кнυи α. α [тσg]
→• ✿ •←
"If I disappear, will you look for me?"
Tower Of God ©SIU
→• ✿ •←
Kafe yang tak terlalu ramai sekitar jam 7 malam. Reguler-reguler lain menikmati aktivitas mereka masing-masing, tak terkecuali pemuda bermarga Khun itu.
Ia mengetuk meja teratur dengan telunjuknya. Netra kobalt yang tampak datar itu memandang jam yang sudah menunjukkan angka 06.55.
"Selamat sore! Apakah Tuan sudah menunggu sangat lama?" Suara seorang gadis membuatnya mendongak.
"Tidak juga, ini belum masuk waktu janjian."
Gadis bertudung hitam itu duduk di hadapan Aguero. Ia menggerakkan jari tangannya untuk membuka penutup kepala, menampilkan surai (h/c) yang tampak lembut.
"Jadi apa kau mau bergabung?"
"Tuan sangat tidak suka berbelit-belit ya?"
"Benar, aku tidak ingin membuang-buang waktuku, (Name) (Surname)."
Netra (e/c) melebar. Sedetik kemudian tawa kecil keluar dari bibir ranumnya.
"Haha, Tuan pasti sudah mencari informasiku sampai akarnya."
Tidak ada jawaban yang keluar. Aguero menatap pantulan parasnya yang terpantul pada teh yang ia pesan.
"Mari kita mulai bayarannya."
"Lima puluh poin."
Senyap.
Aguero mendongak untuk melihat ekspresi sang gadis. "Bukankah itu terlalu sedikit?"
"Benarkah?"
"Untuk reguler sepertimu kau bisa meminta sekitar lebih dari tiga ratus poin."
"Tidak perlu, itu terlalu banyak untukku."
Helaan napas keluar. Sendok kecil berputar-putar di dalam air teh bak menggambarkan pikiran Aguero yang terlampau bingung dengan gadis di hadapannya.
"Kau yakin tidak mau menambahkan poinnya?"
"Sebelumnya aku ingin meminta sekitar empat ratus poin."
"Lalu kena—"
"—tapi setelah kupikirkan lagi tidak perlu, sebagai bayarannya kau harus menunjukkan sesuatu yang menarik selama aku menjadi anggota timmu, Tuan Khun Aguero Agnes."
Hal menarik?
Sebuah senyuman miring tergambar jelas di bibir si pemuda. Ia menghentikan gerakan tangan yang memutar sendok kecil dan kini fokusnya tertuju penuh pada (Name).
"Tentu, aku yakin bisa mengabulkan permintaanmu."
"Baiklah, jadi sepakat?" (Name) menjulurkan tangan kanannya yang diterima dengan ringan oleh Aguero.
"Sepakat."
"Mohon bantuannya, Tuan Aguero."
→• ✧ •←
Tiga tahun.
Tiga tahun telah berlalu sejak (Name) bergabung dengan tim Aguero.
Tanpa disadari, hubungan yang awalnya renggang mulai terjalin.
Keduanya menjadi lebih dekat. Lebih dekat daripada sikap manis yang dibuat Aguero untuk mengelabuhi Rachel.
"(Name)."
"Ada apa?"
"Kau mau ikut bersamaku?"
"Ke mana?" tanya si gadis yang masih sibuk merapikan bunga lavender yang berada di vas.
"Tangan Arlene, bersama Ran dan Nobic."
"Yang lainnya?"
"Mereka semua sibuk."
"Sibuk bersamaan?"
Aroma lavender tipis yang menyeruak masuk ke penciumannya membuat si pemuda mengangguk tanpa sadar.
Setangkai lavender yang layu diambil perlahan, (Name) tersenyum penuh arti dan menggeleng pelan. "Aku tidak ikut, aku sedang tidak ingin keluar."
"Kau yakin?"
"Iya."
"Benar-benar yakin?" tanya Aguero memastikan, tampak seperti mengharapkan kehadiran (Name).
(Name) menghentikan kegiatannya dan menatap iris kobalt itu. "Apa kau sebegitunya ingin bersamaku?"
"Kalau kau yakin baiklah, selamat tinggal." Aguero langsung menutup pintu kamar (Name) dan beranjak menjauh dari sana.
Diam-diam pipinya memerah tipis.
Bahkan Ran dan Nobic yang melihatnya merasa heran, namun memilih diam karena ingin segera menuju Tangan Arlene.
ೃ⁀➷ೄྀ࿐ ˊˎ-
Suasana yang runyam.
Beberapa orang menelusuri ruangan yang berada di bunker tempat tinggal dengan tergesa-gesa.
Tempat itu kini hening. Sangat hening hingga rasanya menyesakkan.
Sepasang iris kobalt bergerak kesana-kemari, mencari sosok yang tidak ada di pandangannya kini.
Dan sejak itu juga, seorang Aguero mulai merasakan hal yang belum pernah ia rasakan.
Rasa khawatir yang berlebihan.
Satu persatu pintu dibuka dengan kasar sembari terus meneriaki nama seseorang.
Sial, kau ada di mana?
"Khun! Sebelah sini." Aguero menoleh, berlari mendekati pintu yang ditunjuk oleh Wangnan.
Matanya melebar. Ia menatap kaget isi kamar itu.
Darah berada di mana-mana. Mayat rekan setimnya yang sudah kaku dengan mulut berbusa.
Dan tulisan 'FUG' yang ditulis di tembok menggunakan darah asli.
Namun sekeras apapun ia mencari di sana, seseorang yang ia cari tidak tampak. Pikirannya semakin kalut.
Aguero tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Dengan cepat ia membalikkan badannya. Hanya ada satu tempat yang biasanya dikunjungi oleh (Name) setiap hari.
Tempat di mana sinar dari luar bebas masuk ke dalam.
Brak!
"(Name)!" teriaknya dengan napas yang sudah naik-turun.
Namun ia tidak peduli.
Yang ia inginkan sekarang adalah seseorang yang ia teriaki sedari tadi muncul di hadapannya.
Dan itu terkabul.
Ia sangat lega melihat gadis itu.
Yang ditatap kembali menatap bingung, tangannya masih menggenggam beberapa tangkai bunga lavender dengan vas yang berisi air.
"Kau sudah kembali? Bagaimana Tangan Arlene?" tanyanya dengan suara lembut.
Aguero tak bergeming.
Hatinya merasa tenang saat suara sang puan memasuki indra pendengarannya.
Namun sesuatu yang ganjil membuat lamunannya berakhir. Aguero menangkup kedua pipi (Name) dan mengernyitkan keningnya.
"Ada apa dengan matamu?"
(Name) meletakkan bunga lavender serta vas yang masih berada di genggamannya.
Senyuman tipis diberikan, tangannya mengalihkan kedua tangan Aguero dari pipinya.
"... 'mereka' berkhianat."
"Aku lengah saat Dann berteriak kesakitan karena kakinya ditusuk."
(Name) menyentuh penutup mata yang terpasang di mata kirinya. "Dan Rachel melukai mataku sebelum kabur bersama yang lain, maafkan aku."
"Untuk apa kau meminta maaf?"
"Karena aku gagal menyelamatkan Gyetang, juga Dann."
Tidak dapat dipungkiri Aguero merasa gagal karena terlambat mengetahui penyusup di dalam timnya.
Jika ada yang harus disalahkan, itu adalah dirinya sendiri.
Ia merasa tidak becus dalam mengontrol hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Ini benar-benar pukulan yang lumayan membekas.
Namun ini bukanlah salah (Name). Aguero tidak akan pernah menyalahkan (Name) karena kecerobohannya sendiri.
Bahkan jika itu adalah kecerobohan (Name), ia tidak berniat untuk menyalahkannya.
Mungkin aku sudah gila, pikirnya dengan batin yang tertawa miris.
Pemuda itu membawa (Name) ke pelukannya, merengkuhnya erat karena terlalu takut akan kehilangan.
"Semuanya salahku, harusnya kau marah kepadaku," gumam Aguero tepat di telinga (Name).
Tangan (Name) yang hendak menyentuh punggung si pemuda terhenti beberapa saat, merasa takjub akan kalimat yang baru saja ia dengar.
Siapa sangka ucapan itu keluar dari mulut Aguero yang selama ini tampak tidak peduli kepadanya.
Netranya bisa melihat punggung Aguero yang mulai bergetar dan pelukan yang semakin mengerat. (Name) tersenyum tipis dan mulai mengusap punggung Aguero untuk menenangkannya.
"Kenapa aku harus marah kepadamu? Kau tidak melakukan apa-apa padaku, merekalah yang melakukannya."
Aguero perlahan menatap iris (Name) yang masih berpendar hangat meski salah satunya kini tertutup oleh penutup mata. Kedua tangannya masih tetap melingkar di pinggang (Name) seakan tak ingin lepas.
"Aku tidak ingin hal ini terulang."
"Em ... baiklah, lalu apa yang akan seorang Aguero lakukan?"
"Aku akan selalu berada di sisimu."
(Name) melebarkan matanya sejenak, sampai tawa kecil memenuhi ruangan yang kini terasa lebih baik.
"Itu terdengar seperti pengakuan perasaan."
Raut serius yang ditampilkan Aguero membuat (Name) bahkan tidak bisa tertawa lagi.
"Memangnya kenapa jika itu terdengar seperti pengakuan perasaan?"
"Eh? Tidak ... hanya saja—"
"—apa kau masih tidak paham?"
Semilir angin yang masuk melewati celah jendela membuat surai (h/c) milik si gadis mengalun lembut. Raut kebingungan terpampang jelas di sana.
"Paham ... apa?"
"Bahwa aku milikmu, biarkan aku menjadi milikmu, (Name)."
Sepertinya perasaan gagal milik Aguero telah menggerogoti akal sehatnya yang selalu berpikir logis.
Lidah (Name) kelu. Sampai beberapa saat lalu ia tidak berpikir hal yang seperti ini akan terjadi selama hidupnya.
Raut wajah Aguero yang tampak sendu menatap lurus netra (Name) yang masih terpaku. Berbagai kalimat bermunculan di pikirannya yang sedikit kacau.
"A, aku ...."
"Tu— tunggu sebentar." Aguero mengangkat tangannya sebagai isyarat berhenti, tangan lain digunakan untuk memegangi kepalanya.
Tampaknya ia telah mendapatkan kembali akal sehatnya.
"Kau bisa mengabaikan ucapanku barusan."
"Maaf ... aku— pikiranku sedikit kacau."
Tanda tanya memenuhi kepala (Name). Ia terdiam sembari memandang punggung Aguero yang bergerak ke pintu keluar.
"Aku perlu melihat keadaan Dann, apa kau bisa menunjukkannya?"
Langkah kaki perlahan terdengar dari arah (Name). Gadis itu berhenti dan menyunggingkan senyum tipis di belakang Aguero.
"Kalau kau menginginkannya, maka aku tidak punya pilihan lain, bukan begitu?" ucapnya dengan volume suara kecil.
Namun sekecil apapun, ruang kosong nan hening ini membuatnya terdengar jelas di telinga Aguero.
Aguero menoleh ke belakang dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan.
Alih-alih menjelaskan, (Name) menautkan jari-jemarinya dengan milik sang pemuda dan menariknya agar berjalan mengikutinya.
"Aku sudah melakukan pertolongan pertama pada kaki Dann, ayo, ikuti aku." (Name) melirik sekilas ke belakang, sedikit terkekeh melihat pemuda bersurai biru itu menatap bingung dengan telinga yang sudah memerah.
"... iya, baiklah."
"Apa kau malu?"
"Hah? Tidak, apa— apa-apaan yang baru saja kau ucapkan?"
(Name) tertawa mendengar Aguero yang tergagap ketika menjawabnya. Sisi lain yang menurutnya sangat lucu.
ೃ⁀➷endೄྀ࿐ ˊˎ-
Coba tebak husbuku siapa 😜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro