Nishinoya Yuudoyono
Nishinoya Yuudoyono tengah melamun. Ini langka. Mengingat pemuda dengan tubuh minimalis bersemangat maksimalis itu lebih suka jelalatan kesana kemari ketimbang meraba awang-awang.
Sohib seperjuangannya di buat terheran. Mereka jadi ketar-ketir. Apa mungkin Noya sedang kesambet setan penghuni gudang sekolah yang meninggal karena tertabrak bebek.
Kok bisa mati tertabrak bebek?
Bisa saja, soalnya si bebek naik mobil kolbak.
Kembali ke topik utama.
Yang dilamunkan si Noya tentulah bukan bagaimana cara agar Indonesia bisa maju. Bukan pula bagaimana caranya menghentikan konflik dunia.
Remeh, dan tak penting.
"Aargh!"
"No, no, panggilin ustad Ukai! Kayaknya Noya beneran kerasukan penunggu gudang sekolah!" si botak --eh Tanaka Riyudin langsung panik. Noya merupakan satu-satunya sohib yang se-frekuensi dengannya. Tentu saja Tanaka tidak mau kehilangan Noya.
Eno Bening Shita Cikarang hanya menyimak dengan seksama kepanikan tak berguna temannya. Pemuda kelahiran Cikarang itu sudah menebak apa kiranya yang membuat Noya berada di dalam mode aneh.
"No, buruan panggil!" Tanaka makin panik. "Bissmillah hirahman nirrahin, bismika allahuma akhya wa bis mika amudz... setan bubar, setan!"
"Tenang Tan." Akhirnya Enoshita angkat suara. "Noya nggak kesambet. Dia cuma lagi gegana."
"Hah gegana, apatu?"
"Gelisah, galau, merana. Benerkan Noy?"
Yang ditanya hanya mengangguk lemas sambil menangkup wajah dengan tangannya. Mulut manyun. Tatapan mata pun tak secerah Mentari di negeri tabi.
"Jadi, si Noya kenapa No?" Tanaka kembali duduk tenang. Kemudian mencondongkan tubuh ke Eno.
Tentu saja Eno sedikit memundurkan tubuhnya. Dia normal. Hasratnya tidak tergugah dengan pendeknya jarak yang tercipta antara mereka.
"Kenapa No?!" Tanaka mendesak.
"Mundur dulu bisa." Saitama kw pun mundur. "Noya galau karena apalagi coba. Ya karena Nem."
Manusia terjangkit virus gegana-19 hanya bisa menghela napas. Tebakan Nono (panggilan sayang Noya untuk Eno) sepenuhnya benar.
"Kok lo galau mulu sih Noy. Perasaan pas dulu suka sama kak Kiyoko lo nggak gitu." Dengan santai, Tanaka menyeruput es teh manis kepunyaan Eno. Lho kok? Iya, soalnya perekonomian Tanaka belakangan tidak mampu untuk membeli secangkir teh manis kantin.
Masih menangkup wajah, Noya melirik sekilas sohib tak berambutnya. "Hm... Gue juga heran Tan. Kenapa ya. Kok sekarang dikit-dikit galau mulu bawaannya."
"Lo galau karena apa Noy?" tanya Eno.
Ringan sekali Tanaka menyetil dahi Eno. "Lo gimana sih No. Kan lo yang bilang sendiri kalau si Noya galau gara-gara si Nem."
Eno membalas. Ia pukul kepala aesthetic milik Tanaka menggunakan bakwan. "Kalau itu gue tahu. Maksudnya, hal apa Yang dilakuin Nem sampe bisa bikin Noya galau."
Lagi, Noya menghela napas. Capek menangkup wajah. Noya berganti gaya. Kali ini ia menyandarkan kepala diatas meja kantin. "Dia nggak ngelakuin apa-apasih."
"Lah, terus kenapa lo galau?" Enoshita mulai gregetan.
"Itu... Gue galau karena tadi, ada yang deketin Nem."
"Hah siapa?!" Tanaka kaget.
"Bang Sugawara Kosasih." Noya manyun.
"Satu doang?"
Noya mengangguk lemah.
"Elah Noy!" tangan Tanaka merangkul bahu sohibnya. "Satu doang. Dulu pas lo suka mbak Kiyoko, hampir setengah sekolah pada coba deketin dia, tapi lo biasa aja."
"Gue juga bingung Tak."
"Tak?"
"Maksud gue Tan."
"Oh..."
"Btw, Noy lo galau karena takut Nem kepincut sama bang Suga?" tanya Eno.
Lagi-lagi, Noya hanya mengangguk lemah.
"Makannya cepet tembak Nem nya."
"Gue takut di tolak No."
"Nani?!"
Tanaka sama Eno ketawa ngakak. Noya malu, seorang Nishinoya yang tingkat percaya dirinya tidak berotak merasa malu. Sungguh joke yang sesuatu sekali.
"Kok malah pada ngakak?"
"Aduh perut gue jadi dua," ucap Tanaka disela gelak tawanya. "Sialan! Noy, lawakan lo makin maknyus aja."
"Siapa yang lawak woy?!"
"Sori Noy, sori..." saking lucunya, Eno sampai mukul-mukul meja didepannya. "Sori banget..." mulut boleh berkata sori, tapi ketawa tak boleh berhenti.
"Woy!" Noya mulai sewot. Tapi tak masalah. Noya Emosi lebih asoy daripada Noya galau.
Tawa Eno dan Tanaka perlahan mulai mereda. Bukan karena takut pada Noya mode sewot. Tapi mereka merasa tak enak saja menertawai teman yang tengah dilanda kesulitan.
"Udah selesai, hah?!"
Eh duo bujang malah kembali tergelak. Noya mau ngambek tapi itu bukan gayanya. Yasudah mending diam saja. Seperti kata pepatah, diam itu emas.
Dan akhirnya alunan tawa Eno featuring Tanaka pun benar-benar berhenti. Berhenti sepenuhnya. Tidak ada season lanjutan. Noya menatap garang kedua sohibnya secara bergantian.
"Kok bisa sih lo malu Noy," ucap Tanaka sehabis meminum es teh Eno sampai tak bersisa. "Dulu lo nggak ada tuh rasa malu bilang i love you ke mbak Kiyoko didepan orang banyak."
"Mungkin gue udah puber kali ya."
"Lo bukan puber Noy," kata Eno dengan lagak orang bijak. "Ini namanya Cinta yang sebenarnya."
Noya melotot. "Gimana, gimana No? Gue nggak paham nih."
Berdehem singkat. Eno Bening Shita Cikarang menegakkan badan. Tak lupa menyisir rambut klimisnya menggunakan jari jemari sendiri. Iya dong pake jari sendiri, masa pakai jari jemari saleh. Oke, kembali ke topik.
"Jadi gini Nishinoya Yuudoyono bin Yudoyono. Dulu itu, yang lo rasain ke Kiyoko bukan Cinta yang sesungguhnya." Sambil merapihkan posisi dasi yang memang sudah benar, Eno memberi jeda. "Menurut gue, apa yang lo rasain buat mbak Kiyoko itu lebih tepatnya disebut sebagai perasaan kagum."
"Perasaan lo ke mbak Kiyoko itu sama halnya kayak perasaan bang Azumane Asahidayat buat dedek Lesti. Ya cuma nge-fans aja gitu," lanjutnya.
"Terus, perasaan gue buat Nem?"
"Ini baru Cinta yang sesungguhnya."
Perkataan Eno seperti memberi pencerahan pada Noya. Jadi begini Cinta yang sebenarnya. Ada suka dan gelisah disaat bersamaan. Juga ada gamang yang terus membayang.
Begitu berwarna namun juga mengganggu. Asam, manis, pahit yang menyiksa. Kendati demikian, tak mau lepas begitu saja.
Jika memang begitu, Nem adalah Cinta pertama yang sesungguhnya.
Noya paham. Tapi dia tidak tahu harus bertindak seperti apa. Entah kemana pergianya keberanian yang selama ini bersemayan di dalam dirinya. Noya menginginkannya kembali. Tak perlu banyak. Cukup segenggam saja. Agar dia bisa mengungkapkan rasa kepada pujaan hati.
"Gue harus gimana ya No?"
"Tembak, kalau Nem nerima ya kalian jadian. Kalo Nem nolak ya temenan seperti biasa aja ya."
"Gue ragu No."
Tanaka berdecak tiga kali. "Jangan-jangan, Cinta lo ke Nem masih setengah-setengah!"
"Hush sembarangan!" Sendok dan garpu yang diatas meja sedikit terlempar karena gebrakan Noya. "Cinta gue buat Nem itu nggak setengah-setengah! Full tank!"
"Sabar Noy, sabar." Tangan Tanaka memberikan isyarat agar Noya kembali duduk tenang. "Gue cuma menduga-duga. Habisnya lo biasanya nggak gitu."
Noya kembali dalam mode lesu. Lagi, Pemuda bertubuh mini itu menidurkan kepala diatas meja.
"Gue rasa Cinta Noya ke Nem itu besar banget. Saking besarnya malah Noya jadi takut buat nembak Nem," kata Eno.
"Lah apa yang perlu ditakutin?" tanya Tanaka.
"Kalau misalnya Nem nolak. Ada kemungkinan hubungan mereka jadi canggung. Yang parah, malah Nem bisa aja ngejauh."
"Lah tinggal deketin lagi aja."
"Nggak segampang itu, botak!"
Noya hanya berdiam diri. Membiarkan telinganya menangkap percakapan antara Eno dan Tanaka yang alurnya semakin membingungkan. Sementara otaknya sibuk memikirkan tentang sang pujaan hati.
Hari ini dia belajar sesuatu. Rasa Cinta yang luar biasa dapat menciptakan perasaan baru.
Perasaan takut.
✺ * · ✧ ⋆ · * . · . · · .. ✷ ✧ . . · + · * ✫ * ✷ ⊹ * ˚ . . + · ⋆ * . * . . · . · . * · . · · + . · ** ˚ . . + · ⋆ * . * . . · . · .
𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝓁𝒻
14 - 01 - 2021
˚ ⊹ · * ✧ ⋆ · * . · . · · .. . . · + · * ✫ * ⊹ * ˚ . . · ⋆ * . * . . · . · . * ·
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro