Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Vision ~ 25

Setelah menjelajahi jalan-jalan di sekitar distrik Hankou, menikmati keindahan malam dan kerlip lampu di hamparan sungai. Akhirnya, suasana romantis menyeret keduanya untuk terdampar di taman sunyi di tepi sungai, duduk berdua di atas bangku batu saling bersisian. Aroma bunga yang tumbuh di sana masih memenuhi udara malam, menyeret keduanya pada kenangan manis ciuman pertama mereka.

Pekatnya kegelapan tidak membutakan kesedihan pada jiwa yang semakin goyah dalam kebingungan. Kebisuan menjebak keduanya, membiarkan desau angin menyapu permukaan sungai dan kaok gagak di pepohonan mengambil alih.

"Kau tidak mengatakan apa pun sejak tadi, apa yang ingin kau bicarakan yang tidak bisa kau ungkapkan?" Wu Xie mengawali, tidak berharap Zhang Qiling bicara lebih dulu mengingat wajah kosong sang inspektur yang diselimuti aura kelabu.

Helaan nafasnya berat dan setelah berulangkali menghela nafas dan menghembuskannya, Zhang Qiling masih tidak mampu bicara. Rasa khawatir mengusik hati Wu Xie, ia mengamati dengan cemas.

"Apakah kau baik-baik saja?" ia mendesah.

Mata sang inspektur terpejam sejenak. Menatap kosong ke permukaan sungai gelap yang dihiasi jejak keperakan sinar bulan.

"Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku hanya kebingungan dengan sikapmu, bagaimana kau bisa menghubungiku dengan nomor orang lain?" ujar Zhang Qiling perlahan.

"Oh tentang itu," Wu Xie terkekeh kecil.

"Maafkan aku. Itu karena aku merasa terdesak."

"Ponselmu masih bermasalah? Aku sudah mengatakan sejak awal, aku akan menyiapkan satu untukmu."

"Tidak perlu." Wu Xie menggeleng.

"Ponselku akan kembali tidak lama lagi."

"Aku merasa kesulitan menghubungimu. Setiap kali aku memikirkanmu, aku merasa tidak berdaya." Zhang Qiling menyuarakan ganjalan dalam hatinya yang sekian lama ia tahan.

Wu Xie mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari Zhang Qiling. Tangan itu terasa dingin dalam genggamannya.

"Kau merasa tidak senang atas kedekatan kita?"

"Bukan begitu." Suara Zhang Qiling penuh kecemasan.

"Aku hanya merasa, semua yang terjadi selama ini terlihat seperti permainan."

"Maksudmu?"

"Kasus kematian Ning, Touba, pemerasan, dan kematian saksi kunci."

"Saksi kunci?"

Zhang Qiling menoleh padanya. "Shun Zi," ia berkata, sebelum kembali menatap sungai.

"Shun Zi satu-satunya orang yang mungkin bisa dimintai keterangan, dan juga kaki tangan Touba. Sesuai dengan petunjuk darimu, aku mengirim petugas ke stasiun. Tapi pada akhirnya Shun Zi tewas di tangan preman."

Wu Xie terdiam, menyimak penjelasan Zhang Qiling.

"Apakah kau sudah tahu sebelumnya bahwa Shun Zi kemungkinan akan mati?" ia bertanya pada Wu Xie, mengeluarkan segenap rasa penasaran dalam hatinya.

"Tidak," Wu Xie menjawab setelah beberapa saat.

"Aku tidak bisa menebak siapa pelaku di balik kematiannya." Zhang Qiling menghela nafas.

"Preman itu seharusnya bisa memberimu sebuah nama," timpal Wu Xie.

"Kau benar. Tapi kedua orang itu nyaris tewas dikeroyok warga dan sekarang belum siuman di rumah sakit."

Keheningan berlangsung selama detik demi detik yang memanjang. Hanya ada suara sindiran serpih ilalang dan gemerisik riak air di antara nyanyian serangga malam.

"Aku sangat lelah ...." Gelengan kepala Zhang Qiling lemas tak bertenaga. Dalam tahap ini ia terlihat lebih mirip mayat hidup.

"Apa kau sudah minum obatmu?" tanya Wu Xie.

"Tidak. Ini bukan tentang obat-obatan itu."

"Tetapi kau membutuhkannya."

Zhang Qiling menggeleng. "Obat itu tidak akan menyembuhkanku. Baik dulu maupun sekarang."

Pandangan matanya gelap dan penuh tanya pada kekosongan yang membentang di hadapannya. Zhang Qiling sekali lagi menghela nafas panjang dan berat.

"Kupikir kau harus istirahat sementara dari pekerjaanmu," Wu Xie menyarankan.

"Berhenti bekerja hanya akan membuatku semakin gila. Ini hanya gejala pasca trauma yang klise."

Tatapan Wu Xie lembut tapi tidak setuju. "Nyatanya, setiap peristiwa yang kau alami akan mengingatkanmu lagi pada masa lalu yang buruk. Itu serupa pemicu, aku khawatir kondisimu semakin tidak stabil."

Gelengan kepala lagi dari sang inspektur yang keras kepala. "Ini pertempuranku dengan diriku sendiri. Setiap detik adalah tantangan, tidak peduli kemana aku berlari, ingatan itu akan terus mengikuti. Namun adakalanya aku menjadi lemah ...."

Wu Xie termangu. Entah mengapa, malam ini seolah ada dinding membeku di antara mereka di mana ia tidak bisa meraba atau menebak apa yang membuat Zhang Qiling terlihat begitu terpuruk dalam raut pucat mengkhawatirkan. Beberapa detik momen berlalu tanpa ia tahu apa yang harus dikatakan.

"Xiao ge ..." Akhirnya tangannya terulur menyentuh sisi wajah Zhang Qiling, menelusuri permukaan kulit dingin dan halus itu dengan ujung jemarinya.

"Aku tahu kau pasti sedang menderita saat ini. Tempat sunyi dan gelap tidak cocok untuk suasana hatimu."

Zhang Qiling tidak bergeming, karena itu Wu Xie lebih dulu mengambil inisiatif. Dia bangkit dari duduknya di atas bebatuan dan menyentuh lembut bahunya.

"Ikutlah denganku ...."

Dia mengulurkan jemari.

"Ayolah."

Tanpa kuasa menolak, Zhang Qiling mendongakkan wajah pada si pemuda manis yang telah berdiri, dia tidak tahu harus pergi ke mana atau ke tempat seperti apa Wu Xie akan membawanya. Dia hanya ingin menghilang, agar semua kesedihan ini pun ikut sirna. Mereka berjalan berdampingan meninggalkan taman itu, sementara aroma bunga dan desiran air sungai tertinggal di belakang.

Hotel Red Flower

Lorong-lorong misterius bernuansa merah dipenuhi aroma parfum bunga seakan mengungkap bahwa ada banyak surga di balik dinding-dinding ini.

Wu Xie berjalan santai mendahului, di mana sang inspektur berjalan lesu di belakangnya bagaikan kerbau dicocok hidung. Pandangannya jatuh ke lantai yang diterangi bias kekuningan lampu kristal di sepanjang lorong. Barisan pintu tertutup mengejek dirinya yang mirip zombie merangkak di keremangan mencari kesenangan di salah satu kamar.

Wu Xie berjalan percaya diri, mengangkat wajah, menatap ke depan. Bibir tipisnya mewujudkan satu senyum misterius. Dia berhenti di depan salah satu pintu, mengulurkan tangan meminta kunci kartu untuk membuka pintu. Tanpa mengatakan apa-apa, Zhang Qiling menyerahkan kartu pada Wu Xie.

211.

Sekilas mata jeli sang inspektur masih bisa menangkap dan mengingat nomor kamar yang ia sewa malam ini. Wu Xie membuka pintu, menggerakkan dagu dengan manis pada Zhang Qiling agar mengikutinya masuk ke dalam. Sebelum melangkah masuk, ia sempat menoleh ke sekitar untuk memastikan tak ada siapa pun yang memergokinya di tempat ini bersama seorang pemuda.

Kamar itu luas, beraroma wangi, dengan tempat tidur king size berlapis sprei merah. Satu meja kayu berukir ditempatkan di satu sisi ruangan di mana sebuah lampu meja menyala melahirkan pendar cahaya kekuningan. Wu Xie duduk di tepi ranjang, dan menunggu.

Zhang Qiling ragu-ragu sejenak. Sesaat dia berdiri terpaku dekat pintu.

"Tolong jangan salah paham," Wu Xie berkata perlahan ketika melihat sang inspektur tenggelam dalam tanda tanya.

"Aku tahu kau hanya ingin bicara. Aku memilih tempat ini agar kita merasa lebih nyaman."

Zhang Qiling menghela nafas dalam, "Jika kau mengatakan itu padaku, seharusnya aku tersinggung. Aku sama sekali tidak berpikir buruk."

Dia memaksakan sebuah senyuman yang aneh di wajahnya.

"Kemarilah," bisik Wu Xie, sinar matanya memohon dengan tulus.

"Aku tidak akan menggigitmu."

Kali ini Zhang Qiling sungguh-sungguh tersenyum. "Apa kau tidak khawatir justru aku yang menggigitmu?"

Dia berjalan mendekat, menempatkan diri di samping Wu Xie. Keduanya bertatapan untuk waktu yang lama.

"Apa yang membuatmu begitu sedih malam ini?" usik Wu Xie.

Zhang Qiling beralih menatap lantai kamar, terlihat berusaha menyentuh satu kenangan yang membayang di sana.

"Aku tidak tahu," ia menjawab lirih.

"Dulu semua terasa baik-baik saja."

"Lalu apa yang membuatmu tertekan?"

"Kenangan buruk atas kematian rekanku. Kecerobohanku, rasa bersalahku, menenggelamkan semua kebahagiaan yang hanya sedikit."

Ingatan menyakitkan itu membuat tubuh sang inspektur lemas. Dia beringsut ke tengah, membaringkan tubuhnya telentang di kasur. Tatapan matanya kosong ke satu titik di langit-langit.

"Kupikir aku mulai kehilangan kepercayaan diri dan tujuan hidup." Kalimatnya tersendat, masih tak percaya atas apa yang terjadi.

"Akhirnya aku melakukan sesuatu yang tak pernah kubayangkan akan kulakukan seumur hidupku. Mendatangi psikiater, mendengar ocehannya, lantas mengkonsumsi obat-obatan."

Wu Xie menatapnya hampa. "Lalu, apakah dengan cara itu kau bisa bahagia?"

Seringai tipis terbit di bibir Zhang Qiling. "Entahlah. Bahagia dalam kepalsuan. Aku tidak percaya omong kosongnya. Apa itu wajar?"

Matanya berkedip lambat-lambat.

"Seseorang yang hidup tanpa memiliki tujuan akan mudah terbawa arus, dan akan sulit merasa bahagia," ujar Wu Xie.

"Apakah ada orang yang benar-benar bahagia?" Zhang Qiling mendesah, tidak mengharapkan jawaban, khawatir bahwa jawaban yang diberikan Wu Xie adalah kata 'tidak'.

Wu Xie ikut larut dalam kesedihan dan kesakitan yang dirasakan pria di sampingnya. Dia menempatkan diri berbaring di sisi tubuh sang inspektur.

Zhang Qiling menoleh padanya, menangkap ekspresi prihatin yang tulus di mata indah itu.

"Apakah kau pernah bahagia?" ia berbisik gundah.

Wu Xie mengangkat alis, tersenyum pahit. "Ya, aku pernah merasakannya."

Dia menyentuh tangan Zhang Qiling, meremas jemarinya.
"Terlebih setelah aku berjumpa denganmu. Aku benar-benar merasa bahagia. Sangat bahagia hingga kalau pun aku berhenti bernafas saat ini, di dekatmu, itu masih berarti sesuatu."

Zhang Qiling menatap mata indah pemuda yang sudah ia anggap sebagai kekasihnya, mencoba memahami apa makna di balik ucapan yang penuh perasaan mendalam. Dia balas meremas jemari Wu Xie dan berkata lembut.

"Wu Xie, kau harus keluar dari tempat ini. Dari pekerjaanmu, dari duniamu, dan memulai hidup baru. Mari kita membuat tujuan hidup bersama."

Wu Xie kembali menampilkan senyum tipis. "Tidak sesederhana itu."

"Mengapa tidak?"

"Kau tidak akan percaya padaku jika aku mengatakannya."

"Beritahu aku ...."

Kesedihan membayang jelas di mata Wu Xie kala ia menjawab seraya membelai rambut dan kening Zhang Qiling.

"Mungkin lain kali."

Kelelahan semakin bertambah, mencengkeram pikiran dan hatinya, membuat Zhang Qiling untuk ke sekian kali memejamkan mata dalam gelisah.

"Maafkan aku," gumam Zhang Qiling penuh rasa bersalah.

"Untuk apa?"

"Aku belum bisa melakukan yang terbaik untukmu."

"Kau benar-benar serius tentang itu?" Wu Xie menggeleng samar, senyum geli sekaligus heran tercetak di bibir merahnya. "Jangan terlalu dipikirkan. Ada masa dalam hidup ini yang hanya bisa dipahami tanpa kenyamanan. Kau harus tahu bagaimana melupakan satu masalah untuk sementara."

Zhang Qiling mencium jemari Wu Xie, memandangnya sendu.

"Aku tak ingin terus sembunyi-sembunyi seperti ini," ia bergumam.

"Semua akan muncul ke permukaan, pada akhirnya." Wu Xie masih membelai lembut kening Zhang Qiling. Pria itu lambat laun merasa tenang.

"Wu Xie ..." Zhang Qiling berkata lambat-lambat, di kala pandangan matanya mulai mengabur.

"Aku tidak bisa tidur setiap malam memikirkan tentang satu pertanyaan," ia meneruskan.

Wu Xie berbaring di sampingnya, namun masih sempat tersenyum, menoleh ke arah Zhang Qiling.

"Jangan katakan kau selalu memikirkanku setiap malam."

"Apa lagi yang bisa memenuhi pikiranku?" Zhang Qiling tersenyum samar.

"Baiklah. Katakan hal apa yang mengganggumu?"

Awalnya Zhang Qiling ragu-ragu, kembali ia melekatkan pandangan pada langit-langit kamar. Semua tampak membayang, bergoyang-goyang.

"Kau masih belum menjelaskan mengapa memintaku menyelidiki kematian Ning." Dia menghembuskan nafas. Membisu sesaat, memikirkan bagaimana cara mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.

"Aku juga merasa kau memiliki banyak hal yang kau sembunyikan. Dan aku tak mengerti mengapa setiap kali aku menemukan jawaban, maka semua hilang seketika."

Wu Xie tidak bereaksi, hanya menatapnya dari satu sisi.

"Apakah ada sesuatu yang kulewatkan?" desah Zhang Qiling.

"Ya," gumam Wu Xie, mengundang lirikan mata Zhang Qiling ke arahnya.

"Apa itu?"

Jeda sesaat. Wu Xie menggulirkan jemari di dada pria di sampingnya.

"Dirimu ...."

"Maksudmu?" Zhang Qiling terheran-heran.

"Sebagian jawaban ada dalam dirimu."

"Mengapa bisa ada hubungannya denganku? Aku sama sekali tidak mengenal mereka."

"Aku bisa saja mengatakan alasanku memintamu menyelidiki semua ini. Tetapi, apa kau siap untuk percaya padaku?"

Kata-kata Wu Xie semakin berteka-teki, membuat Zhang Qiling semakin tidak paham. Tetapi di ujung rasa frustasi, ia akhirnya bergumam.

"Katakan saja. Ini tentang apa?"

Lagi-lagi hening. Wu Xie nampak bergulat dengan arus bawah sadarnya sendiri. Perlahan ia berbisik di telinga Zhang Qiling.

"Xiao ge, apakah kau percaya adanya arwah penasaran?"

Sentakan yang familiar mengejutkannya. Serasa ia dihempaskan pada satu momen yang telah lewat, pada malam di mana Pan Ma menceracau tentang hal absurd itu padanya. Dan kini Wu Xie?

Astaga, ini sulit diterima.

"Wu Xie ..." ia menegur lembut, menyentuh wajah pemuda itu.

"Itu tidak masuk akal."

Wu Xie tersebut maklum. "Kau tidak percaya, bukan? Aku sudah menduga sebelumnya."

"A-aku tidak tahu," Zhang Qiling mengerang, satu dan lain hal datang dan pergi dalam benaknya seperti bayangan.

"Jika kau tidak percaya, percuma saja membicarakan ini. Lebih baik kau sekarang istirahat," Wu Xie berbisik lembut.

"Besok kau harus kembali bekerja, sekarang tidurlah."

Tangan Zhang Qiling terangkat memegang jemari Wu Xie yang menari di wajahnya, menggenggam, membungkusnya dalam telapak miliknya yang lebar.

"Bisakah aku benar-benar istirahat dengan tenang dalam kondisi seperti ini?" ia bergumam, dalam dirinya menyimpan banyak pertanyaan yang tak terjawab.

"Mengapa tidak." Wu Xie tersenyum.

"Ketenangan hanya ada di matamu, dalam senyumanmu." Zhang Qiling balas membelai wajah Wu Xie yang begitu dekat.

"Jadi katakan, apa kau akan tidur dalam pelukanku?" Kini Wu Xie mulai melayangkan lirikan manis menggoda, merasakan kekakuan yang mulai mencair.

Anggukan lemah lahir dari gerakan lemas sang inspektur. Namun dia mulai menarik wajah Wu Xie mendekat ke wajahnya.

"Tapi sebelumnya, cium aku."

"Hmmm, apakah satu ciuman cukup untuk membuatmu tertidur?"

"Tidak akan." Kini Zhang Qiling mulai melancarkan ciuman lembut di bibir Wu Xie, perlahan semakin panas, bergeser ke leher dan dada. Tak lama kemudian kedua tangan mereka melepas pakaian masing-masing seiring darah berdesir cepat, menyembur panas di pembuluhnya.

Sentuhan yang sama seperti malam sebelumnya, membawa Zhang Qiling melayang ke alam mimpi dan ilusi. Entah yang mana, dia tidak bisa membedakan. Keduanya berguling, berpelukan dengan posisi saling bergantian. Namun kala suasana semakin panas dan erotis, ia mulai menekan Wu Xie di bawah tubuhnya, kembali melakukan perjalanan menyenangkan untuk menuju tidur damai setelahnya.

Wu Xie mengerang, lembut dan panjang, seindah lantunan lagu cinta di setiap malam di keriuhan dunianya. Suaranya selembut kapas, membelai, menggelitik telinga Zhang Qiling dengan godaan yang semakin kuat. Kehilangan kewarasan, keduanya menggeliat, berkeringat dan terus bergerak seirama untuk mencapai puncak, menikmati salah satu surga tersembunyi di balik dinding-dinding hotel Red Flower.

Setelah waktu berlalu lama kemudian, lengan Zhang Qiling terkulai lemas di sisi tubuhnya. Setiap inci tubuh bergetar, semua energinya seolah terhisap dalam satu momen indah yang belum pernah ia rasakan. Wu Xie adalah obatnya, penyembuhnya, sumber kebahagiaan dan kesenangan yang tak pernah datang menghampiri hidupnya selama tahun-tahun belakangan.

Satu ciuman lembut di keningnya membuat Zhang Qiling memejamkan mata. Kemudian dari bibir Wu Xie melantun lagu pengantar tidur yang lembut, nada indah, senandung yang menenangkan.

"Tidurlah ..." bisik Wu Xie di telinganya.

Terbawa melayang oleh indahnya senandung pengantar tidur Wu Xie yang mendayu, Zhang Qiling pun jatuh dalam ketidaksadaran. Perlahan tapi pasti, sakit kepala menjemputnya, siap menggiringnya dalam kegelapan tidur yang gelisah.

Jika hidup ini sesat, aku rela menanggung segala akibatnya untukmu. Membuatmu tenang dan tersenyum. Diam-diam menyembunyikan sisa rasa ini.

Jika aku meneteskan air mata dalam hidupku, berpura-pura bahagia di depanmu tidak masalah. Meskipun itu ibarat kuncup bunga mekar di atas debu.

Aku tidak menyesal, bersamamu melewati angin dan salju.

Tidurlah, dan katakan padaku dalam mimpimu bahwa dunia ini indah ...

~~ This Life - Xin ~~

*******

To be continued
Yeayyy again!

Please vote and comment💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro