang kupikirkan?
Simon menyapu rambutnya ke bagian belakang kepala. Membiarkan tetesan air memercik di ujung hidungnya yang lancip.
~¤~¤~¤~
"Zhehan, aku menaruh seratus yuan di meja televisi. Jangan sampai kau kelaparan," Simon melongokkan kepala dari luar pintu sebelum dia berangkat kerja.
Zhehan tersenyum dan mengangguk.
"Hati-hati ya."
Simon menelan ludah, kalimat itu membuat wajahnya merona merah.
"Apaan? Tentu saja aku hati-hati, memangnya aku anak kecil!" dia membalas dengan nada setengah mengomel. Dalam hati dia merasa berbunga-bunga, dan sebelum Zhehan mengamati perubahan wajahnya, Simon melesat pergi.
Sisa sore itu berlalu dengan bayangan Zhehan memenuhi kepala Simon. Dia meninggalkan kantor dengan sangat bersemangat dan memutuskan berjalan kaki ke arah tidak biasanya. Dia menuju pusat perbelanjaan sekitar lima ratus meter dari kantor. Pusat belanja itu bukan bangunan mall melainkan jalan lebar sepanjang satu kilometer yang sepanjang sisinya berderet-deret berbagai macam toko, restoran, coffeshop dan factory outlet. Orang-orang berlalu-lalang dan memilih-milih toko atau kafe mana yang akan mereka kunjungi.
Dreamcatcher
Dreamcatcher
Kata itu menggema berulang-ulang dalam benaknya.
Mata Simon tertumbuk pada satu toko bernama Cool Myth, sekilas jika dilihat dari pajangan di etalasenya, toko itu menjual benda-benda unik dan khusus pernak pernik festival seperti Halloween dan yang berkaitan dengan itu.
Simon berjalan masuk ke dalam toko dan melihat-lihat. Dia bertanya-tanya pada seorang pemuda penjaga toko tentang semua barang-barang horror atau mistis.
"Apa kau menjual alat untuk mengusir mimpi buruk?" dia bertanya dengan nada rendah, entah bagaimana, dia merasa konyol karena telah tersesat ke tempat seperti ini dan bertanya tentang takhayul untuk menakut-nakuti atau menghibur anak kecil.
Untuk pria dewasa dan keren seperti dirinya, agak memalukan jika hal ini diketahui kawan-kawannya. Tetapi, dia benar-benar ingin menghibur Zhehan.
Simon ingin sekali mengomeli pemuda lugu itu atas sikapnya yang lemah dalam mengatasi mimpi buruk.
Penakut, batinnya.
Bagaimana seseorang bisa menularkan penderitaan seperti ini dan ia yang merasa diganggu dan dirugikan malah mencoba meringankan beban orang yang menyusahkannya.
Dunia sudah jungkir balik sekarang.
"Sebelah sini," jawaban si penjaga mengusik omelan sepi dalam benak Simon.
Penjaga toko itu berjalan ke sudut diikuti Simon dan mengambil sebuah benda. Benda itu berbentuk lingkaran dengan jaring-jaring di tengahnya.
"Biasanya ini digantung di jendela kamar atau kepala tempat tidur," si pelayan menjelaskan.
"Apa ini benar-benar berfungsi?"
Simon ragu-ragu. Dia mengawasi benda itu dengan pandangan aneh.
Si pelayan mengangguk. "Ini penangkap mimpi, sesuai dengan namanya benda ini dipercaya bisa menangkap mimpi baik dan menjauhkan mimpi buruk."
Simon mengawasi penjaga itu sekilas, wajahnya terlihat serius saat menjelaskan.
Dia akan mengatakan apa pun agar barangnya laku terjual, pikir Simon sebal.
"Bagaimana jika tetap mengalami mimpi buruk?" tanya Simon.
"Itu artinya Anda sedang stress," si penjaga toko mencoba bercanda, dan tidak lucu karena Simon merengut seketika.
"Tepat sekali, aku memang sedang stress," dia bergumam.
"Kau bisa mencoba alat ini. Mimpi akan masuk melalui jendela, jika kau menggantungnya di sana, mimpi akan disaring sehingga yang datang hanya mimpi baik sedangkan mimpi buruk akan terperangkap dan hilang saat terkena cahaya matahari," kata si penjaga.
Simon mengernyit, menggaruk belakang lehernya.
"Takhayul," dia bergumam pelan tetapi si penjaga itu mendengarnya.
"Anda belum punya pacar?" dia bertanya sambil terkekeh.
Simon mendelik galak. "Apa urusannya?"
"Biasanya remaja labil meyakini benda-benda seperti ini. Anda sudah dewasa dan cukup menarik, aku yakin tak ada gadis yang menolak. Apa kau mimpi buruk karena ditolak seseorang?" penjaga itu terus menggodanya.
"Sudah diam, bungkus benda ini untukku!" Simon menyela jengkel, mencegah mulut licin si pelayan agar tidak terus mengoceh.
Pelayan itu tertawa dan menuju meja pembayaran.
Begitu Simon selesai membayar, dia berkata masih sedikit kesal.
"Asal kau tahu, benda ini bukan untukku. Mimpi buruk tak akan berani mendatangi pemuda sekeren aku."
Sudut bibirnya terangkat melahirkan satu seringai yang menarik.
Pelayan itu melebarkan mata.
"Kalau begitu Anda membelinya untuk seseorang yang spesial? Aku lega mendengarnya, berarti kau sudah punya pacar," si pelayan tertawa lagi riang.
Skak matt!
Sialan, umpat Simon dalam hati.
Pipinya merona merah tanpa ia sadari. Dia mendecih dan keluar dari toko itu, gaung tawa si penjaga masih terdengar di belakangnya.
~¤~¤~¤~
Sore itu setelah Simon tiba di apartemennya, dia menyerahkan dreamcatcher pada Zhehan. Keduanya sedang duduk di depan televisi, menghadapi minuman dan cemilan.
"Ini untukmu." Simon tidak mengalihkan pandangannya pada layer televisi saat menyerahkan kantong kecil berisi dreamcatcher.
Zhehan menerimanya dengan sorot mata bingung.
"Apa ini?"
"Dreamcatcher."
Zhehan mengeluarkan benda itu, mengamatinya dengan heran.
"Penangkal mimpi buruk?"
"Katanya begitu," Simon masih tidak menoleh, tangannya meraih toples kecil berisi kacang roaster dan mulai menguyah.
"Benar-benar berfungsi?"
"Mana kutahu, sudah pasang saja!"
Zhehan memainkan benda itu di tangannya, menoleh diam-diam ke arah Simon. Menikmati fitur sempurna pemuda tampan itu dari samping.
"Ini idemu?" ia berbisik, saat dia berusaha membuatnya cukup keras untuk didengar.
"Hmm ... " Simon menyuapkan dua biji kacang lagi.
"Jangan salah paham ya," dia menggumam, agak sinis.
Zhehan tersenyum kecil." Aku tidak menyangka kau begitu perhatian."
"Aku hanya membantu diriku sendiri agar tidak terbangun lagi gara-gara kau mengalami mimpi buruk," Simon berkilah, mencoba menutupi ketulusannya. Entah demi apa.
Zhehan menghela nafas.
"Tapi tetap saja aku ucapkan terima kasih," dia berkata.
Simon mendecakkan lidah. "Sudah cukup. Aku geli mendengarnya."
Dia melirik Zhehan sekilas, pemuda itu tengah menunduk mengamati dreamcatcher. Raut wajahnya teduh dan bibirnya melengkung manis.
Simon terpaku beberapa saat, tidak mampu mengalihkan pandangan. Baru setelah Zhehan menggerakkan wajah, dia tergesa-gesa membuang pandang ke televisi, jika tertangkap basah tengah memandangi wajah Zhehan yang rupawan, dia bisa-bisa sulit tidur karena malu.
"Ehm-jika kau kembali pulang ke rumahmu, bawa saja dreamcatcher itu. Siapa tahu benar-benar berfungsi," Simon memulai bicara lagi.
Zhehan membisu sekian lama, kemudian berkata setelah helaan nafas panjang,
"Aku benar-benar tidak punya tempat lain untuk pergi," katanya pada Simon berusaha menahan emosi dalam suaranya.
Simon tidak langsung bereaksi. Itu bukanlah berita yang terlalu menggembirakan buatnya, tapi juga tidak terlalu buruk. Dia mulai untuk tidak menganggap enteng tentang minggatnya Zhehan dari rumah. Tapi dia tidak bisa langsung menginterogasi pemuda itu.
"Mengapa?" Simon menghela nafas.
Zhehan tidak menjawab.
Simon melirik sekali lagi pada pemuda di sampingnya, dalam terdiam, Zhehan nampak terlalu lemah untuk marah.
Dia bisa menebak bahwa tindakan lari dari rumah yang dilakukan Zhehan mungkin bukan satu bentuk pemberontakan. Tetapi karena alasan lain yang sulit ia ungkapkan.
"Kalau begitu tinggal saja di sini, aku tidak keberatan."
Simon berkata datar, secara efektif mengakhiri pembicaraan.
~¤~¤~¤~
Anak laki-laki itu berlari cepat ke arah gang kecil di depannya. Dia mencoba bersembunyi di samping sebuah gerobak pengangkut pasir milik seorang warga. Anak laki-laki itu menekan dada, mencoba mengatur nafas yang terengah. Kaki kecilnya kurus dan gemetar. Dia meringkuk, menutup mata dengan kedua tangan. Rasanya dia tidak sanggup lagi berlari.
Dia ingat, seharian ini dia belum makan dengan benar. Tapi makan bukan lagi hal terpenting. Sekarang yang penting dia bisa lepas dari lelaki gila yang terus menyakitinya tanpa henti.
"Siapa yang mengizinkanmu untuk kabur?"
Suara itu ibarat sambaran petir di telinganya. Anak laki-laki itu mendongak, wajahnya diliputi ketakutan yang luar biasa. Sumber suara itu, sudah bisa dipastikan, laki-laki yang sama. Bahkan dalam kegelapan, dalam mata terpejam, dalam mimpi pun, dia masih bisa mengenalinya. Anak laki-laki itu merasa jantungnya seolah berhenti.
"Kau pikir bisa pergi begitu saja? Bisa lepas dariku dengan mudah? Kau pikir hidup sendirian di luar sana akan membuatmu senang? Kau bisa mati jadi gelandangan!"
Anak laki-laki itu terdiam, kini seluruh tubuhnya bergetar hebat.
Saat tangan besar pria itu menjangkau kea rah kepala, menarik rambutnya dengan kasar, anak itu merasakan dirinya lemah dan dunia menjadi sangat gelap.
"Lepaskan!" dia merintih keakitan.
"Lepaskan aku, ayah!"
Ayah!
Zhehan terperanjat, matanya terbuka nyalang. Mendelik menatap ke satu titik tak kasat mata di dinding kosong.
Kaki dan tangannya mengejang, sedetik kemudian berubah lemas, serasa tak berbentuk, seperti gumpalan jelly. Leher dan punggungnya bersimbah peluh.
Sebuah tepukan dari arah belakang mendarat di bahunya, Zhehan nyaris terguling ke lantai saking terkejut.
"Hehh!" dia berseru parau.
Simon bertumpu pada siku, matanya mengerjap-ngerjap.
"Mimpi buruk lagi?" ia beringsut bangun, duduk dan menggosok-gosok mata.
Zhehan masih di posisi terbaring dengan sebelah kaki menggantung, nyaris jatuh terjungkal.
"Kau mengagetkanku," gerutu Zhehan.
"Kau juga mengagetkanku," Simon merengut.
Dia melihat pada dreamcatcher yang tergantung di kepala tempat tidur. Meraihnya dengan kasar.
"Sepertinya benda ini tidak berfungsi," dia bergumam, lantas melempar benda itu ke atas meja nakas.
Zhehan berusaha memperbaiki posisi tubuh yang tidak nyaman. Kali ini dia duduk di tepi tempat tidur, kepalanya sedikit pusing, matanya berkunang-kunang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Simon, setengah terkantuk-kantuk.
Zhehan mengangguk.
"Maafkan aku. Lagi-lagi mengganggu tidurmu," bisiknya, penuh penyesalan.
"Sudahlah!" tukas Simon malas.
"Sudah nasibku," dia menghempaskan kepalanya ke bantal, kembali meringkuk.
"Besok kau harus bercerita padaku, kenapa kau terus-menerus bermimpi buruk. Siapa tahu kau perlu menemui psikiater," Simon berkata lagi sebelum memejamkan mata.
Zhehan termangu dalam duduknya, wajahnya diselimuti kabut gelap.
*****
Sabar ya bang ... 🥰
To be continued
Please vote and comment 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro