Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08 : Boulevard of Broken Dream

Simon berdiri di taman samping kampus selama setengah jam menunggu gadis bernama Zhou Ye itu lewat dan menghabiskan beberapa menit di sana sambil bercengkerama dengan sesama teman wanitanya. Tetapi sudah sekian lama, dia tidak melihat tanda-tanda kemunculan gadis itu.

Dalam kesendirian, angan Simon melayang. Kembali ke sesi memotret objek indah itu secara diam-diam, rasa tidak sabar untuk memuaskan obsesinya perlahan menyeruak keluar dan terasa begitu menyesakkan.

Simon menunduk mengawasi rerumputan, melangkah perlahan menuju pintu taman. Mungkin siang ini Zhou Ye tidak akan datang kemari.

“Kau yang bernama Simon?”

Langkah Simon seketika terhenti.

Sosok yang ia lihat membuat nafasnya seakan tersendat-sendat. Sosok yang dia tunggu, gadis bernama Zhou Ye, tiba-tiba berdiri di hadapannya.

“Ha—halo.” Simon sedikit gugup.

Sepasang matanya menatap penuh kekaguman yang tidak dibuat-buat. Untuk sebagian gadis, tatapan yang blak-blakan seperti itu akan membuat malu dan jengah. Tetapi Zhou Ye nampaknya sudah terbiasa menerima pandangan penuh kekaguman mau pun pujian. Gadis itu Nampak biasa-biasa saja bahkan balas menatap Simon. Untuk waktu yang lama Simon terdiam meredam kegugupan dan emosi lainnya yang berkecamuk.

“Hai, apa yang kau lihat?”

Zhou Ye melambai-lambaikan tangan di depan wajah Simon.

Pemuda itu melangkah mundur, tertegun menyadari bahwa penampilan gadis ini lebih anggun dan cantik dari biasanya.
Apakah Zhou Ye akan pergi berkencan?
Alangkah senangnya jika dia bisa memotret gadis itu dalam penampilan secantik ini.

“Ya. Aku Simon,” Simon menjawab pelan.

“Aku dengar dari beberapa kawan bahwa kau suka memotretku secara diam-diam,” Zhou Ye mempoutkan bibirnya yang dipoles lipstik merah muda sehingga menambah kesan manis wajahnya.

“A—Aku,” Simon kebingungan beberapa saat.

“Apa tujuanmu?” tanya Zhou Ye.

“Aku hanya ingin mengabadikan wajahmu.”

“Kenapa?”

“Kau cantik,” Simon menjawab apa adanya. Dia mengamati gadis itu dari ujung kaki sampai kepala.

“Kau terlihat lebih cantik dari biasanya,” dia melanjutkan, jujur.

Zhou Ye mengerling antara sinis dan senang karena menerima pujian.

“Ya. Aku memang cantik. Tapi tak seorang pun boleh mencuri fotoku tanpa izin.”

Simon menunduk, jiwa mudanya yang gelisah mulai terusik. Dia terobsesi terus memotret gadis itu dan ia tidak senang jika dilarang-larang. Tapi mau bagaimana lagi. Zhou Ye melihat jam tangannya dan memindai seluruh taman, terlihat mecari-cari seseorang.

“Apa kau menantikan seseorang?”

Simon tak bisa menahan rasa penasarannya. Zhou Ye mengangguk pelan, memperlihatkan seulas senyum.

“Zhou Ye!”

Seorang pemuda berpenampilan keren dengan wajah cukup tampan menghampiri keduanya dari arah pintu taman. Senyum Zhou Ye melebar, mata bulat yang dihiasi bulu mata panjang itu berkilau gembira.

“Li Dai Kun!” dia melambai.
Zhou Ye menoleh sekilas kea rah Simon yang terbengong-bengong.

“Aku harus pergi,” ujarnya datar.

“Sampai nanti!”

Zhaou Ye berjalan melewati Simon yang masih berdiri kaku, menyambut pemuda bernama Li Daikun yang tidak dia kenal. Keceriaan Zhou Ye belum pernah ia lihat sebelumnya.
Saat muda mudi itu bercengkerama, Simon merasa tidak senang. Dia mengawasi pasangan itu dengan tatapan tajam.

“Siapa bocah itu?” Li Daikun bertanya pada Zhou Ye, melemparkan lirikan dingin pada Simon.

“Dia penggemarku,” Zhou Ye menjawab ringan.

Stalker?” selidik Li Daikun.

Zhou Ye tertawa, “Kupikir tidak seekstrim itu. Lihat wajah polosnya. Dia bahkan belum lulus sekolah menengah atas.”

Li Daikun menyeringai. Ekspresinya aneh dan sinis.

Simon tidak bereaksi. Tatapan Li Daikun meski sekilas tetapi sangat mengusik. Dia memiliki firasat bahwa pemuda itu bukan orang baik. Tetapi tentu saja dia tidak memiliki alasan untuk menuduh. Bagaimanapun dia menyaksikan sendiri kedekatan mendalam diantara dua orang itu.

Mungkin ini hanya perasaanku saja, gumam Simon dalam hati.

Peraaannya yang diliputi penasaran bagaikan pekat kegelapan yang mengikat jiwa. Di kala kedua orang itu berjalan menjauh melintasi pintu masuk taman, Simon menyeret kakinya cepat-cepat, mengikuti kedua orang itu.

~¤~¤~¤~

“Woah! kau benaran jadi seorang stalker?” Zhehan terbebelalak.

Simon melirik malas.

“Tentu saja bukan. Seorang stalker bisa jadi sangat menakutkan. Aku hanya mengikuti Zhou Ye karena khawatir.”

Zhehan mempoutkan bibir.
“Alasan yang kurang cerdas,” dia bergumam skeptis.

“Jadi kau mau aku mengakui kalau aku stalker?” Simon bertanya tegas.

Stalker atau bukan, itu sudah berlalu. Aku hanya agak takut mendengar rasa penasaranmu begitu kuat.”

“Kenapa harus takut segala?” gerutu Simon.

Zhehan mengerling, sedikit menggoda.

“Aku takut kau mengikutiku ke kamar mandi dan memotretku dalam keadaan telanjang.”

“Sialan! Jangan melantur! Kau cari ribut, ya?!” Simon mendelik kesal.

Zhehan terkekeh perlahan.

“Baiklah, aku lega jika kau tidak tertarik memotretku. Kalau tidak, bisa-bisa aku dipotret saat sedang mendengkur dan kau memviralkannya di media sosial.”

“Apa untungnya?” umpat Simon sebal,“Tindakan yang kekanak-kanakan!”

“Oh, sekarang kau sudah besar ya..?”

Sekali lagi Zhehan tertawa kecil. Suaranya yang merdu mengusik perasaan Simon. Dia yang semula akan menggerutu lagi, kini memilih diam.

Mereka terperangkap keheningan beberapa lama sementara malam mulai merangkak.

“Jadi, ke mana saat itu Zhou Ye pergi? Apakah kau berhasil memotretnya?”

Mendengar pertanyaan itu, Simon menundukkan pandangan. Ada kesuraman melintas di wajah tampannya. Mengingat satu keping kenangan yang menyedihkan, membuatnya disergap rasa bersalah.
Rasa itu perlahan mengikis jiwa. Membunuhnya sedikit demi sedikit.

~¤~¤~¤~

Dilihat dari penampilannya yang mengesankan. Li Daikun sudah bisa dipastikan berasal dari keluarga berada. Dugaan itu benar. Simon menyaksikan pemuda itu menggiring Zhou Ye masuk ke dalam sebuah sedan BMW hitam. Simon segera mengambil sepeda motor yang dia tinggalkan di pelataran parkir taman kota, menguntit mobil itu dalam jarak aman.

Li Daikun mengemudi ke arah danau Taihu, sebuah danau yang indah di Wuxi. Pemandangannya cukup spektakuler dan garis batas permukaan air yang jauh membuat seseorang seolah berdiri di depan lautan. perbukitan biru keunguan membingkai danau, membuat keindahan tempat ini semakin memukau. Banyak pengunjung berdatangan untuk menikmati pemdandangan, sebagian besar pasangan muda juga memilih tempat wisata ini untuk berkencan.

Simon melihat mobil itu berhenti dekat sebuah bangunan tea house and coffe yang tidak terlalu besar, jaraknya sekitar tiga puluh meter dari danau Taihu. Dia melihat Li Daikun dan Zhou Ye masuk ke dalam kafe mungil itu. Untuk menghindari kecurigaan mereka, Simon tidak ikut masuk ke dalam kafe. Dia turun dari motor, berjalan ke tepian danau dan memotret pemandangan indah di sana.

Sesekali Simon mengawasi kafe itu, dan setelah tiga puluh menit, dia melihat Li Daikun dan Zhou Ye keluar dari sana. Mereka berjalan-jalan santai, terlihat membicarakan sesuatu. Zhou Ye tak henti-henti mengumbar senyumnya. Dari kejauhan, Simon mengambil foto gadis itu memakai mode zoom. Dia tersenyum puas melihat hasilnya.
Gadis cantik dengan latar belakang danau biru dan pepohonan, objek yang memukau. Rasa penasaran Simon akhirnya terpuaskan.

Dia berniat meninggalkan danau itu. Setelah memotret perbukitan, rumpun bunga azalea di tepi danau, dan permukaan air biru gemerlap, Simon berbalik dan berjalan menuju motornya.

Sekali lagi dia menoleh ke arah Zhou Ye, kemudian langkahnya terhenti, sesuatu mengusiknya dari dalam. Dia merasa ada yang tidak beres. Tetapi tidak tahu apa. Dari kejauhan, Simon melihat Li Daikun menarik tangan Zhou Ye, meski gadis itu menurut, tetapi terlihat berargumen.

Apa mereka tiba-tiba berselisih pendapat tentang sesuatu?

Obsesinya pada Zhou Ye yang sudah mencemari pikiran, membuat Simon memutar langkah. Dia berjalan mengikuti arah perginya pasangan itu.

Beberapa puluh meter dari area wisata danau Taihu terdapat jajaran resort-resort indah untuk fasilitas menginap para wisatawan yang datang dari tempat jauh. Li Daikun membawa Zhou Ye ke sebuah cottage bergaya tradisional, arsitekturnya unik dan artistik, dengan warna kayu dan dinding natural, dilengkapi taman berumput hijau dengan pohon-pohon bunga berwana-warni.

Apa yang akan mereka lakukan? pikir Simon gelisah.

~¤~¤~¤~

“Apa yang akan mereka lakukan?” tanya Zhehan, cukup hati-hati untuk tidak memperlihatkan rasa penasaran yang membabibuta.

Simon terbungkam lama. Di bawah naungan langit malam, hanya ada penerangan lampu-lampu jalan dan restoran di kejauhan. Wajah muramnya terlihat sedikit memucat.

“Pertanyaan yang sama juga membara dalam benakku saat itu. Apa yang mereka lakukan. Sebagai seorang pemuda yang sudah menginjak tujuh belas pada tahun itu, seharusnya aku sudah bisa menduga apa yang akan mereka lakukan.”

“Mereka bercinta?” Zhehan bertanya polos, seketika menutup mulutnya.

Simon menjawab lemas,”Nyaris.”

“Kau mengintipnya?”

Sekali lagi Simon mengangguk, “Lewat jendela, dari samping taman yang sepi. Aku berhasil menyelinap tanpa ketahuan penjaga.”

“Kau gila!” Zhehan berdesis terkejut sekaligus takjub.

“Luar biasa.”

Simon menoleh cepat.
“Apanya yang luar biasa?” dia menggerutu, nyaris jengkel melihat ekspresi Zhehan yang mendelik lebar.

Zhehan menggaruk-garuk pelipisnya.
“Maksudku, tidak banyak pemuda yang mengintip adegan seperti itu. Apakah seru?”

“Diam kau!” sembur Simon merengut.

Zhehan berdehem-dehem, rasa gatal dan menggelitik menyebar di kerongkongan dan sekujur tubuhnya mendengar pengalaman aneh Simon.

Berani atau nekad?

“Li Daikun memaksa gadis malang itu,” ujar Simon lirih.

“Maksudmu, semacam pelecehan seksual?” suara Zhehan agak gemetar.

“Aku tidak tahu apa sebutan yang pantas. Aku hanya merasakan amarah yang tak berdaya. Aku ingin mencegah mereka,tetapi sepertinya semua sudah direncanakan sempurna. Lagipula, apa yang bisa kulakukan?”

Simon mendesah berat, tatapannya masih tertuju pada rerumputan.

“Jadi apa yang kau lakukan saat itu?” usik Zhehan, ada nada prihatin menyelinap dalam kalimatnya, sorot mata muram pemuda itu diam-diam begitu menggugah rasa.

Kasihan, empati, dan entah apalagi.

“Aku memotret mereka.” Simon menelan liurnya. Terasa pahit. Lebih pahit dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ternyata setelah bertahun-tahun berlalu, mengungkit peristiwa tolol itu masih membuatnya dihinggapi gejolak emosi yang pahit dan menyakitkan.

“Aku sangat yakin Li Daikun memaksa Zhou Ye. Aku juga yakin bahwa aku tidak bisa menuduhnya tanpa bukti. Jadi, pikiranku yang sempit kala itu, berencana menjadikan beberapa adegan yang terekam dalam kameraku sebagai bukti yang mungkin bisa membantu Zhou Ye. Setelah berhasil mengambil beberapa foto, aku lari seperti seorang pecundang sejati. Aku berencana akan menyerahkannya pada gadis itu, jika memungkinkan, dan jika dugaanku benar. Dia bisa memakai foto-foto itu sebagai bukti.”

“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?”

“Aku tidak sanggup datang lagi ke taman kota di samping kampus Zhou Ye. Untuk beberapa lama, aku menyimpan kenangan buruk itu seorang diri, bersumpah tidak akan mengungkapkan apa pun. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku tahu setelahnya adalah serangkaian peristiwa buruk yang membunuhku perlahan-lahan.”

Zhehan terdiam, hatinya tiba-tiba merasa sedih. Firasatnya mengatakan cerita Simon akan tiba pada bagian terburuk.

“Kau tidak usah menceritakannya padaku jika tidak ingin,” dia menyentuh tangan Simon yang terkulai lemas di atas pahanya. Tangan itu dingin.

“Aku akan melanjutkan ceritanya. Aku ingin tahu apakah aku sanggup menceritakannya pada seseorang yang mungkin bisa mengerti diriku yang bodoh pada saat itu.”

“Mengapa kau memilih bercerita padaku?” Zhehan menatap pemuda itu dari samping, dan Simon membalas tatapannya.

“Karena kau tertarik bertanya tentang Zhou Ye, hanya itu alasan yang kutahu. Sisanya, aku tidak tahu mengapa aku bercerita padamu,” jawab Simon lirih.

“Sebodoh apa dirimu kala itu?” tanya Zhehan lagi.

Simon menggigit bibirnya.

“Sangat bodoh dan ceroboh. Suatu hari, sekawanan perundung di sekolah menggangguku dengan merebut kamera milikku. Mereka menjadikan aku mainan, aku berlarian berusaha merebutnya dari mereka. Sayangnya, aku tidak berhasil melawan perundung senior itu. Aku benar-benar payah.”
Volume suaranya makin mengecil, semakin tersendat.

Zhehan diliputi ekspresi shock.
“Apa kau baru saja mengatakan bahwa akhirnya foto-foto memalukan itu bocor dan tersebar diantara kawan-kawan seniormu?”

Simon tidak menjawab. Untuk pertama kalinya dalam tiga hari terakhir kebersamaannya dengan Zhehan, dia benar-benar merasakan kesedihan dan tidak malu menunjukkannya.

“Karena tidak kuat menanggung malu, Li Daikun dikirim keluarganya kuliah di luar negeri. Sementara Zhou Ye jatuh dalam depresi. Akhirnya aku mendengar kabar bahwa dia overdosis obat tidur dan meninggal di rumah sakit.”

Zhehan terhenyak. Dia menumpangkan telapak tangannya di atas tangan Simon, berharap upaya itu bisa menenangkan.

“Ayahku mengetahuinya, saat itu aku baru tahu kalau ternyata keluarga Zhou Ye masih memiliki hubungan kerabat denganku. Ayah sangat marah. Dia menyalahkanku atas kematian Zhou Ye. Semua orang menyalahkanku karena foto-foto itu. Aku masih ingat saat ayah menghancurkan kamera kesayanganku, dan saat itu pula, obsesiku hancur berkeping-keping.”

Setitik air jatuh di atas punggung tangan Zhehan yang menggenggam jemari Simon. Air bening itu berkilauan di bawah cahaya malam.

***To be continued***

Apakah Simon akan menemukan impiannya kembali?

Please give me your vote and comment 💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro