
❛𝐏𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭❜
Menjadi "sempurna" tidak selalu menyenangkan. Ada kalanya, Dahyun harus tetap mengulas senyum walaupun sedang sedih. Pun ketika ia bertengkar dengan Jimin, ia harus tetap bersikap seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi, membuat mereka tanpa sadar selalu melakukannya. Membuat kesalahan dan melupakannya begitu saja.
Entah sejak kapan hubungan ini berlangsung. Jimin dan Dahyun sama-sama tidak bisa mengelak, pun mereka juga sudah terlanjur nyaman berada di posisi ini. Belum pernah terpikirkan untuk berhenti, apalagi Dahyun selalu meyakinkan dirinya sendiri kalau bukan ia saja yang berjuang tapi Jimin pun demikian. Mereka saling suka, saling cinta, saling membutuhkan. Dahyun terus menekankan itu dalam dirinya tiap melihat Jimin tengah menggoda wanita lain di depannya.
Well, Dahyun sadar betul, hubungan mereka ini benar-benar tidak seperti yang orang lain bayangkan. Dahyun sendiri tidak pernah melarang Jimin bermain di belakangnya, terserah, asal tidak ketahuan. Tapi kalo terang-terangan di depannya seperti ini, jelas ia marah.
"Jimin, aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa setiap melihat kelakuanmu yang seperti ini."
"Apa? Aku hanya menyapanya saja, tidak usah berlebihan."
"Berlebihan? Cium pipi kanan kiri itu bukan berlebihan? Jimin, kau tahu sendiri hubungan kita seperti apa. Kalau ada orang lain yang tahu, kita bisa dianggap—"
"Pembohong?" Jimin berdecih sinis. Meremehkan. "Bukankah kenyataannya memang begitu? Kita melakukan semua ini untuk meraih tujuan masing-masing. Kau bersinar di jalanmu sementara bisnisku semakin maju dan meningkat. Kita sama-sama untung kan? Jadi jangan mendesakku untuk terus menuruti keinginanmu, Sayang."
Jimin membelai pipi Dahyun penuh kelembutan, menggodanya terang-terangan hingga menghantarkan getaran yang selalu Dahyun rasakan saat disentuh olehnya. "Aku bisa memberikan apapun untukmu, tapi tidak dengan kebebasanku. Aku paling tidak suka diatur dan ya, aku juga tidak sebodoh itu untuk menunjukan yang sebenarnya pada publik."
Jimin mencium tengkuk leher Dahyun sekilas, kemudian berlalu pergi meninggalkannya.
Dahyun masih bergeming di tempatnya. Entah kenapa, rasa sakit itu masih belum hilang dan perkataan Jimin barusan benar-benar menyakitinya. Seolah, hubungan mereka tidak lebih hanya sebatas untuk "menyenangkan" publik saja. Bukan kisah cinta yang tulus.
Memang seharusnya begitu, kan? Tapi kenapa Dahyun merasa kecewa? Memang, seharusnya ia tidak menaruh harapan lebih pada Jimin.
Sepulangnya dari kantor, Dahyun langsung ke apartemen. Entah hal apa yang membuatnya jadi lebih sering pulang ke sini dibandingkan ke mansion. Mungkin karena di sini ada orang lain yang bisa menemaninya, tidak seperti di mansion, biarpun luas, hanya ada dia sendiri di sana.
Namun Dahyun tak menemukan presensi Jungkook. Lelaki itu entah pergi ke mana. Tidak bilang. Tumben, biasanya kalau mau pergi kemana pun selalu mengabari.
Tunggu, kenapa ia jadi terdengar seperti ingin sekali dikabari oleh Jungkook? Padahal jelas, lelaki itu adalah orang asing yang baru beberapa hari ia kenal.
Baru saja ia menjatuhkan dirinya di sofa, seseorang terdengar memijit sandi pintunya, disusul dengan suara pintu yang dibuka hingga sosok Jungkook yang mengenakan setelan olahraga muncul.
"Eoh, noona, sudah pulang? Kapan kau kemari?" tanyanya, masih dengan napas memburu. Lelaki itu berjalan menuju dapur, membuka kulkas dan meminum minuman isotonik dingin dengan rakus. Terlihat capek sekali, sepertinya Jungkook baru saja kembali dari gym. Memang, ada gym khusus di sini, ada kolam renang juga, fasilitasnya sangat lengkap.
"Baru saja. Kau ... habis berolahraga?"
"Eoh, bukankah noona bilang kalau aku harus menjaga tubuhku?"
"Ya, tapi ... Memangnya kau sudah sembuh?"
"Lengan dan kakiku masih bisa digerakan kok. Tinggal luka dipermukaannya saja yang belum hilang." Jungkook berjalan mendekat, mendudukan dirinya di sofa sebelah Dahyun.
"Noona kenapa? Ada masalah?"
"Eoh? Ani." Dahyun mengelak tapi Jungkook malah terus menatapnya dengan kening berkerut, seolah memaksanya untuk jujur membuat Dahyun akhirnya menghela napas.
"Ya ... Ada sih. Terlihat sekali, ya?"
Jungkook mengangguk mantap. Wajahnya serius sekali. "Ekspresi noona itu mudah sekali ditebak. Bahkan aku bisa menebaknya hanya dengan melihat mata noona saja."
Dahyun terkekeh, "Benarkah? Aku tidak percaya."
"Perlu bukti?" Jungkook mensejajarkan tubuhnya, jadi berhadapan dengan Dahyun. "Sini, noona mendekatlah. Coba buat ekspresi sembari menutup area bibir. Biarkan aku menebaknya."
Dahyun menggeleng. "Tidak mau, buang-buang waktu saja."
"Ayolah noona, aku ingin membuktikan kalau aku sudah cukup mengenal noona."
"Aigoo ... Sana pergi mandi saja dulu, baumu semerbak sekali, pusing."
"Oh ya? Padahal orang-orang ditempat kerjaku bilang kalau keringatku wangi."
"Justru karena itu! Hidungku sangat sensitif, pusing sekali jadinya. Sana mandi!" Dahyun sampai mendorong tubuh Jungkook. Lelaki itu tertawa saja, malah dengan sialannya mengajaknya bergabung.
"Ini tawaran yang sangat langka! Aku akan membiarkan noona melihat tubuh indahku sepuasnya."
"Yoon Jungkook, jangan menguji kesabaranku."
"Bercanda noona, bercanda. Tapi kalau noona mau lihat tidak apa-apa si, aku malah senang."
Astaga, dia kenapa si, kenapa jadi nakal seperti ini? Dahyun sampai pusing sungguhan.
"Sepertinya aku sudah gila, memang lebih baik tinggal sendiri." Dahyun kembali membaringkan tubuhnya seraya memijat keningnya frustasi.
Disisi lain, Jungkook yang sudah masuk ke kamar mandi tengah meninju-ninju udara saking saltingnya. Kedua pipi dan telinganya memerah. Definisi salting oleh perkataan sendiri.
"Kookie-ya, tenang okey, jangan sampai aku harus menenangkanmu lagi hari ini. Aku belum beli sabun baru."
[]
Mr. Cookies di cerita sebelah be like: enak aja lu pake nama kesayangan gue buat batang lu 🗿
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro