05 : Faded Obsession
Zhang Zhehan memutuskan untuk mengawali kesibukannya dari kamar tidur. Dia merapikan barang-barang, meletakkannya pada tempat yang seharusnya. Menyusun buku-buku dan majalah di rak buku berukuran sedang dengan laci-laci di bagian bawahnya. Merapikan kaktus dalam pot-pot kecil dan menatanya di ambang jendela.
Yang paling menyita energi adalah saat dia harus membongkar lemari pakaian Simon. Dia melihat ada sebuah laci kecil dalam lemari. Penasaran, dia membukanya. Firasatnya mengatakan bahwa tak ada barang berharga sejenis arloji mahal dan perhiasan. Jika Simon memilikinya, pemuda itu tidak akan berniat mengajukan pinjaman pada atasannya.
Laci itu terbuka dengan mudah.
Benar saja. Isinya kosong. Hanya ada satu amplop putih berukuran sedang. Zhehan mengambil amplop itu dan mengeluarkan isinya. Beberapa lembar foto berukuran 4R tercecer keluar.
Zhehan mengamatinya satu persatu. Tercengang oleh keindahan pemandangan di foto-foto itu. Ada satu yang terlihat familiar dan ia teringat foto berukuran besar yang tergantung di dinding ruangan. Zhehan mengangkat selembar foto itu, membandingkannya dengan ukuran besar, ternyata persis sama. Jadi kemungkinan Simon mencetak ulang foto tersebut.
Kemudian Zhehan mengamati satu lembar foto yang berbeda. Bukan pemandangan alam, bunga sakura yang berguguran, atau pegunungan ungu yang tersaput kabut. Melainkan foto seorang gadis cantik tengah duduk di bangku taman, tersenyum ceria, matanya terfokus pada satu titik di kejauhan, yang pasti tidak melihat pada lensa kamera. Mungkin gadis dalam foto itu tidak menyadari bahwa seseorang tengah mengambil gambarnya.
Zhehan terus memandanginya tanpa berkedip. Gadis itu cantik, bergaun pendek warna pink keunguan, rambutnya panjang tergerai, matanya penuh binar-binar kebahagiaan. Sejenis gadis yang mampu mencuri perhatian sekitarnya, mungkin saja dia idola di kampus, atau seorang model.
Mungkinkah gadis dalam foto ini pacarnya Simon?
Untuk apa dia menyimpan fotonya begitu hati-hati jika seseorang itu tidak memiliki posisi istimewa dalam hidupnya.
Tanpa sadar, Zhehan melipat foto itu, tidak memiliki cara lain untuk mengungkapkan perasaannya.
Tatapannya kosong untuk sesaat, lantas dia kembali merapihkan foto itu, berusaha memperbaiki lipatan rusak yang telah tercipta, seolah baru tersadar bahwa ia bisa merobek foto itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Simon. Mungkin pemuda itu akan marah dan mengumpat sehari semalam kemudian mengusirnya seperti anjing kudisan.
Setelah selesai dengan lemari, dia beralih ke rak buku, kemudian membuka-buka lacinya. Sepintas, tindakan Zhehan terkesan melanggar privasi orang lain. Tetapi pikirannya tidak sampai sejauh itu. Dia benar-benar hanya memiliki niat baik dalam hatinya, membantu Simon membersihkan dan merapikan ruangan dalam apartemen agar lebih nyaman untuk dihuni.
Zhehan tidak menemukan sesuatu yang menarik di laci pertama. Hanya tumpukan file, pengisi daya, senter, kacamata beraneka model, kartu domino, dan barang-barang kecil lainnya yang tidak terlalu penting.
Laci paling bawah lebih ringan saat Zhehan menariknya. Terdengar suara gemeretak yang aneh. Suaranya hampa. Nampaknya laci terakhir itu kosong, atau kemungkinan hanya berisi satu jenis barang. Dengan perlahan dan tidak menghentakkannya terlalu keras, Zhehan membuka laci itu. Di dalamnya terdapat sebuah kamera. Dia mengambilnya dengan hati-hati dan mencermatinya. Itu sebuah kamera fotografi yang sangat bagus. Dengan auto fokus dan terlihat canggih. Dia memperhatikan merknya Nikon D850.
Dia tidak tahu banyak tentang kamera, tetapi Zhehan tahu bahwa benda ini termasuk paling keren dan cukup mahal.
Kenapa Simon menyimpan benda bagus ini di laci paling bawah?
Ada selapis debu di seluruh permukaan dan lensanya. Zhehan mengusap debu dengan tisu lembut.
Simon mengatakan akan berhutang pada bossnya untuk biaya hidup selama seminggu. Harga kamera ini cukup lumayan, kenapa dia tidak menjual benda ini saja, daripada disimpan di pojok lembab, berdebu dan terlupakan.
Zhehan mengangkat bahu, dia kembali menaruh kamera itu dan menutup laci. Satu-satunya alasan yang bisa dia pikirkan adalah Simon sangat menyayangi benda ini tetapi di satu sisi, dia tidak ingin melihatnya.
Tatapan Zhehan otomatis tertuju pada foto berukuran besar yang dibingkai, terpasang di dinding kamar.
Simon berminat pada fotograpi. Itu jelas terlihat dari caranya memperlakukan foto pemandangan bangau di tengah sungai yang dibingkai megah. Dia juga memiliki kamera foto dengan spesifikasi terbaik. Apakah Simon sudah meninggalkan hobinya.
Sayang sekali, pikir Zhehan hening.
Dia teringat foto gadis yang terselip di antara foto-foto lainnya. Apakah ada kaitannya dengan gadis itu? Mungkinkah dia masa lalu Simon?
M
emikirkan itu, entah mengapa membuat dirinya diselimuti perasaan tak nyaman dan ia pun berusaha menepiskannya.
~¤~¤~¤~
Hujan telah berhenti menjelang tengah hari. Zhehan menengok keluar jendela, menyaksikan langit biru yang kini cerah tanpa awan kelabu. Dia baru saja menyelesaikan bagian dapur, dan itu bagian yang terakhir.
Pemuda itu duduk lemas di sofa, dia teringat masih memiliki beberapa yuan dalam saku bajunya. Mungkin dengan itu dia bisa membeli makan siang yang sederhana.
Zhehan menghela napas dengan muram, melirik jam dinding, hampir pukul satu siang. Perutnya mulai memperdengarkan bunyi-bunyian yang memalukan.
Saat menempuh perjalanan pulang dari kantor dengan menumpang bus kota, Simon tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Dia bahkan tidak mengomel atau melirik galak saat seorang penumpang menyenggol bahunya hingga terhuyung. Tubuhnya berada di dalam bis, letih dan beraroma debu, sedangkan pikirannya berada di tempat lain.
Apakah Zhehan sekarang sudah pulang? Apakah dia kembali disambut keheningan setiap pulang kerja? Dan yang paling penting, apakah Zhehan tadi makan siang?
Simon melirik jam tangan, sudah pukul tiga sore. Tadi pagi dia mengatakan pada Zhehan agar tidak usah pulang jika hujan tidak berhenti. Tetapi hujan telah mereda sekitar tengah hari, dan meskipun sempat turun hujan lagi satu jam lalu, matahari sore kini bersinar walaupun mulai meredup.
Bis terus melaju dan Simon mulai kehilangan kesabaran. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menatap galak pada supir, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan pada jalan raya yang berkilau basah tertimpa cahaya matahari.
Simon melintasi beberapa restoran cepat saji, kafe, patisserie dan kedai pangsit. Dia belum makan siang dengan benar, tadi di kantor hanya sempat minum secangkir kopi dan sepotong roti keju pemberian rekan kerjanya. Simon berniat membungkus salah satu jenis makanan yang dia lewati barusan tetapi dia ragu-ragu apakah Zhehan masih tinggal di apartemennya atau sudah pulang.
Jadi dia membatalkan niatnya membungkus makanan dan memutuskan pulang lebih dulu.
Simon berjalan lambat-lambat menuju pintu apartemen. Berdiri termangu untuk beberapa saat, dia menatap pot bunga yang tersandar ke dinding.
Kemarin dia sempat berpesan pada Zhehan untuk menaruh kunci di bawah pot jika harus meninggalkan apartemen. Meski berusaha bersikap acuh seperti gayanya, Simon merasa jeamrinya bergetar karena gugup.
Dia tidak tahu mengapa ada atau tidaknya pemuda asing itu sedikit mempengaruhinya. Dia mengangkat pot bunga kecil itu dengan hati-hati. Bunga jenis begonia yang ditanam di dalam pot kebetulan belum lebat dan juga belum memekarkan bunganya.
Tidak ada kunci di bawah pot.
Mata Simon cemerlang oleh kelegaan.
Itu artinya Zhehan masih berada di dalam apartemen.
“Selamat datang,” Zhehan menyambutnya dengan senyuman manis yang merekah, begitu Simon membuka pintu dan melangkah masuk.
Simon melirik datar, pura-pura bersikap tidak peduli.
“Pakai ucapan selamat datang segala. Bagaimana bisa kau masih berada di sini?” tanya Simon. Duduk di sofa, dia melepas sepatunya dan mulai melempar benda itu sembarangan.
T
etapi gerakan tangannya terhenti di udara. Dia menyaksikan sebuah pemandangan yang tak biasa.
Ruangan tengah apartemennya terlihat rapi dan bersih.
Simon terbelalak.
“Kau, kau merapikan semuanya?” dia menoleh ke arah Zhehan.
Pemuda itu kembali tersenyum, dia mengambil tempat duduk di salah satu kursi meja makan, menyiapkan dua cangkir teh panas.
“Ya. Aku tidak mengerjakan apa pun seharian, jadi kenapa tidak kubereskan saja kandang anjingmu,” sahut Zhehan dengan gayanya yang sederhana.
Wajah Simon seketika berkerut-kerut.
“Jadi maksudmu tempatku kali ini lebih manusiawi?” dia tidak tahan untuk tidak mengomel.
“Kemarilah, aku membuat teh panas. Kau pasti lelah.”
Zhehan tidak menanggapi omelan Simon yang berjalan malas dan bergabung dengan Zhehan di meja makan.
“Kenapa kau tidak pulang?” usik Simon, berusaha sedatar mungkin.
“Aku—aku tadi ketiduran setelah membersihkan seluruh ruangan,saat aku terbangun, hujan kembali turun. Kau bilang padaku untuk tidak pergi di tengah hujan karena—”
“Hujan-hujanan tidak baik untuk kesehatan,” sambung Simon.
Zhehan tersipu, sedikit malu.
“Maaf, aku sebenarnya tidak ingin..”
“Lupakan!” Simon mendengus tidak sabar. Baginya yang penting Zhehan masih ada di sini, sisanya dia tidak mau tahu, juga tidak ingin mendengar basa-basi Zhehan yang pasti akan mengatakan 'aku tidak ingin menyusahkanmu' atau semacamnya.
Suasana hati Simon terlihat cukup baik dibanding tadi pagi, dia mengeluarkan dompet dari dalam tas, meneliti isinya, kemudian melirik Zhehan.
“Aku sudah memperoleh pinjaman dari boss,” dia berkata bangga.
“Kupikir tua bangka itu salah minum obat, hari ini dia cukup murah hati. Jangan-jangan ada malaikat yang membisikinya bahwa aku sangat membutuhkan uang karena ada seseorang menumpang di apartemenku.”
Zhehan mencibirkan mulutnya. Tapi tidak peduli apa, suasana hati Simon yang sedang baik membuatnya lega dan ia memutuskan tidak ingin berdebat dengan Simon karena pemuda itu terlihat sumringah menghitung lembar-lembar uang pinjaman.
Sungguh mengenaskan.
“Kau sudah makan siang?” tanya Simon lagi. Kembali melirik Zhehan yang masih berdiam diri.
“Ah ya, tentu saja belum. Pertanyaan bodoh. Aku meninggalkanmu di kandang anjing tanpa makanan dan uang.”
Zhehan mendengus, pemuda ini meskipun tengah gembira tapi tetap saja menyebalkan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana tingkah Simon jika sedang marah besar. Zhehan curiga jangan-jangan dia sanggup mengacak-acak bak sampah.
“Kau juga belum makan, bukan?” usik Zhehan.
“Kau bertanya tapi terdengar sangat yakin. Bagaimana kau tahu kalau aku belum makan?”
“Kau tergesa-gesa pulang dengan membawa uang pinjaman, bahkan kau tidak sempat membeli makanan di jalan, itu karena kau ragu-ragu apakah aku masih ada di rumahmu atau sudah pergi. Jadi kau memutuskan pulang terlebih dulu untuk memastikan.”
Simon tercengang, mulutnya terbuka sesaat, sebelum kembali mendengus kesal.
“Sok tahu!”
Zhehan mengulum senyum.
“Aku benar, kan?”
“Semuanya salah!” Simon mendengkus.
Zhehan tertawa pelan. Lalu kembali melontarkan lirikan sok tahu.
“Jadi kau akan mentraktirku makan di luar?”
“Hahh! Apa tidak?!” geram Simon.
Zhehan menekuk wajah, memasang ekspresi mengenaskan seolah dia sudah sebulan belum makan. Simon memperhatikan sekilas, lantas membuang muka.
“Huhh! Baiklah! Kau mau makan apa?”
Senyuman ceria mengembang di wajah Zhehan. Penuh kemenangan.
Jadi, apakah mereka berkencan?
***To be continued***
Junzhe Family, Please vote and comment if you like it
💞💞💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro