❛𝐓𝐞𝐧𝐧𝐢𝐬❜
Bagi Jimin, kehidupan itu bak jam pasir. Kita tidak akan tahu, kapan pasir yang ada di bawah akan terisi penuh sampai suatu hal dapat mengubah kehidupan 180° hingga jam pasir itu berbalik dan memulai semuanya lagi dari awal tapi di level yang berbeda. Semakin banyak perubahan maka semakin besar jam pasir yang dimiliki dan semakin bertambah levelnya. Semacam permainan, hanya saja melibatkan mental dan nyawa.
Hidup di sebuah panti asuhan tanpa tahu siapa yang melahirkannya cukup membuat Jimin merasa dibuang—tersisihkan, tidak diinginkan.
Berhasil diadopsi oleh keluarga kaya yang tak kunjung dikaruniai anak. Jimin pikir, ia bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga, tapi semua itu hanyalah mimpi di siang bolong. Kenyataannya tidak seindah itu. Ada terlalu banyak kekangan dan tuntutan. Pun setelah Jimin akhirnya mewarisi semua kekayaannya setelah kedua orangtua angkatnya itu meninggal karena kecelakaan, lelaki itu masih harus berjuang untuk mempertahankan semua itu.
Bertemu dengan Dahyun mungkin bisa dibilang sebagai suatu keajaiban, karena setelahnya, hanya ada hal-hal yang baik yang terjadi. Untuk kali pertama, Jimin berhasil mengecap apa itu kebebasan dan nikmatnya kehidupan. Saham perusahaannya kian melonjak, pun reputasinya juga semakin baik dimata publik. Keputusannya untuk pindah ke kota ini memang yang terbaik, dibanding tetap mempertahankan diri di Welt City yang kaku dan kolot.
Berjalan santai menuju lapangan tenis. Rekan mainnya—Taekyung—tiba-tiba saja bilang kalau dia tidak bisa datang, tapi dia sudah mencarikan pengganti untuk menjadi lawan main Jimin sekarang. Namanya Jungkook, lebih muda enam tahun darinya tapi sepertinya permainannya cukup bagus, mengingat Taekyung juga pasti tidak akan memberikannya pengganti sembarangan.
"Oh hyung!" Lelaki bernama Jungkook itu langsung melambaikan tangannya begitu Jimin sampai di lapangan. Tersenyum tipis, lelaki itu cukup berani untuk langsung menyapanya dengan akrab begitu, seolah sudah kenal lama. Baguslah, jadi ia juga bisa bersikap santai.
Meletakan tasnya dan mengeluarkan raket. Jimin kemudian menyahut, "Kau temannya Taekyung? Yoon Jungkook?"
Lelaki itu mengangguk. "Eoh, aku bisa langsung memanggilmu Jimin hyung, kan?"
Jimin terkekeh kecil. Ia mengangguk. "Boleh asal jangan hanya memanggil namaku saja."
"Tentu saja, hyung. Aku ini sangat menghormati orang yang lebih tua dariku," ujar Jungkook percaya diri lantas menjabat tangan Jimin santai. "Mau langsung main? Bolanya sudah aku siapkan sejak tadi."
Jimin mengangguk lantas mulai melakukan pemanasan sementara Jungkook berlari menuju sisi lapangan tenis yang lain. Meraih raketnya sementara tangannya yang lain memantul-mantulkan bola tenis ke permukaan lapangan berulang kali. Jungkook sudah siap, ia sudah melakukan pemanasan sembari menunggu Jimin tadi. Begitu Jimin telah memberinya sinyal, ia langsung melakukan servis dan permainan pun di mulai.
"Permainanmu cukup bagus, bahkan lebih bagus dari Taekyung. Tapi kenapa aku baru melihatmu di sini ya?" tanya Jimin sembari melemparkan minuman isotonik yang langsung ditangkap Jungkook.
Jungkook menarik sudut bibirnya tipis lantas menegak minuman itu santai, tubuhnya banjir keringat.
"Taekyung hyung belum bilang? Aku ini pendatang, asalku dari Welt City," ujarnya.
"Welt City? Wah ... Aku juga berasal dari sana."
"Jinjja?"
"Eoh! Biarku tebak, kau melarikan diri dari rumahmu?" terka Jimin.
Jungkook kaget. "Eoh? Darimana hyung tau?"
"Tentu saja aku tahu." Jimin mendudukkan dirinya di samping Jungkook. "Mereka strict sekali, kan? Memang, sudah seharusnya dunia anak muda dipisahkan dengan dunia orangtua. Hanya orang-orang tertentu yang kuat hidup bersama mereka hingga tumbuh dewasa."
"Kau benar hyung. Lagipula kita sudah dewasa, sudah bisa memilih jalan hidup sendiri."
"Tapi saranku, sesekali kau harus mengunjungi mereka." Jimin tersenyum tipis. "Karena tidak ada yang lebih baik dari keluarga. Kau seharusnya merasa beruntung karena masih memiliki mereka."
Jungkook terdiam, mengangguk setuju. "Iya, tapi aku belum siap. Ayahku pasti membunuhku," ujarnya sembari terkekeh kecil.
Jimin menoleh padanya. "Kau tinggal di sini?"
"Iya. Hyung juga?"
"Ani, aku pemilik beberapa apartemen di sini tapi sedang aku sewakan. Tadinya aku ingin sekalian berkunjung ke apartemen pacarku, tapi dia tidak sedang ada di sini."
"Eoh? Pacar hyung tinggal di sini?"
"Emm, awalnya jarang ditempati tapi semenjak ia menabrak seekor kucing dan ingin merawatnya, ia jadi lebih sering ke sini ketimbang ke mansionku."
"Menabrak kucing?"
"Iya. Lucu bukan? Padahal tidak biasanya dia seperti itu. Dia bisa saja langsung membawa kucing itu ke tempat perlindungan kucing, tapi dia tidak melakukanya, katanya kucingnya bagus. Tapi sampai sekarang aku belum pernah melihatnya."
Jungkook terdiam, entah kenapa itu mengingatkannya pada saat pertama kali bertemu dengan Dahyun hingga berakhir tinggal di sini.
"Kenapa diam saja? Kau mendengarkanku tidak?"
"Eoh? Tentu saja! Pacar hyung baik sekali ya, mau bertanggung jawab."
Jimin tersenyum simpul. "Ya ... Baik sekali." Entah kenapa, ia jadi merasa bersalah pada Dahyun.
"Ah ya, sekarang giliranmu. Pacarmu bagaimana? Eh, sudah punya pacar, kan?" tanya Jimin mengalihkan pembicaraan. Tidak biasanya dia langsung terbuka seperti ini pada orang yang baru dikenalinya tapi mengingat Jungkook adalah pendatang dan sepertinya anak baik-baik, ia tidak menyesal melakukannya.
"Ah itu ... Entahlah, bisa dibilang pacar atau tidak." Jungkook menggigit bibirnya, bingung juga harus mengatakannya seperti apa tapi dia memilih untuk bertanya. "Hyung, kau pernah bercinta, kan?"
"Mwo?" Jimin kaget sementara Jungkook menatapnya polos membuatnya mau tak mau tetap menjawabnya. "Tentu saja, memangnya kenapa?"
"Ani ... Aku hanya ingin tahu, bagaimana ... Ah maksudku, rasanya bercinta langsung dengan yang ada di mimpi itu berbeda, kan?" tanya Jungkook lagi, lebih frontal, membuat Jimin hampir tersedak minumannya sendiri. Gila, anak ini entah terlalu polos atau mesum. Bisa-bisanya menanyakan hal seperti itu sesantai ini.
Walaupun mereka sama-sama lelaki, tetap saja terasa aneh.
"Tentu saja berbeda! Wae? Kau merasa telah melakukannya tapi takut kalau itu hanya mimpi?"
Jungkook mengangguk. "Aku merasa telah melakukannya malam itu. Tapi dia bilang, kalau itu semua tidak pernah terjadi. Katanya, aku hanya bermimpi."
"Mwo?" Jimin tertawa, lepas sekali sampai hampir terjatuh. "Dia bilang begitu?"
"Eoh, kenapa hyung malah tertawa? Menyebalkan sekali."
"Kau benar-benar tidak tahu apa artinya itu?" Jungkook menggeleng, Jimin menepuk bahunya simpati. "Itu artinya, kemampuanmu jelek. Dia menolakmu."
"Mwo? Mana mungkin?!" Jungkook jelas merasa tersinggung. Sebal sekali melihat Jimin yang malah mentertawakannya. Enak saja bilang kemampuannya jelek. Biarpun sensitif, si Kookie ini sangat tangguh.
Ponselnya bergetar. Jungkook segera mengambil ponselnya di dalam tas. Senyumnya otomatis terukir saat melihat panggilan dari Dahyun.
"Lihat, dia langsung menelponku sekarang. Aku yakin, dia hanya malu saja untuk mengakuinya," ujar Jungkook membela diri. Ia segera membawa tasnya dan berdiri.
"Aku pergi dulu ya, hyung. Kapan-kapan kita bermain lagi." Jungkook segera pergi dari sana dan mengangkat panggilan Dahyun sebelum terputus.
Jimin memperhatikan Jungkook sekilas sampai menghilang dari pandangan lalu menghabiskan minumannya. Mengambil ponselnya, ia tiba-tiba teringat Dahyun. Wanita itu pasti masih marah padanya mengingat tidak ada satu pesanpun darinya yang dibaca tapi akhirnya, ia memutuskan menelponnya.
" ... Panggilan yang anda tuju, sedang sibuk. Tekan 1 untuk men—"
Jimin berdecak dan mematikan panggilannya. Menyugar rambutnya ke belakang, sembari menghela napas. Jimin jadi bertanya-tanya, Dahyun sedang menelpon siapa?
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro