Vision ~ 32
Searching for the light of mystery
A breathtaking moment
Nothing can't hold me
Nothing won't break me
I'll hold you tight and always be here~
*******
Zhang Qiling tiba-tiba tersadar, tidak yakin mengapa. Dia bisa mendengar suara-suara dari atas permukaan air, dan meskipun dia segera merasakan keanehan dalam nada mereka, dia tahu mereka tidak cukup keras untuk membuatnya sadar. Apa yang baru saja ia alami, seperti fenomena mistis yang sulit dijelaskan.
Dia dan Wu Xie masih melayang di kedalaman air, bertanya-tanya apakah ia masih hidup atau telah mati.
Kemudian dia merasakan kembali sentuhan Wu Xie di kulitnya. Dan walaupun ia sekarang tahu bahwa pemuda itu telah mati, tapi itu tidak menakutkan. Bahkan dengan kehadirannya, ada perasaan dihibur, lembut, sepenuhnya menyenangkan.
Dia merasa diselimuti oleh kelembutan, perhatian. Bahkan kekuatan.
Semua kisah yang telah Wu Xie tampakkan kepadanya perlahan memudar dalam gelap. Ada kabut di sekitarnya yang menggemakan kesedihan. Zhang Qiling berpikir ia mendengar tangisan di udara, nyaris tidak terlihat, nada yang lembut. Mungkin itu hanya dalam pikirannya, tapi itu mungkin teriakan jauh dari jiwa Wu Xie.
Dia menatap lekat wajah di depannya, berdenyar dalam gelombang air.
Wu Xie, jangan takut..
Aku bersamamu..
Tetapi dia tahu bahwa ilusi atau apa pun itu tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Wu Xie semakin terasa jauh, dan sebelum bayangan pemuda itu menghilang, ia memberikan satu kesan terakhir. Itu adalah ciuman di kening Zhang Qiling, seolah janji bahwa semuanya baik-baik saja. Emosi semacam itu hanya bisa diberikan oleh seseorang yang mencintainya dan membutuhkannya, untuk memberitahunya bahwa dia dicintai sepenuh hati.
Ciuman itu lagi, dan perasaan cinta, entah bagaimana lebih dalam dari apa pun yang nyata. Dan ada kata-kata, tetapi bukan kata-kata yang bisa didengar. Itu adalah kata-kata yang dia rasakan.
Mereka kini benar-benar terpisah oleh dinding tak kasat mata.
Wu Xie berada di dunia lain.
Kemudian Zhang Qiling merasakan satu energi mendorongnya kuat hingga ke permukiman sungai.
Tidak, Wu Xie ... jangan lepaskan pegangan tanganmu ...
Zhang Qiling meronta, menggapai, tapi tidak bisa meraih apa pun selain bayangan.
Wu Xie, jangan pergi ....
Senyuman wajah itu semakin jauh dan memudar, menghilang di tengah gelombang air sungai.
Xiao ge, kembalilah ke tempat di mana seharusnya kau berada
Di bawah cahaya.
Hiduplah dengan bahagia.
Zhang Qiling masih mencoba meraihnya.
Wu Xie, bawa aku bersamamu ...
Pemuda itu menggeleng lembut dengan tatapan sedih.
Selamat tinggal, Xiao ge ...
Aku akan merindukanmu.
Tidakk!!
Detik berikutnya, tubuh Zhang Qiling mengapung lemas di permukaan sungai. Tidak sadarkan diri.
"Itu dia!" Pangzhi berteriak histeris.
"Inspektur Zhang sepertinya jatuh pingsan."
Dia memberi tanda pada tim SAR yang baru tiba untuk segera menyelamatkannya. Tiga orang anggota regu segera melompat ke dalam sungai, berenang menuju tubuh lemas Zhang Qiling.
Kesibukan di tepi sungai berlanjut hingga dini hari. Mereka membawa Zhang Qiling ke dalam ambulan untuk dirawat di rumah sakit. Alat berat didatangkan untuk mengangkat mobil SUV yang tenggelam ke dasar sungai. Menjelang fajar, mobil berhasil diangkat dan para petugas menemukan Jason di dalamnya, tubuhnya pucat membiru dan sudah tak bernyawa.
*******
Ada banyak kekhawatiran di wajah Pangzhi selama ia menunggu dengan sabar di ruangan rawat inap tempat Zhang Qiling kini terbaring. Ada banyak ketakutan bahwa apa yang dialami rekannya tersebut selama ini lebih dari yang ia pikirkan. Peristiwa ganjil yang mengakibatkan Zhang Qiling meluncurkan mobilnya sendiri ke sungai, serta bagaimana ia---dengan cara misterius---bisa selamat dan mengapung ke permukaan dalam kondisi pingsan sementara Jason terjebak dalam mobil sendirian.
Semua ingatan terasa mirip satu sama lain. Pagi hari buta saat petugas mengangkat mobil itu dari dasar sungai, dengan mayat Jason di dalamnya, mengingatkan Pangzhi pada insiden kecelakaan yang menewaskan Ning. Mungkin ada satu benang merah yang menghubungkan dua peristiwa itu. Entahlah. Tapi yang paling diingatnya adalah selama ia menunggu di sisi Zhang Qiling, pria itu beberapa kali menggumamkan nama seseorang dalam igauan yang sedih. Wu Xie. Wu Xie. Wu Xie.
Bukankah nama itu yang dibicarakan Zhang Qiling pada Jason tepat sebelum kecelakaan?
Hanya Zhang Qiling yang tahu. Namun pria pemberani itu kini terbaring pucat tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa ia ingin segera pulih. Pangzhi melirik kembali wajah pria yang tidur itu. Ada badai emosi yang sunyi, tergambar di garis mulutnya, dan kerutan di tepi mata. Dengan beberapa cara, ia bisa melihat bahwa Zhang Qiling nampaknya sedang menderita.
Alur pikirannya terputus saat dokter separuh baya berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Sudah lebih dari dua belas jam Xiao ge pingsan. Dokter, bagaimana kondisinya sekarang?" Pangzhi bicara lesu pada dokter yang mulai memeriksa tanda-tanda vital dari pasien pria yang terbaring pucat di tempat tidur.
"Seharusnya kondisinya sudah membaik. Pasien hanya mengalami shock dan beberapa benturan di kepala, tapi tidak parah." Dokter mengawasi pasiennya dengan teliti.
"Kenapa dia belum sadar juga?" gumam Pangzhi lagi. Dia telah menjaga Zhang Qiling sejak semalam, hingga lewat tengah hari ini. Kondisi pria itu terlihat baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya tidak ingin sadar.
"Mungkin sebentar lagi. Yang penting kondisi vitalnya sudah stabil. Aku akan mengirim perawat untuk selalu mengecek infusnya."
"Baiklah, Dok. Terima kasih."
Pangzhi menatap nanar pada dokter yang kini berjalan keluar ruangan.
Sebenarnya, Zhang Qiling sudah mulai siuman. Tetapi dia tidak menunjukkan tanda apa pun. Dia jelas tidak ingin siapa pun tahu bahwa dia bangun, mendengarkan kata-kata mereka. Dia tidak ingin sadar, karena jika sadar, ia akan kembali dihantam rasa sakit tragedi yang mencabik-cabik hatinya.
Dia takut jika dia membuat suara sekecil apa pun, dia mungkin kehilangan kesempatan untuk melarikan diri dari rumah sakit ini. Pangzhi akan mengurungnya atas alasan kesehatan dan atas saran dokter. Hanya ia yang sepenuhnya sadar bahwa dirawat di rumah sakit VIP tidak akan mengembalikan semangat hidup dan hal berharga yang ia miliki dalam waktu bahagianya yang singkat. Cahaya mata Wu Xie, sentuhan, dan cinta yang mendekapnya.
Pangzhi duduk kembali dalam sepuluh menit berikutnya, hingga akhirnya memutuskan untuk pergi ke kafetaria. Melalui perasaannya, Zhang Qiling mengetahui bahwa Pangzhi telah berjalan ke luar dan pintu tertutup. Dia membuka mata lebar-lebar, menatap cairan infus di atasnya. Gerakannya perlahan dan waspada. Mencabut jarum infus, mengabaikan rasa perihnya dan dengan gemetar menjejakkan kaki ke lantai yang dingin. Saatnya untuk pergi. Dia harus memastikan sesuatu, dan ia tidak sabar untuk melakukannya.
Zhang Qiling menutup wajah dengan masker pelindung agar ia tidak mudah dikenali. Berjalan mengendap-endap pada awalnya, hingga ia bisa bergerak normal di antara keramaian lobi rumah sakit. Meskipun pergerakannya agak lambat karena ia masih lemas, itu tidak mengendurkan tekadnya untuk pergi. Zhang Qiling sadar tidak membawa tas, uang, maupun ponsel. Tetapi dengan percaya diri ia menyetop taksi di pinggir jalan raya dan menyuruh supir mengantarkan ke apartemennya. Dia harus pulang terlebih dulu, sisanya bisa diselesaikan nanti.
*******
Ketika Hei Yanjing menerima kabar tentang insiden yang dialami Zhang Qiling, dia sedang berada di luar kota untuk satu urusan dan baru kembali hari ini sebelum makan siang. Belum ada kesempatan untuk memeriksa bagaimana kondisi anak buahnya yang kini tengah dirawat di rumah sakit. Kematian Jason diputuskan sebagai kecelakaan biasa karena tenggelam, dan sejujurnya, kematian demi kematian memiliki beban emosional yang tak terhitung. Hei Yanjing memiliki banyak hal yang harus dipikirkan dan sudah cukup pusing dengan itu, kini satu-satunya hal yang dia butuhkan adalah makan siang berdua dengan Xiao Hua.
Seperti biasa dia memiliki trik yang beragam untuk memaksa pemuda tampan itu agar selalu mengikuti kemauannya. Lewat tengah hari ini dia dan Xiao Hua baru saja selesai makan siang di sebuah restoran hotpot sewaktu telepon panik dari Pangzhi merusak momen kesenangan sederhana miliknya.
"Pimpinan Hei! Ada kabar buruk!" Pangzhi menyalak di telepon.
"Astaga, kau membuatku takut. Katakan apa itu?"
"Xiao ge menghilang!"
Hei Yanjing mengernyit, lumayan terkejut sekaligus gusar.
"Bagaimana bisa?!"
"Aku pergi ke kafetaria sebentar dan saat aku kembali, dia sudah menghilang."
"Ceroboh! Lalu untuk apa kau mengoceh padaku? Segera cari dia!"
"Baik, Pak. Tapi, mungkinkah Xiao ge menuju ke markas? Bisa Anda periksa?" desak Pangzhi cemas.
"Aku akan segera ke sana."
Hei Yanjing menutup teleponnya dan menatap Xiao Hua.
"Kita harus kembali ke kantor polisi."
"Apa yang terjadi?" tanya Xiao Hua.
"Inspektur Zhang kabur dari rumah sakit. Pria aneh itu, ya ampun, dia sungguh tak bisa dipahami."
Ketika Hei Yanjing dan Xiao Hua tiba di kantor polisi, Pangzhi sudah berada di sana dalam kondisi kacau. Kepanikan menyelimuti wajahnya dan setiap gerak geriknya penuh kecemasan, nyaris tidak karuan.
"Aku tidak menemukan dia di mana pun," ia berkata tersengal pada Hei Yanjing.
"Sudah kau periksa cctv rumah sakit?"
"Ya. Dia terlihat berjalan ke luar dengan pakaian rumah sakit."
"Astaga," Hei Yanjing mendesis terheran-heran.
"Coba kau cari ke apartemennya," Hei Yanjing menyarankan sambil melirik arlojinya. "Aku ingin mengantarmu. Tetapi satu jam lagi aku akan menghadiri rapat penting. Apa kau bisa pergi sendiri? Kondisimu terlihat kacau." Dia meneliti ekspresi Pangzhi, merasakan keraguan.
"Biarkan aku menemaninya." Xiao Hua menawarkan diri.
"Aku memiliki waktu senggang sore ini."
Pangzhi menatapnya dengan mata berbinar oleh harapan. Sejujurnya, dia sangat kelelahan semalaman. Dia membutuhkan seorang sukarelawan yang mengemudi untuknya.
"Ide bagus. Bagus sekali," ia berkata cepat sebelum Xiao Hua berubah pikiran.
Kedua pria itu meninggalkan Hei Yanjing di kantor polisi, masuk ke dalam sedan hitam Aston Martin milik Xiao Hua, dan mulai mengemudi ke alamat apartemen Zhang Qiling.
Di tempat lain, Zhang Qiling menyuruh supir taksi menunggu di depan pagar, sementara dia masuk ke apartemennya untuk mengambil uang serta mengganti pakaian rumah sakit yang menyedihkan dengan celana panjang hitam, kemeja abu dan blazer hitam yang biasa ia pakai dalam bertugas. Wajahnya masih pucat pasi, bibirnya gemetar dan pergerakannya melambat. Namun tekadnya sangat kuat, cukup untuk membuat ia mengabaikan kondisi fisiknya dan kembali menuju taksi. Dia tidak menyadari sewaktu ia masuk ke dalam taksi, mobil yang dikemudikan Xiao Hua mulai memasuki jalanan depan apartemennya.
"Itu dia," pekik Pangzhi, menunjuk seorang pria yang menaiki taksi.
"Ikuti taksi itu!" Dia berpaling pada Xiao Hua yang mengangguk tanpa kata.
*******
Zhang Qiling bersandar lemas di kursi penumpang, memejamkan mata, menekan pikiran. Pengalaman penuh misteri yang nyaris seperti mimpi, dan kesadaran akan fakta kematian Wu Xie dengan cepat menghancurkan setiap momen dan setiap bunga sukacita yang baru mekar. Dia menghela nafas panjang dan merasa sakit yang menyengat saat menghembuskannya.
Melihat penumpangnya tidak mengatakan apa pun, supir taksi melirik padanya.
"Pak, ke mana tujuan Anda?"
Untuk sesaat Zhang Qiling tertegun. Kilasan kenangan malam itu menjelma seperti adegan film yang berkedip-kedip dari televisi rusak. Suara Wu Xie samar dan jauh, terputus-putus. Tetapi ia tidak ragu.
Sebuah taman usang di ujung barat sungai, di mana pohon-pohon parijat tumbuh dengan indah. Tempat favoritku. Jika suatu hari kau tidak menemukan aku di mana pun, mungkin kau bisa menemukanku di sana.
Zhang Qiling menahan nafas, lalu menjawab dengan suara tercekat, "Taman terbengkalai di tepi barat sungai."
Begitu taksi tiba di tepi jalan dekat taman terbengkalai, Zhang Qiling bergerak keluar dan berjalan perlahan. Taksi segera melaju pergi, berpapasan dengan satu Aston Martin hitam tepat di belokan. Di dalamnya, Pangzhi dam Xiao Hua bertanya-tanya apa yang dicari Zhang Qiling di tempat sunyi ini.
Suasana begitu hening di kawasan itu bahkan pada siang hari menjelang sore. Gemuruh air sungai terdengar sangat jelas. Pohon-pohon parijat yang memekarkan bunga masih berbaris di sana dengan segala kebisuannya. Beberapa ekor burung gagak bertengger di puncak pepohonan, mengeluarkan bunyi-bunyian jelek yang mengganggu.
Zhang Qiling tidak yakin akan ada kejutan menyenangkan di tempat ini. Dia berjalan perlahan melewati pepohonan dan bayangan samarnya yang mengikuti. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Setidaknya dia bisa memastikan sesuatu. Dia menemukan sebatang kayu yang cukup besar, dan dengan itu dia mulai menggali tanah gembur di sekitar pohon parijat, di mana bunga-bunganya jatuh bertebaran di rumput kering.
Mungkin di sini ia akan menemukannya.
Nafasnya tersengal, memburu. Keringat mulai merembes di punggung sewaktu ia menggali semakin dalam tanpa kenal lelah. Alatnya kurang mendukung, hanya mengandalkan semangat yang tak pernah surut. Zhang Qiling berhasil menggali sedalam hampir satu meter selama dua puluh lima menit.
Sedikit lagi, mungkin sedikit lagi.
Plank!!
Bunyi ganjil timbul sewaktu ujung batang kayu membentur benda keras lain. Mungkin semacam papan tebal atau lempengan logam. Entahlah.
Jantungnya nyaris melompat keluar, dan ia meringis menahan sakit. Telapak tangannya lecet dan terkelupas.
Dari tempatnya, dia tidak melihat benda yang aneh di dalam, tapi dia tahu ada sesuatu di sini. Itu seperti indra keenam seorang kekasih gila, batas antara ilusi dan kenyataan. Dia tahu Wu Xie masih tinggal di dunia. Dia belum pergi. Ada sesuatu membebaninya. Ya tentu saja. Bagaimana dia bisa pergi dengan damai setelah meninggalkan dirinya dalam kondisi setengah gila karena berduka. Zhang Qiling bisa merasakan kehadirannya di udara dan merasakan kesadarannya di dalam hati.
Dengan sepuluh jemarinya, dia mengeruk tanah. Memegang tepi papan di bawah jarinya, dan mengangkatnya sekuat tenaga.
Aroma kematian naik kuat dan tak terbendung. Meskipun tanah menutupi sebagian tubuhnya, Zhang Qiling tidak bisa mencium aroma lain selain bau kematian yang menguasai segalanya. Dia mengatupkan tangannya ke mulutnya untuk mencoba menahan pekikan, mengukir teror itu sendiri di wajahnya dalam prosesnya. Dia menatap sesosok tubuh tak bernyawa saat air mata menetes dari sudut matanya. Pemandangan itu membunuhnya lagi, dan untuk sesaat lagi, dia gagal mengendalikan perasaannya.
Sosok mayat yang kini bersisa kerangka. Tetapi pakaiannya masih bisa dikenali. Kemeja putih, celana panjang krem yang nyaris lapuk, dan itu tidak menjelaskan apa pun pada Zhang Qiling jika saja ia tidak menangkap satu pemandangan lain yang membuatnya terpukul.
Di leher mayat itu melingkar seuntai kalung rantai keperakan dengan hiasan liontin berbentuk clover.
Suara Wu Xie dari momen malam itu seolah kembali datang dari kejauhan.
Kalung ini ibarat tanda pengenal diriku, jika kau melihat kalung ini aku ingin kau mengingat diriku ...
Suara tercekik lolos dari mulutnya. Sekeras apa pun ia menahan, pukulan ini terlalu menyakitkan. Upayanya menemukan jasad Wu Xie hanya memperjelas kenyataan pahit yang sangat ingin ia ingkari.
Tidak diragukan lagi, pasti Touba yang telah menguburkan jasad Wu Xie di taman terbengkalai yang sepi agar tidak ditemukan oleh siapa pun.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin ia melakukan hal mengerikan seperti ini kepada orang yang memercayainya?
Dia menghabiskan waktu di bar yang sama dengan pemuda baik hati ini, bagaimana dia bisa makan dan minum tanpa mengingat semua kejahatan yang telah dia lakukan?
Tangannya gemetar hebat, terulur menyentuh kerangka dan pakaian yang berdebu. Awalnya ia merasa kuat. Namun badai yang membara, bergemuruh dalam dadanya. Dia ingin pergi sejauh mungkin.
Tubuhnya tersentak ke belakang, terhuyung-huyung mundur beberapa langkah hingga tanpa sadar menjatuhkan kedua lututnya ke tanah. Benteng kuat yang melindungi kerapuhan jiwanya seketika runtuh. Isak tangisnya bergema di sekelilingnya saat wajahnya menunduk di antara rerumputan.
Suara Wu Xie bergema lagi dalam momen menyedihkan ini. Tidak ingin meninggalkan dirinya dalam ketenangan, tidak mengizinkannya untuk melupakan bahkan hanya sesaat.
Coba kau pikirkan, Xiao ge? Seorang pemuda hilang begitu saja, dan itu tidak ada bedanya bagi siapa pun ...
Tidak!!
Zhang Qiling mencengkeram rambutnya.
Itu berbeda untukku.
Jika pada hari-hari itu, saat pertama kali aku berjumpa denganmu, aku bisa lebih peduli. Mungkinkah peristiwa mengenaskan itu bisa dihindari?
Jika aku bisa lebih awal hadir di hidupmu, Mungkinkah kini kau masih ada di sini, memberikanku senyuman terbaikmu?
Sesaknya penyesalan seakan menghempaskan Zhang Qiling ke dalam jurang tanpa dasar. Bahunya berguncang saat tangisnya makin kuat.
"Wu Xiiiiieee!!!"
Gema jeritan frustasinya menyentakkan beberapa ekor gagak hitam di ranting pepohonan, bergemerisik keras menyela pekikan kesakitan itu, dan beradu dengan gemuruh arus sungai.
Tidak begitu jauh di belakangnya, dua sosok pria berdiri di antara semak-semak, menatap hampa pada seorang pria yang selama ini mereka kenal dengan ketangguhan dan dinding karakter yang kuat. Setiap orang memiliki sisi rapuh dan gelap, dan mereka tengah menyaksikannya sekarang.
Pangzhi berpaling dari adegan itu, merasakan sedikit rasa bersalah karena tidak bisa menghibur sang inspektur yang jatuh dalam kesedihan. Dia sama sekali belum memahami apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa Zhang Qiling menggali di tempat ini. Jika dia bisa menghentikan pria itu dari berteriak atau menangis, itu mungkin akan lebih melegakan. Tapi sayangnya, baik dia maupun Xiao Hua tidak bisa bergerak walau hanya selangkah, dan hanya mematung dalam tertegun.
Dia menutup matanya dan menundukkan kepala. Kata-kata Zhang Qiling tentang seseorang yang dekat dengannya, tiba-tiba bermain lembut di benaknya. Dia tahu dia benar, bagaimanapun juga, peristiwa itu bisa saja terjadi, dan selain insiden tragis yang nyaris merenggut nyawa, mungkin ada hal lain yang terjadi pada diri sang inspektur.
"Kau tidak mencoba menenangkan rekanmu?" Xiao Hua berbisik pada Pangzhi. Yang ditanya menanggapi dengan helaan nafas.
Pangzhi ragu pada awalnya, tapi kemudian merasa itu perlu dilakukan. Dengan berat, langkahnya bergerak menerobos semak yang lebat, dedaunan menggores kakinya, hingga rumput mulai menipis. Zhang Qiling menyadari kehadiran orang lain di tempat itu dan memiliki dugaan kuat bahwa yang datang adalah Pangzhi. Tanpa menutupi kehancuran hatinya, ia membiarkan dirinya menangis lagi walau dalam diam.
"Xiao ge." Pangzhi menyentuh bahu Zhang Qiling dengan lembut, seolah takut sentuhan pun akan membuatnya runtuh.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Zhang Qiling memberi isyarat pada lubang yang ia gali di antara pohon-pohon parijat. Dengan hati masygul karena memiliki firasat buruk yang sangat kuat, dia mendekati lubang dan melihat pemandangan menyedihkan di dalamnya. Dia percaya bahwa itulah sumber rasa sakit yang dirasakan inspektur.
Zhang Qiling tidak mampu dan tidak ingin menjelaskan apa pun. Wajahnya masih tertunduk ke tanah dan bahunya bergetar. Pangzhi dan Xiao Hua saling bertukar pandang dalam ekspresi prihatin.
"Tangisan ini seperti kesedihan seorang kekasih," bisik Pangzhi.
"Kekasih?" Xiao Hua berpaling padanya dengan raut terheran-heran.
"Aku tidak tahu bahwa dia memilikinya."
"Xiao ge pernah mengatakan padaku bahwa ia memiliki seseorang yang istimewa." Ingatan Pangzhi digiring kembali ke waktu itu.
"Aku juga belum sempat mengenalnya. Tetapi sebelum insiden tragis malam itu, dia dan Jason bicara tentang seseorang, dan Xiao ge mengatakan bahwa orang terdekat itu bernama Wu Xie."
"Wu Xie??" Xiao Hua tercekat.
"Apa kau bilang?"
Langkah Xiao Hua bergerak cepat kembali ke tepi lubang, melompat ke dalamnya, dan meneliti dari dekat. Seperti halnya Zhang Qiling, tatapannya tertarik pada kalung liontin clover di leher kerangka, berusaha mengingat dengan keras apakah ia pernah melihat Wu Xie mengenakan kalung semacam ini. Sepertinya dia memang mengingatnya meskipun samar. Wajahnya seketika memucat, terbelalak dan mulai menahan gejolak dalam dada.
"Wu Xie ..." ia berbisik parau.
"Benarkah ini dirimu? Bagaimana semua bisa terjadi?"
Pangzhi belum pernah mengatasi situasi seperti sekarang dalam hidupnya. Menghadapi keluarga korban yang berduka memang bagian paling berat dan sulit dalam kariernya sebagai polisi. Tetapi dia selalu bisa menghibur mereka. Namun kini menghadapi dua pria yang tertunduk muram, dan bahkan salah satunya adalah inspektur yang dia kagumi dan hormati, Pangzhi nyaris tidak tahu harus berkata apa. Dia merangkul bahu Zhang Qiling, mencoba menghentikan tangisannya yang teredam.
"Xiao ge, aku paham kesedihanmu. Aku tidak tahu seperti apa Wu Xie. Tapi aku yakin dia pemuda yang luar biasa dan pemberani. Kau harus tegar. Jadilah kekasih yang pantas untuknya ...."
Dan kalimat itu menghentikan tangisan Zhang Qiling. Seakan terseret arus kuat menuju pemahaman. Wu Xie bahkan bisa bangkit dari kematian demi mengungkap kebenaran. Hanya seorang bertekad kuat yang mampu melakukannya. Dia telah berusaha membimbing setiap langkahnya menyibak tabir kejahatan yang terselubung, dan sisanya kini adalah tanggung jawabnya.
"Bangun dan berdirilah, hadapi kenyataan, dan jangan pernah kehilangan keberanianmu."
Satu tepukan hangat lagi dari Pangzhi. Kekuatan kesadaran mengaliri setiap inci tubuh Zhang Qiling. Perlahan dia menghapus air matanya, dan biarlah air mata itu mengendap di udara yang tenang.
Wu Xie, aku akan mengungkap kebenaran ini pada dunia. Kau tidak akan hidup kembali dengan semua ini, tetapi aku ingin kau beristirahat dengan tenang dan damai.
Jika surga memang ada, aku percaya, ke sanalah kau akan pergi.
🌟🌟🌟
Apakah mereka akan bertemu kembali untuk menyempurnakan kisah cinta yang belum usai? 🥺
To be continued
Please vote 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro