
❛𝐒𝐨𝐦𝐞𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐋𝐢𝐤𝐞 𝐂𝐥𝐨𝐮𝐝❜
Andai saja manusia sama seperti ponsel, mungkin kita bisa memilih, memori mana yang bisa kita buang dengan sesuka hati. Sayangnya, manusia cenderung terus mengingat hal buruk walaupun mereka tahu, memori itu perlahan bisa menghancurkan mereka pula. Sama halnya dengan Dahyun.
Andai saja dia bisa memilih, Dahyun mungkin akan menghapus memori saat dia masih bersekolah. Nyaris tidak ada hal membahagiakan selama ia mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas itu. Sampai kapanpun, "sekolah" adalah mimpi terburuknya.
Menghela napas panjang, sampai kapan pun luka di masa lalu itu tidak akan pernah sembuh jika terus diingat seperti ini, namun Shijin malah memberinya luka baru. Dahyun sebenarnya sudah lelah dengan semua ini. Ingin menghentikan semuanya dan pergi ke tempat asing dimana tidak ada seorang pun yang mengenalnya kalau bisa. Tapi ia tidak bisa pergi selagi masih ada ikatan yang membuatnya terjerat di kota ini.
Lamunannya buyar saat seseorang menyampirkan jaket ditubuhnya. Jungkook muncul dengan dua cangkir cokelat panas di tangannya dan memberikan satu untuknya.
"Noona, mau minum di sini atau di atas?" tanyanya setelah mendudukkan dirinya di samping Dahyun.
Omong-omong, saat ini mereka memakai pakaian yang sama—sweater hangat berwarna putih dan cokelat susu dengan bawahan celana jeans—iya, pakaian couple karena toko yang Jungkook datangi saat sore tadi adalah toko yang menjual pakaian khusus untuk pasangan. Entah memang kebetulan atau disengaja. Dahyun sih tidak keberatan karena ini lebih baik dari pada memakai bikini basah.
"Aku masih ingin di sini." Dahyun memegang cangkir itu dengan kedua tangan seraya meniupnya perlahan sebelum meminumnya sedikit. Udara malam hari cukup dingin, apalagi angin pantai berhembus cukup kencang tapi suara ombaknya membuat Dahyun merasa tenang dan damai.
Jungkook juga meminum cokelat panas miliknya. Lelaki itu beberapa kali mengulum bibirnya gelisah. Ingin bertanya, tapi ragu. Takut kalau dia salah bicara dan malah membuat mood Dahyun memburuk hanya karena rasa penasarannya. Alhasil Jungkook hanya diam saja walaupun benaknya terus mendesak untuk angkat bicara.
"Kau tidak akan bertanya?" celetuk Dahyun setelah beberapa saat hanya ada keheningan, manik Jungkook langsung melebar.
"Eoh?"
Dahyun melirik ke arahnya membuat mereka kini saling berpandangan. "Kau, tidak akan bertanya apapun padaku? Maksudku ... tentang kejadian tadi. Kau sama sekali tidak penasaran?"
"Eoh? T-tentu saja aku penasaran. Tapi ... Aku takut kalau pertanyaanku ini malah membuat noona merasa tidak nyaman jadi aku hanya menunggu saja sampai noona menceritakannya sendiri padaku."
Dahyun terkekeh kecil mendengarnya membuat Jungkook mengernyit bingung. "Noona sedang menertawakan, ku?"
Dahyun menggeleng. "Aniya, aku hanya heran saja. Ternyata ada ya orang yang lembut sepertimu. Maksudku ... Ini baru pertama kali, aku bertemu dengan orang sepertimu. Kebanyakan orang yang kutemui justru hanya mementingkan rasa keingintahuannya saja tanpa memikirkan orang yang merasakannya."
"Apa itu pujian?"
"Iya. Aku senang kau tidak banyak bertanya jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab."
"Noona! Tapi aku penasaran," ujar Jungkook setengah merajuk. "Saat itu aku sedang ke toilet, dan begitu aku kembali, semuanya sudah berkumpul lalu noona terjatuh ke kolam."
"Eoh? Jadi kau tidak melihat kejadian awalnya?"
Jungkook menggeleng. "Apa noona bertengkar dengan Jimin hyung?"
"Eoh? Ya ... Bisa dibilang begitu. Dia menyebalkan sekali tadi." Dahyun menggigit bibirnya. "Umm ya ... Aku benar-benar dipermalukan dihadapan banyak orang oleh orang yang kupercayai selama ini."
Dahyun tersenyum miris, matanya mulai memanas. "Dan kau tahu, dia lebih membela sekretarisnya padahal dia yang—ahh mian, sepertinya aku terlalu terbawa suasana." Dahyun memalingkan wajahnya dan segera menghapus air matanya yang mengalir. Ia benci memperlihatkan sisinya yang lemah ini pada orang lain, terlebih pada Jungkook yang jauh lebih muda darinya namun air mata itu terus mengalir membuat Dahyun tak kuasa menahannya lagi.
"Jungkook-ah ... Bisakah kau pergi meninggalkan ku sendiri sebentar? Aku ... Aku—" Dahyun membeku saat sebuah jaket menutupi kepala dan tubuhnya, disusul dengan rangkulan hangat yang membuat kepalanya bersandar di bahu lelaki itu.
"Menangislah noona, tidak ada yang melihat, hanya ada aku. Aku akan di sini."
Dan tangis Dahyun kembali pecah. Bak sebuah dinding beton yang hancur oleh terjangan banjir bandang, semuanya luruh begitu saja bersama rasa sakit yang selama ini ia tahan seorang diri.
Hari ini, Dahyun merasa telah bertemu dengan dirinya di masa lalu yang lemah, menyendiri dan selalu menjadi bahan cemoohan. Dirinya yang pengecut yang pernah memutuskan untuk bunuh diri kalau saja Jimin tidak datang menyelamatkannya waktu itu. Tapi hari ini, malah Jimin sendiri yang membuatnya kembali merasakan ketakutan yang dialaminya beberapa tahun silam.
"Noona, kau tahu, kau adalah orang terkuat yang kutemui setelah ayahku. Kalian sama-sama keras tapi juga lembut di dalam. Berusaha tegar padahal rapuh. Kalian sangat mirip."
Tangis Dahyun sudah tidak separah tadi, ia mulai tenang dan mendengarkan ucapan Jungkook dalam diam.
"Tapi noona, menangis bukanlah tanda seseorang itu lemah, justru manusia terbaik menurutku adalah mereka yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Mengakui kekurangan dan memanfaatkan kelebihan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, noona."
Dahyun terdiam, perkataan Jungkook benar-benar menyentilnya. Harga dirinya jelas terluka tapi di sisi lain, perkataan Jungkook juga menyadarkannya.
"Aku tidak tahu, seberapa berat masalah yang noona hadapi. Aku juga tidak akan meminta noona untuk menceritakannya padaku. Aku hanya akan menemani karena aku tahu, berjuang sendirian itu sangat sulit dan menakutkan."
Air mata Dahyun kembali mengalir di pipinya. Jungkook merubah posisinya, lantas membuka jaketnya yang sejak tadi menutupi kepala Dahyun. Lalu meraih wajahnya dan menghapus air mata Dahyun dengan jarinya.
"Noona, kau punya aku. Apapun masalahnya, kuharap noona tidak pernah menangis sendirian."
Dahyun balas menatap Jungkook sementara lelaki itu mengulas senyum hangat. "Anggap saja aku awan yang selalu menghiasi langit. Walaupun orang-orang lebih memuja matahari dan bulan tapi awan akan selalu ada bahkan bersatu untuk menurunkan hujan saat melihat bumi membutuhkan air. Begitupun dengan noona, biarpun masih ada Jimin hyung, aku akan berusaha untuk menemani noona disaat-saat tersulit."
"Jungkook-ah—"
"Ah, mian, noona pasti merasa aneh sekali ya mendengarnya." Jungkook menggaruk belakang lehernya malu. "Itu spontanitas saja, aku memang tidak pandai berkata-kata tapi—" Jungkook membeku saat Dahyun menghambur dan memeluk tubuhnya erat sekali.
"Gumawo ... Jinjja gumawo, Jungkook-ah."
Jungkook balas memeluknya hangat. Jujur, ia sendiri kaget dengan perkataannya tadi, semuanya mengalir begitu saja, mungkin karena Jungkook pernah mengalami hal yang serupa, makanya ia cukup paham dengan apa yang dirasakan Dahyun saat ini.
Tanpa sadar, pertemuan mereka menjadi salah satu momen menyembuhkan satu sama lain. Dahyun dengan masa lalu kelamnya sementara Jungkook dengan masa lalu penuh kekangan. Keduanya sama-sama memiliki luka namun berlindung dibalik senyuman.
Manusia terkadang memang senaif itu.
[]
Umm ... Ini agak diluar ekspektasi sih, semoga feelnya nyampe ya walaupun kurang hangat
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro