Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 : Beautiful Scenery

Gerimis turun lagi, terus menerus dengan derai suara kecilnya. Simon membuka payung, menarik tangan Zhehan untuk melintasi gerimis.

"Kita hanya perlu berjalan dua ratus meter dan kau bisa memilih berbagai jenis kedai makanan," ujar Simon.

"Kedai? Kupikir kau akan mentraktirku makan di restoran mahal," sahut Zhehan polos.

Wajah Simon terpilin. "Jangan mimpi. Aku bisa bangkrut lagi jika menuruti keinginanmu," gerutunya.

Zhehan terkekeh kecil, puas karena berhasil menggoda Simon.

Angin berhembus dari arah samping, mengirim butir-butir kecil hujan, menyelinap ke balik payung.

"Sini! Kau bisa kebasahan!" Simon melingkarkan lengan ke bahu Zhehan, dan karena tingginya lebih beberapa centi, mudah baginya melakukan itu.

Dia menarik tubuh Zhehan merapat padanya, agar sama-sama terlindung di bawah payung. Zhehan telah bermimpi buruk sepanjang malam dan dia terus merasa gelisah. Tetapi saat ini, dia merasa mengalami mimpi yang sebaliknya. Dia malu mengatakan bahwa ini mimpi indah, dan baru tahu bahwa mimpi indah pun bisa muncul dalam keadaan terjaga. Diam-diam Zhehan tersenyum sendiri.

"Hai!" Simon mengguncang bahunya sementara mereka terus berjalan, sepatu kets mereka sibuk menghindari genangan air.

"Apa?"

"Kenapa senyum-senyum sendiri?"

Zhehan menggeleng, mencoba bersikap santai dan biasa-biasa saja.

"Kau terlihat sangat bahagia semenjak tinggal bersamaku," ujar Simon tanpa sungkan.

Wajah Zhehan disaput warna merah.

"Apaan?" dia menyahut jengah.

"Kali ini kau bahkan mendapat anugerah traktiran dariku," Simon kembali berujar bangga seraya terkekeh. Sejurus kemudian tawanya lenyap dan menoleh cepat.

"Kau jangan mengira ini sebuah ajakan kencan, ya!!" tiba-tiba dia menyembur tegas.

Zhehan terkesiap, menatapnya bingung.
"Kencan??" gumamnya, matanya berkedip-kedip.

"Ya, kau masih normal, kan?" tanya Simon, ucapannya benar-benar jarang difilter, dan meskipun itu pertanyaan yang cukup sensitif, dia mengatakannya dengan santai.

"Astaga ... aku ... " Zhehan kebingungan.

Pikiran semacam memiliki pacar atau ambisi memiliki hubungan romansa sama sekali tidak terjamah pikirannya yang gelap dan rumit. Jadi, dia memiliki konflik batin sendiri berkaitan dengan hal itu.

"Kau tidak perlu terlalu memikirkannya jika tak ingin," Simon kembali menggumam.

Dia memang sesekali bersikap lucu dan seringkali sembrono, tetapi dalam beberapa hal dia berusaha membuat dirinya terdengar lebih dewasa.

Zhehan tidak menyahut. Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Keduanya berjalan melewati sebuah bangunan kafe yang cukup besar, menarik, dan gemerlap dengan dominasi warna merah. Zhehan memandanginya, membaca plang besar dengan tulisan huruf-huruf besar berwarna putih, pada malam hari tulisan itu akan menyala kontras dengan latar belakang berwarna merah.

Café De Paris.

"Lihat kafe itu," dia berkata pada Simon.

Dari balik payung, Simon melayangkan pandangan pada kafe yang ditunjuk Zhehan.

"Bisakah kau mentraktirku di kafe itu?" usik Zhehan, matanya masih terpaku, mengagumi design-nya.

Simon berjengit.

"Hah?! Apa? tidak!" dia menggeram, mematahkan semangat Zhehan.

"Kafe itu mahal!"

Zhehan mempoutkan bibirnya, tapi dia tidak meminta lagi.
"Aku akan mentraktirmu di kedai My Noodle, mie pangsitnya sangat lezat dan murah meriah."

"Hmmm ..." gumam Zhehan.

"Kau mau atau tidak?"

"Ah ya ya, tentu saja aku mau."

"Baguslah! Tidak usah banyak pilih-pilih. Makan siang kita benar-benar sangat terlambat!"

Zhehan terbungkam, dan hanya mengangguk lunglai.

~¤~¤~¤~

Simon duduk di salah satu meja kosong di pojok kedai. Dari jendela kecil di sampingnya, dia masih bisa melihat gerimis yang menetes-netes.
Sementara Zhehan sibuk dengan buku menu, matanya melebar setiap kali melihat gambar hidangan yang mengundang selera. Memperhatikan sekian lama, ekspresi Zhehan yang apa adanya membuat Simon nyaris kasihan.

"Sudah pilih belum?" tanyanya, meski tidak gusar, tapi nada suaranya meninggi tanpa sadar.

"Aku bingung, semuanya nampak lezat."

"Isshh, kau norak sekali," Simon menggerutu.

Zhehan menunjukkan satu menu dan dengan cepat Simon melambai pada pelayan, bicara beberapa patah kata dengan nada kesal karena lapar yang ditahan.

"Minumannya antar lebih dulu," dia berkata pada pelayan.

"Cepat sedikit, ya!"

Pelayan itu mengangguk dan meluncur pergi.

Zhehan mengawasinya dan tersenyum, lantas mengalihkan pandangan keluar jendela. Sinar matahari yang hampir terbenam membiaskan warna jingga pada wajah Zhehan. Diam-diam Simon mengamatinya dengan detail. Ekspresi wajah Zhehan nampak sangat alami dan, terus terang, menyejukkan. Senyumannya yang selalu ramah terlihat sangat tulus dan dia memiliki aura baik yang tidak dibuat-buat.

Simon tiba-tiba merasa gelisah. Fakta bahwa dirinya menyukai pria adalah sesuatu yang dia sembunyikan di sudut terdalam hatinya. Dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah ia sebutkan pada siapa pun. Tetapi kehadiran Zhehan, membuat dia mengusik kembali dunia batinnya yang selalu sepi. Bagi Simon, ini benar-benar agak memalukan.

Dia bermimpi menemukan seseorang yang jauh lebih hebat dan memiliki segala kesempurnaan. Uang, prestise, dan tentu saja cinta tanpa syarat.
Jatuh cinta pada pemuda biasa-biasa, cenderung naif, asal-usul tidak jelas, dan seringkali membuatnya kesal, sama sekali tidak terdaftar dalam kamusnya.

Meskipun Zhehan tampan, itu sama sekali tidak mengubah apa pun.
Simon bahkan curiga bahwa Zhehan seorang pemuda miskin. Dia tidak terlihat memiliki ponsel, apalagi uang.

Jadi, Simon bertekad melupakan hal konyol tentang perasaan, dan semuanya benar-benar menguap saat makanan pesanan mereka datang.
Aromanya yang menggugah selera membuat dunia mereka teralihkan untuk sementara.

"Sikapmu sangat misterius," Simon mengatasi keheningan di antara mereka. Dia melihat Zhehan makan dengan antusias seolah-olah melupakan bahwa seseorang duduk di depannya.

Mungkin begitulah reaksi orang yang ditraktir saat sedang lapar, pikir Simon sebal.

Zhehan mengangkat wajah dari mangkuk pangsit, menghentikan gerakan mengunyahnya.

"Apa?"

"Kau sedang merasa jenuh atau menghadapi suatu masalah?"

Zhehan menggeleng.

"Kenapa kau khawatir?"

"Aku sama sekali tidak khawatir," tukas Simon, mulai kesal lagi.
"Aku hanya bertanya."

Zhehan mengerling malas.

"Tidak ada apa-apa. Justru aku yang penasaran, kau kelihatan menderita tekanan batin," balas Zhehan.

"Bicara sembarangan," Simon mendelik, lantas kembali mengomel.
"Kau sudah bosan hidup, ya?"

Kali ini Zhehan balas menantang pandangannya. " Kenapa kau terlihat selalu khawatir padaku? Jangan-jangan kau tergila-gila padaku."

Simon tersedak. Dia mengambil minum dengan kesal dan menepuk-nepuk tenggorokannya.

"Omong kosong," dia mendengus, wajahnya memerah.
"Kau sudah gila, seorang pengkhayal. Orang sepertimu harus menemui dokter."

"Kau pikir aku sakit?"

Simon menyentuhkan telunjuk ke pelipisnya.
"Otakmu sakit."

Zhehan mengibaskan tangan. "Sudahlah. Jangan dibahas lagi," dia menggerutu pelan.

"Merusak selera makan saja."

Simon mengangkat sudut bibirnya.
Keduanya menuntaskan makan dengan cepat. Saat keduanya terdiam tanpa melakukan apa-apa, hanya menunggu lambung mereka mencerna makanan, Zhehan terpikir untuk menanyakan sesuatu.

Dia berdehem berkali-kali, menunggu Simon melirik garang padanya.
Dan hal itu memang terjadi.

"Ada apa?" tanya Simon, acuh tak acuh.

Zhehan menahan senyum. Dia kini agak terbiasa dengan sikap Simon yang unik, dia justru berpikir jika Simon berubah ramah dan santun, dia akan merasa jauh lebih takut.

"Aku melihat koleksi foto-fotomu," ujar Zhehan.

Simon terkesiap.

"Kau berani?"

"Aku tidak sengaja," bantah Zhehan.

"Kau lihat di mana?" sembur Simon, matanya melebar panik.

"Di lemari. Aku melihatnya ketika sedang bersih-bersih dan merapikan kamarmu."

"Jangan sembarangan bongkar-bongkar lemari orang, yah!" Simon menghembuskan nafas keras-keras.

Zhehan terheran-heran melihat reaksi simon yang menurutnya berlebihan.
"Kenapa kau sepanik itu?" dia mencibir.

Sejurus kemudian seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
"Aku melihat foto pemandangan indah. Itu pasti pemandangan di kampung halamanmu. Iya, kan?"

"Hmm," Simon bergumam pendek dan tegas.

"Sungguh tempat yang menyenangkan. Suatu hari aku ingin pergi ke sana," mata Zhehan berbinar-binar saat mengungkapkan hal ini.

Dhegg!

Simon menelan liur, lalu meraih minumannya dan pura-pura meringis.

"Aku juga melihat foto seorang gadis," ujar Zhehan, kali ini ekspresinya lebih rumit dibanding orang yang lapar sekaligus sakit gigi dalam waktu bersamaan.

"Uwaahh!" Simon mengepalkan tinjunya.

"Kamu jangan seenaknya melihat-lihat barang pribadi orang!"

"Barang pribadi? Oh ... jadi gadis itu seseorang yang sangat penting, yah?" goda Zhehan.

"Pacarmu?" lanjutnya.

Simon merengut, matanya melirik garang.
"Bukan," ia mendengus.

"Oh, kalau begitu pasti cinta bertepuk sebelah tangan." Zhehan memasang ekspresi terkejut yang imut.

"Ha! Apa maksudmu?"

"Kau menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya."

"Sialan! Kau ini bicara apa?" Simon benar-benar dibuat gusar. Dia mengernyit, memijat-mijat pelipisnya. Zhehan membuatnya semakin sakit kepala.

"Sayang sekali, padahal gadis itu sangat cantik, dan kelihatannya pintar," gumam Zhehan, masih terus menggoda.

Simon menaikkan sudut bibirnya, lalu membuang pandang ke luar sana, di mana tetes hujan masih turun satu-satu.

"Cuma teman, ah tidak! Lebih dari itu. Bisa dibilang dia masih ada ikatan saudara jauh denganku."

"Oh begitu," Zhehan terlihat menaruh minat.

"Siapa dia? Di mana dia sekarang? Kau menyimpan fotonya, apa kalian jarang bertemu?" tanya Zhehan.

Sampai di situ, raut wajah Simon diselimuti kesedihan yang berusaha dia tutupi dengan ekspresi merengutnya. Tetapi sepasang mata itu memancarkan kepedihan yang dingin dan muram. Lampu di dalam kedai sudah menyala sejak tadi, tetapi hanya saat di luar gelap, maka cahayanya terlihat jelas. Sinar itu jatuh di wajah Simon, kemuramannya semakin kentara.

"Namanya Zhou Ye, dan foto itu satu-satunya yang tersisa dari kenangan singkat tentang dia. Kami tidak akan pernah berjumpa lagi."
Simon menjawab lambat-lambat.

"Kenapa?"

"Dia sudah meninggal."

Kata itu seperti mantra sihir yang membuat kekosongan menyebar di wajah Zhehan. Dia merasa canggung. Dengan wajah prihatin, dia menyentuh tangan Simon yang terkulai di atas meja.

"Ah, maafkan aku, kau pasti merasa sangat buruk."

Simon menggeleng perlahan.
"Tidak apa-apa. Meski terkadang menyakitkan. Aku masih ingin sesekali mengenangnya. Tetapi, aku selalu mencoba menepis kenangan buruk itu. Mengingatnya sendirian, terlalu berat bagiku. Saat seseorang bertanya tentangnya, aku merasa sakit sekaligus senang."

Simon menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatasi kegalauan.

"Kau menyembunyikan foto itu. Artinya kau tak ingin ada orang lain yang mengungkitnya."

"Ya. Kau orang pertama yang bertanya tentang Zhou Ye."

Zhehan menunduk. Dugaan bahwa Simon mencintai gadis bernama Zhou Ye semakin kuat, terlihat jelas dari reaksi Simon. Zhehan merasa telapak tangannya berkeringat saat emosi yang campur aduk mengendap dalam relung-relung benaknya yang gelap.

"Jika kau tidak keberatan, kau boleh berbagi kenangan buruk itu denganku," ujarnya tulus.

Simon melirik, sedikit curiga.

"Aneh sekali, di saat orang lain hanya ingin berbagi hal yang menyenangkan. Kau malah menawarkan diri untuk hal sebaliknya."

"Kenapa tidak? Kita sudah berteman, bukan?" tukas Zhehan.

"Kau tidak berpura-pura bersimpati padaku karena ingin makan gratis lagi, kan?" desak Simon.

Zhehan mengerjap, memijat kening dengan jemarinya.
"Astaga, kenapa otakmu dipenuhi dengan uang," dia bergumam frustasi.

"Wajar saja jika aku curiga. Kau masih penasaran ingin makan di Cafe de Paris. Mengakulah," ucapan Simon semakin kacau balau.

"Mau cerita tidak?" Zhehan merengut, mulai kehilangan kesabaran.

"Aku ... " Simon kebingungan memilih kata. Dia membisu beberapa saat.

"Itu hanya sebuah kisah lama yang kurang menyenangkan, di kota kelahiranku, Wuxi. Aku sangat ingin melupakannya, tetapi semakin kulupakan semakin aku teringat kembali. Semua jalan, belokan, pepohonan, dan sungai yang mengalir di Wuxi. Mengingatkan aku pada Zhou Ye."

Zhehan menatapnya dalam-dalam.

"Kau mencintainya?" sungguh aneh rasanya menanyakan hal itu pada seorang pemuda yang nyaris tidak punya kecerdasan emosi.

Zhehan diam-diam merasa pahit.

Simon mengangkat bahu, sedikit bingung.

"Kata itu mungkin kurang tepat. Aku belum tahu makna cinta. Dulu, dan mungkin juga sekarang. Dia hanya indah, itu saja. Bagiku, dia objek terindah yang bisa aku temukan."

"Begitu rupanya. Lalu, kau menjadikannya objek fotograpi?"

Simon mengangguk.

"Aku hanya ingin mengabadikan paras indahnya. Tetapi takdir kadang memang kejam. Siapa yang menduga, aku sendiri yang menyebabkan keindahan itu sirna."

Kalimat itu mengendap lama di udara. Zhehan memiliki firasat, dia akan membuka jendela pada salah satu ruang tersembunyi dalam kehidupan Simon. Entah apa yang akan dia temukan di balik itu.

Hanya Simon yang tahu.

To be continued 💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro