Vision ~ 36
Berdiri di depan jendela ruangannya, Hei Yanjing bicara serius dengan seseorang di telepon. Hujan meredam suara-suara berisik dari ruangan di sampingnya yang digunakan tim Jatanras Satu. Yang kini jelas menyentuh telinga adalah bunyi hujan menerpa kaca jendela.
"Aku harus pergi," ia bicara di telepon, menarik napas dalam-dalam dan mendorong kacamata kembali ke batang hidungnya.
"Beijing sepertinya akan menjadi kantor polisi yang berikut dalam perjalanan karierku."
"Tidak ada yang memberitahuku tentang kepindahanmu," suara seseorang menyembur di seberang. Itu jelas Xiao Hua.
"Nah, ini---aku baru saja memberitahumu."
Dengusan keras menanggapi ucapannya.
"Tapi mengapa kau harus pindah?"
"Xiao Hua, aku perlu menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang akan membawaku ke posisi yang lebih tinggi. Ini hanyalah proses.”
Sebelum dia bisa menjelaskan lebih lanjut, atau nada kecewa Xiao Hua memperburuk rasa sakitnya, telepon tiba-tiba diputus dari seberang.
Ehhh???
Hei Yanjing mengernyit dalam.
Apa-apaan? Pemuda pemarah itu memutus pembicaraan dengan kasar..
Astaga!
Untuk beberapa lama, Hei Yanjing masih berdiri memandangi hujan. Kemudian satu ketukan bergema di belakangnya. Dia berbalik dan melihat Pangzhi membuka pintu.
"Kau memanggilku?" si gendut bertanya.
"Ya. Aku ingin tahu bagaimana perkembangan Xiao ge. Apakah dia bicara tentang kapan akan bergabung lagi dalam tim?" dia bertanya sambil menyesap kopinya dengan cepat dan membalik kertas di atas meja.
Untuk sedetik Pangzhi merasa bingung. Hanya berdiri di sana, menatap diam-diam ke depan, dan tersendat sejenak saat melihat ekspresi Hei Yanjing nampak tegang dan mencurigakan.
"Bukankah Xiao ge mengajukan cuti selama dua pekan. Kurasa dia sudah mengatakan padamu. Kau bahkan menyarankan dia cuti selama yang diperlukan."
"Kau benar. Aku ingin dia istirahat, tapi aku juga tidak punya pilihan. Kita memerlukan petugas handal seperti dia."
Pangzhi menyeringai, namun setuju dengan pendapat itu. Dia memikirkan tentang misi Zhang Qiling yang ingin mengembalikan Wu Xie ke dunianya. Sebelum hal itu terwujud, Pangzhi tidak yakin Zhang Qiling bersedia kembali.
Ketika itu suara hentakan kaki bergema di sepanjang lorong dan semakin mendekati ruangan. Pintu terbuka kasar dari luar, dan seseorang berdiri tegang. Setidaknya dia menatap ke arah Hei Yanjing meski wajahnya keras dan membeku.
" Ah, Xiao Hua! Kemarilah ..." tersenyum, Hei Yanjing berkata dengan suara rendah.
Tubuh Xiao Hua bergetar mendengar ketenangan dalam suara itu. Dia teringat kata-kata yang dia katakan padanya beberapa waktu lalu.
"Kau akan pergi?!"
Dia melangkah ke dalam ruangan, cahaya lampu menyinari wajahnya, dan sesuatu dalam ekspresinya terlihat sakit.
Pasti akan ada drama lagi---
Pangzhi menelan ludah, mencoba membasahi mulutnya yang kering.
"Ya ampun, kupikir kau tidak akan setegang ini mendengar kabar aku akan dimutasi. Kau mengajakku bertengkar setiap waktu. Reaksimu membuatku terharu." Hei Yanjing menampilkan seringai khasnya.
Xiao Hua tidak bersuara. Percikan rintik hujan berkilauan di atas rambutnya yang berantakan tapi dipangkas, dan Pangzhi belum pernah melihatnya dengan kerutan begitu serius di wajah itu sebelumnya, tapi itu membuatnya terlihat lebih keras—dan lebih berbahaya—dengan cara yang tidak dia sadari.
"Kau tidak bisa pergi. Aku tidak mengizinkannya!" Xiao Hua menghambur ke hadapan pria itu, mendaratkan tinju di bahunya.
Hei Yanjing terhuyung tapi ia tertawa senang. "Aha! Aku akan menganggap ini sebagai pukulan sayang."
"Kau pecundang! Mengapa harus melarikan diri di saat seperti ini?" protes Xiao Hua.
Pangzhi memijat pelipisnya saat kedua orang itu mulai berdebat tidak karuan. Tapi sedetik kemudian ia tersentak. Mutasi? Memangnya kapan pimpinan Hei akan dimutasi? Dia sama sekali belum pernah membahas tentang ini sebelumnya. Meski mencium ketidakberesan, Pangzhi memutuskan untuk tidak melibatkan diri.
"Melarikan diri?" ulang Hei Yanjing.
"Kau sengaja menjauhkan diri dariku." Alis gelap di atas salah satu matanya terangkat dan suaranya penuh peringatan.
"Memangnya kenapa jika itu benar. Kau bahagia jauh dariku, bukan?"
"Diam kau!" Lagi-lagi Xiao Hua meninju bahunya.
"Kau sama sekali tidak mengerti! Aku tidak bahagia jika kau pergi. Aku mencintaimu!"
Di luar, suara petir berderak keras, tapi tidak menyamarkan seruan Xiao Hua yang penuh kegeraman.
Pernyataan cinta yang aneh... batin Pangzhi, meringis.
Hei Yanjing sesaat mengunci rahangnya dan tetap diam. Kemudian senyum jahat menyebar di wajahnya, dan ia tahu bahwa inilah yang harus dia dengar dari Xiao Hua. Dia tidak berpikir itu akan terjadi seperti ini, tetapi ia selalu tahu ungkapan itu akan datang.
"Woah, Xiao Hua... kau benar-benar penuh kejutan." Tawanya terkekeh riang, menangkap pergelangan tangan Xiao Hua dan menariknya lebih dekat.
"Aku bahkan belum pergi dan kau sudah ketakutan seperti ini," gumamnya bangga.
"Tapi kau tetap akan pergi." Xiao Hua tidak peduli lagi dengan keangkuhannya yang telah hancur berkeping-keping.
"Yah, aku memang akan pindah ke Beijing. Tetapi itu masih enam bulan lagi."
"Apa??!!!" Xiao Hua mengeluarkan seruan bengis, lantas mendorong pria itu hingga terhuyung-huyung membentur meja.
Astaga---sudah waktunya aku pergi.
Pangzhi melesat ke luar ruangan. Dia masih menangkap suara-suara perkelahian di sana begitu ia tiba di ujung lorong. Saat itu ponselnya berdering dan ia segera memeriksanya.
Zhang Qiling memanggil.
"Ya, Xiao ge?" Pangzhi berjalan menuju pintu utama, mengamati hujan di tengah lembayung senja.
"Kau mengatakan ingin bertemu Wu Xie," desisannya berat dan mengirimkan sensasi merinding.
"Hmm," sahut Pangzhi.
"Sepertinya waktunya telah tiba," bisik Zhang Qiling tidak sabar.
"Pan Ma bisa membuatmu melihat Wu Xie meski hanya sekilas. Datanglah ke apartemenku. Sekarang.."
Tangan dan kaki Pangzhi perlahan dirayapi hawa dingin saat Zhang Qiling mengakhiri panggilan.
Mungkinkah ia bisa melihat satu entitas di luar dunia manusia?
*******
Di salah satu ruangan kamar, satu unit lantai dasar, Pan Ma menyalakan korek api, perlahan menyalakan sebatang lilin di atas meja di depannya. Di belakangnya, Pangzhi berdiri tegang, merasa terjebak di dunia lain, dan sempat mempertanyakan ulang keinginannya untuk bertemu dengan Wu Xie meski hanya sekali. Di sisi seberang kanan duduk Zhang Qiling dengan wajah berbinar dan harap-harap cemas. Meja di depan mereka serupa meja tulis tetapi dengan ukuran lebih besar. Menumpukkan siku pada meja, serta menjalin jemari, Pan Ma memejamkan mata seraya bibir komat-kamit membacakan sekelumit doa yang sulit dipahami. Dia selesai dalam satu menit lantas mengulurkan tangan menyentuh bahu Zhang Qiling yang tegang.
"Konsentrasi ..." bisiknya menenangkan.
Zhang Qiling memutar pandang, seisi ruangan hanya diterangi sebatang lilin dan kesuraman tampak menakutkan. Sekali lagi, Pan Ma menjalin jemari erat-erat, memejamkan mata serta menarik nafas panjang.
"Aku di sini untuk bicara dengan Wu Xie ... " Dia membuka mata, mendongak pada langit-langit kamar. Nyaris tak berkedip.
"Bisakah para arwah membantuku menghubunginya?" bisikannya berdesis, menegakkan bulu halus siapa pun yang mendengarnya. Zhang Qiling dan Pangzhi bertahan dengan tabah dalam pucat wajahnya.
Pan Ma menundukkan wajah kembali memejamkan mata, komat-kamit mengulang kalimat yang sama.
"Aku di sini untuk bicara dengan Wu Xie. Bisakah para arwah membantuku menghubunginya?"
Zhang Qiling menatap tanpa berkedip. Dadanya turun naik tak terkendali. Berharap lebih dari sekedar bicara. Tetapi tentu saja dirinya belum bisa melihat entitas gaib yang dipanggil.
Nyala api lilin bergeletar cepat, padahal tak ada jendela yang terbuka. Pangzhi diam-diam menggigil, sementara mata Zhang Qiling terpaku pada lilin, sesaat kemudian ia menoleh pada Pan Ma. Pria itu menoleh ke arah jendela kaca. Matanya tak berkedip, menatap kosong pada satu titik. Ekspresi seseorang yang sedang kerasukan.
"Datangkanlah arwah Wu Xie ke dunia kami."
Satu bait doa lagi dirapalkan Pan Ma dalam bahasa Latin yang tidak dipahami Zhang Qiling, dan pria itu mengulanginya sebanyak tiga kali.
Deru angin berubah kencang, menggetarkan daun jendela. Api lilin bergoyang tak terkendali, seiring kilatan cahaya jingga di langit barat. Dalam momen singkat itu, satu sosok bayangan menjelma di dekat jendela, sangat kabur dan samar. Memancarkan cahaya putih tipis kebiruan. Temperatur dalam ruangan pun jatuh nyaris ke titik beku.
Pan Ma menyadari perubahan atmosfir dalam ruangan. Seringkali dia menyadari sosok tak berwajah dan misterius di batas alam mimpi, berpakaian hitam seperti malaikat maut, atau putih bercahaya seperti malaikat kebahagiaan, bergerak dalam harmoni yang anggun dalam bentuk bayang-bayang. Biasanya hanya dia yang bisa melihatnya, tapi kali ini berbeda. Dia tahu bahwa roh yang ia panggil memang bermaksud menampakkan diri pada Zhang Qiling.
Angin bersiul, dan batang pohon serta dedaunan di luar sana berdesau hebat. Saat suara-suara itu semakin dekat, efeknya meningkat dengan cepat. Ada keseraman mirip adegan film horor klasik.
Gelas berderak di meja, dan Zhang Qiling pun terlonjak, hampir menjatuhkannya. Di belakang Pan Ma, Pangzhi menutup mulutnya yang ternganga, menahan suaranya agar tidak menghambur keluar.
"Apakah itu Wu Xie?" Pan Ma bergumam, menatap tajam ke arah satu siluet putih di jendela. Zhang Qiling menoleh ke arah yang sama, berdebar, karena nama itu membangkitkan kenangan manis dan pahit. Dia tidak bisa mengucapkan nama itu karena lidahnya serasa kaku. Sebaliknya, itu meledak dalam dada seperti sebelumnya, kali ini nafasnya sedikit lebih terengah-engah dan agak lebih keras.
Sebuah bayangan melintasi ambang jendela.
Zhang Qiling menyadari bahwa cengkeraman tangannya di tepi meja menjadi sangat menyakitkan. Dan telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Suara-suara aneh berhenti dan ruangan menjadi hening.
Di sanalah sosok yang ia inginkan berdiri. Dalam aura indah dan menyejukkan yang sama, tersenyum lembut dalam pakaian putihnya. Wajah bercahaya, sama menggetarkan seperti perjumpaan mereka yang pertama.
"Wu Xie..." ia berbisik, serasa terjebak dalam mimpi.
"Wu Xie, kau sudah datang ...."
Ia menyeret kakinya yang kebas, dalam langkah-langkah yang serasa melayang, ia menghampiri Wu Xie. Tangan pemuda itu terulur dalam upaya menyambutnya.
Mereka berpegangan tangan, erat, tak ingin terlepaskan lagi.
Akhirnya Zhang Qiling mulai menggigil. Panas di dalam dirinya berubah menjadi dingin yang tak henti-hentinya. Dia mengangkat satu tangan, menyentuh pipi Wu Xie. Wajahnya terasa dingin, tetapi jari-jarinya lebih dingin, seperti tangan patung marmer.
Awalnya ia khawatir Wu Xie membeku seperti mayat, tapi ternyata dia lembut, diberkati oleh kehangatan, dan hidup, meski hanya dalam pandangannya saja, dan tidak dalam pandangan dunia luar.
"Aku merindukanmu." Dalam upaya terakhir menahan gejolak perasaan, Zhang Qiling membiarkan air mata menetes di wajahnya.
Di sudut ruangan, Pangzhi mengerjap-ngerjapkan matanya, seolah tengah bermimpi dengan mata terbuka. Gelisah oleh semua kesan aneh tentang ancaman yang tidak wajar di lanskap sekitarnya, tetapi dia lebih terganggu oleh keanehan baru dalam dirinya, yang tampaknya disulap oleh badai. Jantungnya berpacu dengan keinginan irasional untuk menyerah pada energi sihir dari cuaca liar ini. Tiba-tiba dia takut pada beberapa potensi gelap yang tidak dapat dia definisikan, takut kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Rasanya ia ingin jatuh pingsan, dan kemudian sadar, setelah mengetahui bahwa Zhang Qiling telah melakukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang tak terkatakan.
Sampai pagi ini, pikiran aneh seperti itu tidak pernah terpikir olehnya. Sekarang mereka datang dengan berlimpah.
Di sisi lain, Zhang Qiling berjuang menahan bulir-bulir kepedihan di matanya.
"Jangan bersedih, Xiao ge ..." kata Wu Xie lembut. Membelai rambut kekasihnya.
Akhirnya dia tetap menangis, lebih keras dari sebelumnya, badai air mata, tetapi dia tersenyum di saat yang sama. Kesedihan tidak dapat membebaskan air matanya dalam hari-hari yang mengerikan, tetapi keajaiban ini akhirnya membebaskannya dari himpitan beban dan banyak penyesalan. Zhang Qiling menangis bahagia, tangisan yang menyembuhkan. Dia merasakan ketegangan yang berkepanjangan di dalam hatinya mengendur, seolah-olah ikatan simpul dari luka lama telah menghilang, semua karena Wu Xie masih hidup, dia memang telah mati tetapi sekarang dia hidup di hadapannya. Untuk selamanya.
Perlahan, wajah mereka mendekat dan bersatu dalam satu ciuman yang indah.
Pangzhi tercengang, telapak tangannya bergerak dari mulut ke arah mata. Meski begitu, dia masih mengintip dari sela jemari.
Betapa indah wajah Wu Xie, manis dan bercahaya. Dia akan menjadi seorang sahabat yang menyenangkan. Pangzhi bersyukur bisa melihatnya walau hanya sekilas. Tetapi---
Dia membungkuk pada Pan Ma dan berbisik, "Aku tidak datang kemari untuk menyaksikan adegan romantis ini. Xiao ge mempermainkanku."
Di kursinya, Pan Ma terkekeh serak.
Di hari saat takdir dan waktu menjadi saksi. Orang bilang jiwa akan naik ke langit setelah mengalami kematian, tapi secercah jiwa yang malang ini akan kembali turun ke bumi, mengunjungi kekasihnya, hanya untuk berharap kembali saling memiliki.
******
Such a heartbreaking reunion for Zhang Qiling and Wu Xie. 😔😣
But still happy ending, right?
Satu chapter lagi sebagai pemanis di akhir. See you tomorrow 😁💙
To be continued
Please vote 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro