Vision ~ 23
Xunlimen Station, 01.00 PM
Jason berdiri waspada di tengah kerumunan orang di stasiun. Menantikan si pemeras menghubunginya lebih dulu membuatnya dicekam rasa marah yang tak berdaya. Getar ponselnya seketika membuat ia terlonjak. Itu pasti telepon dari si pemeras.
"Hallo?" Bola matanya bergerak liar.
"Dengar!" Shun Zi bicara di sebuah telepon umum sisi lain stasiun. Dari kejauhan, dia bisa memantau sosok Jason yang berdiri kebingungan.
"Ada toilet di sebelah kananmu. Kau akan melihat sebuah tas biru di bawah. Masukkan uangnya ke dalam tas. Mengerti?"
"Ya," Jason menjawab, alisnya berkerut.
Shun Zi bicara lagi. "Pergilah ke platform nomor empat. Kereta tujuan Shanghai berangkat lima menit lagi. Masuklah ke kompartemen di samping kelas satu. Cepat, kau tidak boleh ketinggalan kereta."
Pemuda itu meletakkan gagang telepon dan bergerak keluar dari box.
Meski dengan setengah hati, Jason menuruti setiap intruksi dari si pemeras. Dia menemukan tas biru yang dimaksud, tergeletak mencurigakan di depan toilet di bawah sebuah bangku. Untuk menghindari perhatian orang, dia memasukkan semua uang ke dalam tas biru itu di dalam bilik toilet. Setelah selesai, ia menjingjing tas biru, kemudian berjalan ke platform nomor empat untuk menaiki kereta menuju Shanghai.
Kereta bergerak, terhuyung-huyung, berderak di atas rel. Shun Zi duduk di sudut, menutup wajah dengan tudung jaket, diam-diam mengawasi sekelilingnya. Kemudian ia melihat seorang pria mengenakan stelan jas abu berdiri dua langkah di belakang, menyusuri gang di tengah barisan kursi. Pria itu menjingjing tas biru. Seketika matanya berbinar oleh keserakahan. Itu dia mangsanya, Jason.
Sikapnya masih berpura-pura santai sewaktu Jason mengambil satu kursi kosong, duduk memeluk tas biru penuh berisi uang. Tetapi sebenarnya dia saling memberi kode dengan dua pria lain di dalam gerbong. Mereka dua preman yang khusus ia sewa untuk menghajar Shun Zi setelah aksi tolol bajingan kecil ini bisa diatasi.
Jantungnya berdetak gugup saat Shun Zi perlahan berdiri, menyeimbangkan tubuh di tengah goyangan dan liukan kereta yang bergemuruh. Tidak ada kesempatan untuk mundur. Dalam perjudian hidup, ia harus mengambil resiko untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Setelah menempuh beberapa langkah, ia berhasil mendekati Jason, berdiri di sampingnya.
"Sir," ia berkata tajam.
Jason terperangah. Akhirnya pemeras ini menunjukkan diri. Alih-alih kekar dan licik seperti Touba, pemeras ini terlihat lebih amatir dan kebingungan yang berjuang untuk terlihat gaya dan berbahaya. Jason menilai bahwa pria ini sebenarnya tidak cocok menjadi penjahat.
"Tas yang bagus." Shun Zi mengkode.
Tanpa harus menjelaskan, Jason langsung mengerti. Dia meletakkan tas biru di lantai kereta. Tangan Shun Zi bergerak cepat meraih pegangan tas, berusaha agar tangannya yang gemetar tidak sampai membuat tas itu jatuh.
"Siapa kau?" desis Jason.
Shun Zi tidak peduli dan ingin segera ambil langkah seribu.
"Itu tidak penting. Yang pasti aku memiliki salinan video cctv yang kau coba tutupi."
Mendengar itu wajah Jason memucat untuk kemudian memerah kembali karena marah.
"Sialan kau! Pemeras busuk!"
Shun Zi menyeringai, membuka resleting tas, dan memeriksa isinya. Setelah yakin, dia membawa tas dan bergegas pergi meninggalkan Jason.
"Dengar! Kau membuat kesalahan!" Jason kehilangan kesabaran.
Tanpa memedulikan perkataan si laki-laki bergaya perlente yang meletakkan tas tersebut, Shun Zi bergegas menyusup di antara penumpang dalam kereta. Di saat kereta cepat itu berhenti di salah satu stasiun, tanpa pikir panjang ia berjalan keluar bersama penumpang lain.
Dirinya sama sekali tidak memercayai laki-laki tadi, orang itu pasti akan bertindak licik dengan mengirim orang lain untuk kembali mengambil uang itu darinya. Untuk itu ia harus segera melarikan diri dan mencari akal bagaimana caranya menyembunyikan uang di dalam tas.
Dugaan Shun Zi terbukti dengan dua orang yang ikut turun dari dalam kereta terlihat mengikuti. Dia memutar pandangan, berusaha berjalan secepat mungkin seraya menyelempang tali tas pada bahu. Memanfaatkan kerumunan orang-orang di dalam stasiun untuk menghalangi dirinya dari pandangan, ia mendorong setiap orang yang ia lewati. Sesekali ia menoleh untuk melihat dua orang yang mengejarnya.
Ketika tiba di depan eskalator turun, ia memanfaatkan pegangan berupa karet hitam. Duduk diatasnya dan menggelosorkan tubuh ke bawah. Melompat setelah tiba di bawah, sekali lagi ia melirik ke belakang. Mendengus kesal melihat pengejarnya melompati setiap tangga untuk mencapai dirinya. Ia kembali berjalan cepat setengah berlari untuk keluar dari stasiun kereta.
Kini ia menghadapi jalanan lebar dan berbelok ke sisi bangunan stasiun. Menyusuri jalan yang dinaungi pepohonan tinggi hingga tiba di dekat jembatan penyeberangan. Ia bergegas menaiki anak tangga, namun kecepatan dua orang yang mengejarnya sungguh mengagumkan. Ia merasakan tali tas di belakang punggungnya ditarik satu tangan hingga sebelah kaki tertekuk mengenai sisi tajam tangga.
"Berhenti kau!"
"Sial!" Shun Zi menggeram.
Dia berbalik dan menendang dada salah satu pria yang hendak mengambil tas dari pegangan. Setengah pincang, ia kembali menaiki tangga, berjalan tergesa-gesa sambil memeluk tas berisi uang.
"Hei! Berhenti!"
Pemuda itu berlari menuruni tangga dan berbelok menyusuri trotoar. Bola matanya bergerak liar mencari jalan untuk melarikan diri. Sedikit meringis merasakan sebelah lututnya terasa perih, ia memaksakan diri berlari masuk ke jalan kecil. Jalan bebas kendaraan itu dipenuhi orang-orang serta beberapa stand makanan. Ia menerobos kerumunan yang sedang berjalan santai.
"Hei! Apa-apaan kau?!"
Teriakan gusar mengiringi langkahnya yang semakin ia percepat. Tetapi merasa keberuntungannya kurang berpihak padanya, satu ide melintas di kepala. Sambil terus berjalan, ia membuka resluting tas, mengambil beberapa lembar uang. Ia mengangkat tangan dan menyebar uang tersebut hingga menimbulkan kerusuhan di antara kerumunan orang.
Lembaran uang itu melayang-layang tertiup angin dan jatuh hingga menjadi bahan rebutan orang-orang. Kejadian itu dimanfaatkan Shun Zi untuk segera menyelinap ke bagian sisi salah satu stand. Ia menoleh sesaat, melihat dua pengejarnya nampak emosi karena terhalang kerumunan. Lagi-lagi matanya menatap berkeliling, dan melihat satu sepeda terparkir, mungkin milik salah satu warga disitu.
Sesaat menoleh, ia berlari mendekati sepeda dan menaikinya tanpa peduli teriakan sang pemilik.
"Hei! Sepedaku!"
Shun Zi tergesa-gesa mengayuh sepeda melewati orang-orang yang menatap bingung padanya. Teriakan warga tersebut membuat pria pengejar itu berpaling. Keduanya melihat sosok yang mereka kejar nyaris berbelok ke jalan di depan.
"Itu dia!" salah satu pria berteriak emosi sambil berlari ke arah berlalunya sepeda yang dikendarai Shun Zi.
Satu pria pengejar memutar pandangan mencari sesuatu yang bisa menghentikan sosok yang dikejarnya. Sudut matanya melihat sepeda motor pengangkut sayur yang baru saja berhenti di dekat rumah penduduk. Tanpa pikir panjang, ia merebut sepeda motor itu, mendorong pemiliknya lantas menderu kencang mengejar sepeda Shun Zi. Alhasil beberapa macam sayuran tumpah, sebagian berhamburan ke jalanan.
Sepeda motor itu mengejar Shun Zi dengan mudah, menyerempet sepedanya hingga langsung terjatuh. Ia hilang keseimbangan dan merasakan kepalanya berdenyut dengan pandangan berkunang-kunang. Ia jatuh terguling sambil memegangi kepala sementara sebelah tangan masih terus memeluk tas biru di depan dada.
"Rebut tasnya!"
Pengejar yang satu lagi berlari ke lokasi dan menggeram jengkel. Keduanya menarik Shun Zi dan berusaha merebut tas dari pelukannya.
"Kembalikan tasku!" dia berseru histeris. Namun satu pukulan keras melayang mengenai wajahnya.
Salah satu pengejar itu memiting sebelah tangan Shun Zi dan menekan lehernya dari belakang. Sementara satu pria lain merebut tas dan mengecek isinya. Seringainya nampak puas dan melemparkan tatapan pada temannya.
"Bawa dia!"
Shun Zi mendelik gusar dengan sudut bibir terluka. Kedua tangannya tetap dipegang kuat ke belakang dan didorong untuk mengikuti langkah kedua pria tersebut. Tiba di belakang reruntuhan satu rumah berlantai dua di sudut jalan, mereka berhenti dan kembali memukulinya. Shun Zi masih berjuang untuk melarikan diri, namun langkahnya salah. Dia malah menaiki tangga dan menuju reruntuhan lantai dua, kemana pun, asal bisa menghindar walau sesaat. Dua preman kembali mengejar dan mencengkeram tubuhnya, kali ini ia tidak berkutik, terkapar lemas dan meringis kesakitan sewaktu pergelangan kakinya diinjak salah satu pria yang membawanya.
"Kau kenal dengan Touba?"
Shun Zi terkesiap ngeri, sesaat teringat nasib nahas preman yang namanya baru disebut tadi.
"Aku ... aku hanya mengenalnya sekilas."
"Dari mana kau tahu tentang tuan kami? Kau mengikuti jejak Touba dengan memeras. Apa kau ingin bernasib sama dengannya?" hardik si preman.
"Ti--dak!!" Shun Zi mengerang.
Sementara satu pria itu terus menghajar Shun Zi, pria lain nampak menghubungi seseorang melalui ponsel.
"Tuan, orang ini sendirian, dia mengaku kenal dengan Touba dan bekerjasama dengannya untuk memeras Anda dan Nona Ning."
Jason kini tengah bersandar di salah satu kedai kopi di sekitar stasiun, matanya menatap lurus ke halaman dengan air muka penuh kemenangan.
"Habisi dia," perintahnya datar dan ringan. "Kalian akan mendapatkan sisa bayaran kalian, dan jangan hubungi aku lagi."
Telepon ditutup.
Salah satu dari dua preman sewaan itu memutar tubuh, mendekati Shun Zi. Wajahnya memar berlumuran darah. Tubuh pria sial itu bersandar lemas ke salah satu dinding yang nyaris runtuh pada lantai dua bangunan tua kusam ini.
Matanya sudah bengkak kebiruan, tidak bisa melihat jelas pada moncong pistol yang mengarah padanya. Baru ketika letusan demi letusan terdengar, Shun Zi bereaksi dengan mengeluarkan erangan kesakitan. Satu peluru menembus dadanya, dan satu lagi terbenam di lambungnya.
Dua preman itu kini bergegas meninggalkan tubuh Shun Zi yang menggelosor lemas, menunggu roh meninggalkan jasad.
Shun Zi belum mau melepaskan nyawanya. Peluru meleset beberapa senti dari jantungnya. Jemarinya berlumuran darah saat digunakan menekan luka tembak.
Angin semilir bertiup melintasi reruntuhan, menyebarkan debu di lantai retak di bawah tempat itu. Satu suara gemeretak, seseorang sedang berjalan dari balik satu dinding runtuh. Angin menyapu wajah dan pakaiannya hingga bergeletar.
Ada perbedaan ekspresi antara orang yang didatangi kawan dan lawan. Shun Zi kebingungan apakah ia harus terkejut, takut atau lega. Mata bengkaknya berkedip-kedip, penuh kejutan. Semua kepanikan dan emosi telanjang yang membanjiri wajahnya seolah-olah menelannya.
"Kau?" Wajah Shun Zi memucat karena terkejut, suaranya gemetar seperti gemerisik angin di dedaunan.
Seorang pemuda berkemeja putih dan celana bahan warna beige berjalan lambat-lambat dan meneliti sosok yang setengah terbaring di tanah, sepetak bayangan bergerak ke bawah teduh sisa reruntuhan, menampakkan dirinya sebagai pemuda berwajah tampan berusia pertengahan dua puluhan.
Pemuda itu berdiri tegak anggun dengan kulit putihnya yang menantang silau matahari.
"Sebenarnya ... siapa kau?" Shun Zi terbata-bata. "Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Pemuda itu tersenyum hambar, suaranya selembut angin yang melayang sewaktu berkata, "Kenapa kau terlihat sangat terkejut. Bukankah kau pernah melihatku?"
Shun Zi merangkak mundur, luka tembak di dadanya mengalirkan darah seperti kran bocor. Gerakannya menciptakan jejak darah di lantai berdebu.
"Aku tidak melakukan apa pun ..." ia bergumam kacau.
Di tempatnya, pemuda itu hanya menggeleng perlahan sambil tersenyum.
"Aku ti--dak tahu apa-apa ...."
Shun Zi tidak menyadari bahwa ia telah tiba di ujung lantai di mana seseorang bisa terjun bebas ke bawah dari lantai dua reruntuhan. Tidak ada pagar penghalang, tidak ada pegangan.
"Aku tidak melakukan apa-apa, jangan bunuh aku ...."
Seperti seorang malaikat maut berwujud anggun, pemuda itu hanya berdiam diri tanpa memperingatkan Shun Zi bahwa dirinya nyaris mencapai ujung.
Mundur, dan terus merangkak mundur, hingga tubuhnya meluncur jatuh dari lantai dua bangunan tua itu. Satu lengkingan kematian mengiringi kejatuhannya ke tanah keras di bawah sana.
Tubuhnya jatuh telentang tepat di atas tumpukan pasir dan batu. Mengeluarkan bunyi gedebuk yang keras. Beberapa warga yang melintas di sekitar lokasi seketika berteriak kencang, disusul seruan panik lainnya.
"Ada orang jatuh dari reruntuhan!!" pekik seorang pria tua. Dua wanita paruh baya ikut memekik tak karuan.
Dalam kedipan demi kedipan terakhir di penghujung hidupnya, Shun Zi membelalak ke atas. Menatap tajam pada satu bayangan di atas sana. Di bawah bayang teduh atap yang setengah jadi. Pemuda tampan itu berdiri di tepian. Tanpa ekspresi, ia menatap lurus padanya.
*******
To be continued
Please vote 💙
Masih penasaran apa ga niy dear reader semua? 😀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro