07 : Field of Innocence
Aku masih teringat wajah dunia dari pandangan mata seorang anak kecil
Tetapi perlahan-lahan perasaan murni terangkum awan kelabu oleh apa yang disebut dengan realita.
Aku masih teringat saat matahari pagi yang hangat menyinari wajahku
Tetapi sekarang, sinarnya terasa lebih dingin dan tak secerah dulu
Ke manakah hatiku pergi?
Aku menjalani berbagai tranksaksi yang tak diinginkan demi kehidupan yang lebih nyata
Terjebak dalam satu kehidupan yang asing
Terkadang, aku ingin kembali ke masa-masa itu
Di mana aku pernah percaya pada semua mimpi indah
Dan tidak mengetahui banyak hal yang menyakitkan.
~¤~¤~¤~¤~
Simon mencintai fotograpi sejak dia masih kecil. Bermimpi memiliki kamera sendiri dan menangkap semua objek indah yang terlalu cepat berubah seiring bergulirnya waktu.
Pemandangan alam adalah objek utamanya, dan setelah itu, dia merasa gadis cantik atau pemuda yang rupawan merupakan pilihan yang sama baiknya.
Sang ayah mendukung hobby itu, dan karena dia menganggap itu hanya sekedar hobby, dia tidak berpikir bahwa Simon akan menghabiskan waktu dan energi hanya untuk fotograpi.
Sang ayah, seperti orang tua lain pada umumnya, menginginkan simon memiliki karier yang cemerlang di bidang hukum, perbankan, atau bidang lain yang cukup menjanjikan.
Tetapi buat Simon, dia memandang hobby itu dengan cara yang berbeda. Baginya, mencari objek terindah sudah menjadi sebuah keharusan, dan lambat laun berubah menjadi obsesi.
Simon masih teringat satu momen kebersamaan bersama sang ayah, saat itu usianya baru lima belas tahun, keduanya bicara berdua di atap rumah mereka di sebuah desa yang indah di Wuxi.
Malam itu keduanya saling berdiam diri dikarenakan Simon merasa kesal karena sang ayah tidak membelikannya hadiah ulang tahun kamera fotografi terbaru seperti yang dia inginkan.
“Kau pasti kecewa pada ayah,” pria berusia lima puluh tahunan itu menghela nafas panjang menepuk pundak sang putra yang duduk di sampingnya.
“Itu karena ayah tidak cukup mengerti keinginanmu. Karena ayah punya banyak penyesalan.”
Simon terdiam. Menatap bintang di langit malam dengan sorot mata muram.
“Ayah ingin kau meniti karier yang jauh lebih baik dari ayah, hidupmu harus lebih sukses. Aku tidak ingin kau naik bus setiap hari, aku ingin kau mengendarai mobil sendiri. Kau harus bekerja keras, jangan membuang-buang waktumu yang berharga demi hobby.”
“Itu sebabnya ayah tidak memanjakanmu. Ayah memiliki harapan agar suatu hari nanti kau menjadi besar. Ayah ingin kau naik pesawat kelas satu yang tak pernah ayah naiki. Aku takut kecintaanmu pada hobby akan mengganggu pendidikanmu.”
Saat itu Simon tidak mengatakan apa-apa.
Saat itu dia belum mengerti makna perkataan sang ayah.
~¤~¤~¤~¤~
Simon dan Zhehan keluar dari dalam kedai pangsit. Saat itu hari sudah malam, lampu-lampu jalan mulai menyala, sinarnya membayang di jalanan yang basah tergenang hujan.
“Tidak perlu memakai payung, hujannya sudah berhenti sekarang,” ujar Simon, melipat payung dan menjadikannya sebagai tongkat.
Zhehan tidak peduli dengan cuaca, dia lebih tertarik dengan cerita Simon.
“Jadi, apa setelah kau kecewa pada ayahmu, kau mulai rajin belajar dan membuktikan diri bahwa kau pintar?”
Simon menoleh, ekspresinya terkejut sekaligus heran.
“Rajin belajar? Tidak! Itu kedengarannya sangat sulit. Ayah membuat segala hal terasa sulit bagiku. Lagi pula aku tidak merasa diriku pintar,” ujar Simon datar.
Keduanya terus berjalan melewati rute yang sama, jalan menuju ke apartemen Simon.
“Kau tidak mengikuti saran ayahmu? Benar-benar anak nakal,” Zhehan melebarkan mata.
Simon terbahak, dia menggoyang-goyangkan payung di tangannya.
“Itulah diriku pada masa remaja. Nakal, keras kepala, dan suka berdebat. Kupikir hal itu keren.”
“Kurasa sekarang pun sifatmu tidak berubah,” komentar Zhehan, terkekeh geli.
Simon melirik galak.
“Aku benar, kan?” lanjut Zhehan, innoncence.
“Berhenti menghakimiku,” desis Simon, kekesalannya mulai tersulut.
Zhehan meringis-ringis.
“Oke!Oke!”
~¤~¤~¤~
Selama tahun-tahun berlalu dalam masa remajanya, Simon selalu membanggakan sifat keras kepala dalam dirinya. Dia menabung dengan sangat gigih untuk bisa membeli kamera fotograpi yang dia impikan. Setahun kemudian, keinginannya pun terwujud. Meski bukan kamera fotograpi terbaik, tetapi dia sangat senang bisa memilikinya. Tak ada yang memprotes atau berkomentar buruk tentang hobby-nya, bagaimana pun itu satu hal yang cukup lazim di kalangan anak muda.
Dia memuaskan segala yang pernah diangankan, mencari objek-objek yang indah, memuaskan hasrat dan obsesi pada fotograpi. Alam pegunungan, lembah, perbukitan yang berombak, matahari senja yang tenggelam ke balik lautan, kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga, dan burung-burung sewarna pelangi berlatar belakang langit biru.
Dia sudah memuaskan kesenangannya pada pemandangan alam, maka dia pun beralih pada objek manusia. Dalam hal ini tak ada yang bisa memberinya kesenangan sempurna seperti saat dia mengabadikan potret keindahan alam. Terkadang manusia bisa jadi sangat indah pada wujud aslinya, tetapi kurang memuaskan saat diabadikan dalam bentuk gambar. Begitupun terjadi sebaliknya. Bagi Simon, semua warna terasa samar dan tidak nyata. Objek manusia sulit untuk diambil secara stabil maupun sempurna. Senyuman seseorang terkadang bisa sangat tulus, tetapi bisa juga sangat palsu dan ambigu.
Simon terobsesi untuk menemukan objek yang sempurna itu.
Dan dia tidak juga menemukan standar yang ia angankan. Sampai suatu hari, dia bertemu dengan Zou Ye.
~¤~¤~¤~
“Jadi, itu semacam cinta pada pandangan pertama?” tanya Zhehan.
Simon mendelik gusar.
“Bisa tidak, sih, jangan terus menyela,” komentarnya gemas.
“Aku tidak sabar mendengar kisahmu dengan Zhou Ye. Kupikir ini akan menjadi bagian yang terbaik,” ujar Zhehan.
Sesaat matanya menoleh ke arah lain, di mana dia melihat beberapa batang pohon sakura tumbuh di tanah berumput, berbatasan dengan lahan kosong yang menjadi tempat parkir sebuah restoran. Dalam penerangan lampu jalan, kelopak sakura itu berguguran, ringan, melayang, dan indah.
“Jangan sok tahu,” gerutu Simon.
“Lihat Simon, ada bangku kayu di tepi lapangan itu. Bagaimana kalau kita duduk di sana sebentar saja,” Zhehan menyarankan, dia sangat terpukau dengan hujan kelopak bunga itu.
Simon menoleh ke tempat yang dimaksud, lalu mendecih.
“Apa-apaan. Duduk bengong di sana, tanpa kopi dan makanan kecil,” dia kembali mengomel.
Tetapi Simon tidak melawan saat Zhehan menggamit lengannya, menuju ke bangku kayu.
“Aku ingin menikmati suasana damai ini untuk beberapa saat, lagi pula kisah yang romantis harus diceritakan dalam suasana yang juga romantis.”
“Cihh! Berlebihan,” Simon mempoutkan bibirnya.
“Jadi bagaimana kisah cintamu dimulai?” tanya Zhehan.
Keduanya duduk berdampingan di bangku kayu. Simon merasa sangat konyol, tapi dia seolah tidak berdaya di depan permintaan Zhehan yang menurutnya sangat aneh-aneh dan menyebalkan.
“Kisah cinta apa? Aku tidak memiliki kisah cinta,” ujar Simon datar.
Zhehan mengawasi guguran kelopak sakura putih di depan matanya, tersenyum samar.
“Jadi ini bukan bagian yang terbaik?” tanyanya pada Simon.
Pemuda itu menggeleng lemah. Pandangan matanya melingsir turun ke rerumputan di bawah kelopak bunga yang berjatuhan.
“Bahkan ini adalah bagian yang terburuk..” dia menjawab lirih, nyaris sedih.
Ketakutan dan keputusasaan muncul di matanya. Dia merasa ada sesuatu yang salah dengan menceritakan ini pada seseorang yang baru dia kenal, tetapi perasaannya tidak memberi cukup waktu padanya untuk bepikir terlalu dalam. Dia, tanpa sadar, tanpa bisa dikendalikan, percaya begitu saja pada Zhehan.
~¤~¤~¤~
Simon yang kala itu menginjak usia tujuh belas tahun, berjalan-jalan di bawah matahari siang. Dia berada di sebuah taman yang berdekatan dengan salah satu kampus terkenal di Wuxi. Dalam kesendirian, Simon sibuk memotret objek yang bisa ia temukan, yang cukup menarik dan indah dalam pandangan matanya.
Setelah setengah jam menghabiskan waktu berjalan-jalan, dia menghampiri satu stand minuman di dekat pintu masuk taman. Simon menikmati segelas kopi dingin di bawah cuaca siang yang panas.
Taman itu diramaikan oleh beberapa orang mahasiswa. Mereka berkerumun di bawah pohon, di dekat mobil penjual pizza keliling, atau hanya duduk-duduk di bangku taman sambil memainkan ponsel. Di tengah lalu lalang beberapa orang, pandangannya terpaku pada seorang gadis. Duduk sendirian di sebuah bangku taman. Di bawah pohon yang memberinya bayang-bayang keteduhan. Gadis itu mengenakan gaun halus berwarna pink keunguan. Rambutnya panjang terurai mengalun lembut dalam hembusan angin musim panas. Hitam berkilauan.
Simon termangu. Terobesi menemukan objek yang indah untuk fotograpi, hingga mulai berkhayal. Dia mengerjapkan mata berkali-kali, bahkan menggosoknya. Tetapi gadis itu masih berada di sana. Dia nyata.
Bukan sosok dalam khayalannya.
Simon merasa nafasnya terhenti.
Dia merasakan suatu gelora aneh, darahnya berdesir seperti saat dia memandang semburat matahari tenggelam ke balik lautan biru. Dia ingin sekali menjadikan gadis itu sebagai objek fotograpinya. Diam-diam, Simon mengangkat kamera, menangkap gambar gadis itu secara sempurna, dan menekan tombol. Begitu Simon mengamati beberapa foto yang dia ambil, matanya cemerlang karena gembira.
Gadis itu benar-benar sempurna. Dalam wujud nyata, dan juga dalam fotonya. Simon seketika menyukai gadis itu. Bukan menyukai dalam arti emosi yang dalam semacam cinta.
Dia menyukai gadis itu sebagai objek.
Hari berlalu, minggu berganti. Simon terus menguntit gadis itu. Dia mencari informasi tentang dirinya.
(Di story ini Zhou Ye aku buat lebih tua beberapa tahun dari Simon dan hanya muncul sebagai figuran dalam cerita masa lalu. 💞)
Gadis itu bernama Zhou Ye.
Mahasiswa di universitas Jiangnan, tingkat empat. Usianya nyaris menginjak dua puluh satu dan setahun lagi dia akan lulus.
Simon tidak tahu alamat lengkap rumah maupun nomor ponsel Zhou Ye. Tetapi gadis itu nampaknya cukup popular dan tidak sulit menemukannya berada di taman dekat kampus, atau kafe-kafe di sekitar situ. Simon menghabiskan waktu luang yang sangat sempit untuk mengikuti Zhou Ye, mencuri fotonya, dan merasakan suatu kepuasan yang absurd.
Saat itu Simon merasa seperti seorang pencuri dan penguntit yang mencurigakan. Terkadang dia merasa tidak nyaman dengan tindakannya. Tetapi dia sangat bersemangat mengambil foto gadis itu. Setiap senyuman, ekspresi wajah, lirikan mata, gerakannya mengibaskan rambut, semuanya terekam dengan sempurna, dan hasilnya selalu indah.
Simon benar-benar terobsesi dengan gadis itu.
Dia sadar Zhou Ye bisa saja akan membencinya jika dia tahu apa yang selama ini dia lakukan. Para gadis senang dikejar dan dikagumi, tetapi seringkali berpura-pura marah saat mengetahuinya. Simon merasa waswas bilamana hari itu akan tiba. Saat Zhou Ye mengetahui semuanya.
Apa kira-kira yang akan dikatakan gadis itu?
Kemarahan? Atau ungkapan rasa senang?
Simon pun tidak tahu.
To be continued 💞
Vote and comment if you like it
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro