03 : The Lunch
Di bawah sengatan matahari pukul dua siang, Simon berjalan lunglai. Dia menendang-nendang kerikil yang kebetulan bersentuhan dengan ujung sepatunya.
Selama empat jam kerja di kantor dan menulis artikel, dia hanya minum segelas air mineral. Perutnya kini berontak tak karuan sementara atasannya beberapa kali memprotes hasil liputannya seminggu terakhir, menilai bahwa kinerjanya sangat buruk akhir-akhir ini dan bahwa dia bisa menendang karyawan magang seperti Simon kapan pun dia mau.
Tua bangka itu menghardik habis-habisan dengan liur yang menyembur-nyembur, batin Simon luar biasa kesal.
"Aahh ... hari ini sial amat," gumam Simon, menghembuskan napas.
Tasnya berayun lemas tersampir di bahunya yang merunduk turun.
"Sejak pagi mengalami hal-hal yang menjengkelkan. Artikel berantakan, dimarahi atasan, dompet hilang." Dia menendang satu butir kerikil yang berukuran lebih besar dari ukuran pada umumnya.
"Dan lagi, dompetku terjatuh di mana, ya?"
Dia menggaruk kulit kepalanya yang berkeringat.
"Dalam dompet keramat itu ada dua ratus yuan, seluruh asetku," dia kembali bermonolog.
"Aahh ... padahal aku harus bertahan hidup seminggu lagi dengan dua ratus yuan."
Satu tendangan keras lagi, dan sebutir kerikil lembali melayang bebas ke udara.
"Oi! Sialan!" seseorang berteriak keras, tiba-tiba menyerbu dari arah depan.
Simon terperanjat.
"A-pa?" dia melebarkan mata, bingung.
"Kau yang menendang kerikil itu?"
Ahh!
Orang yang datang itu seorang pria tua berambut kelabu, wajahnya meski sudah keriput di sana sini tetapi cukup tegas dan galak.
"Maaf, Kek, aku tidak sengaja," Simon mengernyit.
"Kakek? Aku belum punya cucu. Sembarangan!" umpat pria itu, mengusap-usap lepala bagian samping. Simon menduga bagian itulah yang kena timpukan kerikil barusan.
"Aku benar-benar sedang sial kek, tolong jangan persulit hidupku." Simon memasang tampang memelas.
Si pria mencibirkan mulutnya.
"Aku juga sedang sial, anak muda. Baru saja berkelahi dengan pemabuk, sekarang kena timpuk gara-gara orang iseng sepertimu."
Simon mengawasi si pria, lantas mengamati keadaan sekitarnya.
Karena sepanjang jalan asyik melamun, dia tidak menyadari bahwa apartemennya tinggal dua blok lagi ke arah timur, sekarang dia berada di lingkungan padat disesaki flat-flat sederhana.
"Oh, jadi ini daerah rawan preman ya, Kek?"
Pria berambut putih mengibaskan tangan, tampang galaknya mengisyaratkan Simon untuk pergi.
Kemudian terdengar beberapa kalimat umpatan dan sesekali bunyi pintu dibanting di kejauhan, sepertinya tengah ada keributan di salah satu halaman flat.
Pria tua itu mendengus keras, lantas berbalik menuju sumber suara gaduh yang membuat telinga berdenging risih.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Simon.
Si pria tua melambai tanpa menoleh.
"Keributan biasa. Salah seorang warga kami menghilang."
Simon menatap kosong, perut lapar dan kepala yang mulai pening menolak untuk diajak berpikir. Jadi dia hanya mengangkat bahu dan melanjutkan perjuangannya berjalan kaki di bawah panas terik matahari menuju apartemennya.
Simon nyaris dehidrasi saat tiba di depan pintu apartemennya. Dia merogoh ke dalam tas, mencari kunci duplikat. Jemarinya sangat lambat menemukan letak benda kecil itu hingga dia nyaris saja ingin menumpahkan seluruh isi tas. Tetapi beruntung, dia berhasil menemukan kunci sebelum benar-benar membanting tasnya ke lantai.
Dia memutar kunci dua kali sampai terdengar bunyi klik, dan begitu ia membuka pintu lebar-lebar, aroma sedap menyergap hidungnya yang nyaris mati rasa.
"Selamat siang." Raut manis Zhehan menyembul dari arah ruang makan.
Simon terperangah, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Semenit kemudian dia membuka sepatu dan melemparnya sembarangan. Menutup pintu dengan kencang dan nyaris membentak.
"Kenapa kau masih ada di sini?" dia memprotes, langkahnya terhuyung-huyung menuju ruang makan darimana sumber aroma sedap berasal.
"Aku belum berterima kasih dengan benar atas kebaikanmu menampungku," sahut Zhehan.
Dengan luwes, dia menata piring, mangkuk dan sumpit. Ada beberapa macam hidangan yang menggugah selera di atas meja. Membuat liur Simon yang kelaparan sepanjang hari nyaris menetes-netes.
"Woahh! Apa ini?? Hebat! Kamu yang masak?" dia tidak bisa menahan diri untuk takjub.
Penuh semangat, dia menarik kursi meja makan, duduk manis menghadapi menu makan siang yang istimewa.
Ada steak dengan saus jamur. Tofu dan sayuran saus tiram, nasi, sup kimchi dan juga ayam asam manis pedas khas Siczhuan. Zhehan mengambil piring kosong dan meletakkannya di depan Simon.
"Aku memesannya dari restoran terdekat, bagaimana mungkin aku memasak lima jenis makanan lezat ini tanpa bahan-bahan. Kulkasmu kosong dan berdebu, beruntung tidak ada laba-laba bersarang di sana."
Simon mencibir, dia menyendok nasi dan mengambil semua lauk dengan rakus.
"Konyol, mana ada laba-laba di dalam lemari es."
Zhehan kini duduk di depannya, mengambil piring untuk dirinya sendiri dan mulai mengambil makanan.
"Tapi tanpa dua ratus yuan, tidak bakalan ada menu makan siang sehebat ini," ujar Zhehan ringan, senyum masih terkembang di wajahnya.
"Apa??" Simon tersedak, dia menggapai-gapai meminta segelas air putih sementara wajahnya mulai memerah.
Zhehan terperanjat, dia segera menyodorkan air pada Simon dan pemuda sial itu meneguknya perlahan-lahan sebelum memijat-mijat kerongkongannya.
"Dua ratus yuan katamu?" dia mengulang setelah nafasnya kembali normal.
Dia mengepalkan tinjunya, sampai urat-urat kehijauan menonjol di punggung tangan.
"Kamu ... kamu ternyata ..."
Simon nyaris menyemburkan kata pencuri, tetapi Zhehan memotong dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Kau tidak suka aku memakai uangmu yang di atas meja televisi?" dia bertanya, sekaligus mengakui kebenaran di balik hidangan makan siang yang meriah ini, mata jernihnya kini diselimuti kabut kelabu.
"Maafkan aku, tapi-"
Simon lemas dalam duduknya. Dia menelan liur, kemudian menyangga dagu dengan telapak tangan. Rona merah dan kemarahan di wajahnya mulai memudar, berganti dengan pucat pasi.
"Ahh ... bangkrut," gumamnya lemas.
"Dua ratus yuan itu, seluruh asetku."
" ....??"
"Nampaknya aku harus berhutang untuk sisa minggu ini," Simon memvoutkan bibirnya. Terlalu letih untuk mengomeli Zhehan lagi.
"Maksudmu seluruh aset apa?" usik Zhehan semakin merasa bersalah, dia khawatir selera makan Simon hilang saat ini juga.
"Biaya hidup seminggu sampai gajian berikutnya kerja sambilan."
"Oh, kerja sambilan?"
"Ya. Aku wartawan freelance di sebuah tabloid mingguan bernama Hanna."
Zhehan menatapnya beberapa lama, kemudian menundukkan pandangan dengan malu. Mencoba mengendalikan suasana hati yang tidak nyaman, tangannya sibuk menuangkan air putih dingin ke dalam gelas.
Dia kembali menunduk, tidak tahan menghadapi tatapan Simon yang menuduh dan bersiap dengan omelan selanjutnya.
Di luar dugaan, Simon mengembangkan senyum tipis di sela raut wajah lelah, dan meskipun hambar, setidaknya itu sebuah senyuman. Zhehan menatapnya terpana, perlahan-lahan merasa lega.
"Ya sudahlah, pokoknya sekarang kita makan," Simon meneruskan acara makan yang tertunda sekian menit.
Sebelum kembali menguyah, Simon mengerling pada pemuda di hadapannya yang masih terlihat malu.
"Tidak perlu mempermasalahkan lagi asal uangnya. Kau sudah susah payah menyiapkannya dengan niat baik."
Zhehan seketika tersenyum cerah, binar indah itu kembali berpendar di matanya, mengunci tatapan Simon untuk sesaat.
Tanpa sadar, Simon berkata.
"Terima kasih makan siangnya."
Zhehan mengangguk, masih dengan tersenyum. Keduanya melanjutkan acara makan siang dalam keheningan yang nyaman.
Entah karena Simon terlalu lapar, atau karena hidangannya benar-benar lezat. Dia nyaris menghabiskan sebagian besar porsi makanan, seolah membalas dendam karena uang mingguan yang tiba-tiba melayang.
Satu jam kemudian, keduanya duduk di depan televisi. Hari sudah sore dan sinar matahari mulai menurunkan hawa panasnya, menerobos masuk jendela kaca, melewati kaktus-kaktus di ambang jendela dan jatuh di lantai ruangan tempat mereka duduk bersama sekarang.
Simon telah mencerna makan siangnya sekarang sehingga otaknya mulai bisa berpikir dengan normal.
Diam-diam dia melirik Zhehan yang tengah sibuk membolak-balik sebuah tabloid terbitan lama, sementara ia sibuk menekan-nekan remote televisi tanpa bisa menikmati satu pun programa acara,
"Zhehan," dia memanggil perlahan, suaranya terdengar aneh saat memanggil nama itu.
Zhang Zhehan menoleh, ekspresinya datar.
"Kenapa kau tidak pulang?" tanya Simon, tidak mempedulikan reaksi apa yang akan dia timbulkan.
Zhehan tidak langsung menjawab. Mungkin tengah berhati-hati memilih kata.
"Iya. Aku pasti pulang," sahutnya pelan, dan terdengar muram.
"Di mana rumahmu?" tanya Simon, dia agak sebal dengan nada sok perhatian yang tanpa sadar terlontar dari bibirnya.
"Tidak terlalu jauh, masih di kawasan ini."
Simon mengernyitkan dahi, mencuri pandang ke arah Zhehan, sekilas tatap dilihatnya garis hidung pemuda itu, tegas dan sempurna. Rahang yang kokoh, kulit halus putih dan bening. Bulu matanya lebat, lentik, menaungi sepasang bola mata jernih yang dipenuhi energi.
"Oh, masih di kawasan ini?" Simon segera memalingkan wajah ke arah televisi saat Zhehan tiba-tiba menoleh.
"Kau ingin mengusirku sekarang?" usiknya, terselip kekhawatiran dalam pertanyaan itu.
Simon merasakan emosi yang campur aduk. Di satu sisi dia kesal dengan kehadiran seseorang yang mengusik ketenangan di tempat tinggalnya, tetapi di sisi lain, meski cukup aneh mengakuinya, dia merasa senang ada seorang teman bicara yang entah mengapa, membuatnya merasakan kenyamanan yang sulit dijelaskan, meski dia memiliki firsat bahwa kenaifan pemuda itu akan membawa masalah-maslah kecil yang nyaris konyol.
Misalnya, insiden uang tadi.
"Tidak sekejam itu," Simon menggaruk-garuk kepala.
"Tapi aku memiliki beberapa kekhawatiran."
Zhehan menunduk, meremas-remas ujung tabloid dengan jemarinya.
"Aku tahu. Tapi kau sudah mengizinkan aku untuk menginap lebih lama lagi," sahut Zhehan.
" ....???"
"Bahkan kau bilang satu minggu."
"Apa? Kapan aku mengatakan itu??"
Simon menyembur, kekesalannya yang sudah menjadi sifat alami muncul ke permukaan.
"Saat kau sedang mabuk," Zhehan balas menantang.
"Kau-berani-beraninya," Simon mendesis gusar.
"Kau mengambil keuntungan dari seorang pria mabuk."
Zhehan terpana, mulutnya terbuka sedikit.
Ekspresi pemuda itu sangat alami dan juga terlihat imut, bibir tipisnya yang berwarna pink perlahan terkatup kembali. Dia kebingungan membalas tuduhan Simon yang seenak perut itu.
Untuk sesaat, Simon melekatkan pandangannya pada wajah asing yang baru dikenalnya, yang dengan cara aneh, tiba-tiba hadir dan menginap di rumahnya.
Matanya terpaku pada bibir tipis Zhehan dan dalam sekilas momen yang kritis, ia merasa dadanya berdesir.
Simon tidak bisa memikirkan kata-kata lain, tiba-tiba saja izin itu meluncur dari bibirnya.
"Tapi, baiklah. Kau boleh menginap lebih lama di sini."
Zhehan menatapnya tak percaya, dia mengulurkan tangan, meremas jemari Simon, mengguncangkannya sebagai tanda perasaan senang.
"Ah terima kasih..kau baik sekali."
Simon balas tersenyum, dengan senyuman terbaik yang ia miliki.
***To be continued 💞***
Opportunity never knocks the same door
Semoga Simon dan Zhehan bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk saling mengenal lebih dekat.
Gimana menurut reader semua? 😁
Please vote and comment ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro