Juminem [Name]
"Mbak Kiyoko bentar lagi ulang tahun ya?"
"Anjir, pantesan fansbase-nya lagi pada ribut."
"Tahun kemarin mereka bikin apa tuh?"
"Bikin anak."
"Hus ngawur!"
"Mereka bikin lukisan mbak Kiyoko di area parkir."
"Anjir gilasih, mbak Kiyoko bikin iri aja."
"Wajar ya cowok pada klepek-klepek. Cantiknya nggak ngotak."
"Iya anjir. Sikap dinginnya juga bikin aura gimana-gimana gitu. Gue yang cewek aja suka."
"Lesbi hih!"
"Ga gitu blegug!"
"Btw yang gerakin si Noya lagi kan?"
"Eh masa, gue ragu sih. Banyak rumor bilang Noya udah pensi jadi fans mbak Kiyoko."
"Jinjja?"
"Jinjja pedas nya."
"Yang bener ih dudul!"
"Baru rumor sih."
"Nem, Nem, Nem, emang bener Noya berhenti jadi fansnya mbak Kiyoko?"
Juminem [name] yang sedari tadi asik streaming sinetron preman pensiun harus rela kegiatannya diusik. Jelita melepas earpod, menatap kesal ke temannya. "Mana gue tahu."
Kaori Suzubaedah berdecak. "Lo kan akrab sama Noya. Kalian juga sering ngobrol bareng juga."
"Itu dulu Jubaedah. Enggak tahu kenapa, Sekarang Noya kaya agak ngejauh gitu dari gue."
"Lo pernah salah ngomong ke dia kali?" terka Maimunah Nametsu.
Nem terdiam beberapa detik. Kilas balik interaksinya dengan Noya berputar secara cepat dalam benaknya. "Nggak ada tuh."
"Ah masa sih."
"Gue rasa nggak. Kalau saling berkata kasar, emang kita berdua udah biasa gitu."
"Terus kenapa ya?" Kaori mengelus dagu, meraba awang demi menemukan jawaban.
"Kaori, udah nggak usah dipikirin." Nem kembali menyumpal telinga dengan earpod. "Gue aja nggak terlalu memusingkan kok."
"Hilih bohong!" Tangan Mai dengan santainya menyubit pipi Nem. Si pemilik pipi tentu meringis. "Dari kemarin-kemarin, lo kan ngelamun mulu. Itu pasti karena mikirin masalah ini."
Kalau ada lomba mencubit, Maimunah Nametsu pasti juaranya. Pipi Nem senut-senut. "Sakit Mai!"
"Nem, kalau lo ada masalah cerita sama kita aja," ucap Kaori dengan nada meyakinkan.
"Iya cerita, besoknya kesebar keseluruh sekolah."
"Itu kalau lo cerita ke Suna. Kalau ke kita sih aman. Ya nggak?" Kaori menyenggol pelan bahu Mai. Yang disenggol hanya tersenyum kecil.
Juminem punya trauma saat berbagi cerita dengan orang lain. Dulu, dia pernah bercerita kalau dia pernah kapicirit pas kelas satu. Keesokan harinya, cerita itu malah jadi konsumsi publik. Dan selama hampir setahun, Nem dikenal seagai borit, bocah kapicirit.
Tersangka penyebar cerita tersebut merupakan orng yang Nem percaya untuk berbagi cerita. Sakit memang. Rasanya seperti —ah Nem tidak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata.
Dan orang itu adalah, Sunarto Rintarojak. Teman sekelas sekaligus teman seper-gosipannya.
Sejak saat itu, Nem mulai menjaga jarak dengan manusia sipit itu. Saat berada dekat dengan Suna, amarahnya langsung meledak, tangannya gatal memukul-mukul perut rata Sunarto. Untuk amannya, memang harus menjauh.
Dan yang paling buruk dari semua itu, Sunarto tidak menyadari akar dari menjauhinya teman seper-gosipannya itu. Ia malah memiliki praduga sendiri. Nem menjauh karena merasa insecure dengan ketampanannya.
"Memang bangsat Sunarto!"
Tangan Mai mengelus bahu temannya yang emosinya mulai meluap-luap. "Sabar, ambil hikmahnya."
"Hikmahnya apa woy?!"
"Hmm... lo dapat julukan baru," ucap Kaori.
"Borit, bukan julukan. Itu aib!" meraup muka dengan kasar. Nem berharap bisa mengulang waktu agar ia tidak melakukan kesalahan fatal itu. "Sunarto bangsat!"
"Gue?"
Ketiga Srikandi menatap tajam Sunarto yang mendadak mendekat.
"Anjim ye lo!" — Borit, sang korban.
"Dasar nggak berprikemanusiaan," — Kaor, teman sang korban.
Karena cacian secara verbal sudah di wakili kedua temannya. Maimunah memilih cara lain. Ia pun tersenyum sambil mengacungkan dua jari tengah.
"Salah gue apa ya." Suna balik kanan. Hasrat untuk menyambangi ketiga jelita hangus seketika.
"Sabar Nem, sabar." Kaori terus mengulang kata-katanya sembari memijat bahu Nem yang sangat kaku. "Orang sabar pantatnya lebar."
"Oke, kembali ke topik hidayat," ucap Mai.
"Topik utama blegug!" Refkelks, Kaori menyentil hidung mancung Mai. "Jangan becanda mulu, emang OVJ apa."
"Ih OVJ sekarang udah ga lucu," celetuk Nem. Ponsel diletakan diatas meja. Sepertinya, jelita satu ini siap mendedikasikan waktunya untuk berbincang dengan temannya.
"Hooh, jayus gitu." Mai menopang dagu. Wajah masamnya, menunjukkan betapa kecewanya dia. "Jadi kangen OVJ dulu."
"Iya anjir! Dulu gue sempet mau ngompol saking lucunya tuh acara."
"Jadi inget episode yang Nunung ngompol. Gila, asli ngakak banget dah."
"Bisa fokus nggak woy!" Kaori murka sama dengan setan penghuni neraka lapisan terbawah. Oleh karena itu, Mai dan Nem langsung mengatupkan mulut rapat. Haram hukumnya melawan Kaori yang emosinya sudah memuncak. "Kembali ke topik utama!"
"Btw, topik utamanya apa?" Mai tertawa canggung. Ia tidak ingin diamuk Kaori untuk kedua kalinya. Tapi dia memang benar-benar lupa tentang bahasan utama mereka.
Tangan diangkat tinggi. Nem jadi sorot utama. "Gue juga lupa."
Melipat tangan didepan dada. Lantas, Kaori menyenderkan punggung pada sandaran kursi. "Sebenarnya... gue juga lupa."
"Ikan hiu makan tomat!"
"Anjim banget!"
"Berisik, kalian berdua aja nggak inget!"
"Itu... anu... Kalau nggak salah, kalian lagi ngomongin kenapa Noya ngejauh dari Juminem. Dan tadi, Kaori nanya ke Juminem apa dia sedih atau nggak karena dijauhin Noya."
"Kanoka aminah, aku padamu!" Kaori langsung memeluk Kanoka yang duduk disebelahnya.
Sedari tadi, Kanoka memang sudah berada disitu. Tapi memang karena terlalu pendiam dan pemalu, Kanoka tidak akan memebuka mulut sebelum ditanya atau merasa perkataannya dibutuhkan. Kendati begitu, Kanoka menyimak dengan teliti percakapan temannya dari awal.
"Skip ah, nggak usah dibahas lagi."
"Kenapa nih si Juminem, malu ya cie..."
Dengan kasar, Nem menyingkirkan telunjuk Mai yang tengah berputar-putar tepat didepan wajahnya. "Nggak gitu Maimunah."
"Sini cerita ajalah. Jangan bandingin kita sama Suna."
"Manggil gue lagi?"
"Nggak Tunarto!"
"Oh."
Juminem menatap satu persatu satu temannya. Kanoka tak perlu diragukan. Kaori dan Mai lah masalahnya. Bukan tanpa alasan Nem mencurigai mereka berdua. Sepak terjang keduanya dalam dunia pergosipan tak perlu diragukan. Dimana ada forum gosip, disitulah keduanya akan berada.
"Nem, kita berdua emang doyan gosip. Tapi kita mana mungkin jual informasi pribadi teman kita. Ya nggak Kaor?"
"Hooh."
"Jawaban Kaori nggak meyakinkan." Nem memicing tajam kearah Kaori.
"Yaampun Nem terus gue harus jawab gimana, hah?!"
"Jawab yang keliatan niat."
"Niat itu datangnya dari hati." Kaori menepuk-nepuk dada sebelah kirinya. "Yang tahu gue niat atau nggak itu tuhan."
Nem menghembuskan napas kasar. "Iyadeh, Kaori Suzubaedah anaknya ibu Jubaedah."
"A-ayok cerita Nem. Gue nggak yakin sih gue bisa ngasih solusi atas masalah lo. Tapi gue usahain bakal jadi mendengar yang baik kok."
"Jadi gini Kanoka—"
"Giliran Kanoka yang nyuruh langsung mau aja. Ee ya lo, Nem!" keluh Kaori.
"Mau dengerin curhatan gue nggak nih?"
"Lanjut Nem, lanjut," ucap Mai sambil menenangkan Kaori yang masih emosi.
"Terakhir kali gue ngobrol sama Noya itu dua minggu yang lalu kalau nggak salah."
"Kalian ngomongin apa?" tanya Kaori.
"Tadinya kita ngomongin gimana rasanya jadi anak indihome—"
"Ah lo lawak mulu. Maksudnya indigo kali," potong Kaori.
"Ga lawak Kaor, ini serius. Jadi kita lagi bahas, gimana rasanya jadi anak yang rumahnya pakai wifi indihome. Secara, gue dan Noya kan sama-sama nggak masang wifi di rumah."
"Lanjut, lanjut," ucap Mai. Kaori hanya bisa diam sambil memasang raut masam. Lama-lama kesel juga sama Juminem.
"Awalnya ngomongin itu, terus lama-lama si Noya malah curcol tentang mbak Kiyoko."
Audiens mulai penasaran.
"Dia sebenarnya capek ngejar-ngejar mbak Kiyoko. Terus apalagi ya... ah iya, dia bilang kalau ngejar-ngejar mbak Kiyoko itu sensasinya udah beda. Nggak kaya dulu lagi."
"Sensasi gimana maksudnya?" tanya Mai.
Nem hanya mengedikkan bahu.
"Terus respon lo gimana Nem?" kali ini giliran Kaori yang bertanya. "Lo nggak adu nasib sama diakan. Lo nggak bilang 'elah gitu doang udah capek, gue nih bla bla bla...' nggak gitu kan?"
"Mana ada. Gue cuma bilang ke Noya buat sabar dan memahami perasaannya lagi. Gue juga bingung mau respon gimana lagi."
"Lo nggak ngomong sesuatu yang menyinggung atau ngehina dia?"
Nem menoleh pada Mai. Ia diam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng.
"Terus alasan Noya ngejauh dari Nem apa ya?" Kaori mengelus dagu. Rasa penasarannya begitu menggebu. Tapi otaknya buntu. Seketika, Kaori ingin bertukar otak dengan pak conan, guru geografi yang jago memacahkan teka-teki.
"Anu... gue boleh ngasih pendapat?"
"Monggo mbak Kanoka."
"Ini baru kemungkinan sih. Tapi gimana kalau si Noya sebenarnya suka sama Nem."
"Hah?!"
"Nina?!"
"Nina almahumah nenek gue gemblung." Ringan sekali tangan Kaori memukul bahu Nem.
"Kanako, jangan asal aja dong kalau ngasih teori," kata Mai.
"G-gue nggak ngasal kok."
"Buktinya?"
"Pertama, Noya bilang perasaannya sama mbak Kiyoko udah nggak kaya dulu. Terus ada rumor dia mau berhenti jadi fansnya mbak Kiyoko. Bisa jadi dia udah oleng ke lain hati."
Kaori mengangguk. "Bisa jadi sih, tapi belum tentu orangnya Nem."
"Dan gue ragu orang itu gue."
"Kedua, kalian sadar atau nggak, cara Noya memperlakukan Nem itu berbeda dengan dia memperlakukan orang lain."
Nem terdiam. Berbagai macam perlakuan Noya terhadap dirinya tergambar di dalam otak nya. Noya menyebalkan, tapi ada kalanya Noya jadi sangat baik dan perhatian. Kendati begitu, sedikit pun Nem tidak pernah menafsirkan itu sebagai wujud rasa suka Noya. Selain dikenal dengan keseruan, Noya juga dikenal perhatian kepada teman-temannya.
"Biasa aja ah. Dia emang begitu," ucap Nem santai.
"Dia emang baik. Tapi coba deh, kalian inget baik-baik. Perhatian dan kebaikan yang Noya kasih ke Nem itu berlebihan banget."
Kaori menjentikkan jari. "Inget nggak pas si Nem keseleo gara-gara lari keliling lapangan. Si Noya kan langsung gendong Nem buat dibawa ke klinik. Mana kliniknya lumayan jauh."
"Mana kliniknya klinik bersalin pula," tambah Mai.
"Anak yang lain juga bakal gitu, mungkin."
"Nem, yang lain pasti kaget sih. Tapi nggak sampe heboh banget kayak gitu. Lagian kenapa harus dibawa ke klinik kan ada UKS," jelas Kaori. "Dia tuh kaya panik dan khawatir banget Nem."
"Apa iya?"
"Terus ada alasan lain nggak yang dukung teori lo?" tanya Mai.
"Ada satu lagi. Kalian notice nggak, kalau belakangan ini si Noya sering liatin Nem."
"Ah masa?"
"Tuh buktinya."
Sontak, ketiganya menoleh kearah yang ditunjuk Kanoka. Noya tertangkap basah tengah menatap mereka —lebih tepatnya menatap Juminem.
Salah tingkah, Noya pun mendadak jungkir balik dari kursinya. Terlihat menyakitkan. Tapi Noya mencoba terlihat tegar dengan bangkit tanpa pertolongan sambil menyanyikan lagu geboy mujaer.
Pandangan keempat jelita masih terpaku pada Noya yang sekarang malah asik joged mujaer mundur.
Decakan Kaori mencuri perhatian ketiga temannya. "Saltingnya gila banget."
"Kanoka, analisa lo mantep banget." Jempol Mai teracung tinggi. "Good job!"
"Is, apaan sih. Cuma kebetulan doang."
"Nem, jangan sangkal kebenaran yang sudah terbukti." Mai merangkul bahu kawannya.
"A-anu sebenarnya ini belum tentu bener juga sih. Kan ini masih dugaan."
"Tuh denger!" dengan kasar, Nem memukul Mai menggunakan buku catatannya yang masih suci, alias kosong. "Lagian, kalau dia suka sama gue. Kenapa dia nggak nunjukkin perasaannya ke gue secara terang-terangan, kenapa malah menjauh."
"Cie... yang pengen dideketin," goda Mai.
"Nggak gitu woy! Aneh aja gitu. Selama ini kan Noya sukanya mbak Kiyoko, dan kalian tahukan gimana terang-terangannya si Noya nunjukkin rasa cintanya ke mbak Kiyoko."
"Iya sih. Aneh juga." Kanoka mengangguk kecil.
"Lagian, nggak mungkin juga Noya oleng dari mbak Kiyoko yang nyaris sempurna ke gue yang begini."
Yup, itu semua tidak mungkin dan mustahil. Setidaknya itu yang Nem yakini. Namun kenyatan telah mengkhianati keyakinannya.
✺ * · ✧ ⋆ · * . · . · · .. ✷ ✧ . . · + · * ✫ * ✷ ⊹ * ˚ . . + · ⋆ * . * . . · . · . * · . · · + . · ** ˚ . . + · ⋆ * . * . . · . · .
𝒟𝒶𝓃𝒹ℯ𝓊𝓁𝒻
18 - 01 - 2021
˚ ⊹ · * ✧ ⋆ · * . · . · · .. . . · + · * ✫ * ⊹ * ˚ . . · ⋆ * . * . . · . · . * ·
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro