04 : Burning Memories
Setiap kali seseorang bermimpi, impian mereka kadang berisikan suatu peristiwa yang akan terjadi, atau yang sudah terjadi. Ini seperti potongan puzzle yang terpisah-pisah dan tidak dipasang pada tempatnya.
Mimpi itu muncul lagi. Bayangan- bayangan menakutkan yang bertepatan dengan saat-saat terakhir hidupnya. Demikian saat itu ia berpikir. Mengira bahwa dirinya akan segera mati. Tetapi jauh di lubuk hatinya masih tersirat harapan dan ingin mencoba yang terbaik dalam hidup.
Di kala terjaga, toleransinya terhadap stress cukup baik. Tetapi saat terlelap, alam bawah sadarnya kembali mengirimkan ingatan-ingatan buruk yang berusaha ia berangus dalam api semangat hidup yang masih menyala.
"Ti-dak ... " ia mengerang.
"Jangan-kenapa, kenapa kamu lagi?"
Dia berjuang untuk lari. Tetapi sebuah pintu besar hitam dan tebal menghadang di depannya, ia mengguncang-guncang pegangan pintu.
Ajaib, pintu itu terbuka. Di hadapannya kini terbentang sebuah ruangan luas yang kosong, mirip gymnasium mungkin, ataukah hanggar kosong, entahlah.
Dia berlari menembus udara dingin dan mengandalkan insting untuk tetap berlari lurus dalam kegelapan.
Suara derap langkah kakinya menggema keras, memantulkan bunyi-bunyian yang mengejek.
"Kembali!" sebuah suara menggaung keras, terdengar bagai sambaran petir di telinganya.
Dia terus berlari, memacu langkahnya sekuat tenaga. Dirasakannya udara kosong menampar wajahnya yang pucat dan dingin.
Lalu, bayangan hitam itu berdiri di sana. Menyeringai, mengejek ketakutan yang mencoreng wajahnya.
"Siapa yang mengizinkanmu untuk pergi?"
Dia memekik, menghentikan larinya, terjajar mundur beberapa langkah dan kembali pada kegelapan yang hampa.
Zhehan terbangun dengan kaget, lalu berteriak keras dan duduk tegak.
Napasnya tersengal-sengal, dan peluh menetes dari pelipis dan tengkuknya, seolah-olah dia telah menempuh marathon berkilometer-kilometer jauhnya.
Pertama kali ia dihantui mimpi buruk dua bulan lalu, ia berpikir bahwa itu hanya bunga tidur. Tetapi kali ini dia telah memasuki mimpi buruk yang sama untuk kedua kali. Melihat bayangan yang sama sekali lagi dan berakhir dengan terbangun diiringi teriakan keras.
Dia menoleh ke arah sofa panjang di sisi lain kamar tidur luas itu. Simon duduk dengan raut wajah linglung, menatap kesal padanya, gaya rambutnya berubah menjadi spike, efek tidur yang tidak tenang.
"Kamu mimpi buruk?" tanyanya, matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan keremangan cahaya lampu tidur.
"Tidak," sahut Zhehan, sedikit canggung, diliputi rasa bersalah karena sudah membuat kegaduhan di tengah malam.
Diliriknya jam weker di atas nakas. Pukul dua belas tiga puluh malam.
Jadi benar, masih tengah malam dan ia telah membangunkan Simon dengan cara yang tidak sopan.
"Omong kosong, kau jelas-jelas mengigau, lalu memekik ngeri. Apa yang kau lihat dalam mimpimu? Hantu?" Simon setengah mengomel.
Dia terlanjur terjaga dan kini harus pergi ke toilet. Pemuda itu bangun dari sofa di mana sekarang ia harus tidur. Entah malaikat dari mana yang telah merasuki dirinya hingga merelakan satu-satunya tempat tidur yang ia miliki ditempati tamu tak diundang, dan dirinya menyiksa diri dengan tidur di sofa. Mengantuk dan kesal, Simon melangkah masuk ke dalam kamar mandi dan membanting pintu.
Zhehan menghela napas panjang, menenangkan hati dan pikirannya yang sempat kacau gara-gara mimpi buruk.
"Mengapa aku masih memimpikan ini, aku sudah lama menguburnya jauh-jauh dalam ingatanku yang paling dasar. Kenangan yang menyakitkan," gumam Zhehan.
Dia turun dari tempat tidur, menyeret langkah ke dapur dan memuangkan segelas air paling dingin yang bisa ia temukan di kulkas yang nyaris kosong.
Saat dia kembali ke kamar tidur, Simon sudah kembali duduk di atas sofa, melipat tangan dan merengut.
"Maafkan aku," bisik Zhehan, tersenyum tipis.
"Aku baru tahu kau ternyata suka mengigau, penyakit yang memalukan," desis Simon, menatap langit-langit kamar, menghindari tatapan Zhehan yang meskipun terkesan merasa bersalah, tetapi masih kosong dan datar, seolah pemuda itu belum pulih dari mimpi buruknya.
"Aku suka mimpi buruk jika terlalu banyak makan," ujar Zhehan, duduk di tepi tempat tidur.
Simon bengong.
"Omong kosong," dengusnya.
Zhehan mengamati keadaan Simon yang berantakan. Selimut tipis nyaris terjatuh dari pinggiran sofa.
Meskipun ini hari kedua dia menginap di apartemen Simon, baru sekarang ia merasa bahwa kehadirannya mungkin mengganggu kenyamanan pemuda sinis tapi murah hati itu.
"Kau tidur saja di sini," Zhehan menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
"Biar aku yang tidur di sofa."
Simon melirik acuh tak acuh.
"Sudahlah, aku tak mau tidur di atas bantal dan sprei bekas orang lain. Jika aku akan tidur kembali di sana, aku akan pastikan spreinya diganti terlebih dahulu."
Zhehan memvoutkan bibirnya. Sorot matanya jelas tak percaya.
"Aku tidak yakin kau sebersih itu, kamarmu nyaris mirip.."
"Kandang anjing," tukas Simon kesal.
Kantuknya perlahan menghilang dan ia semakin kesal karena besok dia harus pergi ke kantor pagi-pagi.
Zhehan menggigit bibir sesaat, berpikir di tengah keraguan.
"Kalau begitu aku akan pulang besok," ujarnya.
"Kau yakin? Kau akan pulang ke rumahmu kan?"
"Ya. Tidak, entahlah---aku tidak tahu."
"Jangan sampai kau menyelinap ke apartemen pemuda lain dan menumpang lagi."
Zhehan kembali menatap Simon dengan malu.
"Ah- aku tidak semudah itu. Sudah kubilang, malam itu kau---"
"Ya, aku yang mengajakmu menginap di sini," Simon kembali menyembur.
Entah mengapa, ide kepulangan Zhehan sedikit membuatnya lega, tetapi ada perasaan tidak tenang yang mengusik hatinya. Dia merasa bahwa pemuda tampan yang baru dikenalnya ini tengah memiliki masalah.
"Aku baru sadar kalau aku mungkin mengganggumu, jadi kuputuskan---"
"Kita bicarakan besok!" Simon memotong tegas, melemparkan tubuhnya ke atas sofa dan meringkuk seperti bola.
"Sekarang tidurlah! Besok aku harus bekerja."
Zhehan tidak bersuara lagi, dia masih duduk kaku di tempat tidur, mengawasi Simon yang berusaha keras meraih kembali tidurnya yang terusik.
~¤~¤~¤~
Pagi ini hujan turun, tidak terlalu deras tetapi bukan mudah untuk ditembus layaknya gerimis. Mood Simon berantakan saat ia menyaksikan titik titik hujan pertama membasahi jendela. Kekesalannya yang sudah seperti kebiasaan, mendadak bertambah sepuluh kali lipat.
Dia mengomel sepanjang pagi dan bangun dengan kepala pusing efek tidur yang tidak sempurna. Kopinya terlalu pahit, dia memprotes keras pada Zhehan yang telah berbaik hati membuatkannya.
"Aku tidak menemukan sebutir kecil gula di seluruh dapur," Zhehan berkilah, membuat Simon semakin kesal.
"Lalu kau harus membelinya," tukas Simon, sedetik berikutnya di menutup wajah dengan telapak tangan.
"Astaga, aku lupa. Kau mungkin tidak punya uang, bukan?" dia melontarkan lirikan sarkasris pada Zhehan.
Pemuda berwajah manis dan bermata indah itu hanya terdiam, mengatupkan bibirnya, sesekali balas melirik kesal.
"Sepertinya aku harus mengajukan pinjaman pada bos, mudah-mudahan tua bangka pelit itu mau membantuku," Simon bergumam pada dirinya sendiri.
"Tapi, bagaimana kau akan berangkat ke kantor. Hujan masih belum berhenti," tanya Zhehan.
Tatapannya melayang keluar jendela apartemen, menyaksikan butir-butir hujan yang indah.
"Tentu saja memakai payung, aku juga bisa mengenakan jas hujan agar lebih aman. Butuh sepuluh menit berjalan kaki untuk tiba di halte bis, lalu aku harus menaiki bis untuk sampai ke kantor," Simon menjelaskan.
Dia mengamati sekali lagi penampilannya pagi ini. Mengenakan setelan yang tersetrika rapi dan licin, mantel panjang motif kekinian yang tengah menjadi trend anak muda musim ini. Dia merasa sayang jika harus kehujanan dengan penampilan sebaik sekarang.
Simon memvoutkan bibirnya. Sekali lagi dia nyaris kehilangan kesabaran. Tetapi dia bertahan untuk tidak terus menerus mengomeli Zhehan.
"Aku harus berangkat sekarang sudah hampir pukul delapan," Simon menuju sebuah lemari yang lebih kecil di samping meja televisi, mengeluarkan jas hujan hitam dan memakainya.
Dia menyambar sebuah payung panjang yang disandarkan dekat rak sepatu.
"Kau akan memakai keduanya?" tanya Zhehan bingung.
"Ya, aku tidak ingin setelan indahku kena hujan."
"Oh," Zhehan berdiri mematung mengawasi Simon yang telah selesai mengenakan sepatu di ambang pintu.
"Kau terlihat seperti akan pergi ke pemakaman," komentar Zhehan.
"Apa? Sembarangan," Simon mendengus.
Dia nyaris berbalik dan berjalan keluar pintu saat ia mendadak menghentikan gerakannya. Perlahan, wajahnya menoleh ke arah Zhehan, menatapnya dengan ekspresi aneh yang berubah-ubah.
"Ngomong-ngomong, kau tidak akan pergi ke mana pun bukan?" tanyanya setelah keraguan yang nyaris membuatnya malu sekaligus kesal.
"Aku-kau bilang hari ini aku harus pulang," sahut Zhehan datar.
"Kapan aku mengatakan itu?" Simon mengintrupsi, suaranya terdengar lantang. Entah dia berusaha mengatasi deru hujan, atau dia mengatakannya karena kesal.
"Kau sendiri yang bilang akan pulang hari ini," lanjut Simon, komat-kamit.
"Jadi bagaimana?" Zhehan malah balik bertanya, jelas terlihat bahwa dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau akan pergi ke mana dirinya nanti.
"Terserah kau saja. Saranku, jangan pergi jika hari masih hujan. Itu tidak baik untuk kesehatan," setelah mengatakan itu Simon mengumpat-umpat di dalam hati. Dia sama sekali tidak pernah mengungkapkan perhatian pada siapa pun, bahkan teman dekatnya.
Tapi sekarang ia peduli pada seorang pemuda asing yang baru dikenalnya dua hari dengan cara yang tak masuk akal, dan kini mulai mempengaruhi suasana rumah dan juga moodnya.
Zhehan tersenyum manis, mempesona, terlihat benar-benar tulus. Melihat itu, Simon menelan liurnya, dia ingin sekali bertanya pada Zhehan apa pekerjaannya dan kenapa dia tiba-tiba berakhir di apartemennya. Tetapi obrolan panjang hanya akan menghabiskan waktunya yang tinggal sedikit. Dia harus bergegas ke kantor, jika tidak, dia akan terlambat dan kemungkinan besar gagal memperoleh pinjaman untuk biaya hidup mingguan.
"Aku pergi. Jaga rumah ini untukku, oke!"
Clunk!
Simon menarik pegangan pintu dan menghilang di koridor yang berbelok.
Zhehan tertegun sejenak sebelum dia bereaksi dengan penuh semangat.
Dia berniat akan membereskan ruangan-ruangan dalam apartemen Simon yang berantakan. Satu kamar tidur, satu ruangan tengah merangkap ruangan tamu, hanya dibatasi sekat kaca bergambar burung bangau, ruangan makan yang menyatu dengan dapur.
Zhehan berjalan menuju meja makan, meminum kopi pahit yang tinggal setengah serta beberapa gigitan roti bakar keras dan nyaris gosong.
Memikirkan darimana ia harus memulai merapikan kandang anjing ini.
***To be continued***
Please vote and comment if you like this chapter❤
Kira-kira kesananya bakalan sweet gak sih pasangan yang satu ini? 😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro