Chร o cรกc bแบกn! Vรฌ nhiแปu lรฝ do tแปซ nay Truyen2U chรญnh thแปฉc ฤ‘แป•i tรชn lร  Truyen247.Pro. Mong cรกc bแบกn tiแบฟp tแปฅc แปงng hแป™ truy cแบญp tรชn miแปn mแป›i nร y nhรฉ! Mรฃi yรชu... โ™ฅ

โ›๐’๐จ๐ฆ๐ž๐ญ๐ก๐ข๐ง๐  ๐‹๐ข๐ค๐ž ๐‚๐ฅ๐จ๐ฎ๐ ๐ฉ๐ญ. ๐Ÿโœ

"Kau tahu, seseorang juga pernah mengatakan soal awan dan langit padaku."

Kali ini Dahyun sudah kembali tenang. Sudah hampir tengah malam, disana tinggal tersisa mereka berdua saja. Angin berhembus semakin kencang, Jungkook menggosok kedua tangannya lantas memeluk dirinya sendiri guna menghantarkan kehangatan sementara tubuh Dahyun sudah tenggelam oleh jaket besar miliknya.

"Siapa?" tanya Jungkook.

Dahyun menatap hamparan ombak itu dengan gamang. "Entahlah, aku tidak melihat wajahnya. Itu terjadi dua atau tiga tahun yang lalu kurasa, dia bilang kalau aku harus melihat langit, entah itu saat senang, sedih maupun bahagia. Disaat dunia memusuhi, maka langit akan selalu melindungi karena kemanapun kita pergi, langit dan awan akan selalu mengikuti." Dahyun tersenyum tipis, mengingat momen itu. "Perkataannya menyadarkanku, bahwa aku tidak berjuang sendirian dan sebesar apapun usahaku, semua itu tidak akan merubah dunia kecuali kehidupanku sendiri. Aku hanya bisa mengubah diriku, bukan orang lain apalagi dunia. Maka sejak saat itu, aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk kehidupanku. Aku tidak ingin merasakan apa yang pernah kurasakan di masa lalu."

Jungkook terdiam, perkataan Dahyun barusan terdengar tidak asing, ia seperti pernah mendengarkan perkataan yang serupa.

Menyadari Jungkook yang tak kunjung bicara, Dahyun lantas menoleh, menatap wajah lelaki itu dari samping. "Jungkook-ah, apa kau sungguh baru berusia dua puluh tahun? Perkataanmu tadi tidak terdengar sepertimu yang biasanya."

"Memangnya, biasanya aku seperti apa?"

Dahyun langsung memalingkan wajahnya. "Haruskah aku jujur? Kau cukup menyebalkan dan nakal."

Jungkook malah tersenyum. "Aku nakalnya cuma sama noona saja kok."

"Hanya buaya yang berkata seperti itu."

"Sungguh! Noona tidak percaya?"

"Eoh, memangnya kau punya bukti?"

"Bukti apa?"

"Bukti kalau kau hanya nakal padaku saja." Dahyun mengulum senyum, rasanya ia ingin tertawa melihat wajah polos itu.

"Noona sedang menggodaku?"

Dahyun tertawa. "Aniya! Aku hanya bercanda!" Rasa sesak dan sakit yang dirasakannya tadi itu perlahan lenyap, luruh begitu saja dan membawa kehangatan di malam yang damai ini.

"Kau tahu, aku bukan tipikal orang yang cepat dekat dengan orang asing. Bahkan aku tidak suka saat orang asing memasuki wilayah teritorialku tapi kau datang dan menghancurkan semuanya. Entah kenapa, walaupun kau menyebalkan dan sering membuatku kesal, aku selalu merasa nyaman saat sedang bersamamu." Itu memang benar bahkan Dahyun sendiri tidak tahu sejak kapan ia merasakan hal ini.

Sementara Jungkook malah gelisah sendiri. "Duh noona berhenti berkata seperti itu. Jantungku mau meledak!" protesnya. Ia bahkan memegangi dadanya dan mengatur napasnya berulang kali guna meminimalisir debar jantungnya yang membuatnya sangat bersemangat sampai mulas rasanya.

Tawa Dahyun semakin lepas, tangannya mendarat di pipi Jungkook mencubit-cubitnya gemas. "Aigoo ... Kau salah tingkah, huh? Kau begitu menyukaiku, ya? Hm? Aigoo neomu kiyowo."

Pipi Jungkook semakin memerah. Ini memalukan tapi melihat senyum Dahyun yang terlihat manis sekali membuatnya terdiam. Ia tidak pernah melihat Dahyun tersenyum selebar ini, secantik ini.

Rasa dingin yang dirasakannya mendadak lenyap, berganti dengan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Saat Dahyun akan menjauhkan tangannya, Jungkook menahannya, membuat tangan Dahyun tetap menempel di kedua pipinya.

"Noona ... Sekarang kau sudah tidak sedih?"

"Eoh?"

"Noona masih sedih tidak? Senyum noona ini tulus, kan? Bukan akting?"

Dahyun terdiam. Perkataan itu benar-benar menamparnya telak. Jungkook menurunkan tangannya, beralih menggenggam tangan mungil itu untuk menyalurkan kehangatan dari hotpack yang dia beli.

"Noona, aku pernah membaca, kalau orang yang banyak tersenyum dan tertawa adalah orang yang memiliki banyak masalah. Mereka melakukannya supaya orang-orang tidak tahu kalau dia sedang sedih." Jungkook mendongak, menatapnya hangat.

"Jadi noona, kau tidak perlu melakukannya di depanku. Aku senang melihat noona tersenyum dan tertawa tapi jika itu dilakukan supaya aku tidak khawatir lagi, maka berhentilah. Noona boleh menangis, marah dan meluapkan segala kekesalan noona di depanku."

Dahyun tersenyum miris, ia memang tidak bisa membohongi Jungkook. Padahal sebelumnya, tidak pernah ada yang menyadari itu, termasuk Jimin sekalipun.

"Yah ... Aku ketahuan deh tapi yang tadi itu bukan akting."

"Eoh?"

"Ya, tadi itu bukan akting. Aku tertawa sungguhan karena kau sangat menggemaskan," ucap Dahyun, tersenyum tipis sembari memainkan pasir di dekatnya. "Kau seperti anak kecil yang imut, polos dan tulus. Rasanya aku ingin punya anak sepertimu."

Manik Jungkook melebar, kaget. Dahyun yang baru menyadari arah perkataannya barusan langsung panik. "Ah bukan itu maksudku! M-maksudku bukan ingin punya anak bersamamu tapiโ€”"

"Iya noona, aku mengerti. Lagipula aku masih terlalu muda untuk menjadi seorang ayah jadi tunggu beberapa tahun lagi ya noona."

"Ish, bukan itu maksudku!" Dahyun memukul bahunya cukup keras beberapa kali membuat Jungkook tertawa.

"Aku hanya bercanda! Aduh! Noona sakit!"

Dahyun mendorong tubuh Jungkook sekuat tenaga sampai tumbang, mencium pasir. Wanita itu berdecak, "Kau menyebalkan! Padahal aku baru saja memujimu."

Jungkook bergeming, tidak mengatakan apapun. Posisinya yang berbaring menyamping memunggungi Dahyun, membuat wanita itu jadi agak merasa bersalah.

"Kenapa diam saja? Kau merajuk?"

Jungkook tetap diam. Dahyun menyentuh bahunya pelan tapi lelaki itu langsung menyingkirkannya kemudian bergerak menjauh tanpa berkata apapun. Benar, dia sedang merajuk.

Dahyun menghela napas. Apa dia terlalu keras tadi?

"Jungkook-ah mianhe."

Masih tidak ada jawaban.

"Ya, jangan merajuk seperti anak kecil. Aku kan sudah minta maaf."

Jungkook tetap tidak menjawab.

Dahyun menghela napas lagi. Ia mendekat perlahan, mencoba mengintip dibalik punggungnya namun saat itu pula, tengkuknya ditarik ke bawah bertepatan dengan perubahan posisi Jungkook menjadi berbaring sempurna, membuat kedua belah bibir mereka bertumbukan sesaat.

"Permintaan maaf diterima."

Dahyun kaget, ia segera memperbaiki posisinya seperti semula. Beruntung saat ini hanya ada penerangan dari sang rembulan, jadi Jungkook tidak dapat melihat rona merah di pipinya.

Jungkook merubah posisinya menjadi duduk, seraya membersihkan pasir di bajunya. "Yah ... Bajuku jadi kotor deh." Jungkook melirik Dahyun yang menatap lurus ke depan dengan angin yang menerbangkan beberapa helai rambutnya. Bahkan dengan pencahayaan redup pun, wanita itu tetap terlihat bersinar.

"Noona, mau tahu kenapa tadi aku diam saja saat noona minta maaf?"

Dahyun mengernyit samar, tetap bergeming. "Kenapa?"

"Tadi aku sedang berpikir, apakah aku harus membalas atau tidak."

Dahyun mendelik. "Ya, apa permintaan maafku saja tidak cukup? Kau mau balas memukulku, begitu?" Wanita itu menggeser duduknya, membuatnya kini duduk berhadapan dengan Jungkook

"Sini, balas saja! Aku tidak takut!" Dahyun yakin, kalau Jungkook tidak akan balas memukulnya namun yang terjadi di luar dugaan. Lelaki itu mendorong bahunya hingga berbaring miring di atas pasir namun kepalanya mendarat di lengan Jungkook membuat mereka kini jadi berbaring dengan saling berhadapan.

"Pasirnya hangat, kan? Aku ingin noona merasakannya juga, supaya tubuh noona menghangat."

"Kenapa kau tidak membawaku ke hotel saja sekalian? Disana lebih nyaman."

Jungkook terkekeh. "Dan membuat Jimin hyung tahu dimana kita saat ini?"

"Ah iya, dia pasti sedang mencari keberadaanku saat ini." Mengingat Jimin yang memiliki banyak koneksi, pasti mudah sekali baginya untuk tahu keberadaan Dahyun jika mereka check in di hotel.

"Noona, kupikir kau pintar tapi rupanya ceroboh juga ya," ujar Jungkook yang terdengar seperti ejekan ditelinganya.

"Lalu, kita akan tidur di sini sampai pagi begitu?"

"Tentu saja tidak."

"Lalu di mana? Di mobil?"

Jungkook menggeleng. "Bukan juga. Ada penginapan di dekat sini. Posisinya agak terpencil jadi Jimin hyung mungkin tidak akan menemukan kita di sana tapi-"

"Tapi apa? Tempatnya jelek?"

"Bukan itu, tempatnya bagus kok. Walaupun tidak semewah hotel, tapi tempatnya nyaman, noona pasti suka."

"Terus kenapa kau terlihat ragu?"

"Ya, masalahnya, tempatnya limited sekali jadi hanya ada satu kamar."

"M-mwo?"

"Noona ... Kita bisa tidur bersama lagi, kan?"


[]
Epilog

Saat itu Dahyun masih kuliah. Wanita itu tengah berlibur ke kota sebelahโ€”Welt City. Padahal, Dahyun sudah menyiapkan semuanya tapi yang terjadi tetap seperti mimpi buruk yang selalu menghantuinya tiap malam sebelum sampai di kota ini.

Tidak ada yang menyukainya. Walaupun tidak sampai membuli seperti saat di sekolah, mereka tetap melayangkan tatapan penuh kasihan padanya. Tatapan yang paling dibencinya. Ia paling tidak suka dikasihani. Itu lebih buruk daripada ujaran kebencian.

Apa tumbuh bersama ayah tunggal adalah sebuah kesalahan? Pun bukan keinginannya juga tetap lahir ke dunia ini dan membuat ibunya meninggal beberapa saat setelah melahirkannya.

Itu bukan salahnya, Dahyun juga ingin punya ibu, tapi kenapa orang-orang malah melihatnya seperti pembunuh?

Untuk beberapa saat, ia menyingkir dari rombongan. Naik ke atas tangga hingga mencapai rooftop. Duduk di sana sembari melihat teman-temannya yang tengah bercengkrama di bawah sana.

Sempat terbesit untuk melompat ke bawah sana tapi rooftop ini tidak cukup tinggi untuk membuatnya mati saat terjatuh. Ia mungkin hanya akan menderita patah tulang dan berbagai komplikasi lainnya yang malah akan membuat hidupnya semakin menyedihkan.

Seorang lelaki yang memakai seragam sekolah menengah tiba-tiba saja berdiri tak jauh di sampingnya. Meminum susu pisang lalu membuangnya ke bawah sana, tepat menimpa salah satu teman Dahyun yang selalu mengejeknya.

"UPS, I'M SO SORRY! NOONA, AKU TIDAK SENGAJA!" teriaknya yang membuat mereka mengamuk dan mengumpatinya membuat Dahyun segera menarik tangan anak itu lalu membawanya untuk duduk di salah satu bangku di sana sebelum ada yang melihatnya ada di rooftop ini.

"Ya, neo micheosseoh? Mereka bisa menghajarmu," ujar Dahyun panik sembari mencuri-curi pandang ke bawah sana. Dahyun menghela napas lega saat melihat mereka sudah kembali seperti biasa walaupun masih terlihat kesal karena lemparan anak ini tadi.

Lelaki itu melirik ke arahnya. Dahyun menengok jam tangannya, waktu istirahatnya tinggal sebentar lagi. Ia harus segera turun dari sini.

"Noona, pasti berat sekali ya memiliki teman seperti mereka?" tanyanya tiba-tiba membuat Dahyun berdecak.

"Kau tidak tahu apapun, jangan mencampuri urusan orang lain, itu merepotkan," ujar Dahyun tanpa melihat wajahnya

Lelaki itu menarik senyum tipis, ia menatap ke arah langit yang dipenuhi awan bak serabut putih tipis dengan sela-sela yang bercahaya.

"Noona, saat kau senang, sedih maupun kesal, coba kau lihat langit di atas sana. Bukankah langit itu indah? Disaat dunia memusuhi, langit akan selalu melindungi. Karena tak peduli kemanapun kita pergi, langit dan awan selalu mengikuti."

Perkataan seorang lelaki yang jauh lebih muda darinya itu sangat menyentuhnya. Ketika Dahyun menoleh untuk melihatnya, anak itu justru sudah berlari dan pergi dari sana. Pertemuan singkat namun sangat bermakna. Mungkin, hanya kejadian itu saja yang membuat Dahyun tidak menyesal ikut liburan semester saat itu.



[]

Ternyata mereka udah pernah ketemu ya, tapi gk ada yg inget๐Ÿ˜‚

Another healing part, part terpanjang, semoga suka๐Ÿ’œ

Bแบกn ฤ‘ang ฤ‘แปc truyแป‡n trรชn: Truyen247.Pro