Vision ~ 28
Seseorang?
Apakah Wu Xie?
Tidak! Tidak mungkin.
Dia begitu nyata, begitu jelas dan bisa disentuh. Tidak mungkin Wu Xie adalah arwah. Pemuda itu hadir dalam hidupnya yang hampa, menumbuhkan semangat dan cinta.
Jika Tuhan yang baik membuat kesalahan pada diri seseorang dengan mencabut semangat hidup, maka akan selalu ada orang lain yang membuat kita ingin hidup ketika kita memiliki sedikit alasan untuk itu.
__________
Keheningan singkat di ruangan lobi itu cukup menyesakkan. Keheningan menegangkan seperti saat kematian, seolah-olah bumi telah berhenti berputar sejenak dan pikiran semua orang kehabisan hal-hal sepele dan mendesak tentang apa pun. Hanya ada kebekuan.
"Xiao ge ..."
Suara berat Pangzhi memecah es di antara dua pria yang bersitegang. Ketika Zhang Qiling meliriknya, si gendut berdiri tertegun di dekat pintu masuk membawa satu kantong plastik berisi dua kotak makanan.
Sorot matanya yang beriak menjelaskan pada Zhang Qiling bahwa Pangzhi mungkin telah mendengar lebih banyak dari yang ia kira, dan itu seharusnya melegakan. Dia tidak perlu menjelaskan apa pun lagi pada Pangzhi, kalau kalau rekannya itu merasa penasaran. Tetapi sorot mata itu. Pangzhi menatapnya dengan penuh rasa prihatin. Dan itu menghancurkan hati. Zhang Qiling benci dikasihani.
"Temanku sudah tiba, aku harus ke atas untuk beristirahat." Dia tidak memiliki energi lagi untuk berdebat dengan Pan Ma. Setelah memutuskan tidak ingin percaya, tidak ada gunanya banyak bicara.
"Inspektur," tegur Pan Ma.
"Anggap saja kau tidak pernah mengatakan itu padaku, dan aku akan melupakannya. Mari kita sepakat tentang ini," tegas Zhang Qiling.
Dia melambai pada Pangzhi agar segera datang mendekat.
"Kepercayaanmu bukan segalanya. Beberapa fakta tidak berubah walaupun kau mengingkarinya," desak Pan Ma.
"Lalu apa yang kau inginkan? Aku meyakini semua perkataanmu? Lantas setelah itu apa?" Zhang Qiling bersikeras dengan penyangkalan.
"Kau hanya harus menghadapi rasa sakitmu. Energimu akan lebih mudah terserap jika terus berhubungan dengan---"
"Jangan diteruskan, kumohon." Dia menembakkan tatapan sinis.
"Tidak ada yang aneh dalam hidupku. Aku hanya berhubungan dengan manusia biasa. Aku tidak memiliki penglihatan malam sepertimu, dan aku memang tidak mau memilikinya."
Pan Ma menarik nafas berat. Kekeraskepalaan pria ini cukup sulit diatasi.
"Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan. Sisanya terserah dirimu. Berhati-hatilah." Dia memberikan anggukan lesu pada Zhang Qiling. Di saat bersamaan, elevator terbuka dengan suara berdenting. Dengan satu gerakan cepat, Zhang Qiling melangkah masuk ke dalamnya, memberi isyarat pada Pangzhi untuk bergabung. Hal terakhir yang dia lihat saat pintu lift menutup adalah punggung Pan Ma yang menjauh.
*******
Zhang Qiling sudah mencoba melupakan kematian Pan Zi, dan sekarang ia telah melupakannya. Dan entah bagaimana ia memang menginginkannya. Dia merasa lebih tenang dari sebelumnya setelah kehadiran Wu Xie. Tapi mengapa peringatan datang memporak-porandakan kebahagiaannya yang hanya sedikit?
"Xiao ge," Pangzhi membuka suara ragu-ragu, mengajak Zhang Qiling bicara di tengah acara makan malam yang hening. Sup pangsitnya lezat, dan ia merasa ingin lebih lagi. Tetapi suasana canggung menahan kerakusannya.
Mengangkat wajah dari mangkuk yang sejak tadi hanya dipandangi, Zhang Qiling menatap kosong pada Pangzhi.
"Mengapa pak tua itu mengoceh? Sepertinya dia sangat serius menjelaskan omong kosong padamu."
Zhang Qiling menggeleng lesu. "Aku tidak tahu."
Dia menyuapkan sepotong pangsit, mengunyah dengan enggan. Nafsu makannya sudah sejak tadi lenyap karena ocehan Pan Ma.
"Apakah itu benar?"
"Tentang apa?" Lirikan mata gelap itu tajam menghujam Pangzhi.
"Ehm, eh itu, yang dia bicarakan. Kau berkomunikasi dengan arwah." Pangzhi menahan batuk kecil, tangannya segera menyambar segelas air. Sebongkah rasa penasaran di hati membuatnya menjadi gugup.
"Kau termakan ucapan pria itu?" Zhang Qiling merengut sinis.
"Tidak. Tentu saja tidak. Aku memilih percaya padamu."
Meskipun mengatakan itu, sorot mata Pangzhi lagi-lagi terlihat ragu. Zhang Qiling ingin tahu apakah Pangzhi pernah menyadari betapa ia membenci tatapan semacam itu. Nampaknya si gendut tidak menyadarinya karena ia tidak mengubah ekspresi wajah. Bahkan ketika mata gelap Zhang Qiling berkilat muram ke arahnya.
"Makanlah, supnya akan dingin." Dia mengisyaratkan dengan sumpit pada Pangzhi agar menyelesaikan makan malam.
Awalnya mereka kembali makan tapi kemudian Pangzhi kembali merusak suasana.
"Xiao ge, tiba-tiba aku teringat tentang seseorang yang kau ceritakan itu, yang kau anggap istimewa dan sangat dekat denganmu. Apakah dia seseorang yang dimaksudkan oleh pak tua tadi?" Ia tahu pertanyaan itu terlalu lancang, rasa ingin tahunya memang merusak.
"Aku meragukan pak tua itu. Ini bukan yang pertama dia membual padaku tentang melihat roh. Sudahlah, jika kau bertanya lagi. Aku akan mengusirmu sekarang juga." Zhang Qiling membuang nafas lelah.
"Ahh ya, baiklah. Aku minta maaf." Pangzhi meringis, kemudian terkekeh tanpa emosi.
Menjelang pukul sebelas malam, apartemennya menjadi remang-remang dan sunyi. Zhang Qiling berdiri di jendela kamar dengan tirai terbuka, menatap keluar bangunan. Ruangannya gelap, hingga pendar lemah cahaya dari luar jendela menyelinap masuk dan jatuh di lantai. Pepohonan di sekitar halaman bergoyang-goyang liar, tertangkap sejenak di lampu taman.
Kejadian malam ini tak terduga dan kejutan itu menjadikan semangatnya menyusut dan merosot ke dalam dirinya sendiri, semua kekuatannya dan sebagian besar harapan hidupnya perlahan memudar ke údara malam yang dingin. Dia teringat Wu Xie, dan semua misteri yang ada dalam setiap kehadiran maupun tindakan. Senyumannya yang polos dan tanpa dosa, mengirimkan kehangatan pada hatinya yang sudah lama membeku. Cara dia tertawa, memanggil namanya, dan cara dia menggoda, semua bagaikan kerlip cahaya dalam kegelapan. Dan kini, semua cahaya mundur ditelan kabut pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Suara dengkuran Pangzhi bergema pelan dari ruang duduk. Untuk alasan yang belum dia pahami, Zhang Qiling menawarkan Pangzhi untuk menginap di tempatnya, dan si gendut menerima tawaran itu, seiring tatapan simpati yang ia benci. Bagaimanapun, Pangzhi satu-satunya yang dia miliki sekarang. Setelah berjumpa Wu Xie, berbagi kesedihan dan beban, hatinya menjadi sedikit ringan. Saat itu dia menyadari bahwa tak ada manusia yang selalu mampu menanggung segala masalah sendirian. Dia harus memiliki teman.
Pangzhi mungkin berisik dan terlalu banyak ingin tahu, setidaknya dia partner yang bisa diandalkan dan memiliki solidaritas tinggi.
Namun, Wu Xie lebih dari teman, dan ia membutuhkannya lebih dari siapa pun. Menarik nafas panjang dan dalam, Zhang Qiling kembali ke kursi di samping tempat tidurnya dan menggosok kedua telapak tangannya dengan lembut. Matanya beralih dari jendela ke botol obat di atas nakas. Wajah pucatnya yang kusut penuh kecemasan. Dia meraih obat, memutar-mutar botol sejenak di antara jemari, dan meletakkannya lagi. Tak ada obat apa pun yang bisa mengurangi kegelisahannya.
Di luar, angin kencang menerpa jendela. Menyeret lamunannya kembali pada Wu Xie.
Wu Xie, di mana kau sekarang?
Aku membutuhkan seseorang yang bisa membuatku menangis, bisa membuatku tersenyum. Dan itu hanya dirimu. Aku tidak akan menyesali apa pun lagi.
Jika aku berhasil melewati malam sunyi ini, bisakah kita bertemu esok hari?
*******
Pagi menjelang dan fajar baru saja muncul melalui kabut abu-abu. Udara ringan. Pada jam seperti ini di pagi hari beberapa pelari berjalan mengitari jalan-jalan di sekitar pemukiman. Setelah beberapa saat, cahaya semakin kuat dan selimut kabut memudar. Beberapa pemuda bersepeda gunung berlomba di jalur lurus dan lengang menghidupkan suasana pagi.
Matahari terbit, merah oranye di atas semak-semak semak belukar dan pucuk pepohonan. Menyentuh sayap-sayap merpati yang melarikan diri dari atas dahan. Selarik cahaya jatuh di wajah Zhang Qiling, dan ia mendapati dirinya tertidur dalam posisi tak karuan di tepi ranjang, dengan tirai jendela terbuka sejak semalam.
"Xiao ge! Kau sudah bangun? Kita akan pergi ke markas sebentar lagi."
Suara Pangzhi menggema di luar, cukup sopan untuk tidak mengetuk pintu kamarnya. Zhang Qiling melirik jam digital di atas meja.
Astaga! Hampir pukul delapan.
Dia melompat dari ranjang menuju kamar mandi.
"Aku akan bersiap!" serunya.
Tidur yang singkat tanpa mimpi telah cukup membuatnya kembali optimis. Secara ajaib, entah bagaimana ini terjadi, dia perlahan bisa meninggalkan obat-obatannya. Malam-malam insomnia yang panjang masih belum sepenuhnya berakhir, setidaknya dia bisa tidur sekarang tanpa obat penenang.
Satu jam kemudian keduanya telah berada di ruang regu setelah melalui lalu lintas padat di pagi hari. Seperti biasa, Pangzhi membawakan potongan roti besar berlapis keju dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri dan juga inspekturnya.
Mereka menghabiskan separuh siang dengan pekerjaan di kantor, dan melakukan patroli setelah jam makan siang. Ada banyak kasus kejahatan kelas teri yang terjadi dan butuh penanganan. Dengan cepat waktu berlalu tanpa terasa.
Zhang Qiling baru tiba kembali di markas pada pukul dua siang, tepat ketika seorang petugas menyerahkan berkas laporan padanya.
"Apa ini?" tanya Zhang Qiling tepat di depan pintu masuk ruang regu.
"Tim forensik mengantarkan ini. Katanya Anda perlu memeriksa."
Zhang Qiling menatapnya sekilas dan mengangkat.
"Baiklah. Terima kasih."
Petugas membungkuk ringan dan berbalik pergi.
Zhang Qiling menempatkan diri di kursinya, satu tangan terlempar ke belakang sandaran untuk meletakkan blazer panjangnya, dan mendorong serta meluruskan kakinya di bawah meja.
Cuaca indah siang menjelang sore seakan menawarkan gagasan untuk menikmati sebatang rokok dalam beberapa menit santai dan setelah merogoh sakunya tanpa hasil untuk mencari sebungkus rokok dan pemantik, dia membatalkan niatnya karena tidak menemukan kedua benda itu.
Dia tidak melihat Pangzhi, padahal si gendut turun dari mobil yang sama dengannya.
Pangzhi akhirnya muncul dari balik pintu dengan dua paper cup. Sesi kopi sore hari.
"Espresso double shoot," katanya sambil meniup lingkaran uap samar dari kopi panas.
"Sehitam malam." Dia menyeringai, meletakkan satu di meja Zhang Qiling.
"Xiao ge, wajahmu tidak terlalu menyenangkan." Dia duduk di kursinya, melanjutkannya meniup uap.
"Anggap saja seperti itu," desah Zhang Qiling. Matanya lalu tertumbuk pada berkas laporan yang barusan ia terima. Tangannya terulur mengambil berkas dalam map tipis transparan, membuka dan memeriksa dengan teliti. Perlahan tapi pasti, rona wajahnya berangsur-angsur menjadi gelap.
Dia menatapnya, merasa dirinya ditarik ke kedalaman kertas laporan di tangan. Itu memberikan pengaruh besar padanya, tidak diragukan lagi. Ketika dia meletakkan laporan itu dan melihat keluar melalui jendela, dia merasa berbeda. Lebih tepatnya---gila.
"Apa itu?" tanya Pangzhi, cemas melihat perubahan air muka inspekturnya.
Zhang Qiling tidak menjawab.
Pangzhi sepertinya akan mengatakan sesuatu tetapi memikirkannya lebih baik, dia memilih memeriksa berkas laporan itu sendiri. Dia beranjak dari kursinya, mendekati meja inspektur untuk mengambil dan melihat laporan apa yang membuat wajah Zhang Qiling mendung.
"Ini dari tim forensik," ia bergumam. Semakin memeriksa ia semakin bingung apa yang aneh dari laporan itu. Tidak ada sesuatu yang berkaitan dengan kasus.
"Ini hasil dari pemulihan data ponsel rusak yang ditemukan dalam koper Touba." Dia membolak balik lembaran berisi data panggilan maupun isi pesan. Semuanya wajar, bahkan cenderung tidak penting.
"Apa yang membuatmu terganggu?" usik Pangzhi, menangkap ada sesuatu yang lain yang tidak ia pahami sebelumnya.
"Nama," Zhang Qiling menjawab pelan.
"Nama pada siapa nomor kartu itu terdaftar."
Pangzhi melirik kertas itu lagi, dan berkata datar.
"Wu Xie. Nomornya terdaftar atas nama Wu Xie. Apa kau kenal siapa dia?"
Lagi, hanya keheningan yang didapat Pangzhi. Dia melihat tatapan Zhang Qiling menerawang.
"Apakah---dia seseorang yang pernah kau bicarakan itu?"
Masih hening.
"Tapi Xiao ge, laporan ini tidak berarti apa-apa. Ponsel seseorang bisa saja jatuh ke tangan orang lain. Apalagi preman semacam Touba. Mungkin dia merampasnya dari seseorang."
Perkataan Pangzhi terdengar masuk akal. Mungkin memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia kini mengetahui alasan mengapa sulit menghubungi Wu Xie. Sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa Wu Xie berbohong padanya tentang ponsel ini.
Zhang Qiling berulangkali menghela nafas berat, mengusir penat otaknya. Tetapi, laporan itu tetap ada di pikirannya dan sesekali, ketika dia memikirkannya di sisa siang hari, dia sepertinya bisa menarik kesimpulan darinya.
Bagaimanapun, kegelisahan yang gelap menyusut kembali seperti makhluk yang meringkuk tepat di ujung pikirannya, dan tetap di sana.
*******
Malam ini, tak ada seorang pun yang bisa menahan dirinya untuk menemui Wu Xie di bar. Demikian Zhang Qiling berpikir. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh malam dan ia bersiap meninggalkan markas. Pangzhi selalu setia menemaninya menjadi petugas yang selalu pulang terlambat.
Zhang Qiling menyempatkan diri menghisap sebatang rokok dan terlibat percakapan dengan Pangzhi ketika seorang petugas jaga di shift malam berjalan masuk ke dalam ruangan. Sesaat ia tampak ragu, khawatir mengganggu satu diskusi penting. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Zhang Qiling dan Pangzhi menoleh lebih dulu.
"Ya?" tanya Pangzhi.
"Pak, pihak rumah sakit menelepon, mengatakan salah seorang preman yang dihakimi warga sudah siuman. Apakah Anda perlu ke rumah sakit untuk menginterogasinya?" si petugas melapor pada Zhang Qiling.
Inspektur melemparkan puntung rokok ke satu bak sampah di sudut ruangan, kini raut serius kembali menenggelamkan wajahnya. "Tentu saja," ia berkata tegas.
"Aku dan Pangzhi akan pergi ke sana untuk menginterogasinya."
Dia menoleh pada Pangzhi. "Ayo, kita ke rumah sakit."
Satu jam kemudian mereka tiba di rumah sakit. Kemacetan lalu lintas memperlambat segalanya. Keduanya segera memasuki ruangan tempat preman itu dirawat dalam penjagaan ketat. Preman itu terluka parah dan beberapa bagian tubuhnya dibalut perban. Sebenarnya dokter sempat meragukan tindakan Zhang Qiling yang tergesa-gesa menggali informasi. Tetapi lirikan galak dari bawah alis tebal itu membuat dokter menghela nafas dan setuju, dengan catatan ia mendampingi pasien saat diinterogasi.
Pangzhi berdiri di satu sisi ranjang pasien, sementara Zhang Qiling berdiri tegak menyilangkan lengan, matanya menatap angker.
"Demi kebaikanmu sendiri, kau harus bekerja sama denganku, kalau tidak, penjara adalah tempatmu."
Preman itu menatap langit-langit putih rumah sakit, bertanya-tanya mengapa ia bisa ada di sini. Reaksinya datar mendengar kalimat pertama penuh ancaman dari petugas berwajah angker di depannya.
"Tuan ini sedang bicara denganmu." Pangzhi menampar ringan wajah preman.
"Pak, pasien masih dalam kondisi kritis," dokter memperingatkan.
Kali ini Zhang Qiling mengarahkan tatapan galaknya pada sang dokter.
"Aku harap Anda sebaiknya keluar dan biarkan aku melakukan pekerjaanku."
Dokter itu seketika terdiam.
"Bagaimana, Dokter?" ia mendesak lagi, helaan nafasnya perlahan berubah kasar.
Dokter mengangkat bahu, melihat sekilas pada pasien, lantas pada sang inspektur.
"Baiklah."
Dia berjalan ke luar ruangan dan menutup pintu.
"Dengar! Tidak ada yang akan membelamu sekarang." Dia mendelik lagi pada si preman sial.
"Jika kau cukup beruntung bisa bertahan hidup, inilah yang akan terjadi. Aku akan memenjarakanmu dan memaksamu buka mulut dan aku punya banyak cara untuk mendapatkan kebenarannya."
Dada preman itu turun naik karena takut. Tetapi ekspresinya masih berpura-pura berani.
"Aku akan mengajukan tuntutan terhadapmu atas pembunuhan Shun Zi dan aku akan pastikan kau mendapatkan hukuman mati karena membunuhnya."
Tidak perlu banyak upaya bagi Zhang Qiling untuk menakut-nakuti. Auranya yang begitu mendominasi dan tatapan kelam sedalam jurang gelap membuat siapa pun bisa terguncang.
"Jika kau tetap diam. Aku akan pastikan itu. Shun Zi adalah saksi kunci dan kau tertangkap basah melenyapkannya. Kau melindungi seorang penjahat. Dengar, jika kau mau bekerja sama aku akan menyelamatkanmu dari hukuman mati. Katakan padaku, siapa yang membayarmu untuk menghabisi Shun Zi?"
Preman itu masih memasang wajah beku dan kosong. Dia mengira sikap itu akan menyelamatkannya. Bagaimanapun pihak rumah sakit bisa saja menahannya tetap berada di sini. Tapi ia keliru.
Bosan, Zhang Qiling berbalik dan memerintah Pangzhi acuh tak acuh.
"Pangzhi, bawa dia ke penjara. Aku pikir dia lebih suka berada di sana."
Dia bergegas menuju pintu, tak memiliki banyak waktu untuk berurusan dengan preman tengik.
"Xiao ge, bagaimana jika dokter mengajukan keluhan?" tanya Pangzhi, masih berupaya hati-hati meskipun dia tidak sabar ingin menangkap preman itu.
"Beritahu dokter bahwa tidak perlu menahan kriminal ini di rumah sakit. Aku ingin orang ini dalam tahananku hari ini. Lakukan apa saja!" tegas Zhang Qiling.
Pangzhi mengangguk.
"Baiklah!"
"Ayo mulailah! Lepaskan pipa dan selang infusnya, borgol dia!"
Preman itu berubah gugup dan ketakutan, meronta-ronta dalam cengkraman tangan Pangzhi. Sorot matanya meredup melihat Zhang Qiling membuka pintu dan bersiap melangkah keluar.
"Jason!" Preman itu menyerah di bawah ancaman.
Zhang Qiling menarik tangannya dari knob, berbalik, memiringkan dagu seakan khawatir ia salah mendengar.
"Apa?"
Preman itu balas menatap takut-takut.
"Seorang tuan muda bernama Jason."
Zhang Qiling menahan nafas.
Jason? Sahabat Ning?
Tapi mengapa? Apakah Shun Zi ada sangkut paut dengan kematian sahabatnya, Ning? Ataukah hanya sekedar alasan pemerasan?
Ia membatin hening terjebak lingkaran pertanyaan.
"Xiao ge," usik Pangzhi. "Bagaimana sekarang? Apa kita harus mendatangi Jason di rumahnya malam ini juga?"
Zhang Qiling melirik arloji. "Ini sudah hampir pukul sembilan," ia mendesah, lumayan bingung.
"Jika kita menunggu sampai esok pagi. Aku khawatir keparat itu akan memiliki kesempatan melarikan diri."
Pangzhi mengatupkan bibirnya, semangat memancar kuat. Semangat menangkap penjahat.
"Kalau begitu kita datangi dia malam ini juga!" Ia menggulung lengan kemejanya.
Zhang Qiling menoleh padanya, ekspresinya berpikir sejenak, lantas mengangguk.
"Cari alamatnya! Dan hubungi petugas di markas. Mungkin kita perlu satu unit mobil polisi lagi untuk menangkap Jason."
*******
To be continued
Please Vote and comment 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro